“Gue pengen pergi,” gumam pemuda itu pelan dengan kelopak mata yang terbuka perlahan. “Gue nggak suka dia ada di sini.”
Danish melirik ke samping, Pramudya duduk seperti patung hidup di sebelahnya, tidak memberi reaksi apa-apa.
“Tiap dia ada, gue nggak mau pulang.” Danish menambahkan, kendati Pramudya mungkin tidak mengerti apa maksudnya. “Tapi Mama suka banget sama orang itu, Dya.”
Dan perasaan ibunya tidak bisa dicampuri, Danish tahu dengan pasti.
“Dya...”
“Ayo pergi!”
“Gue nggak betah kalau dia ada di rumah.”
“Jangan pulang.”
Entah kenapa, meski itu terdengar tidak baik, Danish tersenyum dibuatnya. Dya memberikan hal-hal yang ingin Danish dengar. Sejujurnya, Danish tahu dia harus bagaimana, bersikap seperti apa, menerima keadaan dan membiarkan ibunya bahagia. Tapi nanti. Saat ini, dia hanya ingin dibenarkan oleh seseorang, dibela, meski tidak seharusnya.
Pasti menyenangkan sekali punya seseorang seperti itu, yang tidak akan menjadi pihak berlawanan walau Danish di posisi tidak benar sekalipun. Sayangnya, orang tersebut tidak ada.
“Ayo!” ajak Danish pada Pramudya, melupakan kegundahan di dadanya dan menarik gadis itu turun menuju garasi rumah. Danish mengenakan jaket karena mereka akan berkendara roda dua. Michiko—salah satu anaknya dengan Sayna akan membawa Danish bernostalgia.
“Mau ke mana?” tanya Dya penasaran sembari mengenakan helm di kepala. Keduanya mengabaikan teriakan yang dipertanyakan Melia dari dalam sana.
“Berisik amat yang pacaran, padahal seneng tuh ditinggal berduaan.” Danish menggerutu pelan. “Kita beli makanan Bolu,” katanya menjawab pertanyaan Pramudya. “Pegangan, ya.”
Mereka meluncur ke jalanan komplek perumahan yang tidak terlalu ramai, langit mulai mendung, tapi tidak apa-apa, perjalanan mereka tidak akan lama.
Menaiki sepeda motornya membuat Danish teringat masa-masa SMA. Dulu dia tidak punya mobil, naik motor ke mana-mana. Sebelum pacaran dengan Sayna, Danish sering membonceng gadis mana saja yang ingin ikut pulang dengannya. Mengobrol hal-hal aneh sepanjang jalan, lalu tersesat di perjalanan pulang, atau sebagian dari mereka ketinggalan, dan lain-lainnya.
Masa di mana, masalah berat itu hanya saat bertengkar dengan sahabat atau datang terlambat ke sekolah, remedial Matematika, razia barang di kelas, mencontek dan ketahuan, bukannya berkutat dengan target, pekerjaan, masalah percintaan hingga kehadiran calon ayah tiri dalam hidupnya. Bukan.
Danish ingin kembali ke sana saja.
“Dya, pegangan,” kata Danish pelan, merujuk pada seseorang yang duduk di belakang dan berjarak renggang dengannya. Dya itu kecil, kalau dia jatuh mungkin Danish tidak akan sadar. “Sayna kalau gue bonceng tangannya masuk ke saku, kayak gini.”
Dya diam saja saat Danish menarik tangannya untuk dimasukkan ke saku jaket. “Hangat, kan?”
“Iya.” Gadis itu menjawab singkat. “Memangnya gue boleh, ya?”
“Nggak sih,” jawab Danish buru-buru, lalu Pramudya menarik tangannya keluar dari saku. “Tadi cuma nyontohin aja.”
Yang boleh melakukan itu hanya Sayna saja. Sayna-nya. Bukan Pramudya. Tadi Danish cuma sedikit lupa, lagi pula mereka kan saudara.
****
Sebenarnya menyakitkan terus jadi orang yang dikenal sebagai cadangan. Terus jadi laki-laki yang menahan diri melihat gadis yang dia sukai dijamah lelaki lain. Posisi Gio sangat tidak mudah, lelaki manapun, dengan ego mereka yang setinggi angkasa, pasti tidak akan suka jika berada di pihaknya. Ini menyiksa.
Namun melepas orang yang disuka, bahkan naik level jadi orang yang disayang, yang dia jaga selama jauh dari keluarga dan orangtua, juga tidak mudah. Gio selalu meleleh ketika Sayna datang mendekat dengan segala keperluan—ya, hanya jika ada keperluan—yang berkaitan dengan tugas kuliahnya. Bagaimana mungkin dia mengabaikan sosok jelita itu? Menatapnya penuh harap bagai kucing, berbicara lembut dan manis sekali.
Seperti saat ini.
“Aku nggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi disaat begini. Mepet banget waktunya, Kak. Kalau besok aja, aku bisa beli.”
Gio meringis mendengar gadis itu mengutarakan hal-hal yang mengganggunya. Dia sedang minta sperma untuk bahan praktek hari ini. Dan Giovanni, meski sibuk di coass-nya dengan senang hati datang menghampiri.
Namun Sayna kapan akan sadar? Bahwa mempermainkan dan memanfaatkan orang lain itu tidak benar.
“Kakak baru aja semalam masturbasi,” ujar Gio jujur, yang langsung membuat Sayna tersentak mundur. “Kalau harus lagi sekarang, bakal agak susah sih. Jam berapa memang?”
Gadis itu berdeham dengan bola mata mengedar. “Siang sih, Kak. Habis Ishoma.”
“Bisa diatur kalau gitu.” Giovanni tersenyum pada Sayna. “Tapi lebih bagus kalau kamu juga bantu.”
Sayna kaget bukan main, dia kira image dokter muda yang tersemat pada kakak tingkatnya ini membuat Gio menjelma jadi manusia suci. Nyatanya dia hanya laki-laki, laki-laki di dunia ini—yang belum punya pasangan tapi sudah mengenal seks sejak dini, gemar melakukan masturbasi. Sementara di sisi lain, Danish—kekasihnya, bahkan tidak tahu bagaimana cara melakukan hal itu.
Danish tidak bisa mengeluarkan mani jika tidak benar-benar bermain sungguhan. Sayna sudah bekerja keras, bagaimanapun mereka mencobanya, dia tetap tidak bisa. Lalu Gio—
“Kenapa nggak bilang dari semalam? Kamu tinggal kasihin kondomnya aja, biar kakak yang kerja.” Gio terkekeh pelan melihat wajah Sayna memerah. “Kakak kira kamu bakal minta ke pacar kamu, Say.”
“Udah kok, Kak.” Sayna menyahut buru-buru. Dia tidak mau Danish selalu dapat cap tidak berguna dari kakak tingkatnya. “Ta—tapi, kita salah pake kondom.”
“Oh, ya? Kamu pake apa?”
“O-okamoto, ada spermisidanya.”
Giovanni tertawa setelah berhasil menelan es kopi yang Sayna berikan padanya. “Ya, iyalah kamu jangan pakai merek itu kalau mau memerah untuk bahan praktek, Sayna. Itu buat kalian senang-senang aja.”
Dia tertawa, seolah bisa menebak sejauh apa hubungan Danish dan Sayna. Yang tidak pernah dia tahu adalah, Danish dan kondom bukan teman baik. Pemuda itu kesusahan setengah mati memakainya, dia tidak suka, makanya merek itu Sayna pilih karena bahannya lebih tipis, terasa menempel dengan kulit, bukan plastik.
“Jam istirahat siang nanti ke kosan kakak. Atau kosan kamu aja?”
“Hah?” Sayna terperangah. Untuk apa? Kenapa dia harus ke sana?
“Kamu yang butuh bahan prakteknya, Sayna. Kamu harus ikut berkontribusi juga.”
Apa maksudnya? Apa yang Gio maksud sebenarnya?
Oh, Ayolah! Kamu bukan anak muda polos yang belum pernah mendesah dengan himpitan laki-laki, Sayna! Berhenti bertanya-tanya.
“Nanti kakak yang mampir beli kondom ke minimarket, harus dibaca dulu mana yang bisa dipakai buat praktek.”
Sayna masih diam, dia bingung harus menjawab apa.
“Say?”
“Kakak nggak bisa sendiri aja memerahnya?” cicit gadis itu pelan. Dia mungkin tampak tenang, tapi debar di dadanya menggila. Sayna merasa jantungnya sedang dipukul-pukul dengan keras. “Kakak kan... udah biasa.”
Giovanni tertawa, tawa yang tidak senang, seolah Sayna barusan menyindir—atau mengejeknya, padahal dia tidak bermaksud seperti itu. Sungguh.
“Sampai ketemu nanti siang, ya.”
Pemuda berjas putih itu pergi meninggalkannya, dan Sayna sendiri di tempat itu dengan suara batin yang bertanya-tanya.
Haruskah dia melakukannya?
To be Continued
Hujan deras mengguyur siang menuju sore hari itu. Danish yang awalnya hanya berencana mengajak Pramudya membeli pakan Bolu terpaksa harus meneduh lebih dulu. Mereka pergi ke laundry Melia terdekat dari komplek perumahan, ada Hamam dan para pekerja di sana, mereka tidak berduaan selama menanti hujan. Danish memeriksa ponsel, tidak ada pesan dari Sayna seharian—selain tadi pagi untuk menyemangatinya.Dia rindu. Kenapa tetes hujan selalu membuat suasana menjadi sendu? Padahal baru kemarin mereka bertemu.“Bahasa Jawanya apa tuh? Kan kalau Sunda Neng, Dya maunya dipanggil apa?”Danish melirik Hamam yang suaranya sayup-sayup ditelan angin dan hujan di luar sana, deras sekali. Dia jadi membayangkan yang tidak-tidak, apa yang dilakukan ibunya bersama seorang pria di rumah? Danish jelas tahu kalau Melia rindu belaian dan sentuhan. Dia mengerti itu, usianya 20 tahun sekarang.“Dya aja.” Suara Pramudya baru terdengar kendati H
“Teh, Ibu nikah sama Ayah pas umur 30 tahun,” kata ibunya waktu itu. “Jadi punya anaknya agak telat, apalagi Ayah sebentar lagi pensiun. Ibu bakal sendirian bertempur buat biaya kuliah Teteh. Yang prihatin ya, Nak? Ibu mau Teteh menikah selesai kuliah profesi, biar ibu tenang, perjuangan ibu sama Ayah kelihatan hasilnya.”Tahun depan Ayah pensiun dari pekerjaannya, dan beberapa hal bisa jadi berbeda. Keluarga Sayna bukan pengusaha kaya atau keturunan konglomerat seperti Adiswara dan Ranajaya. Mereka bahkan tidak punya nama belakang yang keren, yang dipakai oleh seluruh keturunan generasi berikutnya. Keluarga Sayna hanya orang biasa, hidup berkecukupan, keduanya bekerja dan mengabdi pada negara.Namun masa abdi itu memiliki masa aktif, dan ketika tenaga serta abdinya tidak dibutuhkan lagi, beberapa kompensasi dicabut, tidak didapatkan lagi. Sayna bisa membayangkan bagaimana sulit dan beratnya Ibunda berjuang seorang diri membayar kuliah di kedokt
“Keterlaluan!”Sayna langsung menggigil ketika suara itu menyentak gendang telinganya. Bukan hanya kaget, dia juga ketakutan. Baru kali ini dia merasa sangat tersudut, tidak mampu membela diri sama sekali, tidak mau.“Lo nggak tahu apa aja yang udah gue lakuin buat bertahan, Sayna.” Pemuda itu terengah dengan wajah dan mata yang memerah. “Gue bahkan... saking nggak maunya ngasih Dya celah, sering jahat sama dia.” Napasnya terengah. “Demi lo,” lanjutnya. “Cuma lo satu-satunya.”Gadis itu semakin menundukkan kepala, dia kira menggigil hanya karena ketakutan, tapi ternyata Sayna juga sangat kedinginan, padahal tidak sedang hujan. Dia tentu ingat beberapa waktu yang lalu, saat keluarga Danish panik mencari keberadaan Pramudya usai ditinggal begitu saja demi segera menemui Sayna. Danish tidak hanya asal bicara, dia membuktikan dengan tindakan bahwa kesetiaannya tidak boleh diragukan.“Maaf, Nish
Jhare sopo aku nggak iso, jhare sopo aku nggak iso? Eyeliner-ku nggak roto lho, terus opo’o?Makeup-ku jan uaneh yet my friends say, hiiiii... apike!Raimu raiku do whatever you wanna doBuenci pol body shamming jan garai cryingGendat gendut kura kuru lambemu lambemuI love my body and... you should tooSiji loro telu Hi, all i love you!Suara Pradnya diiringi hentakan musik ketika menyanyikan kembali lirik andalan dalam lagu Pretty Real menggema di seluruh ruangan. Malam ini adalah pesta ulang tahun si kembar, suasana kediaman Ranajaya begitu meriah. Tamu sudah berdatangan sejak sore, sementara si empunya acara hanya terlihat salah satunya saja. Saudari kembarnya justru baru kembali dari halaman belakang rumah, lapangan golf pribadi keluarga, mengendarai Boogy, menerobos masuk ke ruang pesta, masih mengenakan pakaian kasualnya.
Hamam telah mengubah subjek dari “Berkat Doa Ibu” menjadi “HBD RAFID” Rafid: Selamat ulang tahun buat gue...Arvin: Ikan hiu makan tomat, hahaha tua amat!Hamam: AJG!Herdian: Heh, dateng-dateng langsung ngomong kasar lo. Jempol tuh dididik dulu ngapa?Hamam: AJG (Astagfirullah Jangan Gitu)Danish: Baru tahu gue *laughHamam: Ngumpul kuy, biar bos gue yang traktir.Danish: TAI!Hamam: TAI (Tak apa, Aku Ikhlas)Herdian: Ngarang banget lo, setan *laughArvin: Kuy, kapan kumpul? Pada ke Bandung aja, gue siapin villa. Kalian berangkat bareng Danish.Rafid: Gue sih lagi pengen dinner dulu sama cewek gue minggu ini, tapi masalahnya gue nggak ada duit. Sue banget ul
Gadis itu memeriksa bagian bawah tubuhnya yang lengket dan lembab. Lagi-lagi tidak dapat menahan lelehan air mata yang menyeruak. Sebuah pengkhianatan sungguhan telah dia lakukan pada kekasihnya. Dan bagaimanapun Sayna mencoba menyangkal, bukti seperti ini tidak bisa diabaikan. Tubuhnya merespons kegiatan sialan itu dengan benar, menolak kerja sama dengan otak dan akal sehat yang terus merasa jijik saat itu dilakukan.Sayna merasai berahinya sendiri karena merasa jahat dan ingin tubuhnya mendapat lebih saat bersama Giovanni. Bagaimana itu bisa terjadi? Kenapa harus begini? Kenapa tubuhnya harus ingin? Sementara otak dan akal sehatnya tidak menginginkan apa-apa.Apakah ini lumrah terjadi? Apa orang-orang yang diperkosa juga mengalami hal yang sama?“Kakak Sayna!”Suara itu mengejutkannya, membuat Sayna seperti ditarik dari keadaan setengah sadar dan segera membuka matanya lebar-lebar. Dia menolehkan kepala dan melihat seorang gadis muda berambu
“Hati-hati, ya. Titip salam buat Imo, kamu jangan bandel, jangan pacaran terus, pacarnya nggak boleh banyak-banyak, denger nggak?”“Iya.”Inara menyengir dengan rambut cokelatnya yang sengaja Sayna selipkan di belakang telinga. Dia semakin menggemaskan ketika kupingnya terlihat dengan ukuran daun telinga yang lebih lebar dibanding seharusnya.“Naik bus yang mana?” Danish menimbrung obrolan. Pagi itu mereka telah sampai di terminal Cibiru untuk mengantar Inara pulang ke Sumedang. Banyak bis antar kota dan minibus elf berjejer di sana. Rata-rata jurusan Bandung – Cirebon – Majalengka, entah yang mana satu milik Inara.“Aku mau naik Buhe!” Gadis Sunda berwajah bule itu menunjuk salah satu nama armada dengan mayoritas minibus berwarna merah tua keunguan, Buhe Jaya. “Biar kayak terbang dari Bandung ke Sumedang.”“Ih, jangan!” Sayna segera melarangnya. “Naik b
Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...Kemesraan ini ingin kukenang selalu...Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu...Hatiku damai... jiwaku tenteram bersamamu...“Aduh, suaranya ngajakin berumah tangga ya, Teh.”Sayna terkikik mendengar komentar ibunda saat mereka menonton Danish dan Chandraka tengah berkaraoke ria. Suara mereka menggema, memenuhi ruang keluarga.Keduanya sampai di Jakarta siang menjelang sore, Danish langsung dicegat, tidak boleh pulang cepat, makan bersama dengan keluarga Sayna dan melakukan hal menyenangkan dengan mereka. Ikrar juga ada di sana, duduk di karpet lantai sambil memegangi senter dan menggoyangkannya ke kiri dan kanan bergantian, bertingkah seolah tengah menonton live music penyanyi papan atas.“Tapi ibu tadi cuma bercanda,” ralat Linda segera, melihat putrinya tidak memberi reaksi apa-apa. “Ibu sangat berharap Teteh jadi sama Ninish, tapi nanti, ya? Selesai c