Share

Ganjil yang Mengganjal 2

“Gue pengen pergi,” gumam pemuda itu pelan dengan kelopak mata yang terbuka perlahan. “Gue nggak suka dia ada di sini.”

Danish melirik ke samping, Pramudya duduk seperti patung hidup di sebelahnya, tidak memberi reaksi apa-apa.

“Tiap dia ada, gue nggak mau pulang.” Danish menambahkan, kendati Pramudya mungkin tidak mengerti apa maksudnya. “Tapi Mama suka banget sama orang itu, Dya.”

Dan perasaan ibunya tidak bisa dicampuri, Danish tahu dengan pasti.

“Dya...”

“Ayo pergi!”

“Gue nggak betah kalau dia ada di rumah.”

“Jangan pulang.”

Entah kenapa, meski itu terdengar tidak baik, Danish tersenyum dibuatnya. Dya memberikan hal-hal yang ingin Danish dengar. Sejujurnya, Danish tahu dia harus bagaimana, bersikap seperti apa, menerima keadaan dan membiarkan ibunya bahagia. Tapi nanti. Saat ini, dia hanya ingin dibenarkan oleh seseorang, dibela, meski tidak seharusnya.

Pasti menyenangkan sekali punya seseorang seperti itu, yang tidak akan menjadi pihak berlawanan walau Danish di posisi tidak benar sekalipun. Sayangnya, orang tersebut tidak ada.

“Ayo!” ajak Danish pada Pramudya, melupakan kegundahan di dadanya dan menarik gadis itu turun menuju garasi rumah. Danish mengenakan jaket karena mereka akan berkendara roda dua. Michiko—salah satu anaknya dengan Sayna akan membawa Danish bernostalgia.

“Mau ke mana?” tanya Dya penasaran sembari mengenakan helm di kepala. Keduanya mengabaikan teriakan yang dipertanyakan Melia dari dalam sana.

“Berisik amat yang pacaran, padahal seneng tuh ditinggal berduaan.” Danish menggerutu pelan. “Kita beli makanan Bolu,” katanya menjawab pertanyaan Pramudya. “Pegangan, ya.”

Mereka meluncur ke jalanan komplek perumahan yang tidak terlalu ramai, langit mulai mendung, tapi tidak apa-apa, perjalanan mereka tidak akan lama.

Menaiki sepeda motornya membuat Danish teringat masa-masa SMA. Dulu dia tidak punya mobil, naik motor ke mana-mana. Sebelum pacaran dengan Sayna, Danish sering membonceng gadis mana saja yang ingin ikut pulang dengannya. Mengobrol hal-hal aneh sepanjang jalan, lalu tersesat di perjalanan pulang, atau sebagian dari mereka ketinggalan, dan lain-lainnya.

Masa di mana, masalah berat itu hanya saat bertengkar dengan sahabat atau datang terlambat ke sekolah, remedial Matematika, razia barang di kelas, mencontek dan ketahuan, bukannya berkutat dengan target, pekerjaan, masalah percintaan hingga kehadiran calon ayah tiri dalam hidupnya. Bukan.

Danish ingin kembali ke sana saja.

“Dya, pegangan,” kata Danish pelan, merujuk pada seseorang yang duduk di belakang dan berjarak renggang dengannya. Dya itu kecil, kalau dia jatuh mungkin Danish tidak akan sadar. “Sayna kalau gue bonceng tangannya masuk ke saku, kayak gini.”

Dya diam saja saat Danish menarik tangannya untuk dimasukkan ke saku jaket. “Hangat, kan?”

“Iya.” Gadis itu menjawab singkat. “Memangnya gue boleh, ya?”

“Nggak sih,” jawab Danish buru-buru, lalu Pramudya menarik tangannya keluar dari saku. “Tadi cuma nyontohin aja.”

Yang boleh melakukan itu hanya Sayna saja. Sayna-nya. Bukan Pramudya. Tadi Danish cuma sedikit lupa, lagi pula mereka kan saudara.

****

Sebenarnya menyakitkan terus jadi orang yang dikenal sebagai cadangan. Terus jadi laki-laki yang menahan diri melihat gadis yang dia sukai dijamah lelaki lain. Posisi Gio sangat tidak mudah, lelaki manapun, dengan ego mereka yang setinggi angkasa, pasti tidak akan suka jika berada di pihaknya. Ini menyiksa.

Namun melepas orang yang disuka, bahkan naik level jadi orang yang disayang, yang dia jaga selama jauh dari keluarga dan orangtua, juga tidak mudah. Gio selalu meleleh ketika Sayna datang mendekat dengan segala keperluan—ya, hanya jika ada keperluan—yang  berkaitan dengan tugas kuliahnya. Bagaimana mungkin dia mengabaikan sosok jelita itu? Menatapnya penuh harap bagai kucing, berbicara lembut dan manis sekali.

Seperti saat ini.

“Aku nggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi disaat begini. Mepet banget waktunya, Kak. Kalau besok aja, aku bisa beli.”

Gio meringis mendengar gadis itu mengutarakan hal-hal yang mengganggunya. Dia sedang minta sperma untuk bahan praktek hari ini. Dan Giovanni, meski sibuk di coass-nya dengan senang hati datang menghampiri.

Namun Sayna kapan akan sadar? Bahwa mempermainkan dan memanfaatkan orang lain itu tidak benar.

“Kakak baru aja semalam masturbasi,” ujar Gio jujur, yang langsung membuat Sayna tersentak mundur. “Kalau harus lagi sekarang, bakal agak susah sih. Jam berapa memang?”

Gadis itu berdeham dengan bola mata mengedar. “Siang sih, Kak. Habis Ishoma.”

“Bisa diatur kalau gitu.” Giovanni tersenyum pada Sayna. “Tapi lebih bagus kalau kamu juga bantu.”

Sayna kaget bukan main, dia kira image dokter muda yang tersemat pada kakak tingkatnya ini membuat Gio menjelma jadi manusia suci. Nyatanya dia hanya laki-laki, laki-laki di dunia ini—yang belum punya pasangan tapi sudah mengenal seks sejak dini, gemar melakukan masturbasi. Sementara di sisi lain, Danish—kekasihnya, bahkan tidak tahu bagaimana cara melakukan hal itu.

Danish tidak bisa mengeluarkan mani jika tidak benar-benar bermain sungguhan. Sayna sudah bekerja keras, bagaimanapun mereka mencobanya, dia tetap tidak bisa. Lalu Gio—

“Kenapa nggak bilang dari semalam? Kamu tinggal kasihin kondomnya aja, biar kakak yang kerja.” Gio terkekeh pelan melihat wajah Sayna memerah. “Kakak kira kamu bakal minta ke pacar kamu, Say.”

“Udah kok, Kak.” Sayna menyahut buru-buru. Dia tidak mau Danish selalu dapat cap tidak berguna dari kakak tingkatnya. “Ta—tapi, kita salah pake kondom.”

“Oh, ya? Kamu pake apa?”

“O-okamoto, ada spermisidanya.”

Giovanni tertawa setelah berhasil menelan es kopi yang Sayna berikan padanya. “Ya, iyalah kamu jangan pakai merek itu kalau mau memerah untuk bahan praktek, Sayna. Itu buat kalian senang-senang aja.”

Dia tertawa, seolah bisa menebak sejauh apa hubungan Danish dan Sayna. Yang tidak pernah dia tahu adalah, Danish dan kondom bukan teman baik. Pemuda itu kesusahan setengah mati memakainya, dia tidak suka, makanya merek itu Sayna pilih karena bahannya lebih tipis, terasa menempel dengan kulit, bukan plastik.

“Jam istirahat siang nanti ke kosan kakak. Atau kosan kamu aja?”

“Hah?” Sayna terperangah. Untuk apa? Kenapa dia harus ke sana?

“Kamu yang butuh bahan prakteknya, Sayna. Kamu harus ikut berkontribusi juga.”

Apa maksudnya? Apa yang Gio maksud sebenarnya?

Oh, Ayolah! Kamu bukan anak muda polos yang belum pernah mendesah dengan himpitan laki-laki, Sayna! Berhenti bertanya-tanya.

“Nanti kakak yang mampir beli kondom ke minimarket, harus dibaca dulu mana yang bisa dipakai buat praktek.”

Sayna masih diam, dia bingung harus menjawab apa.

“Say?”

“Kakak nggak bisa sendiri aja memerahnya?” cicit gadis itu pelan. Dia mungkin tampak tenang, tapi debar di dadanya menggila. Sayna merasa jantungnya sedang dipukul-pukul dengan keras. “Kakak kan... udah biasa.”

Giovanni tertawa, tawa yang tidak senang, seolah Sayna barusan menyindir—atau mengejeknya, padahal dia tidak bermaksud seperti itu. Sungguh.

“Sampai ketemu nanti siang, ya.”

Pemuda berjas putih itu pergi meninggalkannya, dan Sayna sendiri di tempat itu dengan suara batin yang bertanya-tanya.

Haruskah dia melakukannya?

To be Continued

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status