Share

Awal dan Akhir

Author: Vinnara
last update Last Updated: 2021-06-14 19:39:34

Hujan deras mengguyur siang menuju sore hari itu. Danish yang awalnya hanya berencana mengajak Pramudya membeli pakan Bolu terpaksa harus meneduh lebih dulu. Mereka pergi ke laundry Melia terdekat dari komplek perumahan, ada Hamam dan para pekerja di sana, mereka tidak berduaan selama menanti hujan. Danish memeriksa ponsel, tidak ada pesan dari Sayna seharian—selain tadi pagi untuk menyemangatinya.

Dia rindu. Kenapa tetes hujan selalu membuat suasana menjadi sendu? Padahal baru kemarin mereka bertemu.

“Bahasa Jawanya apa tuh? Kan kalau Sunda Neng, Dya maunya dipanggil apa?”

Danish melirik Hamam yang suaranya sayup-sayup ditelan angin dan hujan di luar sana, deras sekali. Dia jadi membayangkan yang tidak-tidak, apa yang dilakukan ibunya bersama seorang pria di rumah? Danish jelas tahu kalau Melia rindu belaian dan sentuhan. Dia mengerti itu, usianya 20 tahun sekarang.

“Dya aja.” Suara Pramudya baru terdengar kendati Hamam sudah mengoceh di hadapannya selama bermenit-menit sejak mereka baru datang.

Dya tidak akan buka mulut andai dia merasa orang yang baru dikenalnya tidak aman diajak berbincang. Jangankan Hamam, Dinara bilang mereka butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa dekat dan normal layaknya saudara kebanyakan. Di awal perkenalan, Dya sangat barbar.

Namun seingat Danish, pertemuan pertamanya dengan Pramudya adalah hari pernikahan Dinara dan Arya. Gadis itu menghampirinya, menyodorkan lembaran tisu saat Danish menangis terharu usai menghadapi ijab kabul kakak kandungnya. Dya tidak bilang apa-apa, hanya duduk di sebelahnya. Waktu itu, Danish lupa bagaimana reaksi dan perasaannya, jadi dia hanya membiarkan saja.

“Nggak mau panggilan istimewa?” Hamam tak menyerah pada Pramudya. “Apa gitu, misalnya Dya sayang, Dya cantik, Dya manis...” Dan berlanjut dengan puja puji, Dya terkikik.

“Ih, Dya ketawa!” Hamam berseru gembira.

“Kamu lucu.”

Err... salah besar memakai kata pengganti aku dan kamu di Jakarta Selatan. Tanpa menunggu setengah menit, Hamam di seberang sana sudah menggelinjang nista. Kamu yang diungkapkan Dya begitu menyentuh sanubarinya.

“Dya juga lucu, cantik lagi.” Hamam memang tak tahu malu. “Dya, aku jomblo lho. Masa kamu nggak mau godain aku? Setan aja pada heboh godain aku.”

Sekarang dia bahkan sudah tidak malu-malu. Danish menggelengkan kepala dan berniat ke ruangannya, daripada duduk-duduk lebih baik dia bekerja sambil menunggu hujan reda. “Tunggu di sini ya, Dya,” pamitnya lalu naik ke lantai dua.

Di sini Pramudya tinggal bersama beberapa orang pekerja, tapi hanya Hamam yang tampak santai dan bisa mengajaknya berbincang, dia jelas senang. Sudah lama Pramudya menyadari keberadaan orang ini, hanya saja radarnya harus terus waspada. Ibu bilang mekanisme pertahanan mereka sangat penting, jangan terlalu ramah atau baik pada orang baru, tunggu sampai kita benar-benar mengenal orang itu. Dan sepertinya Hamam orang baik, Dya bisa melepas topengnya untuk bersikap biasa-biasa saja pada pemuda itu.

“Dya, kalau punya suami mau yang pegawai atau pebisnis?” tanya Hamam, rasanya seperti sedang interview saja.

“Pebisnis.”

“Wah, kalau gitu aku mau jadi pebisnis deh. Aku mau bisnis es batu, pasti untung terus. Laku nggak laku tetep cair.”

Pramudya tertawa, Hamam berusaha sekali membuatnya nyaman.

“Eh, sebentar ya ada telepon.” Pemuda itu mengeluarkan ponsel dengan layar yang sudah kurang berfungsi, beberapa kali Hamam harus mengetuk layarnya untuk mengangkat panggilan dan tidak berhasil. Alhasil, dia mengembuskan napas kasar karena telepon itu berakhir.

“Nih.” Dya menyodorkan salah satu ponsel yang kebetulan ada di sakunya saat ini. “Buat kamu.”

“Permen, ya?” Hamam meraih benda itu. “Wah, ini betulan Hp yang kameranya kayak kompor!” Dia berseru. “Eh, tadi... apa kamu bilang?”

“Buat kamu.”

“Nggak mau.” Hamam menyodorkan kembali benda itu.

“Aku punya banyak. Ada dua puluh,” kata Dya asal. Dia lupa berapa jelasnya, tapi ponsel gadis itu cukup banyak, lebih banyak dari Danish, pemuda itu hanya punya Iphone 16 unit.

“Iya, aku tahu kan kamu anak sultan. Jidatnya aja glowing gitu, cerah kayak masa depan kita, terus ini kaus kaki kamu pasti lebih mahal dari harga diri aku.” Hamam memegang kaus kaki Dya yang tadi basah dan sudah dikeringkan. “Tapi aku nggak mau, aku lagi nabung buat beli yang bagus, Dya. Sekarang Hp murah itu banyak, aku bisa beli, tapi jangka pakainya pendek. Aku mau Hp Sungsang yang harganya 20 jutaan, tapi bisa dipakai sampai lima tahun kedepan. Rasanya lebih worth it.”

Pramudya mengangguk seraya menarik kembali ponsel yang dia pegang. “Nanti aku beliin.”

“Ih, jangan!” Hamam menolaknya sungkan. “Aku mau beli sendiri.”

“Kalau gitu terima ini sebagai hadiah perkenalan.” Dya kembali menyodorkannya.

“Nggak bisa, Dya. IOS ini apa-apa bayar, nggak terima aplikasi bajakan atau l**k haram, aku nggak sanggup biayainnya.”

“Biar ak—”

“Lo nggak boleh terlalu banyak kenal apalagi temenan sama orang.” Danish tiba-tiba muncul sembari menyentil dahi Pramudya yang luas bagai lapangan bola. “Habitnya memang begini tiap dia dapat teman baru.”

Hamam langsung duduk bersandar sambil mengusap dada. Dia berdebar-debar. “Bener, emang bahaya. Dya kamu nggak boleh deket lagi sama siapa-siapa, dengar?”

Kenapa perkataan Hamam mirip dengan yang dikatakan ibunya, ya?

“Lo udah dapet apa aja dari Dya, Nish?”

Danish menaikkan alis. Jangan ditanya dia dapat apa saja, bahkan bukan hanya Pramudya, keluarga gadis itu baik dan royal padanya, hidup Danish benar-benar sejahtera sejak kenal mereka. Anggaran belanja pakaiannya berkurang banyak, Anya dengan senang hati rutin membelanjakannya tiap bulan.

“Aku nggak pernah kasih Danish apa-apa, dia udah punya semua.” Pramudya angkat bicara, dia berkata begitu pada Hamam. “Aku kasih dia waktuku, seminggu sekali aja, itu lebih berharga.”

Danish memeletkan lidah, geli sekali mendengar Dya bilang begitu di hadapannya.

“Dan kamu masih suka ditinggal sama Danish semena-mena, ya?” Gadis itu mengangguk polos, matanya yang bulat menatap Hamam lekat-lekat. “Percuma, Nish, lo punya harta dan tahta tapi nggak ada tata krama.” Dia menggelengkan kepala. “Anak sebaik ini disia-siakan.”

“Bacot lo.” Hamam belum tahu saja Pramudya yang sebenarnya. “Nggak tahu aja lo cowok dia ada berapa, tiap hari ganti kayak sprei hotel bapaknya.”

“Hei, language!” Hamam berseru tak terima. “Nggak gitu kan, Dya? Danish fitnah aja ah.”

Dya tidak menjawabnya, dia hanya menatap Hamam penuh keyakinan dan Danish tertawa. Tatapan mata gadis itu sudah menjawab semuanya, Hamam menggelengkan kepala tak percaya. Dia menepuk-nepuk wajahnya.

“Coba seminggu ada delapan hari, Mam, pasti lo nggak lama lagi dijadiin yang kedelapan.” Danish membuat guyonan. “Dya, jangan mentang-mentang cantik jadi lo bangga disukai sana-sini. Itu namanya bukan kelebihan, tapi kegatelan.”

“Nish!” Hamam berseru tak terima, pasti belum tahu bagaimana Danish bicara dengan Pramudya. “Mulut lo, ya! Coba aja depan Sayna apa nggak ditampar bolak-balik lo! Dya nggak usah dengerin, ya? Aku siap berjuang, tenang aja. Tapi kamu standarnya turunin dikit dong, jangan cari yang kaya raya, cukup yang kayak saya.”

Pramudya tertawa. Nah kan, apa Danish bilang, dia bukan orang yang perasa. Ucapan Danish hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

“Dya, hatiku ini kelamaan kosong, takut angker. Kamu tolong isi, ya?”

Danish tidak tahu kenapa, tapi Pramudya mendongak ke arahnya seolah memohon izin. Dan di titik itu juga dia merasa kalau Pramudya mungkin benar-benar akan mengencani Hamam lalu membaginya dengan yang lain. Dia tidak suka kenyataan itu, Danish tidak mau teman dekatnya dipermainkan.

“Dya cuma bisa singgah, Mam. Nggak bisa netap di hati lo, ibarat kata nih lo cuma rest area buat dia.”

“Uh, Danish kenapa sih? Kayak orang cemburu aja,” sindir Hamam.

“Eh, sori ya!”

Siang menjelang sore itu, obrolan mereka didominasi oleh gombalan Hamam terhadap Pramudya, serta lontaran kata-kata sinis dari Danish yang tidak senang dua temannya menjadi dekat untuk kali pertama. Dulu antara mereka tidak pernah terjadi percakapan, Dya tidak pernah menganggap keberadaan Hamam di sekitar mereka. Hari ini dia sedikit berbeda.

“Nish, pulang. Gue nggak mau kemalaman, nanti disuruh Bu Melia nginap.”

Kenapa gadis itu menatap Danish dengan tatapan memohon? Memang apa yang salah dengan menginap di rumahnya? Apa karena kalah bagus dengan rumah keluarganya?

“Lo suka sama gue, kan? Maksud gue, masih suka, kan?” Danish membutuhkan validasi.

“Masih.” Dya mengangguk polos, Hamam tertawa.

“Mestinya lo seneng disuruh nginap di rumah cowok yang lo suka, Dya. Bisa nyari-nyari kesempatan. Gimana sih, masa gue yang mesti ngajarin lo nikung pacar orang?”

Dya memanyunkan bibir. Dibanding itu, Danish justru orang yang sangat dihindari saat malam hari. Mereka pernah terjebak, menginap di tempat Dinara dan yang Danish lakukan adalah merecokinya semalaman suntuk, tidak membiarkan Dya tidur dan beralasan menjaga Anya agar tidak berbuat mesum dengan pacarnya yang sedang berkunjung. Jadi menginap di kediaman Adiswara bagaimanapun keadaan mendesaknya akan jadi pilihan terakhir bagi Pramudya. Dia tidak mau.

“Gue mau pulang ke tempat Mas Arya.” Dya buka suara. “Mau kelonan sama Irya.”

“Dih, mentang-mentang ponakannya paling lengket sama dia,” omel Danish cemburu. Jelas cemburu karena Irya lebih suka pada Pramudya dan Pradnya dibanding Danish dengan Sayna. “Pulang sekarang tapi gue yang tetap pake jaketnya, ya? Lo basah-basahan aja.”

“Iya.”

“Heh, Nish! Lo gila?!” cecar Hamam yang tidak Danish pedulikan.

Keduanya keluar dari laundry dan membelah jalanan dengan hujan rintik-rintik yang tidak begitu lebat. Tapi dari spion Danish bisa melihat baju yang dikenakan Pramudya mulai basah terkena tetesan air hujan, dia juga tampak membiru kedinginan, maka Danish melajukan sepeda motornya pelan-pelan.

“Dya,” panggil Danish sampai merasakan helm gadis itu beradu dengan miliknya tanda dia mendengarkan. “Kita nggak bisa lama-lama jadi teman. Lo tahu kenapa?”

“Lo mau jadi suami gue?”

“Sialan.” Danish tertawa. “Bukan! Itu karena lo nggak ngasih gue saran yang baik sebagai teman.”

“Saran yang baik?” Gadis itu membeo.

“Iya, sebagai teman seharusnya lo negur gue yang bersikap nggak baik ke pacarnya Mama, bukan ngebiarin atau ngedukung tindakan gue yang nggak benar. Lo tipe orang yang terlalu buta karena perasaan suka, ya? Lo membenarkan semua yang gue lakukan, yang salah sama diri gue, demi bisa diterima. Contohnya pas gue keritingin rambut dan barusan, gue bersikap nggak sopan ke pacarnya Mama. Lo terima-terima aja.”

Dya diam saja. Embusan angin yang tidak kencang sama sekali itu membuatnya menggigil karena Jakarta baru saja diguyur hujan. Dalam diamnya mereka tanpa percakapan, Pramudya memikirkan banyak hal.

Kenapa Dya harus repot-repot mengingatkan Danish ketika dia sendiri tahu bahwa hal itu tidak benar? Danish jelas tahu sikapnya tercela, dia bukan anak SD kelas lima, Danish dewasa untuk tahu mana yang benar dan salah. Buat apa Dya menegurnya, kan? Buang-buang tenaga saja. Toh, setelah Danish menenangkan pikiran dan sedikit lega, dia juga tahu harus bersikap seperti apa.

Semua yang Dya lakukan dan dia katakan, tidak berhubungan dengan perasaan sukanya pada Danish.

Dia hanya suka, lalu apa? Memangnya orang yang suka harus bagaimana? Mereka saudara, mereka juga bisa jadi teman, kan? Kenapa Danish selalu menilainya tidak baik? Apa menyukai orang seperti Danish salah? Dia jelas berpotensi untuk disukai.

“Kalau itu Sayna, dia pasti bakal ceramah, kasih gue pandangan ala orang dewasa, kasih gue masukan, bimbing gue ke jalan yang benar. Itu kenapa gue bilang, kan? Pesona lo ketutup sama Sayna, dia itu cerdas dan hatinya baik. Gue merasa lebih baik setelah ketemu Sayna.”

Dya bingung harus menjawab apa, sepertinya tidak perlu menjawab apa-apa.

“Dya...” panggil Danish padanya. “Gue ngomong udah kayak apaan dan lo cuma diem aja?”

“Ah... semoga... lo bisa lebih baik lagi dan bahagia sama Sayna.”

Pramudya sialan. Kenapa itu terdengar seperti sindiran?

“Gue sama Sayna udah bahagia, nggak perlu didoain sampai sana.”

Tidak ada suara Pramudya yang menyahutinya.

“Sayna pasti bakal ingetin gue tentang gimana harusnya gue menyikapi hubungan baru Mama. Bahwa Mama, nggak akan bisa selamanya sendiri aja, Mama butuh teman buat hidup terlebih setelah nanti gue sama Sayna nikah. Dan... yah, Mama juga mungkin masih punya berahi yang perlu dituntaskan. Ini agak mirip sih sama kasus Mbak Dinara dan Mas Arya dulu. Sayna pasti bakal bilang gitu, dia bakal meyakinkan gue buat melakukan hal-hal yang benar.”

“Even lo ngerasa tersiksa ngejalaninya?” tanya Pramudya, yang membuat Danish menghentikan laju kendaraan dan menoleh menatap gadis bermata besar dengan jidat lebar itu.

“Gue udah pernah menjalani yang lebih parah, jadi pasti nggak apa-apa.”

“Sayna bahkan belum bilang apa-apa, Nish. Semua yang lo bilang itu dari kepala lo sendiri, lo udah tahu harus gimana tanpa gue kasih masukan apa-apa.”

“Itu gue jabarkan karena gue tahu seberapa pintar, baik dan kenalnya gue sama Sayna. Dia mungkin nggak akan ngomong sama persis kayak gitu, pasti lebih keren bahasanya.”

Dya diam saja, matanya menatap Danish lekat, bibirnya menahan getar karena dingin dari tetes-tetes kecil air hujan yang mulai membasahi sebagian besar pakaian.

Mungkin memang Sayna akan bilang begitu, persis yang Danish katakan, atau bahkan lebih keren lagi karena dia adalah gadis pintar yang membanggakan. Tapi semua berbeda andai Sayna pernah ada di posisi yang sama.

“Sayna ngomong begitu karena dia nggak tahu rasanya.” Pramudya berbisik pelan, dia harap Danish tidak mendengarnya. “Sayna nggak tahu rasanya, dia punya keluarga yang sempurna.”

“Lo juga, Dya.”

Pramudya menggelengkan kepala. Danish jelas tahu, orang yang dipanggilnya Ibu dan Bapak bukan miliknya yang sebenar-benarnya. Dia dan Anya bahkan tidak punya ibu kandung, wanita itu pergi ketika melahirkan mereka. Dan... kenapa hari kepergiannya harus dirayakan setiap tahun dengan dalih merayakan ulang tahun mereka berdua?

Apa tidak ada yang menyangka bahwa hari besar bagi seluruh keluarga Ranajaya itu sama dengan hari paling kehilangan bagi Pramudya dan Pradnya? Hari itu, dua puluh tahun yang lalu, ibu mereka meregang nyawa. Kenapa harus dirayakan dengan pesta?

“Sayna nggak tahu, gimana rasa anehnya saat orangtua kita menggantikan sayap yang lain untuk kembali bisa terbang.”

Ayah kandungnya sudah menikah lagi, sudah lama sekali, tapi Dya tidak pernah benar-benar merasa diterima. Itu sebabnya dia memilih tinggal dengan Ayudia Ranajaya, jadi adik angkat bagi Andra dan Arya.

“Kalau gue jadi Sayna, gue pasti akan jadi motivator yang sama kayak dia, Nish.”

Danish menyipitkan mata. “Nggak mungkin,” desahnya. “Sayna itu pinternya kebangetan, Dya. Lo nggak akan bisa nyamain dia. Lo pasti iri sama dia.”

“Nggak.” Pramudya menggelengkan kepala.

“Oh, lo pasti ngerasa beruntung karena dilahirkan di keluarga kaya raya dibanding Sayna, kan?”

“Bukan.” Dya tertawa pelan, bahkan dia tidak pernah punya pikiran ke sana. Memang apa bagusnya jadi kaya? Dia sudah bosan. “Gue nggak iri karena... gue bukan Sayna. Kalau dia matahari yang terang dan punya cahaya sendiri, gue memang cuma bulan. Nggak ada gunanya dibandingkan, matahari atau pun bulan bersinar saat waktunya tiba. Mereka indah di setiap kemunculannya.”

Danish tahu kalau Pramudya kuliah jurusan sastra, dia juga pernah membacakan puisi saat pernikahan Dinara dan Arya, tapi baru kali ini rasanya mendengar gadis itu bicara dengan analogi yang indah di telinga. Dan bukan hanya indah, itu juga menyadarkannya. Kadang saat tak sadar Danish sering membandingkan dirinya yang tidak seberapa ini dengan Sayna, dengan Arvin, dengan orang-orang hebat di sekitarnya. Danish lupa bahwa mereka terlahir dengan banyak hal yang berbeda. Tidak mungkin pencapaiannya sama.

“Ayo pulang,” ajak gadis itu padanya melihat Danish tidak mengoceh apa-apa. “Kita gangguin Bu Melia sama pacarnya.”

Danish tertawa, tapi ide itu bagus juga.

“Nish...”

“Hm?”

“Kita memang lebih sering terjebak di situasi yang nggak sesuai sama karakter kita, jadi kita harus banyak belajar dari sana. Gue nggak akan nyuruh lo sabar atau nerima hubungan Bu Melia sama pacarnya, lo tahu harus gimana.”

Senyum Danish tersungging. Dia dengan semangat memacu sepeda motornya ke rumah dan melupakan fakta bahwa Pramudya kedinginan setengah mati di belakangnya. Lalu begitu sampai, Danish buru-buru mengambil hadiah yang dibelinya Sabtu lalu di Bandung saat berbelanja. Sebuah gelang dengan inisial huruf D sangat cocok untuk tangan mungil Dya. Dia memang teman yang baik—meskipun aneh—dan begini cara Danish berterima kasih padanya.

“Bagus,” komentar gadis itu singkat begitu Danish selesai memakaikannya. “Gue juga butuh baju ganti.”

“Pakai ini.” Danish menyerahkan sebuah kantong di bagasi mobil, oleh-oleh Anya yang tak kunjung diberikannya pada Sayna. “Anya yang beli. Lo nggak boleh pinjam baju gue, semuanya wangi, gue nggak akan izinkan lo berfantasi dan ngayal lagi pelukan atau dikekepin sama gue.”

Dya meringis, heran pada imajinasi Danish.

“Dya, makasih, ya.” Pemuda itu tersenyum padanya. “Oh, iya tangan lo wangi. Pake handcream apa?”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Miss Antagonist    Ending Sayna

    Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit

  • Miss Antagonist    Harta, Takhta dan Duda Muda

    “Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung

  • Miss Antagonist    Arunika Yang Baru

    “Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar

  • Miss Antagonist    Memulai Hidup Baru

    Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m

  • Miss Antagonist    Zona Aman

    Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu

  • Miss Antagonist    Berhubungan Badan

    “Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga

  • Miss Antagonist    Pesta Perpisahan

    “Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a

  • Miss Antagonist    Memulai Hubungan Baru

    Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I

  • Miss Antagonist    Berjumpa Arunika

    “Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status