“SAYNA!”
Danish menggaungkan nama itu ketika tali yang menggantung tubuhnya sendiri membawa dia melesat jauh ke ujung pemberhentian. Kecepatannya menggila saat jarak semakin dekat, bergelantungan di ketinggian 15 meter di atas tanah dengan kecepatan 80 kilometer/jam dan hanya menggantungkan keselamatan pada seutas tali, tentu memacu adrenalin sekali.
Dia perlu melakukan itu, untuk menyembuhkan diri. Lalu bersiap menemui Sayna lagi.
“Norak banget, Danish!” Pradnya langsung mencibirnya saat Danish tiba di pemberhentian, turun dan melepas pengait di bagian belakang. Naik salah satu flying fox tertinggi di Indonesia memang menyenangkan.
“Uuuu...” Hamam menyusul dengan sorakan bahagia yang serupa, lalu muncul Pramudya tak lama setelahnya.
Mereka berempat jalan-jalan ke puncak selama Hamam dapat jatah libur dan untuk merayakan Danish yang akan segera kembali pada rutinitasnya ke Bandung tiap minggu.
“Danish teriakin nama Sayna kenceng banget, gue yang jauh aja sampe pengang.” Hamam protes, tapi bibirnya melengkungkan senyuman lega, sama dengan tiga orang lainnya.
“Kedengaran ya, Mas?”
“Iya,” jawab Hamam. “Dya nggak dengar memangnya?”
“Nggak, aku paling belakang.”
“Mas Hamam, ayo!” Pradnya menarik tangan Hamam antusias, bersiap turun dari sana untuk menikmati wahana lainnya. “Tangkap aku, Mas!” seru gadis itu saat Hamam sudah sampai di bawah dan melempar tubuhnya jatuh untuk disambut oleh pemuda itu. Kemudian mereka tertawa sama-sama, Hamam hampir jatuh terjengkang ke belakang saat menangkap Anya.
“Yah, Mas Hamam....” keluh Dya pelan, kehilangan kesempatan berdekatan dan main dengan Hamam.
“Ayo, Dya!” Danish turun setelahnya, mengulurkan tangan pada Pramudya agar gadis itu terbantu juga. “Lo mau mepetin Hamam juga?” Danish bertanya dengan nada sinis. “Kayak cewek-cewek kekurangan belaian lo berdua,” sindirnya.
Pramudya mau tidak mau menerima uluran tangan Danish, yang berakhir membuat pemuda itu jengkel dan mengangkatnya turun paksa dengan menyelipkan dua tangan di ketiak. Seperti memindahkan anak PAUD yang tidak bisa melangkahi selokan.
“Gue kangen sama Mas Hamam.” Dua bulan mereka hanya saling berkirim pesan. “Gue juga janji mau jalan-jalan sama dia.”
“Kan ini udah.”
“Dia dimonopoli sama Anya,” keluh Dya lemah. Pun dia tidak bisa merongrong pada adiknya, Pramudya terbiasa mengalah.
“Si Hamam pasti berasa jadi Cassanova.”
“Nish, jangan kayak yang cemburu gitu deh.”
“Eh, mohon maaf ya, enggak!”
Dya mencibir pemuda itu, jelas sekali kalau Danish iri pada Hamam. Lihat saja kelakuannya dan cara dia bicara. “Gimana? Udah lega?”
Danish kembali mengingat apa tujuan awalnya berada di sini, datang ke tempat ini, untuk merefresh pikiran, menyiapkan amunisi. Dia dan Sayna akan segera kembali.
“Udah,” cengirnya bahagia. Dua bulan cukup lama untuk mengambil jeda, untuk membuat akal sehatnya kembali bekerja. “Masa lo nggak denger suara gue tadi?”
“Nggak.” Dya menggelengkan kepala. “Gue pernah bilang gini ke Sayna. Lo nggak akan pernah nemu orang yang 100% cocok sama lo, pasti ada toleransi buat semuanya, semua orang yang hadir ke hidup kita. Tinggal kitanya aja yang mau nerima mereka atau enggak.”
“Maksudnya apa?”
Danish dan Dya sampai di pondokan tempat Hamam dan Anya menunggu. Sudah ada minuman dingin terhidang serta air mineral di atas mejanya.
“Maksudnya, kalau Sayna baik buat lo, dia akan melihat jauh ke dalam dan mencintai lo sebagai manusia.” Anya yang menyahutnya. “Dia nggak akan berusaha mengubah lo, menjauhkan lo dari hal yang lo suka, yang udah lo miliki sejak lama atau baru aja, dan dari hal yang udah lo bangun susah payah.”
Cinta yang baik adalah menerima dengan sederhana.
“Menurut gue nggak gitu.” Danish memberi penyangkalan. “Toleransi itu boleh ada, tapi gue sama Sayna berkompromi lagi biar kami makin sehati.”
Pradnya memutar matanya dan memberi reaksi jijik atas kalimat barusan.
“Danish dulu itu nakal tahu, berandalan, sejak pacaran sama Sayna dia jadi baik, Anya. Jadi memang ada baiknya mereka bersama.”
Danish membenarkan pernyataan Hamam, toh dia dan Sayna juga masih saling sayang, saling suka, saling rindu. Kenapa Anya sensi sekali sepertinya? Dia tidak senang mendengar Danish akan membuka lembaran baru dengan Sayna, lembaran kedua.
“Senyamannya Danish aja.” Dya juga ikut menambahkan. Memang terlihat jelas kalau Dya – Hamam ada di kapalnya, berseberangan dengan Anya.
“Pramudya anak sastra pernah bilang gini ke ghue,” Anya menginterupsi mereka semua. “Awal dari cinta itu membiarkan orang yang kita cintai mencintai dirinya sendiri secara utuh, bukan mengatur, mangubah, meminta mereka jadi apa yang kita mau, apa yang kita suka. Itu bukan cinta, orang itu cuma suka sama refleksi dirinya sendiri yang dia tanamkan ke pasangannya.”
Danish mendadak tertegun, sementara sumber segala kalimat wejangan itu—Pramudya, menatapnya dengan sorot yang susah diterjemahkan. Entah kenapa itu agak menampar, walau sedikit. Dan yang paling Danish ingat adalah ketika dia mengubah gaya rambutnya, Sayna tidak suka, ketika Danish memakai waistbag sebagai tren tas kekinian, Sayna melarang. Hal-hal kecil memang, tapi itu cukup membuatnya merasa dibatasi dalam mencoba sesuatu yang baru dan menantang.
Namun tentu saja Sayna melakukannya bukan tanpa alasan, itu semua demi kebaikan. Danish adalah pacar seorang mahasiswa kedokteran, imejnya harus baik, agar Sayna tidak malu menggandengnya ke mana-mana.
Ah, Pradnya mengada-ada saja.
“Nish, kalau lo balik lagi kali ini, harus ada yang dievaluasi.” Hamam juga berani angkat bicara, mumpung di luar jam kerja dan Danish bukan bosnya. “Yang ganjel di kepala lo, keluarin aja, bilang ke Sayna.”
Danish mengangguk. “Iya.”
“Kayak ngelarang-larang lo main sama kita,” potong Anya, dia menyeruput es kelapa muda milik Dya. “Itu nggak etis, Nish, lo mana bisa nggak temenan sama ghue dan Dya? Kita ini saudara, kakak lo sama kakak gue menikah.”
“Iya.” Untuk kedua kalinya, Danish menganggukkan kepala. Kembali pada Sayna, bukan berarti memulai semuanya dari awal, mereka akan memulainya dari pengalaman. Menghindari hal-hal buruk yang pernah terjadi.
“Jadi Danish yang baik untuk selalu bisa memaafkan, tapi jangan sampai bodoh ya, Nish? Kasus lo sama Sayna nggak sederhana, jangan gampang percaya lagi.”
Ah, mengenai hal itu. Danish memikirkannya cukup lama. Tentang apa yang harus dilakukannya, bagaimana Giovanni harus diatasi, tapi dia ingat jika Sayna pasti tidak akan suka karena tindakan Danish sedikit banyak mempengaruhi kehidupan kampusnya. Rencananya dia ingin mengusut tuntas kasus ini, agar mereka sama-sama lega, tapi jika berdampak buruk pada Sayna, sepertinya memang lebih baik tidak melakukan apa-apa.
Sayna bilang, Danish sudah merusaknya, dan itu benar. Dia tidak mau merusak gadis itu, kehidupannya, terutama kuliahnya lebih dari yang pernah dia lakukan.
“Eh, sebentar deh. Ini Dya yang baju hitam, ya?” tanya Hamam tiba-tiba, menunjuk Anya yang duduk persis di sebelahnya.
“Dya yang baju putih, Mas.”
“Oh, kirain yang hitam!” seru Hamam. “Ternyata benar, ya. Cinta bikin orang jadi buta, kirain dari tadi aku jalan sama Dya, eh, ternyata malah sama Anya.”
“Kok Mas Hamam gitu sih?”
Mereka semua tertawa. Hamam telah melalui patah hatinya oleh Anya sejak gadis itu mendeklarasikan bahwa dia sebentar lagi akan secara resmi bertunangan. Jadi jelas, Dya adalah harapan Hamam satu-satunya untuk dipepet sampai dapat.
“Dya kok belum punya pacar yang serius buat diajak berdiskusi ke pelaminan, sih? Nungguin aku, ya? Sengaja?”
Pramudya terkikik, dia selalu suka cara Hamam mengajaknya bercanda. “Belum ada yang pas, Mas.”
“Gumelar?” tanya Danish, teringat pacar-pacar peliharaan Pramudya, tapi hanya mengetahui salah satunya.
“Dia nggak cukup kaya buat jadi menantu di Ranajaya.”
Hamam tersedak napasnya sendiri, sementara Danish lebih suka mengamankan diri. Dya terlihat tidak nyaman, tapi Anya memang senang berterus terang, tentu saja kalimatnya barusan benar-benar menampar Hamam dengan telak.
“Kenapa lo macarin cowok yang kurang kaya, Dya?” Danish penasaran, juga merasa perlu mengorek sesuatu dan menyuarakan pertanyaan Hamam.
“Nggak pacaran, cuma kencan. Mas Gum suka sama Dya sejak SMP lho, ya diladenin aja. Lagian dia itu anaknya kepala cabang salah satu bank swasta di Indonesia, sebenarnya bukan kurang kaya, cuma aset keluarganya nggak cukup buat meminang salah satu dari kami berdua.”
Hari ini Pradnya sepertinya bertransformasi jadi juru bicara Pramudya.
Untuk kedua kalinya, Anya membuat Hamam seakan tenggelam—ingin menenggelamkan diri lebih tepatnya. Hamam dan Dya benar-benar tidak punya kesempatan.
“Maaf ya, Mas Hamam.” Kelebihannya, Anya juga cukup peka. “Dya sama aku itu seneng lho sama Mas Hamam, suka malah. Tapi kita cuma bisa berteman. Sebagai gantinya, nanti aku ajakin Mas Hamam keliling dunia sebelum aku nikah. Mau, kan?”
“Nggak perlu, Anya.” Hamam menggelengkan kepala. “Aku cukup muterin Dya kalau mau keliling dunia, Dya kan duniaku sekarang.”
Gadis kembar itu tertawa, mereka silau akan pesona Hamam, sayangnya kekurangan materi tidak bisa membuat salah satu dari mereka bersama selamanya. Keempatnya menghabiskan makan siang ala tempat rekreasi yang sebenarnya biasa saja tapi dibanderol harga cukup tinggi, maklum ini puncak di akhir pekan.
Lalu sementara Pradnya dan Pramudya tengah membersihkan diri ke toilet, Hamam duduk bergeser ke dekat Danish. Matanya menatap kosong ke hamparan bukit hijau dan gunung di sekitar situ.
“Nish, kok bisa ya mereka udah punya pacar tapi mepetin gue kayak yang bener-bener sukaaaa banget. Bikin salah paham aja.”
Danish hanya mengangkat bahu. Dia juga perlu mengonfirmasi pada Dya, apa maksud dari rasa suka gadis itu padanya. Karena pada Hamam pun mereka mengaku suka.
“Kayaknya darah fuck girl mengalir deras di tubuh mereka, Mam. Yang sabar, ya. Lo cuma selingan, bukan buat dijadiin pasangan.”
Hamam mengangguk pelan. “Kapan hari gue dikenalin cewek sama Herdian.” Pemuda itu menyodorkan ponselnya pada Danish. “Cantik sih, putih, glowing, ramah pula. Sayang 1 jam 300 ribu.”
“Hah?”
“Open BO dia.”
Danish tertawa, tidak jadi melihat foto di ponsel yang Hamam sodorkan. Ternyata gadis yang akan dia kencani seorang cabe-cabean.
“Tadi kata pengunjung lain kita harus hati-hati, ada ular kobra di sekitaran sini. Tapi gue nggak tahu itu cuma gosip atau betulan, cuma ya hati-hati aja. Bisanya mematikan, digigit sekali lo cuma punya waktu 1 jam.”
Topik obrolan mereka cepat sekali berpindah.
“Kalau gitu gigit aja sekali lagi biar waktunya nambah jadi 2 jam, kan?” tanya Danish polos.
“Lah dikira lo bayar sewa warnet apa?!” Hamam emosi, tapi kemudian dia ingat tujuan mereka datang ke sini. “Enakan, kan? Lo tuh harusnya pas lagi berak sama Sayna kayak gini, Nish. Liburan, jalan-jalan, menyenangkan diri sendiri, berbahagia, bukan ngerem mulu di kamar dua bulan dan ngegalau sana-sini kayak nggak ada kerjaan.” Hamam dan omelannya memanglah epic.
“Iya.” Danish tersenyum simpul, malas mengoreksi Hamam yang terus-terusan mengatakan soal berak tentang hubungannya. Pergi berwisata seperti ini membuat pikiran jauh lebih terbuka, ditambah teman-teman yang tepat siap menjadi support system Danish kapan saja. “Gue tadinya cuma ngerasa nggak enak aja, sementara gue sibuk healing sana-sini, nyari hiburan, Sayna sendirian, kesepian. Nggak enak aja, gue biasanya apa-apa sama dia.”
“Lo baik banget sih anjir! Jadi homo aja, yuk! Biar gue pacarin.”
“Tai!”
Hamam terkekeh, matanya langsung berbinar saat kembali melihat Pradnya dan Pramudya berjalan ke pondokan mereka. Dua gadis itu berambut lurus agak kecokelatan. Kulitnya putih bersih tanpa noda, wajah mereka mungil seperti boneka, hidungnya mancung, dagunya lancip, jidat Dya lebih lebar dari Anya, tapi itu justru poin plus-nya. Beda dengan Sayna yang lebih senang menutupi jidat lebarnya, Pramudya justru memamerkan jidat ke mana-mana. Jidatnya luas seperti lapangan bola, tapi bening, bercahaya, seperti gambaran masa depan Hamam dengan Dya nantinya.
“Main arung jeram, yuk!” ajak Pradnya, gadis itu tidak ada capeknya.
“Arusnya lagi nggak bagus,” balas Danish. “Gue udah tanya tadi.”
“Bagus buat orang yang mau bunuh diri.” Dya menimpali.
“Dipersilakan, Nish.” Anya bercanda yang hanya dibalas Danish dengan delikan matanya.
“Kalau kita bawa Danish ke sini dua bulan yang lalu, dia pasti benar-benar mau bunuh diri, tapi sekarang enggak sih, dia udah siap balikan sama Sayna lagi.”
Dya mengangguk setuju pada pendapat Hamam itu. “Kalau Danish mau bunuh diri, jangan dibiarin.”
“Kenapa?” tanya dua yang lain.
“Curang banget mau ninggalin dunia yang fana ini secara instan. Sportif dong, memang cuma dia yang hidupnya berat dan banyak ujian?”
“Lah, dikira kenapa.” Hamam tertawa. “Dya lucu banget sih! Kamu tahu nggak perumpamaan ini? Aku terlukis fana namun juga tabu, kita bagaikan dua ayam goreng rasa Arabian kebab, abstrak tak berbentuk, namun aku suka padamu tak peduli apa pun itu.”
Butuh waktu untuk mencerna ucapan Hamam yang dia peragakan ala orang membaca puisi untuk lomba 17 Agustusan. Sampai akhirnya Dya tertawa riang dan mencubit gemas pipi Hamam, terlihat sangat senang.
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga