Share

Quality Time 2

Danish melamun saat mengingat kembali percakapannya dengan Sayna tadi malam. Aneh sekali rasanya mendengar gadis itu bicara begitu. Meminta yang tidak-tidak, seolah dia akan melakukan sesuatu. Semoga saja tidak, semoga itu hanya perasaannya.

“Gue tahu kok, kalau gue egois banget selama ini. Maaf, ya? Mulai sekarang kita main adil, lo juga bisa berlaku sama ke gue, Nish. Maaf karena gue terlalu mencekik lo selama ini.”

Berlaku adil itu, bagaimana? Danish tidak punya orang yang membuatnya bergantung seperti Gio pada Sayna. Dan dia memakai istilah mencekik, bukan lagi mengekang atau mengukung. Sayna menyadari bagaimana kerasnya hubungan dan peraturan mereka selama ini. Dia bilang, ajaib sekali Danish bisa bertahan selama itu. Dia pasti tidak tahu sebesar apa Danish menyukainya.

Lalu maksud Sayna itu apa?

Kalau Sayna mau Danish memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan Danish selama ini, sudah pasti hubungan mereka tidak akan bertahan lama. Sayna akan membencinya. Yang dilakukan gadis itu padanya selama ini, agak semena-mena.

“Mas!”

Danish terkesiap ketika suara itu menyentak dan membuyarkan fokusnya. Dia buru-buru maju dengan troli berisi stiker kaca yang sengaja dibeli untuk menutup jendela kaca kecil di kamar mandi kos Sayna. Gadis itu bilang selalu ada cicak di sana, setiap malam, di jam yang sama, cicak yang sama, dan pemandangan itu amat mengganggunya. Satu fakta yang baru ditemukan sejak Sayna tinggal di Bandung sendirian adalah.... dia benci sekali pada cicak.

Jadi hari ini setelah mereka keluar dari hotel, Sayna berganti pakaian ke kosan lalu ke kampus sementara Danish mengurus hal-hal yang luput dari kemampuan gadis itu. Menempelkan stiker kaca bukan keahliannya, maka Danish pergi ke ACE Hardware saat kekasihnya ke kampus.

“Cash atau debit, Mas?”

“Debit aja.” Danish membuka dompet dan menemukan kartu merah terbaru milik Pramudya di sana, menyelip di antara jajaran kartu-kartu pembayaran miliknya. Penasaran sekali berapa isi kartu yang satu ini karena gadis itu punya uang yang banyak.

Lalu apa yang terjadi padanya setelah kemarin Danish turunkan di pinggir jalan, ya? Pramudya tidak mengabarinya lagi, tidak ada pesan seperti biasa, gadis itu tidak mengirimkan lokasi terakhir. Ke mana dia kira-kira? Apa dia pingsan lagi di pesawat saat pulang ke Surabaya?

“Anya...”

“Hm?” Suara orang mengantuk itu terdengar kentara. “Apa, Nish? Kangen ghue?”

Danish terkikik geli, tidak bisa dipungkiri bahwa dia rindu kembaran Pramudya itu. Anya yang jarang ke Jakarta membuat logat medoknya masih kental di telinga, Dya sudah lebih mahir dibanding kembarannya.

“Dya ada?”

“Nggak tahu,” jawab gadis itu cepat. “Ghue kan nggak di rumah toh, ini weekend, Nish! Dya paling ke Jakarta, kan? Kemarin ketemu?”

“Ketemu,” jawab Danish pelan. Tapi Dya tidak mengabarinya lagi setelah ditinggalkan. Ke mana gadis itu kira-kira? Padahal Danish ingin berterima kasih andai kemarin tidak mendapat telepon dari Sayna.

“Yowes, tak telepon lho ya, nanti ghue kabari lagi kalau udah tahu posisi Dya di mana.”

“Hm.”

Pradnya tahu kalau Danish dengan Dya tidak berkomunikasi via pesan ala manusia kebanyakan. Kalau diperhatikan, kolom percakapan mereka hanya berisi lokasi-lokasi yang disematkan dari minggu ke minggu, tidak pernah ada percakapan. Danish pun tidak pernah mengajak Pramudya bicara duluan, dia enggan.

“Oleh-oleh ghue buat Sayna udah dikasihin belum, Nish?”

Oh iya, Danish lupa. Itu masih ada di bagasi mobilnya. “Hari ini gue kasih,” ucapnya. “Thanks, Anya.”

“Beuh, kurang apa coba ghue sebagai istri pertama, Nish? Beliin baju kapel buat suami sama pacarnya.”

Danish tertawa, Anya juga sama uniknya, sering mengaku sebagai istri pertama dan memberi Danish banyak sekali hadiah atau belanjaan. Padahal dia punya pacar, dan setahu Danish pacarnya cuma satu, beda dengan Pramudya.

“Tapi itu beneran lo beliin, kan? Buat gue sama Sayna?”

“Oh, ya juelas! Buat siapa toh kalau bukan buat sampean berdua? Mosok ya buat lo sama Dya, kan nggak mungkin.”

Lagi-lagi Danish terkikik, maksudnya bukan begitu, Danish kira Anya tidak sengaja membeli dua baju yang sama karena ada embel-embel beli satu gratis satu di Eropa sana. Tapi... tidak mungkin sih, dia bukan orang yang perhitungan.

Setelah iseng mengecek saldo dari kartu yang Dya tinggalkan—yang ada sembilan nol di belakangnya, Danish melipir ke toko perhiasan untuk melihat-lihat. Dia mungkin bisa memberi gadis itu sesuatu sebagai kompensasi karena diperlakukan seenaknya akhir-akhir ini. Ya, meskipun sejak dulu Danish juga begitu, Dya sudah mengerti. Tapi mumpung di sini, mumpung Danish ingat, dia akan membelinya.

Pilihan Danish jatuh pada sebuah gelang dengan tali yang tipis berwarna putih dan memiliki bandul inisial D sebagai pemanis. Dia asal ambil sebenarnya, karena terlalu lama di toko perhiasan membuat matanya silau, lagi pula tidak perlu yang bagus, ini bukan hadiah untuk Sayna. Kalau untuk pacarnya, Danish akan persiapkan yang terbaik, di tempat terbaik, bukan asal beli seperti sekarang.

“Udah beli stikernya?” tanya Sayna riang begitu mereka bertemu di depan gedung fakultas kedokteran. Danish mengangguk, lalu meminta pacarnya masuk. “Yang gambar apa?”

“Gambar bunga pokoknya.” Danish segera melajukan mobil meski jarak kosan Sayna dengan kampusnya tidak seberapa. “Kita pasang dulu baru habis itu jalan ke Lembang, ya? Cucian sama setrikaan udah dibawa ke laundry semua, besok diantar kayaknya.”

“Kemeja gue yang warna biru itu dibawa juga? Seragam tiap Senin itu.” Alis Sayna berkerut khawatir, kalau tidak keburu, bagaimana?

“Oh, yang itu gue uap sendiri tadi, digantung dalam lemari.”

“Uh, makasih, Danish!”

Sayna bahagia, kelihatan sekali. Dia menghadiahi kekasihnya ciuman bertubi, tak peduli mereka masih berkendara. Sebagai anak dari pemilik sekaligus yang menjalankan usaha laundry, Danish jelas mahir melakukan pekerjaan itu. Tentunya beberapa cabang Melia Laundry ada di sekitar sini, tempat Sayna bisa membersihkan pakaian tanpa harus membayarnya. Punya pacar seperti Danish benar-benar anugerah terindah.

Orang bilang, pemuda tampan akan kalah dengan yang humoris. Tapi mungkin mereka tetap akan lebih memilih Aliando dibanding Sule. Namun milik Sayna berbeda, Danish adalah semuanya, dia paket lengkap. Ganteng, humoris dan kaya. Kurang beruntung apa Sayna?

“Eh, Mbak Dinara mau ulang tahun, ya?”

Danish mengernyit bingung ketika mendapati Sayna menemukan gelang yang baru dibelinya untuk Dya. Bandul huruf itu memang sama persis dengan inisial sang kakak.

“Gue belum nyiapin kado,” sambung gadis itu sambil menyimpan kembali gelangnya, padahal Danish belum bilang apa-apa. “Bagusnya kasih apa ya, Nish? Gue suka minder sendiri mau beliin dia hadiah, secara kan Mbak Dinar istrinya sultan.”

Danish terkekeh pelan. “Nggak usah beliin hadiah yang mahal-mahal, dia kan bisa beli sendiri, kasih yang spesial aja, yang nggak kepikiran bakal dia beli.”

Sayna mengangguk setuju. Barang mahal tentu mampu dibeli oleh Dinara sendiri, jadi dia harus menyiapkan yang lain. Danish saja membeli gelang sederhana dengan harga tidak seberapa untuk kakaknya, jadi Sayna tidak perlu memberi macam-macam. 

“Uh, biar tahu rasa tuh cicak ganjen!” Sayna berkacak pinggang di belakang Danish yang sibuk menempelkan stiker kaca jendela kamar mandi. “Lo tahu nggak, Nish? Cicak itu ya perawakannya gendut, gede, warna hitam, kayak cicak om-om gitu. Ih, gue geli banget pokoknya, sampai di tahap kesel deh sama cicak ini.”

Danish tertawa kecil, perutnya geli tapi saat ini dia harus konsentrasi. Awal mula Sayna benci sekali pada cicak adalah ketika dia akan sarapan pagi namun melihat hewan itu terkapar di dalam rice cooker-nya. Dia panik, mual dan geli hingga harus ganti rice cooker karena kejadian serupa sudah terjadi dua kali. Salah Sayna sih, dia lupa menutup rice cooker seusai makan malam.

Dan selanjutnya...

“Nih, ya cicak itu selalu ada di sana tiap gue kebangun malam dan pengen pipis. Cicak yang sama, Nish, lo bayangin aja! Pas gue buka pintu, dia pasti ada di situ, kayak sengaja banget nungguin gue muncul, nontonin gue pipis, dasar cicak mesum!”

Sayna masih mengoceh. Anehnya memang, cicak itu datang saat malam saja, siang bolong begini dia tidak ada. Padahal kan Danish ingin silaturahmi dengan om cicak yang kurang ajar mengintip terus di kamar mandi kekasihnya. Dia rindu baku hantam.

“Nah, sekarang kacanya udah ditutup, Om Cicak nggak akan ngintipin lo pipis lagi deh, Say.”

“Semoga aja,” gumam Sayna penuh dendam. Jendela kecil di kamar mandinya sudah tertutup rapat oleh stiker kaca bergambar bunga. Cicak itu pasti tidak akan bisa melihat ke dalam. “Coba kita lihat nanti ya, kalau masih ada juga gue harus gimana?”

Danish tertawa. Itu hanya cicak, padahal Giovanni lebih mengganggu mereka, kenapa Sayna tidak kepikiran untuk menyingkirkannya? Cicak bahkan tidak menggigit manusia, harusnya Sayna tidak apa-apa.

“Nish, gimana?” tanya gadis itu dengan wajah khawatirnya. “Panggilin pengusir cicak, ya?”

“Iya.”

“Nish, jangan iya-iya aja!”

“Ya ampun, iya, Sayang... iya!” Pemuda itu bergerak mendekat dan mencubit hidung kekasihnya gemas. “Bawel banget kayak emak-emak.”

“Gue kayak emak-emak?” tanya Sayna tak terima.

“Iya, emak dari anak-anak gue kelak, hehe.”

“Ih, Danish!”

Sayna tertawa dengan hidung dan pipi memerah, terlihat kesal namun lebih tampak bahagia dibanding itu. Dia mengalungkan tangan di leher kekasihnya, lalu berjalan ke luar dan berakhir di tempat tidur. Mereka saling bertatap dan tersenyum, debar-debar itu jelas sekali di meski tidak terdengar di telinga. Sayna hanya... merasakannya, saat tubuh mereka merapat dan Danish mendekapnya erat.

Debar yang menyenangkan, dan tatapan Danish yang memuja sekaligus ingin menelannya hidup-hidup, bersatu padu, membaur, direfleksikan oleh lengkungan di bibir indahnya. Sayna maju dan mencuri ciuman dari pemuda itu, tidak di bibir yang tengah menyunggingkan senyum, namun di tanda coklat tepat di bawahnya. Dia sangat menyukai bagian itu, titik menggemaskan milik kekasihnya.

“I love you,” bisik gadis itu.

“I love you more, Sayna.” Danish membalas ujaran penuh cinta dari kekasihnya. “Cinta gue jauh lebih banyak, lo pasti tahu itu.”

Sayna mengangguk. Dia tahu.

Bagaimana Danish membuktikannya? Dia sudah melakukan berbagai cara. Danish mencintainya sebesar yang tidak pernah Sayna tahu, mungkin dirinya pun tidak mencintai Danish sebanyak itu. Tapi Danish berbeda, Danish bukan pemuda biasa yang hanya menyukainya, Danish mencintainya.

“Sayna, katanya kalau mau seseorang jatuh cinta, dia harus bisa bikin orang itu ketawa. Tapi gue nggak bisa, setiap kali lihat lo senyum dan ketawa, malah gue yang makin tergila-gila.”

Sayna melebarkan kedua sudut bibir, sepertinya mereka akan segera masuk ke ronde ketiga.

Eh, atau kelima?

****

Malam itu menjadi malam yang panjang dan penuh gelora karena Danish dan Sayna terjaga hingga pukul dua. Mereka menyatu, menghentak, meracaukan nama satu sama lain dan memecah hening di udara yang dingin milik Lembang. Yang paling penting adalah, kebahagiaan ada di sana, membuncah dari hati keduanya. Sayna dan Danish bahagia.

Hingga pelepasan hebat didapatkan, keduanya terpejam menahan erangan di ujung tenggorokan. Danish mendongakkan kepala, akhirnya berhasil juga setelah percobaan yang kesekian kali dihitung sejak kemarin malam. Satu klep cairan kehidupan itu berhasil didapatkan, Sayna tersenyum senang, dia mengusap wajah kekasihnya penuh dengan perasaan bangga.

Danish sudah bekerja keras, melakukannya susah payah, memaksakan diri meski kesulitan pada awalnya.

“Makasih, Sayang...” Sayna mengecup bibir menggemaskan milik kekasihnya. Memberi hadiah, padahal dia tidak begitu gemar beradu bibir dan saling membungkam. “Gue nggak tahu harus ngasih apa lagi buat imbalan kali ini.”

Sayna sudah memberi semuanya, semoga Danish percaya.

“Lo... jadi milik gue, sepenuhnya, seutuhnya...” tanpa ada Gio di dalamnya. Tapi itu hanya terucap dalam kepala. “Udah cukup, Sayna.”

“Danish...” Sayna melenguh pelan saat pemuda itu bergerilya di sekitar perpotongan lehernya, menghirup aroma di ceruk itu dengan bibir menyapu lembab kulitnya. Sayna merinding hebat. “Jagoan banget anak Mama Melia.”

“Itu barusan pujian, kan?” sahut Danish cepat.

“Pujian lah, bisa bikin anak orang lemes gini kan prestasi, Nish.”

Danish menyipit, itu sindiran untuknya. “Sayna, kalau lo segitu takutnya, ayo kita balik ke Jakarta sekarang dan daftar ke KUA. Gue nggak akan ke mana-mana.”

Sayna tahu, dia hanya senang menggoda kekasihnya. “Jangan udik deh. Nggak hamil juga ngapain buru-buru nikah? Gue masih pengen kuliah.”

“Gue tanggung biaya kuliahnya.” Danish berbisik di telinga Sayna. “Gue tahu konsekuensinya, Say, jadi ayo—”

Jemari gadis itu menahan kata. “Lo tahu, bukan cuma kita yang begini di luar sana. Jadi nggak usah terlalu jauh mikirnya, visioner boleh, tapi prakteknya nanti aja.” Danish memanyunkan bibir. “Yang jelas, gue nggak suka kalau Tante Melia jadi mertuanya orang lain, paham, kan?”

Danish langsung tersenyum dengan hidung berkerut menggemaskan. Tubuh polosnya berotot, menggiurkan, tapi wajahnya kekanakan, perpaduan yang mematikan. “Imut banget sih.” Sayna bergumam pelan. “Gue sering disangkain lebih tua.”

“Nggak lah, Say, yang bilang lo lebih tua itu matanya buta.” Danish tidak mengerti kenapa dirinya sering disangka lebih muda dari usia sebenarnya. “Lo tahu yang paling imut itu siapa?”

“Ponakan lo? Anaknya Mbak Dinar?”

“Bukan.” Danish menggeleng pelan, kendati Irya—keponakannya, tampan tidak berakhlak, semena-mena. “Yang paling imut itu, anak-anak kita kelak. Hehe.”

“Apaan sih gombalnya?” Suara tawa memecah heningnya udara. “Eh, Nish ada telepon.” Sayna sigap mengambil ponsel kekasihnya yang menyala dan menampilkan nama sang kakak sebagai pemanggil.

“Mbak?” tanya Danish heran. Ada apa kakaknya menelepon malam-malam?

“Kamu di mana?” tanya Dinara cepat. “Lagi di Bandung? Main sama Sayna?”

“Iya.”

“Sayna bareng kamu sekarang?”

Danish melirik gadisnya yang menutup bagian atas tubuh dengan selimut tebal. “Nggak lah, ngapain aku bareng Sayna jam segini? Ada-ada aja.” Berbohong masih cara paling aman untuk menghindari omelan kakaknya. “Ada apa?”

“Kamu lihat Dya? Dya nggak ada. Anya dari siang teleponin nomornya Dya tapi nggak ada tanggapan, terus barusan nanya ke Mas Arya, barangkali nginap di apartemen tapi di sini nggak ada. Mas Arya baru keluar nyariin Dya ke hotel. Kamu minggu ini ketemu Dya, kan?”

“Ada,” jawab Danish pelan. “Tapi nggak lama, kita pisah di jalan, aku langsung ke Bandung soalnya.”

“Jalan mana?”

Danish berdeham, dia takut mengakui bahwa dirinya menurunkan Pramudya di pinggir jalan. “Di depan kafe Anyelir, Kebayoran.” Dia berbohong, sengaja.

“Itu nggak jauh. Nggak mungkin Dya kesasar.” Suara Dinara terdengar gusar. “Kalau sampai besok nggak ketemu kita lapor polisi, Nish. Kamu yang terakhir kali interaksi sama Dya harus siap jadi saksi. Sekarang tidur, besok pulang pagi-pagi, Bu Ayudia mau ke sini, pasti bakal ada interogasi.”

Sayna bisa melihat raut wajah Danish langsung berubah. Ingat percakapannya Jumat siang di telepon bahwa pemuda itu memang akan menemui Pramudya untuk mengerjakan tugas, tapi seingatnya pun tidak lama. Danish langsung berangkat ke Bandung ketika Sayna menghubunginya lagi saat mengetahui dosen tidak hadir.

“Nish...”

“Gue turunin dia di jalan pas dapat telepon kalau dosen lo nggak datang.” Danish segera menjawab tanpa menunggu Sayna bertanya. “Tapi ini lebay banget sampai dicariin kayak nyari bocah kecil hilang. Pramudya bahkan makan kue coklat aja ke Austria, baru nggak bisa dihubungi sehari semalem aja pada heboh amat. Heran.”

Sayna mengernyit heran. “Kenapa lo turunin dia di pinggir jalan?” tanyanya. “Kalian berantem? Dya ngomong apa sampai lo kesel dan nurunin dia?”

“Nggak ngomong apa-apa kok.” Seingatnya bahkan mereka tertawa setelah membahas Danish yang pakai baju koko dan memancing berahi Sayna. Dya 100% terlihat baik-baik saja. “Gue turunin dia karena hotel Bapaknya udah deket, gue dapat telepon dari lo harus ke Bandung sekarang, tol di belakang, Say. Jadi gue turunin Dya dan puter balik aja.”

Ini terdengar jahat sebenarnya, tapi entah kenapa Sayna ingin tertawa kendati dia tahu bahwa posisi Pramudya sangat tidak bisa ditertawakan. Empatinya sebagai sesama manusia—seorang wanita, hilang entah ke mana. Tapi wajah polos Danish saat mengutarakan alasannya benar-benar mambuat Sayna berbunga-bunga.

Danish melakukan hal sejauh itu hanya demi dirinya, memperjuangkannya. Dan Sayna bahagia.

“Nish,” panggilnya sambil mengusap wajah pemuda itu. “Lain kali jangan, ya? Jangan begitu lagi sama Dya.”

Danish menarik napas panjang lalu mengembuskannya keras-keras, dia mengangguk, tahu bahwa sikap seenaknya mulai semena-mena pada Dya. Untung ada Sayna, yang mengingatkannya. Pacar baik hatinya.

“Udah nggak cemburu ya sama Dya?”

“Cemburu, tapi tahu kok kalau kalian nggak ada apa-apa.”

“Memang. Dya itu pacarnya banyak, Sayna. Dia nggak beneran suka sama gue sebenarnya.”

“Oh, ya?” Sayna tertawa.

“Beneran. Terus anaknya pasrah-pasrah aja disiksa, nggak pernah marah, jadi keenakan nyiksanya. Gue nggak suka sama dia, Sayna. Gue cuma buat lo aja.”

Sayna menarik kedua sudut bibirnya. Mengekang Danish selama ini malah membuatnya sakit kepala, tapi melepas kungkungannya pelan-pelan justru membuat pemuda tampan itu makin bertekuk lutut dan tergila-gila. Selama ini Sayna telah salah langkah.

“Haus, nggak? Keringatan gini, minum dulu, ya. Mau minum apa?”

“Alkohol aja,” ucap Danish santai. “Biar hati dan kepala gue steril dari yang lain, cuma lo yang boleh ada di sana.”

Danish pasti tidak tahu, kalau gombalannya sendiri menyebabkan kematian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status