Home / Fantasi / Miss Villain and the Protagonist / Chapter 10 — Seperti Apa Sosok Peran Utama Wanita Yang Sebenarnya?

Share

Chapter 10 — Seperti Apa Sosok Peran Utama Wanita Yang Sebenarnya?

Author: Scarlet Crown
last update Last Updated: 2021-06-25 11:43:09

Aquila baru teringat sesuatu. 

Status kebangsawanan dibagi menjadi beberapa tingkat. Tingkat tertinggi adalah status bangsawan keluarganya, yakni seorang Duke. Sedangkan status bangsawan terendah adalah milik keluarga Zeline, yakni Baron.

Mungkin hal itu pula yang menjadi pemicu Aquila yang dulu bertingkah semena-mena terhadap Zeline. Serta hal itu pula yang membuat Aquila merasa harga dirinya begitu terluka saat putra mahkota lebih memilih Zeline dibanding dirinya. 

Kalau dipikir-pikir, dosa serta tindakan jahat yang dilakukan Aquila yang dulu terhadap Zeline sudah terlalu banyak. Dulu, Aquila selalu berusaha membuat Zeline celaka di setiap kesempatan yang ada. 

Sialnya, Aquila yang sekarang lah yang harus menanggung konsekuensi dari kejahatan Aquila di novel.

Maka dari itu. Saat ini Aquila berinisiatif untuk mengibarkan bendera damai. Ia berniat untuk berdamai dengan tulus, ia juga sudah menyiapkan sekotak hadiah untuk Zeline. Semoga saja Zeline suka dengan hadiah pemberiannya.

"Nona, kita sudah sampai." Ahn berujar. Ia turun terlebih dahulu dari kereta kuda yang sedari tadi membawa mereka ke kediaman Baron Aideos.

Aquila mengangguk, ia mengikuti langkah kaki pelayannya yang sedang memegangi hadiah untuk Zeline.

Sampai di gerbang, mereka langsung disambut dengan seorang kepala pelayan yang langsung menunduk hormat kepada Aquila.

"Salam hormat dari saya kepada Nona Charles." Kepala pelayan itu menunduk. "Saya akan mengantar anda ke dalam."

Aquila hanya mengangguk. Diikuti oleh Ahn, kini mereka berdua berjalan mengikuti kepala pelayan itu masuk ke dalam.

Aquila mengedarkan pandangannya. Kediaman Zeline terlihat lebih sederhana dibanding kediamannya. Tapi tetap saja, untuk ukuran manusia modern, tempat tinggal Zeline ini jauh lebih besar dan mewah dibanding rumah di kehidupannya dulu.

"Nona Charles, salam hormat." Zeline, yang sudah sedari tadi menunggu Aquila langsung memberi hormat ketika Aquila sampai.

Aquila hanya mengangguk dan tersenyum. 

"Anda sudah menerima surat yang sebelumnya saya berikan, bukan?" Aquila bertanya.

Zeline langsung mengangguk. "Iya, nona, katanya ada hal yang ingin anda bicarakan?"

Kali ini Aquila yang mengangguk.

Suasana canggung melanda beberapa saat, sampai akhirnya Zeline berdeham dan mempersilahkan Aquila untuk duduk.

Aquila menatap Zeline dari ujung kaki hingga kepala. Zeline terlihat begitu manis meskipun memakai gaun yang terlihat sederhana.

Memang benar, ya, pesona peran utama itu tidak ada tandingannya?

Bukannya Aquila tidak cantik. Hanya saja, pesonanya benar-benar terlihat seperti 'antagonis' jika dibandingkan dengan Zeline. Apalagi dengan bola mata merahnya serta tatapan sinisnya.

Entah apa yang ada dipikiran sang author saat ia menciptakan kedua tokoh tersebut.

"Nona, sebenarnya saya sangat merasa senang karena belakangan ini nona mulai bersikap hangat terhadap saya." Zeline membuka pembicaraan. "Saya sejak dulu sudah merasa kagum dengan anda dan ingin menjadi lebih dekat dengan anda."

"Kau kagum denganku?" Aquila bertanya tak percaya. Persis dengan yang dideskripsikan dalam novel, Zeline benar-benar baik dan berhati tulus! Bagaimana mungkin ia bisa merasa kagum kepada orang yang selalu berusaha mencelakainya?

"Apa yang membuatmu kagum kepadaku?" Aquila bertanya heran, ia bahkan hampir melupakan tujuan utamanya mengunjungi Zeline. Karena seingat Aquila, ia tak memiliki bakat apa-apa, makanya ia merasa begitu penasaran saat Zeline bilang kalau ia mengagumi dirinya.

"Nona kan sangat cantik!" Balas Zeline dengan mata berbinar. "Selain itu, nona juga sangat pemberani! Nona tegas dalam mengambil keputusan, nona tidak peduli dengan konsekuensi atau bahaya yang ada di depan sana, karena, selama itu keinginan nona, nona akan mewujudkannya." 

Eh? Itu alasannya?

Ya, memang benar, Aquila yang di novel memiliki sifat yang tadi disebutkan Zeline. Tapi Aquila yang sekarang berbeda, Aquila yang sekarang sering merasa tidak enakan terhadap orang lain— sungguh sifat yang merugikan. Aquila juga seringkali takut menyuarakan pendapatnya jika itu berseberangan dengan banyak orang.

"Tidak hanya itu." Zeline melanjutkan, "aku juga kagum dengan sifat pantang menyerah yang nona miliki. Meskipun seringkali gagal, nona tetap mencoba dan mencoba lagi! Aku sungguh merasa terinspirasi." 

Aquila menggaruk tengkuknya, ia tersenyum seperti orang bodoh. "Kau membuatku malu, terima kasih atas pujiannya, nona Zeline." Jujur saja, Aquila merasa senang atas ketulusan hati sang peran utama. Zeline benar-benar yang terbaik!

"Oh iya!" Aquila bergumam, ia baru teringat tujuannya ke sini saat Ahn menyenggol lengannya. 

"Aku membawakan beberapa hadiah untuk nona." Aquila menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang kepada Zeline. 

"Ini untuk saya?" Zeline bertanya tak percaya, "saya sungguh merasa senang! Kedepannya, saya juga pasti akan membalas ketulusan hati anda." 

Aquila turut senang dengan respon Zeline, ia tak dapat menyembunyikan senyumannya! 

"Saya senang anda menyukainya." Ujar Aquila.

"Boleh saya membukanya?" Zeline bertanya dengan antusias. Setelah dibalas anggukan oleh Aquila, Zeline langsung membuka kotak itu.

"Woah!" Zeline berseru kagum, matanya berbinar, ia menatap hadiah itu dengan rasa kagum. 

"Ini kalung permata yang sangat langka, dibuat oleh seniman andal yang katanya sudah tidak ada yang tahu dimana keberadaannya sekarang." Aquila menjelaskan tentang kalung permata itu persis seperti narasi yang di buku. 

"Bukan hanya itu saja, batu yang digunakan juga sangat langka. Hanya ada dua di dunia!" Aquila menjelaskan dengan semangat. Sebenarnya, ia sendiri tidak paham dimana letak istimewanya kalung itu, ia hanya menjelaskan persis seperti narasi di buku.

"Wah, jadi benda ini benar-benar berharga, ya?" Zeline berujar kagum, "pasti anda mendapatkan benda ini dengan bersusah payah, aku akan menjaganya baik-baik!" 

Aquila nyengir. Lagi-lagi ia terlihat seperti orang bodoh berwajah antagonis. " Ya, sebenarnya aku tidak mencarinya. Tapi ada seseorang yang memberikannya padaku."

"Seseorang?" 

"Iya..." Aquila menggaruk tengkuknya, "putra mahkota yang memberikannya padaku." 

"Tapi itu sudah lama sekali, kok!" Aquila buru-buru menyangkal ucapannya. Ia sama sekali tak berniat membuat Zeline cemburu. "Ia memberikan padaku saat kita masih kecil, ada sepasang, yang satu lagi ada pada tangan Yang Mulia. Katanya, batu yang ada di kalung itu bisa menyembuhkan." Aquila lagi-lagi berusaha mengingat salah satu scene dalam novel saat Zero kecil memberikan kalung permata tersebut kepadanya.

"Kau tidak marah, 'kan, Zeline?" Aquila bertanya dengan perasaan khawatir.

Zeline menggeleng, ia tersenyum manis. "Tentu saja aku tidak marah." 

Aquila mengembuskan napasnya, ia merasa lega. "Batu yang ada di kalung itu sepasang dengan batu yang ada pada cincin Yang Mulia." Aquila menjelaskan lagi. "Aku memberikannya kepada Zeline, karena menurutku kau sangat serasi dengan Yang Mulia!" 

"Ah? Sungguh?" Zeline bertanya.

Aquila mengangguk antusias. Sebagai penggemar nomor satu pasangan Zeline dan Zero, tentu saja Aquila sangat merasa senang!

Berlayarlah kapal Zeline dan Zero!!!

"Nona, aku sungguh merasa berterima kasih!" Zeline berujar, "aku pasti akan membalas kemurahan hatimu!" 

"Ah, tidak perlu begitu~" Aquila mengibaskan tangannya. "Sebenarnya hadiah itu merupakan bentuk permintaan maafku atas sikapku selama ini." 

Aquila mendadak teringat, banyak sekali scene dalam buku saat ia berusaha mencelakai sang peran utama. Meskipun itu bukan Aquila yang melakukan, tetap saja ia merasa bersalah.

"Aku telah tersadar, sikapku selama ini terhadapmu begitu buruk." Aquila mulai mendramatisir keadaan, "aku sungguh merasa menyesal, maukah kau memaafkanku?" 

Zeline terdiam sesaat. Seandainya Zeline tidak mau memaafkannya, Aquila rasa itu hal yang wajar mengingat kejahatan Aquila selama ini sudah tidak bisa ditolerir lagi.

Zeline mengangguk. "Aku memaafkanmu."

Oh! Persis seperti dugaan! Zeline memang berhati malaikat.

"Yang Mulia putra mahkota juga pasti akan memaafkanmu." Lanjut Zeline lagi.

***

"AKU BARU INGAT!" 

Seruan Aquila membuat Ahn tersentak, ia kebingungan dengan ekspresi majikannya itu. 

"Ada apa, nona?" Ahn bertanya.

Aquila merutuki dirinya sendiri, ia merasa bodoh, "aku lupa memberikan karangan bunga ini untuk Zeline." Ujarnya saat melihat karangan bunga yang sejak kemarin disiapkan ternyata tertinggal di dalam kereta kuda.

Untungnya, kereta kuda masih belum berangkat, dan mereka masih berada di halaman tempat kediaman Baron Aideos.

"Aku akan kembali ke dalam." Aquila mengambil karangan bunga itu. "Ahn, kau tunggu disini saja, aku tidak akan lama." Aquila segera bergegas menuju ke dalam. 

Karangan bunga ini, kemarin Aquila yang meminta Alaster untuk membuatnya— mengingat Aquila yang sekarang tidak memiliki selera yang bagus seperti bangsawan pada umumnya.

Awalnya Alaster langsung menolak mentah-mentah saat tahu buket tersebut akan diberikan untuk Zeline. Tapi, entah mengapa Alaster mendadak berubah pikiran.

"Itu dia," gumam Aquila pelan saat menangkap sosok Zeline dari kejauhan.

Zeline tidak sendiri, ia seperti sedang berbicara dengan seseorang yang mengenakan pita berwarna biru.

Tunggu? Pita biru?

Aquila ingat betul orang itu! Ia adalah orang yang kemarin menyebarkan rumor buruk tentang dirinya. 

Tidak salah lagi! Dari struktur wajahnya serta postur tubuhnya pun sama persis.

Ada urusan apa figuran itu dengan Zeline?

"Ah, nona Aquila?!" Zeline terlonjak di tempatnya, ia tak menyangka Aquila akan kembali lagi. "Apa ada yang tertinggal, nona?"

Aquila mendadak merasa otaknya menjadi kosong. "Oh, aku..." Ia menyodorkan buket bunga itu. "Untukmu." 

Zeline menerima buket bunga tersebut. "Te— terima kasih, nona," Zeline berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. "Mari, aku akan mengantarmu menuju gerbang." 

Aquila mengangguk, ia berbalik, mengikuti langkah kaki Zeline yang seperti terburu-buru.

Sesekali, ia berusaha menoleh ke belakang, menatap figuran dengan pita biru itu.

Aquila yakin ia tidak salah liat.

Aquila bukannya ingin berprasangka buruk terhadap karakter kesukaannya. Tapi, Zeline tidak mungkin bekerja sama dengan figuran itu untuk menyebar rumor, 'kan?

Lalu...

Sebenarnya, sikap asli Zeline itu seperti apa?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Miss Villain and the Protagonist   AFTERWORD

    Ekhm, halo semua! Aku Alet selaku author dari cerita yang berjudul ‘Miss Villain and The Protagonist’ sekarang lagi ngerasa seneng karena akhirnya aku bisa tamatin cerita ini! Nggak kerasa udah hampir dua tahun lamanya semenjak pertama kali aku publish cerita MVATP di pertengahan 2021. Sejak saat itu, aku bener-bener ngerasa seperti di rollercoaster, ada kalanya aku semangat & excited banget buat publish, tapi beberapa hari setelahnya aku langsung kena writer block. Ada masanya aku ngerasa seneng sama hasil tulisanku sendiri, tapi nggak lama setelahnya aku jadi ngerasa nggak pede lagi. Setelah semua perasaan campur aduk itu, akhirnya aku bisa ngebawa cerita MVATP hingga ke bagian akhir. Semoga kalian suka, ya, sama endingnya! * Jujur, aku deg-degan banget sebelum publish bagian akhir, aku mikir apakah endingnya memuaskan? Atau apakah kalian bakal suka? Tapi aku udah ngelakuin yang terbaik, aku berharap banget para pembaca bakal suka. Rasanya waktu tuh berjalan cepet banget, seinge

  • Miss Villain and the Protagonist   Chapter 160 — Kembalinya Aquila Yang Asli (END)

    “Selamat atas penobatanmu, Yang Mulia.” Aquila tersenyum, menatap Revel yang terlihat kikuk.“Hanya ada kita berdua di sini, tolong panggil aku dengan nama saja, seperti biasa.”“Anda tahu sendiri kan, hal itu sudah tidak bisa lagi saya lakukan.”Benar. Dengan tingginya posisi Revel saat ini, bisa dianggap seperti penghinaan jika orang lain mendengar Aquila memanggilnya langsung dengan nama.“Padahal anda pasti sedang sibuk-sibuknya, tapi anda masih bisa meluangkan waktu untuk saya. Saya merasa terhormat.” Tutur Aquila.“Saya yang justru merasa tidak enak karena tiba-tiba memanggil anda ke sini.”Aquila menyadari kalau Revel tiba-tiba mengubah gaya bicaranya menjadi lebih formal. “Saya tidak enak jika membuang waktu anda lebih banyak lagi, apa ada hal yang anda ingin saya sampaikan sehingga memanggil saya ke istana?”Revel menatap Aquila, terdengar helaan napas darinya. “Aku tidak akan basa-basi lagi. Aku butuh bantuanmu.”“Apa?”“Seperti yang kau tahu, aku benar-benar disibukkan kare

  • Miss Villain and the Protagonist   Chapter 159 — Setelahnya...

    Detik demi detik berlalu, berubah menjadi menit, jam, hari, minggu, waktu terus berjalan, setelah malam yang panjang itu entah kenapa waktu jadi terasa begitu cepat.Revel bekerja keras, dibantu dengan Duke Charles, Marquis Varen, dan beberapa bangsawan berpengaruh lainnya, mereka kembali membenahi tatanan kepemerintahan. Suasana di istana perlahan-lahan kembali seperti semula.Waktu berlalu, musim pun berganti, banyak hal yang terjadi, banyak hal yang dilewati.Revel telah resmi diangkat sebagai kaisar berikutnya, upacara pengesahan diadakan, meski ada beberapa pihak yang menentang, keputusan kuil tidak dapat diganggu gugat. Kebenaran terungkap, mengenai putra mahkota terdahulu yang dilupakan, semua tindakan keji kaisar sebelumnya pun terbongkar.Beberapa kebijakan diubah, termasuk penghapusan total mengenai subjek venatici, hal-hal yang berkaitan mengenai sihir pun dilegalkan asal dengan kuantitas yang wajar. Pembangunan sekolah sihir dilakukan pada banyak titik yang nantinya akan m

  • Miss Villain and the Protagonist   Chapter 158 — Paman dan Keponakan

    “Mustahil!” Kaisar Lius menarik rambutnya sendiri, rasanya ia telah menjadi gila, ia sulit membedakan mana yang mimpi mana yang bukan. “INI PASTI MIMPI! HAHAHA AKU PASTI SEDANG BERMIMPI!” ia menyeringai, tanda keterkejutan dan keputusasaannya. Ini mimpi yang begitu buruk, seseorang tolong bangunkan dirinya! “Ini bukan mimpi, Yang Mulia.” Muncul seseorang memasuki ruangannya. Secara dramatis, dari balik bayangan, perlahan Kaisar Lius mampu melihat wajahnya yang disinari cahaya bulan. “Salam saya, Yang Mulia.” Pria itu menyapa dengan senyum manis di wajahnya. R- Revel?! “DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI!” Kaisar Lius berteriak, meluapkan segala emosinya. Bagaimana bisa Revel masih bisa tersenyum manis di saat seperti ini?! Ah, tidak, itu merupakan senyum ejekan! Senyum yang mentertawakan posisinya saat ini. “Ah? Bagaimana menurut anda mengenai kejutan yang telah saya siapkan sepenuh hati seperti ini?” Tanya Revel, masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya. “KAU PASTI SUDAH GILA!” “Sa

  • Miss Villain and the Protagonist   Chapter 157 — Perpisahan

    “Revel, Revel!” Seruan yang berasal dari Mike berhasil membuyarkan ingatan Revel atas masa kelamnya. “Kemarilah! Tuan Michael terluka parah!” Huh? Revel, diikuti yang lainnya bergegas menghampiri Mike dan Baron Michael yang terbaring lemah dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Keadaannya jauh lebih buruk dari yang Revel pikirkan, sepertinya pria itu terkena tebasan senjata yang telah dilumuri racun, terlihat jelas dari bekas luka beserta warna kulit yang berubah kehijauan. “Michael, bertahanlah!” Seru Revel, yang bergerak cepat mengikatkan kain dengan erat agar racunnya tidak cepat menyebar. “Bertahanlah, aku akan segera mencarikan penawar.” “Berhenti.” Ketika Revel hendak bangkit, Baron Michael menggenggam tangannya. “Tidak perlu.” “A- apa?” Alis Revel bertaut, ia jelas tak mengerti mengapa Baron Michael menahannya. “Percuma saja, racunnya sudah menyebar sejak tadi.” “Apa yang kau bicarakan?! Kenapa kau menyerah seperti itu?!” Seru Revel, perasaannya kini tak menentu, kalimat y

  • Miss Villain and the Protagonist   Chapter 156 — Dendam Seorang Anak Laki-laki

    “Sebelumnya kau mengatakan kalau otak mereka telah dicuci dan mereka menjadikan kaisar sebagai dewa mereka, kan?” Xander bertanya, memastikan. Muncul sebuah ide gila di kepalanya. “Bagaimana jika cara tercepat untuk menghabisi mereka dalam satu entakan adalah dengan membunuh kaisar terlebih dahulu?” Bagi Xander, ini merupakan ide gila yang patut dicoba. Subjek Venatici menganggap kaisar sebagai dewa mereka, bagaimana jika Xander membunuh ‘dewa’ yang selalu ingin mereka lindungi itu? Pasti mereka akan merasakan perasaan putus asa yang begitu mendalam akibat gagal melindungi dewa. Setelah mendapat pukulan keras itu, seharusnya mereka melemah, kan? Tidak, tidak, lebih baik lagi jika mereka melakukan bunuh diri massal akibat perasaan bersalah yang mendalam. Seringaian menyeramkan mendadak timbul pada wajah Xander. Ia akan merealisasikan ide gila itu. Kesimpulannya, ia akan membunuh Kaisar terlebih dahulu. Revel yang mendengarnya seketika menoleh. “Itu… benar-benar ide nekat yang laya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status