Home / Fantasi / Miss Villain and the Protagonist / Chapter 09 — Nona Penjahat Dalam Sudut Pandang Putra Mahkota

Share

Chapter 09 — Nona Penjahat Dalam Sudut Pandang Putra Mahkota

Author: Scarlet Crown
last update Huling Na-update: 2021-06-24 10:30:00

"Yang Mulia, ini uang yang kau hilangkan."

Zero yang saat itu tengah merasa linglung karena tidak sengaja menghilangkan sejumlah dana yang nantinya akan digunakan untuk menyelenggarakan sebuah acara langsung merasa senang saat Aquila menyerahkan sejumlah uang dari dalam kotak kecil.

"Kau menemukannya?" Zero kecil bertanya dengan sumringah.

Aquila kecil yang saat itu memakai dress berwarna merah muda hanya menggeleng. "Tidak, ini tabunganku." Aquila tersenyum lebar, memamerkan gigi-gigi susunya.

"Tunggu. Tapi kenapa kau memberikannya padaku?" Tanya Zero keheranan.

"Aku tidak ingin kau dimarahi ibunda ratu." Balas Aquila tulus.

***

Zero memijat pelipisnya, entah mengapa secara tiba-tiba ia teringat salah satu kenangan masa kecilnya bersama Aquila. 

"Yang Mulia, kau sedang memikirkan apa?" Tanya Zeline yang berada di sampingnya.

Zero tak menggubris. Ia bahkan tak menyadari kehadiran perempuan itu di sampingnya.

Sepotong kenangan itu berganti lagi. Kali ini merupakan kenangan saat Zero pertama kali bertemu Aquila.

Saat itu, Zero masih berusia enam tahun, sedangkan Aquila masih berusia lima tahun. 

"Yang Mulia!" Aquila berujar gembira saat ia pertama kali berjumpa dengan Zero. 

Zero saat itu tidak terlalu suka kehadiran orang baru. Makanya, ia hanya berjalan meninggalkan Aquila yang sedang memeluk boneka beruangnya.

Tapi sejak kecil Aquila memang keras kepala. Perempuan kecil itu terus mengikuti langkah Zero kemanapun ia pergi. 

"Yang Mulia!" Panggil Aquila lagi, masih dengan senyum lebarnya. 

"Jangan tersenyum seperti orang bodoh." Balas Zero kecil.

Aquila kecil tidak mengindahkan ucapan Zero barusan, ia justru mengulurkan tangannya. "Aquila." Ujarnya memperkenalkan diri.

Zero menatap uluran tangan itu sebentar sebelum menjabatnya.

"Zero."

***

Zero menutup mulutnya, tanpa sadar ia tersenyum saat mengingat saat-saat itu.

Zeline yang melihat tingkah kekasihnya hanya merasa bingung. "Yang Mulia?" 

"Ah!" Zero terlonjak kaget saat Zeline menepuk pundaknya. "Maaf, Zeline, aku sedang merasa kurang sehat." 

"Yang Mulia, apa yang sedang kau pikirkan?" Zeline bertanya, matanya menatap Zero dengan lekat.

Zero menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak bisa fokus. 

Dan lagi-lagi ia kembali teringat akan sepotong kenangan dari masa kecilnya. Terlalu banyak kenangan masa kecilnya yang ia lalui dengan Aquila.

Seperti hari dimana acara debutan akan dilaksanakan. Zero kecil terpaksa berpuasa supaya dapat menampilkan sosok tubuh pangeran yang sempurna.

Saat itu Aquila datang, dan menyerahkan sekotak makanan secara diam-diam.

"Yang Mulia, aku dengar kau sedang menahan lapar dari pagi sebelum acara debutanmu? Ini aku bawakan kau biskuit, tapi jangan sampai ketahuan ibunda ratu, ya," ujar Aquila kecil sambil menyerahkan sekotak makanan.

Atau saat Zero merasa sedih, karena ia gagal dalam ujian memanahnya. Aquila datang dan memperkenalkan mainan kesayangannya, berharap hal itu akan menghibur Zero.

"Yang Mulia, perkenalkan ini namanya  Cherry." Aquila kecil menunjukkan sebuah boneka beruang berwarna merah muda. "Cherry bilang, Yang Mulia jangan bersedih lagi." Zero kecil saat itu mematung, ia teringat akan kegagalannya dalam hal memanah. Darimana Aquila tahu kalau ia sedang merasa sedih?

Atau disaat Aquila membela Zero yang melakukan kesalahan dihadapan ibunda ratunya.

Dan juga disaat Aquila menemani Zero yang sedang belajar mengenai pengetahuan dasar tentang kekaisaran.

Sebenarnya, hubungannya dengan Aquila sempat begitu dekat.

Namun, kini salahnya dimana?

Sejak kapan sifat Aquila berubah?

Ah, Zero teringat. Saat itu. Setelah pesta perayaan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Zero bertemu dengan sosok penting dalam hidupnya, yakni Zeline.

Zeline merupakan sosok yang begitu lembut dan baik. Wajahnya begitu manis, ditambah lagi dengan kedua lekukan pipinya. Zero jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Zeline.

Saat itu, Zero mulai menghabiskan banyak waktu dengan wanitanya. Ia juga tak sabar untuk memperkenalkan Zeline dengan sahabatnya, yakni Aquila.

Tapi sungguh diluar dugaan. Reaksi Aquila benar-benar tak dapat Zero bayangkan. Saat itu, Aquila menampar Zeline yang jelas-jelas tidak memiliki salah apa-apa.

Aquila berubah. Tak ada lagi Aquila yang selalu tersenyum ceria dan selalu mendukung semua keputusannya. Sosok penyemangat itu telah berubah menjadi seseorang yang tidak punya hati, tak terhitung sudah berapa kali ia telah mencoba mencelakakan Zeline. Untungnya selalu ada Zero disisi Zeline, kalau tidak entah apa yang akan terjadi terhadap perempuan malang itu.

Zero penasaran. Seandainya sifat Aquila tidak berubah, dan ia masih memiliki sisi baiknya, apakah kini hubungan mereka akan tetap hangat seperti dulu?

"Yang Mulia? Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu..." Zeline mengibas-ngibas tangannya di wajah Zero. Zeline merasa sedih, sedari tadi Zero tidak merespon ucapannya.

Sebenarnya apa yang sedang Zero pikirkan?

"Yang Mulia." Zeline menepuk pundak Zero pada akhirnya. 

"Ah!" Zero terperanjat, "maafkan aku, Zeline." Ia merasa tidak enak dengan kekasihnya. 

Zeline tersenyum manis, "tidak apa-apa, Yang Mulia. Apa anda sedang banyak pikiran?" 

Zero merasa lega melihat senyum manis Zeline. Ia pikir Zeline akan merasa sebal karena sedari tadi Zero tidak meresponnya. 

"Aku..." Zero tidak melanjutkan ucapannya, ia sendiri tidak paham dengan perasaannya.

"Yang Mulia, kau jadi mengajakku berkeliling di taman istana, 'kan?" Zeline menatap Zero dengan pupil mata polosnya. Kalau sudah begini, biasanya Zero tak mempunyai kemampuan untuk menolak.

Zero mengangguk. "Tentu saja." 

***

Pesta perayaan ulang tahun Pangeran Zero yang ke tujuh belas. Saat itu Aquila sudah mengenakan gaun terbaiknya, tak lupa ia menyiapkan hadiah termahalnya. 

Hari ini, sepertinya akan menjadi hari terbaik. Aquila sudah menyukai Zero sejak kecil, baginya, selama Zero masih ada disisinya, semua akan baik-baik saja.

Aquila menapakkan kakinya persis di depan ruangan Zero. Ia menahan napasnya, merasakan debaran jantungnya yang semakin tak karuan.

Ah, ditambah lagi hadiah yang ia siapkan adalah hadiah yang begitu mahal. Zero pasti senang, kan?

"Kau benar-benar manis, aku sungguh merasa beruntung bisa mengenalmu."

Aquila mengurungkan niatnya untuk memasuki ruang kerja Zero. Ia bertahan di tempatnya. Bertanya-tanya dengan siapa Zero sedang bicara?

"Yang Mulia, kau berlebihan..." 

Itu ... Seperti suara perempuan?

Kali ini Aquila tak dapat menahan diri untuk mendengar lebih banyak. Ia nekat masuk ke dalam ruangan itu. 

Hal yang dilihatnya benar-benar mengejutkan. 

Yang Mulia, alias Zero, sahabat terdekatnya, sedang menyentuh pipi seorang perempuan dengan posisi saling berhadapan. Zero tersenyum sambil menatap perempuan itu dengan lekat. 

Rambut panjang berwarna cokelat, tinggi yang hanya sedada putra mahkota, serta riasan yang sederhana. Sebenarnya siapa perempuan ini?

"Yang Mulia!" Aquila merasa marah, ia membuang hadiah yang telah disiapkannya dari jauh-jauh hari. "Yang Mulia, siapa wanita ini?!" 

Kedua orang itu terkejut akan kehadiran Aquila. Tapi Zero dengan cepat menyembunyikan ekspresinya, ia menatap Aquila dengan sorot mata teduh. "Aquila, perkenalkan, ini Zeline, dia adalah kekasihku."

Apa katanya?

Kekasih?!

"Salam kenal nona Aquila." Zeline menunduk, memberi salam. "Sungguh sebuah kehormatan bisa bertemu dengan anda." 

Zeline tersenyum manis— senyum yang selalu sukses memikat hati putra mahkota. 

Berkebalikan dengan ekspresi Zeline dan Zero yang penuh kebahagiaan. Aquila kini mendidih di tempat, ia tak bisa terima ini.

Dengan sorot mata kebencian, Aquila berjalan mendekat ke arah Zeline. Satu tangannya terangkat. Aquila melayangkan pukulan telak di pipi Zeline.

***

Huh? Apa itu tadi?!

Aquila terbangun dari tidurnya, ia masih memikirkan mimpi yang tadi, sungguh terasa begitu detail dan nyata.

"Nona, anda bermimpi buruk?" Ahn— yang entah sejak kapan berada di sana bertanya. 

"Sejak kapan kau berada di situ?!" Aquila bertanya dengan nada terkejut.

"Baru saja nona." Jawab Ahn. "Saya datang untuk menyiapkan air hangat untuk nona mandi."

Aquila menghela napas. Ia membenamkan wajahnya di bantal. Ia kembali terpikirkan tentang mimpi itu. 

Mimpi tentang pertemuan pertama Aquila dengan Zeline. 

Peristiwa itu sebenarnya sudah diceritakan di dalam novel dalam sudut pandang Zeline. Itu merupakan salah satu adegan yang membuat 'Aquila yang sekarang' kesal karena Aquila yang di dalam novel langsung menampar Zeline.

Tapi di mimpi tadi, kejadian itu diceritakan dari sudut pandang Aquila, secara rinci dan nyata.

Apakah ... Sebenarnya tadi itu bukanlah mimpi? Melainkan itu adalah potongan ingatan dari Aquila yang asli?

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Miss Villain and the Protagonist   AFTERWORD

    Ekhm, halo semua! Aku Alet selaku author dari cerita yang berjudul ‘Miss Villain and The Protagonist’ sekarang lagi ngerasa seneng karena akhirnya aku bisa tamatin cerita ini! Nggak kerasa udah hampir dua tahun lamanya semenjak pertama kali aku publish cerita MVATP di pertengahan 2021. Sejak saat itu, aku bener-bener ngerasa seperti di rollercoaster, ada kalanya aku semangat & excited banget buat publish, tapi beberapa hari setelahnya aku langsung kena writer block. Ada masanya aku ngerasa seneng sama hasil tulisanku sendiri, tapi nggak lama setelahnya aku jadi ngerasa nggak pede lagi. Setelah semua perasaan campur aduk itu, akhirnya aku bisa ngebawa cerita MVATP hingga ke bagian akhir. Semoga kalian suka, ya, sama endingnya! * Jujur, aku deg-degan banget sebelum publish bagian akhir, aku mikir apakah endingnya memuaskan? Atau apakah kalian bakal suka? Tapi aku udah ngelakuin yang terbaik, aku berharap banget para pembaca bakal suka. Rasanya waktu tuh berjalan cepet banget, seinge

  • Miss Villain and the Protagonist   Chapter 160 — Kembalinya Aquila Yang Asli (END)

    “Selamat atas penobatanmu, Yang Mulia.” Aquila tersenyum, menatap Revel yang terlihat kikuk.“Hanya ada kita berdua di sini, tolong panggil aku dengan nama saja, seperti biasa.”“Anda tahu sendiri kan, hal itu sudah tidak bisa lagi saya lakukan.”Benar. Dengan tingginya posisi Revel saat ini, bisa dianggap seperti penghinaan jika orang lain mendengar Aquila memanggilnya langsung dengan nama.“Padahal anda pasti sedang sibuk-sibuknya, tapi anda masih bisa meluangkan waktu untuk saya. Saya merasa terhormat.” Tutur Aquila.“Saya yang justru merasa tidak enak karena tiba-tiba memanggil anda ke sini.”Aquila menyadari kalau Revel tiba-tiba mengubah gaya bicaranya menjadi lebih formal. “Saya tidak enak jika membuang waktu anda lebih banyak lagi, apa ada hal yang anda ingin saya sampaikan sehingga memanggil saya ke istana?”Revel menatap Aquila, terdengar helaan napas darinya. “Aku tidak akan basa-basi lagi. Aku butuh bantuanmu.”“Apa?”“Seperti yang kau tahu, aku benar-benar disibukkan kare

  • Miss Villain and the Protagonist   Chapter 159 — Setelahnya...

    Detik demi detik berlalu, berubah menjadi menit, jam, hari, minggu, waktu terus berjalan, setelah malam yang panjang itu entah kenapa waktu jadi terasa begitu cepat.Revel bekerja keras, dibantu dengan Duke Charles, Marquis Varen, dan beberapa bangsawan berpengaruh lainnya, mereka kembali membenahi tatanan kepemerintahan. Suasana di istana perlahan-lahan kembali seperti semula.Waktu berlalu, musim pun berganti, banyak hal yang terjadi, banyak hal yang dilewati.Revel telah resmi diangkat sebagai kaisar berikutnya, upacara pengesahan diadakan, meski ada beberapa pihak yang menentang, keputusan kuil tidak dapat diganggu gugat. Kebenaran terungkap, mengenai putra mahkota terdahulu yang dilupakan, semua tindakan keji kaisar sebelumnya pun terbongkar.Beberapa kebijakan diubah, termasuk penghapusan total mengenai subjek venatici, hal-hal yang berkaitan mengenai sihir pun dilegalkan asal dengan kuantitas yang wajar. Pembangunan sekolah sihir dilakukan pada banyak titik yang nantinya akan m

  • Miss Villain and the Protagonist   Chapter 158 — Paman dan Keponakan

    “Mustahil!” Kaisar Lius menarik rambutnya sendiri, rasanya ia telah menjadi gila, ia sulit membedakan mana yang mimpi mana yang bukan. “INI PASTI MIMPI! HAHAHA AKU PASTI SEDANG BERMIMPI!” ia menyeringai, tanda keterkejutan dan keputusasaannya. Ini mimpi yang begitu buruk, seseorang tolong bangunkan dirinya! “Ini bukan mimpi, Yang Mulia.” Muncul seseorang memasuki ruangannya. Secara dramatis, dari balik bayangan, perlahan Kaisar Lius mampu melihat wajahnya yang disinari cahaya bulan. “Salam saya, Yang Mulia.” Pria itu menyapa dengan senyum manis di wajahnya. R- Revel?! “DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI!” Kaisar Lius berteriak, meluapkan segala emosinya. Bagaimana bisa Revel masih bisa tersenyum manis di saat seperti ini?! Ah, tidak, itu merupakan senyum ejekan! Senyum yang mentertawakan posisinya saat ini. “Ah? Bagaimana menurut anda mengenai kejutan yang telah saya siapkan sepenuh hati seperti ini?” Tanya Revel, masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya. “KAU PASTI SUDAH GILA!” “Sa

  • Miss Villain and the Protagonist   Chapter 157 — Perpisahan

    “Revel, Revel!” Seruan yang berasal dari Mike berhasil membuyarkan ingatan Revel atas masa kelamnya. “Kemarilah! Tuan Michael terluka parah!” Huh? Revel, diikuti yang lainnya bergegas menghampiri Mike dan Baron Michael yang terbaring lemah dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Keadaannya jauh lebih buruk dari yang Revel pikirkan, sepertinya pria itu terkena tebasan senjata yang telah dilumuri racun, terlihat jelas dari bekas luka beserta warna kulit yang berubah kehijauan. “Michael, bertahanlah!” Seru Revel, yang bergerak cepat mengikatkan kain dengan erat agar racunnya tidak cepat menyebar. “Bertahanlah, aku akan segera mencarikan penawar.” “Berhenti.” Ketika Revel hendak bangkit, Baron Michael menggenggam tangannya. “Tidak perlu.” “A- apa?” Alis Revel bertaut, ia jelas tak mengerti mengapa Baron Michael menahannya. “Percuma saja, racunnya sudah menyebar sejak tadi.” “Apa yang kau bicarakan?! Kenapa kau menyerah seperti itu?!” Seru Revel, perasaannya kini tak menentu, kalimat y

  • Miss Villain and the Protagonist   Chapter 156 — Dendam Seorang Anak Laki-laki

    “Sebelumnya kau mengatakan kalau otak mereka telah dicuci dan mereka menjadikan kaisar sebagai dewa mereka, kan?” Xander bertanya, memastikan. Muncul sebuah ide gila di kepalanya. “Bagaimana jika cara tercepat untuk menghabisi mereka dalam satu entakan adalah dengan membunuh kaisar terlebih dahulu?” Bagi Xander, ini merupakan ide gila yang patut dicoba. Subjek Venatici menganggap kaisar sebagai dewa mereka, bagaimana jika Xander membunuh ‘dewa’ yang selalu ingin mereka lindungi itu? Pasti mereka akan merasakan perasaan putus asa yang begitu mendalam akibat gagal melindungi dewa. Setelah mendapat pukulan keras itu, seharusnya mereka melemah, kan? Tidak, tidak, lebih baik lagi jika mereka melakukan bunuh diri massal akibat perasaan bersalah yang mendalam. Seringaian menyeramkan mendadak timbul pada wajah Xander. Ia akan merealisasikan ide gila itu. Kesimpulannya, ia akan membunuh Kaisar terlebih dahulu. Revel yang mendengarnya seketika menoleh. “Itu… benar-benar ide nekat yang laya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status