Duchess : Terlahir Kembali Demi Dendam

Duchess : Terlahir Kembali Demi Dendam

last updateLast Updated : 2025-08-02
By:  aisakurachanUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
10Chapters
30views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Bree melihat suaminya Duke Radford dari Marseilles, memilih mencumbu wanita lain di malam pertama mereka. Pernikahan itu adalah perjodohan, tapi tetap Bree merasa terluka. Setelahnya semakin buruk. Bree difitnah membunuh ayahnya sendiri, dituding berselingkuh dengan Pangeran, serta terlibat dalam usaha pembunuhan Raja, yang membuat Bree terhukum mati. Tetapi Bree tidak mati saat hukuman terlaksana. Bree terlempar kembali ke masa lalu, mengulang hari dimana dia menikah dengan Radford. Tapi kebodohan tidak akan terulang, Bree bertekad mengubah nasib, menghindari tuduhan, serta tidak kembali jatuh cinta pada Radford yang terlalu mempesona itu. Tetapi pilihan jalan berbeda tentu menghasilkan ujung nasib yang berbeda. Bree mungkin berharap memperbaiki nasib, tapi bagaimana kalau jalan pilihannya justru membawa pada nasib yang semakin kelam? Nasib yang membuatnya bertemu hal yang selama ini dianggap dongeng dari kegelapan

View More

Chapter 1

#001 Awal yang Mati

1800 M

“Ugh!”

Bibir Bree menyebut keluhan pelan, saat lemparan batu menghantam kepalanya, membubuhkan luka lain di sana. Kepala dan wajahnya memang sudah babak belur.

Selain akibat lemparan batu dan entah benda apapun lagi, wajah Bree memang sudah terluka semenjak mereka membawanya dari penjara tadi.

Langkah Bree yang lambat dianggap tidak mengesankan, maka dia mendapat ‘hadiah’ luka. Mereka menyeretnya dengan paksa menuju kereta dengan penjara kayu, yang akan membawanya ke lapangan, tempat dimana hukuman mati untuknya akan dilakukan.

Sebelum Bree berada dalam posisi ini, dia pernah mengikuti ayahnya menonton proses pemenggalan kepala untuk terhukum mati. Dan Bree ingat, dia tidak bisa tidur nyenyak selama tujuh hari setelahnya.

Dia sama sekali tidak bisa mengerti bagaimana ratusan manusia bisa menikmati tontonan bar-bar yang mengerikan seperti itu dan menganggapnya sebagai hiburan.

Kini Bree merasakan situasi yang sama dengan orang yang dulu dilihatnya, diarak sepanjang jalan sebelum dipenggal.

Keadaan tubuhnya juga persis sama. Meski tak punya cermin, Bree sangat yakin jika tubuhnya saat ini pastilah kotor. Gaun kasar yang dia pakai, pasti penuh dengan noda darah dan juga tanah.

Gaun yang awalnya sudah jauh dari indah itu, keadaannya semakin kumal.

Keadaan mengenaskan itu seharusnya membuatnya menangis, tetapi air mata Bree sudah tidak lagi sanggup untuk menetes. Semuanya telah habis di malam-malam saat dia berharap akan ada yang membebaskan dirinya. Bree berharap akan ada orang baik hati yang akan menolongnya dari segala kesulitan ini.

Namun harapan Bree tentu saja laksana menepuk udara kosong, tidak menghasilkan apapun.

Tidak ada yang datang menolongnya, tidak ada keajaiban yang tiba-tiba membuatnya bebas dari segala fitnah bertubi-tubi yang menghampirinya.

Bree mengelus cincin yang ada di jarinya. Bukan cincin pernikahan, itu adalah cincin peninggalan ibunya yang masih berhasil dia simpan sampai sekarang, karena terlihat tidak berharga.

Cincin itu hanya berharga bagi Bree, terutama saat ini. Cincin itu memberinya kekuatan untuk menghadapi kematian. Memberinya harapan akan ada hal baik yang menantinya setelah mati. Harapan dia akan bertemu ibunya setelah mati nanti.

“Naik!” bentak penjaga, yang membuka pintu penjara kayu.

Bree tersentak, lalu menunduk saat menyadari ternyata kereta yang membawanya itu, telah sampai di tengah lapangan.

Orang-orang berteriak mengejek dan menunjuk, terlalu riuh, Bree justru tidak mendengar satupun kalimat jelas, dan bersyukur karenanya. Dia tidak memerlukan hal lain lagi untuk menjadi lebih sengsara daripada sekarang.

Bree mengubah wajahnya menjadi datar. Tidak ingin memperlihatkan dirinya tersiksa ataupun terluka. Denyut pedih antara kedua paha, maupun kepalanya yang terasa seperti berputar, semuanya dia abaikan, agar terlihat baik-baik saja.

Bree ingin orang-orang itu melihat bagaimana wajahnya hanya menampakan kemarahan, bukan takut atau mengiba.

Pengawal itu menunjuk tangga, yang akan membawa Bree menuju panggung pertunjukan hari ini. Dari bawah, Bree bisa melihat guillotine* yang ada di tengah panggung.

Diiringi oleh suara gemerincing rantai yang membelenggu kakinya, Bree menapaki tangga kayu satu demi satu, menuju alat yang akan memisahkan kepala dengan tubuhnya.

Namun, mustahil Bree tidak takut. Semakin langkah kaki membawa tubuhnya ke atas, semakin lututnya gemetar.

Kenyataan keji kembali menubruk Bree saat matanya tertumbuk pada balkon, tempat para bangsawan menonton acara ini.

Dulu Bree bersama ayahnya menempati balkon yang sama, dan balkon itu kini diisi oleh Rad, pria yang seharusnya adalah suaminya.

Saat pandangan mata mereka bertemu, jangankan bersimpati atas keadaan Bree, pria yang kaku dan dingin itu, tidak menampakan emosi apapun.

Dia tidak terlihat benci, marah maupun sedih. Rad terlihat seperti batu yang kebetulan ada di sana dan tidak berguna

Mata Bree bergulir, beralih kepada wanita yang kini ada di sebelah Rad.

Gadis berambut ikal berwarna kecoklatan, membisikkan sesuatu pada telinga Rad. Pria itu tetap tidak bereaksi. Tapi gadis bernama Amber yang seharusnya adalah kakaknya itu, tidak membutuhkan reaksi. Dia melirik ke arah Bree dengan wajah menyunggingkan senyum licik dan puas.

Amber sedang memamerkan kemesraan.

Tubuh Bree perlahan gemetar. Sejak tadi dia bisa bersikap tenang, tapi melihat senyum Amber itu, membuat Bree diserbu oleh amarah yang tertahan.

Bree tidak bisa mengerti bagaimana, tetapi Bree yakin jika Amber dan Rad, adalah dua orang yang bertanggung jawab atas nasib yang saat ini dijalaninya. Mereka berdua pastilah yang membuatnya berada dalam posisi ini.

“Berlutut!”

Bree masih menatap tajam ke arah Rad yang tidak bergerak, mata masih menatapnya dengan dingin. Tidak menunjukkan emosi.

“BERLUTUT!”

Algojo yang bertugas untuk menurunkan guillotine, membentak karena Bree belum bergerak. Dia menekan bahu Bree, memaksanya untuk berlutut.

Lutut Bree menekuk dan turun pada posisi yang diinginkan, di depan guillotine yang menantinya kepalanya.

Bree masih menghadap ke arah Rad. Tidak memutuskan kontak mata, karena ingin menghapus semua perasaan yang pernah rasakan untuk pria itu. Semua kebodohan yang membuatnya jatuh cinta kepada pria yang berkulit amat pucat dan pernah disebutnya tampan itu.

Tapi pandangan mata Bree terputus oleh orang yang baru saja naik. Dia akan mengumumkan kejahatan Bree.

“Bree Valois, hari ini akan dihukum pegal karena telah terbukti membunuh Duke Donovan dari Le Mans, juga melakukan perzinahan dengan Prince Benjamin Bourbon. Masih ditambah penghianatan yang hampir menyebabkan King Bourbon IV terbunuh. Demikian, maka saksikanlah!”

Orang itu menggulung kertas yang ada di tangannya, lalu turun tanpa menatap Bree. Sama sekali tidak peduli jika semua tuduhan yang baru saja dia bacakan, satu pun tidaklah benar.

Keinginan Bree untuk berteriak jika itu fitnah, dijegal oleh algojo yang sudah menunggunya.

Dia mendorong tubuh Bree sampai lehernya pas masuk ke dalam cekungan, dan bergegas mengembalikan papan kayu yang berfungsi untuk mengunci tubuh pesakitan.

Bree kini meronta, berlutut dengan leher terjulur.

Tangannya dan bergetar, sementara napasnya memburu. Matanya kembali nyalang menatap Rad, dan melihat pria itu bergerak berdiri, melompat turun dari balkon.

Tapi Bree menutup mata, karena mendengar suara desing pisau guillotine yang ada di atasnya, meluncur turun.

Ini akhir dari napasnya.

***

“Perbaikilah dan jangan menjadi bodoh lagi!”

Bree mengerutkan kening, saat mendengar suara itu. Suara yang salah berasal dari kegelapan entah dimana.

Dengan penasaran, Bree membuka mata, dan dinding kayu di depannya. Napas Bree tersengal dan sulit, sementara matanya membuka kebingungan.

Seharusnya dia mati saat ini.

“Apa ini? Apa mati seperti ini?” Bree memandang sekitar, lalu merasakan tangannya basah. Ada air menetes di tangannya.

Pipinya terasa basah saat tangan Bree menyentuh. Dia lalu menunduk, memeriksa tangannya yang basah. Ini bukan mimpi, karena Bree bisa merasakan air itu.

“Oh!” Bree berseru, saat melihat pakaian apa yang menempel di tubuhnya. Bukan lagi pakaian kasar yang dekil dan kumal penuh darah, tapi gaun indah putih bersih yang penuh renda.

Terasa halus menyentuh kulitnya, karena bahan gaun adalah sutra, yang dibeli dari pedagang Negeri Tengah yang bermata sipit itu. Sutra dari mereka mahal dan bermutu tinggi.

Bree bisa menyebut semua itu, karena gaun yang saat ini ada di tubuhnya adalah gaun pernikahannya.

Pernikahannya bersama Rad. Duke Radford Valois penguasa Marseille. Salah satu daerah yang ada di bawah kekuasaan kerajaan Frankia (Perancis).

Pernikahan yang akhirnya memberinya gelar Duchess Valois, meninggalkan nama Donovan milik ayahnya.

Pernikahan yang dulu dia nantikan dengan bahagia, tapi berubah menjadi petaka.

Semua fakta itu membuat Bree masih mengingat dengan jelas detik-detik apa yang terjadi hari itu, meski sudah enam bulan berlalu.

Bree menggeleng, tidak ingin mengingat kenangan itu, yang terpenting sekarang dia harus segera memikirkan keberadaannya di tempat aneh ini.

“Eh?”

Bree yang masih duduk, kini berpegangan pada kursi tempat duduknya. Ruang tempatnya berada tidak diam tapi bergoyang. Bree memeriksa sekitarnya sekali lagi, dan kini dia sadar sedang ada di mana.  

Setelah mengingat detail hari pernikahannya, Bree paham dia ada dimana. Saat ini dia sedang ada di dalam kereta kuda yang membawanya ke kastil Marseille.

Kereta kuda indah dengan tirai berwarna merah yang ada di jendela samping kereta, lalu berbagai ukiran lengkung yang bercat warna emas, jok berwarna merah. Semua sama.

Bree bergeser dan menengok ke samping keluar jendela, pemandangan rawa lebar yang dibatasi oleh langit abu-abu mendung. Dia lalu memandang ke arah depan.

Rad bersama beberapa pengawal, naik di atas kuda hitam miliknya, dia juga memakai jubah yang dipakainya saat pernikahan. Jubah hitam dengan aksen hiasan emas. Bree hanya melihat punggung, tapi dia tahu seperti apa ketampanan Rad dari arah depan.

Dulu Bree menatap punggung itu dengan malu-malu karena memang hari pernikahan itu adalah pertama kalinya dia bertemu dengan Rad. Saat pemberkatan di gereja dia melihat bagaimana Rad sangat tampan.

Tapi perasaannya sangat berbeda saat ini, hanya ada kebencian murni yang menguasai hati Bree, membuatnya ingin melompat dan menerjang ke arah Rad agar dia terjatuh terguling dari kuda, dan mungkin mati jika perlu.

Lalu Bree kembali mengedip, mengatur pikirannya.

“Apa yang sebenarnya terjadi ini? Apa aku menikah dengannya untuk kedua kali?”

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
10 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status