LOGINBree melihat suaminya Duke Radford dari Marseilles, memilih mencumbu wanita lain di malam pertama mereka. Pernikahan itu adalah perjodohan, tapi tetap Bree merasa terluka. Setelahnya semakin buruk. Bree difitnah membunuh ayahnya sendiri, dituding berselingkuh dengan Pangeran, serta terlibat dalam usaha pembunuhan Raja, yang membuat Bree terhukum mati. Tetapi Bree tidak mati saat hukuman terlaksana. Bree terlempar kembali ke masa lalu, mengulang hari dimana dia menikah dengan Radford. Tapi kebodohan tidak akan terulang, Bree bertekad mengubah nasib, menghindari tuduhan, serta tidak kembali jatuh cinta pada Radford yang terlalu mempesona itu. Tetapi pilihan jalan berbeda tentu menghasilkan ujung nasib yang berbeda. Bree mungkin berharap memperbaiki nasib, tapi bagaimana kalau jalan pilihannya justru membawa pada nasib yang semakin kelam? Nasib yang membuatnya bertemu hal yang selama ini dianggap dongeng dari kegelapan
View More1800 M
“Ugh!”
Bibir Bree menyebut keluhan pelan, saat lemparan batu menghantam kepalanya, membubuhkan luka lain di sana. Kepala dan wajahnya memang sudah babak belur.
Selain akibat lemparan batu dan entah benda apapun lagi, wajah Bree memang sudah terluka semenjak mereka membawanya dari penjara tadi.
Langkah Bree yang lambat dianggap tidak mengesankan, maka dia mendapat ‘hadiah’ luka. Mereka menyeretnya dengan paksa menuju kereta dengan penjara kayu, yang akan membawanya ke lapangan, tempat dimana hukuman mati untuknya akan dilakukan.
Sebelum Bree berada dalam posisi ini, dia pernah mengikuti ayahnya menonton proses pemenggalan kepala untuk terhukum mati. Dan Bree ingat, dia tidak bisa tidur nyenyak selama tujuh hari setelahnya.
Dia sama sekali tidak bisa mengerti bagaimana ratusan manusia bisa menikmati tontonan bar-bar yang mengerikan seperti itu dan menganggapnya sebagai hiburan.
Kini Bree merasakan situasi yang sama dengan orang yang dulu dilihatnya, diarak sepanjang jalan sebelum dipenggal.
Keadaan tubuhnya juga persis sama. Meski tak punya cermin, Bree sangat yakin jika tubuhnya saat ini pastilah kotor. Gaun kasar yang dia pakai, pasti penuh dengan noda darah dan juga tanah.
Gaun yang awalnya sudah jauh dari indah itu, keadaannya semakin kumal.
Keadaan mengenaskan itu seharusnya membuatnya menangis, tetapi air mata Bree sudah tidak lagi sanggup untuk menetes. Semuanya telah habis di malam-malam saat dia berharap akan ada yang membebaskan dirinya. Bree berharap akan ada orang baik hati yang akan menolongnya dari segala kesulitan ini.
Namun harapan Bree tentu saja laksana menepuk udara kosong, tidak menghasilkan apapun.
Tidak ada yang datang menolongnya, tidak ada keajaiban yang tiba-tiba membuatnya bebas dari segala fitnah bertubi-tubi yang menghampirinya.Bree mengelus cincin yang ada di jarinya. Bukan cincin pernikahan, itu adalah cincin peninggalan ibunya yang masih berhasil dia simpan sampai sekarang, karena terlihat tidak berharga.
Cincin itu hanya berharga bagi Bree, terutama saat ini. Cincin itu memberinya kekuatan untuk menghadapi kematian. Memberinya harapan akan ada hal baik yang menantinya setelah mati. Harapan dia akan bertemu ibunya setelah mati nanti.
“Naik!” bentak penjaga, yang membuka pintu penjara kayu.
Bree tersentak, lalu menunduk saat menyadari ternyata kereta yang membawanya itu, telah sampai di tengah lapangan.
Orang-orang berteriak mengejek dan menunjuk, terlalu riuh, Bree justru tidak mendengar satupun kalimat jelas, dan bersyukur karenanya. Dia tidak memerlukan hal lain lagi untuk menjadi lebih sengsara daripada sekarang.
Bree mengubah wajahnya menjadi datar. Tidak ingin memperlihatkan dirinya tersiksa ataupun terluka. Denyut pedih antara kedua paha, maupun kepalanya yang terasa seperti berputar, semuanya dia abaikan, agar terlihat baik-baik saja.
Bree ingin orang-orang itu melihat bagaimana wajahnya hanya menampakan kemarahan, bukan takut atau mengiba.
Pengawal itu menunjuk tangga, yang akan membawa Bree menuju panggung pertunjukan hari ini. Dari bawah, Bree bisa melihat guillotine* yang ada di tengah panggung.
Diiringi oleh suara gemerincing rantai yang membelenggu kakinya, Bree menapaki tangga kayu satu demi satu, menuju alat yang akan memisahkan kepala dengan tubuhnya.
Namun, mustahil Bree tidak takut. Semakin langkah kaki membawa tubuhnya ke atas, semakin lututnya gemetar.
Kenyataan keji kembali menubruk Bree saat matanya tertumbuk pada balkon, tempat para bangsawan menonton acara ini.
Dulu Bree bersama ayahnya menempati balkon yang sama, dan balkon itu kini diisi oleh Rad, pria yang seharusnya adalah suaminya.
Saat pandangan mata mereka bertemu, jangankan bersimpati atas keadaan Bree, pria yang kaku dan dingin itu, tidak menampakan emosi apapun.
Dia tidak terlihat benci, marah maupun sedih. Rad terlihat seperti batu yang kebetulan ada di sana dan tidak berguna
Mata Bree bergulir, beralih kepada wanita yang kini ada di sebelah Rad.
Gadis berambut ikal berwarna kecoklatan, membisikkan sesuatu pada telinga Rad. Pria itu tetap tidak bereaksi. Tapi gadis bernama Amber yang seharusnya adalah kakaknya itu, tidak membutuhkan reaksi. Dia melirik ke arah Bree dengan wajah menyunggingkan senyum licik dan puas.
Amber sedang memamerkan kemesraan.
Tubuh Bree perlahan gemetar. Sejak tadi dia bisa bersikap tenang, tapi melihat senyum Amber itu, membuat Bree diserbu oleh amarah yang tertahan.
Bree tidak bisa mengerti bagaimana, tetapi Bree yakin jika Amber dan Rad, adalah dua orang yang bertanggung jawab atas nasib yang saat ini dijalaninya. Mereka berdua pastilah yang membuatnya berada dalam posisi ini.
“Berlutut!”
Bree masih menatap tajam ke arah Rad yang tidak bergerak, mata masih menatapnya dengan dingin. Tidak menunjukkan emosi.
“BERLUTUT!”
Algojo yang bertugas untuk menurunkan guillotine, membentak karena Bree belum bergerak. Dia menekan bahu Bree, memaksanya untuk berlutut.Lutut Bree menekuk dan turun pada posisi yang diinginkan, di depan guillotine yang menantinya kepalanya.
Bree masih menghadap ke arah Rad. Tidak memutuskan kontak mata, karena ingin menghapus semua perasaan yang pernah rasakan untuk pria itu. Semua kebodohan yang membuatnya jatuh cinta kepada pria yang berkulit amat pucat dan pernah disebutnya tampan itu.
Tapi pandangan mata Bree terputus oleh orang yang baru saja naik. Dia akan mengumumkan kejahatan Bree.
“Bree Valois, hari ini akan dihukum pegal karena telah terbukti membunuh Duke Donovan dari Le Mans, juga melakukan perzinahan dengan Prince Benjamin Bourbon. Masih ditambah penghianatan yang hampir menyebabkan King Bourbon IV terbunuh. Demikian, maka saksikanlah!”
Orang itu menggulung kertas yang ada di tangannya, lalu turun tanpa menatap Bree. Sama sekali tidak peduli jika semua tuduhan yang baru saja dia bacakan, satu pun tidaklah benar.
Keinginan Bree untuk berteriak jika itu fitnah, dijegal oleh algojo yang sudah menunggunya.
Dia mendorong tubuh Bree sampai lehernya pas masuk ke dalam cekungan, dan bergegas mengembalikan papan kayu yang berfungsi untuk mengunci tubuh pesakitan.
Bree kini meronta, berlutut dengan leher terjulur.
Tangannya dan bergetar, sementara napasnya memburu. Matanya kembali nyalang menatap Rad, dan melihat pria itu bergerak berdiri, melompat turun dari balkon.
Tapi Bree menutup mata, karena mendengar suara desing pisau guillotine yang ada di atasnya, meluncur turun.
Ini akhir dari napasnya.
***
“Perbaikilah dan jangan menjadi bodoh lagi!”
Bree mengerutkan kening, saat mendengar suara itu. Suara yang salah berasal dari kegelapan entah dimana.
Dengan penasaran, Bree membuka mata, dan dinding kayu di depannya. Napas Bree tersengal dan sulit, sementara matanya membuka kebingungan.
Seharusnya dia mati saat ini.
“Apa ini? Apa mati seperti ini?” Bree memandang sekitar, lalu merasakan tangannya basah. Ada air menetes di tangannya.
Pipinya terasa basah saat tangan Bree menyentuh. Dia lalu menunduk, memeriksa tangannya yang basah. Ini bukan mimpi, karena Bree bisa merasakan air itu.
“Oh!” Bree berseru, saat melihat pakaian apa yang menempel di tubuhnya. Bukan lagi pakaian kasar yang dekil dan kumal penuh darah, tapi gaun indah putih bersih yang penuh renda.
Terasa halus menyentuh kulitnya, karena bahan gaun adalah sutra, yang dibeli dari pedagang Negeri Tengah yang bermata sipit itu. Sutra dari mereka mahal dan bermutu tinggi.
Bree bisa menyebut semua itu, karena gaun yang saat ini ada di tubuhnya adalah gaun pernikahannya.
Pernikahannya bersama Rad. Duke Radford Valois penguasa Marseille. Salah satu daerah yang ada di bawah kekuasaan kerajaan Frankia (Perancis).
Pernikahan yang akhirnya memberinya gelar Duchess Valois, meninggalkan nama Donovan milik ayahnya.
Pernikahan yang dulu dia nantikan dengan bahagia, tapi berubah menjadi petaka.
Semua fakta itu membuat Bree masih mengingat dengan jelas detik-detik apa yang terjadi hari itu, meski sudah enam bulan berlalu.
Bree menggeleng, tidak ingin mengingat kenangan itu, yang terpenting sekarang dia harus segera memikirkan keberadaannya di tempat aneh ini.
“Eh?”
Bree yang masih duduk, kini berpegangan pada kursi tempat duduknya. Ruang tempatnya berada tidak diam tapi bergoyang. Bree memeriksa sekitarnya sekali lagi, dan kini dia sadar sedang ada di mana.
Setelah mengingat detail hari pernikahannya, Bree paham dia ada dimana. Saat ini dia sedang ada di dalam kereta kuda yang membawanya ke kastil Marseille.
Kereta kuda indah dengan tirai berwarna merah yang ada di jendela samping kereta, lalu berbagai ukiran lengkung yang bercat warna emas, jok berwarna merah. Semua sama.
Bree bergeser dan menengok ke samping keluar jendela, pemandangan rawa lebar yang dibatasi oleh langit abu-abu mendung. Dia lalu memandang ke arah depan.
Rad bersama beberapa pengawal, naik di atas kuda hitam miliknya, dia juga memakai jubah yang dipakainya saat pernikahan. Jubah hitam dengan aksen hiasan emas. Bree hanya melihat punggung, tapi dia tahu seperti apa ketampanan Rad dari arah depan.
Dulu Bree menatap punggung itu dengan malu-malu karena memang hari pernikahan itu adalah pertama kalinya dia bertemu dengan Rad. Saat pemberkatan di gereja dia melihat bagaimana Rad sangat tampan.
Tapi perasaannya sangat berbeda saat ini, hanya ada kebencian murni yang menguasai hati Bree, membuatnya ingin melompat dan menerjang ke arah Rad agar dia terjatuh terguling dari kuda, dan mungkin mati jika perlu.
Lalu Bree kembali mengedip, mengatur pikirannya.
“Apa yang sebenarnya terjadi ini? Apa aku menikah dengannya untuk kedua kali?”
Amory terbangun dengan rasa haus mencekik leher, membuanya sangat ingin bergerak, tapi tubuhnya terikat. Amory awalnya mengira dirinya tertangkap atau bagaimana, tapi kemudian sadar, dia sedang ada di kamar sendiri. Kamar yang ada di kastil Marseilles, jadi tidak mungkin dia tertangkap. “Aku gembira kau bangun dan masih menjadi dirimu sendiri.” Ucapan dengan nada lega membuat Amory menoleh, dan melihat Rad duduk pada kursi di samping ranjang. “Apa maksudmu? Kenapa aku terikat?” Amory menggerakkan tubuh, dan mencoba untuk memutuskan tali yang mengikat tangan dan kakinya, tapi tidak mampu. “Tali apa ini, dan kenapa aku harus terikat seperti ini?!” Amory mulai kesal. “Karena aku harus mengamankan dirimu. Aku tidak ingin kau melukai orang lain, maupun dirimu sendiri,” jelas Rad. “Aku melukai diriku sendiri? Kau itu bicara apa?” Amory berhenti meronta karena heran. Rad menyingsingkan lengan bajunya, lalu memperlihatkan tangannya kepada Amory. “Apa yang harus aku lihat?” Amory bing
Tapi untung saja, Rad tidak larut dalam rasa terkejut. Dia mengulurkan tangan, dan menangkap pinggang Amory tepat pada waktunya, sebelum mencapai Abel—sasarannya. Rad merangkup tubuh Amory pada pinggang, lalu menyeretnya masuk semakin dalam ke ruang kerja. Rad tidak mungkin menunjukkan wajah Amory yang seperti itu kepada penghuni kastil lain. Rad lalu memberi tanda kepada Abel, menyuruhnya untuk keluar. Jelas terlihat sasaran Amory adalah Abel. Diiringi suara mendesis, Amory mengayunkan tangan ke arah Abel. “Keluar dari sini!” bentak Rad, saat Abel tidak bergerak. “Tapi…” “KELUAR DARI SINI!” Rad mengulang lebih keras karena Abel masih kebingungan. Tapi bentakan itu membuatnya sadar dan berlari keluar. “YANG JAUH!” Rad kembali berteriak, maka Abel naik ke lantai dua. Di sana dia bertemu Bree yang keluar dari ruang lukis, karena mendengar keributan. Beberapa pelayan juga terlihat berdiri di depan lorong ruang kerja, tapi terlihat Campy mencegah mereka mendekat. “Ada apa?” tanya
“Kau yakin sedang baik-baik saja?” tanya Bree, menatap Amory yang terlihat gelisah. Kakinya tak berhenti bergoyang sejak tadi. Kakinya yang tidak sakit tentunya. “Eh? Ya. Aku baik. Lanjutkan saja.” Amory mengangkat kepala, dan memperbaiki posisi duduknya yang normal. Bree kembali mengangkat kuas kecil, merapikan detail yang terlupakan dari wajah Amory. Seperti lukisan Rad, lukisan Amory juga nyaris terlantar tidak terselesaikan. Itu karena keberadaan Amory yang tidak bisa di duga. Amory kadang beberapa hari ada di kastil, tapi kemudian berminggu-minggu tidak datang, entah kemana. Bree jadi tidak bisa menentukan waktu khusus untuk melukis Amory. Biasanya Bree hanya baru sampai pada tahap rencana, dan Amory sudah menghilang lagi. Karena itu juga, Bree memutuskan untuk melanjutkan lukisan Amory saat ini, karena jelas Amory sedang tidak bisa pergi kemanapun dengan keadaan kaki seperti itu. Bree punya banyak waktu luang untuk melukis Amory dengan perlahan. Bree berharap rencana
Amory benar-benar harus menyeret kakinya ke arah kastil Marseilles. Sepanjang perjalanan, dia mengutuk dan menyumpah, karena kakinya semakin sakit untuk bergerak. Tapi jika tidak bergerak, maka semakin salah. Tak mungkin dia akan diam di satu tempat. Amory terpaksa berlari sampai kastil Marseilles. Namun, belum sampai di kastil, kakinya sudah menyerah. Kaki itu terus berdarah, sampai akhirnya Amory berjalan menyeret dan tertatih. Luka seperti itu tentu tidak seharusnya dipakai untuk berlari. Amory sekarang memaksakan diri sedikit lagi, karena kastil sudah terlihat di hadapannya, hanya kakinya semakin lama semakin berat. Namun, Amory bisa tersenyum lega, karena hidungnya menghirup aroma vampir lain. Tidak perlu menebak siapa, karena ada hanya ada satu vampir yang berani mendekati kastil Marseille sekarang ini, yaitu dirinya. Dan tentu saja aroma vampir yang datang itu adalah penghuni dari Kastil Marseilles. “Mere? Kau yang berdarah?” Rad muncul dari balik pepohonan. Ia berlari ke
“Kau seharusnya tidak bisa mendapatkan semua hal yang kau inginkan, maupun melakukan hal apa pun yang kau mau. Ada batasan dimana seseorang harus mengerti tentang orang lain, dan paham jika dia tidak hidup sendiri di dunia ini. Aku rasa hal sederhana seperti ini seharusnya bisa kau mengerti dengan mudah. Apa kau juga tidak paham?” Amory mengedipkan mata, antara heran dan takjub. Melihat Abel yang marah adalah hal baru untuknya, dan Amory mengakui, Abel tetap terlihat tampan saat seperti itu, lebih malah. “Tapi memang Ayahku, suamiku dan juga anakku selalu mengabulkan apa yang aku inginkan,” kata Amory. Dia tak pernah mengenal batas. “Itu karena mereka terlalu menyayangimu! Mereka tidak ingin membuatmu marah, mereka ingin membuatmu gembira dan mungkin alasan lainnya. Tapi yang jelas mereka salah, karena membiarkanmu sampai seperti ini!” Abel nyaris putus asa sekarang, karena membuat Amory peduli ternyata sulit sekali. “Membiarkanku sampai seperti apa?” Amory tak mengerti. “Membia
“Ada yang ingin menyelinap!” Satu seruan membangunkan Hunter yang sedang terkantuk-kantuk berjaga di antara pepohonan. Tapi bukan berarti gerakan mereka menjadi lambat. Pelatihan keras dan hampir tidak manusiawi, membuat mereka terbangun dan sadar dengan cepat. Mereka melompat dengan bantuan tali yang terpasang di antara pepohonan dan mulai mendekati area tempat tanda bahaya terlihat. Yang paling depan tentu saja Abel--yang tidak pernah mengantuk saat bertugas. Dia juga terlihat memakai bantuan tali untuk melompat—seperti yang lain, meski sebenarnya tidak perlu. Tapi tetap gerakannya tentu lebih lincah dari para Hunter kebanyakan. “Di sebelah sana!” Satu Hunter menunjuk ke arah barat, saat kelompok Abel tiba di area kejadian. “Dia nekat?” Abel melihat arah lari vampir yang mereka kejar, terus ke arah luar Marseilles. “Ya. Dia nekat sekali. Kami sudah memperingatkan dengan tembakan panah, tapi dia terus melompat ke sana, dan cepat sekali.” Hunter itu mengeluh, sementara Abel ti
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments