Share

2. Penawaran

Lyla membeku di tempatnya, tak dapat memalingkan wajah dari pria beraura gelap yang berada di hadapannya itu.

Damian Green Foster, pria yang memakai kacamata hitam dan menggenggam tongkat itu duduk dengan tenang dan tampak berwibawa dengan setelan kemeja biru dan celana panjang navy miliknya.

Lyla tadi begitu panik dan sedikit gemetar saat Jake membawanya memasuki rumah besar dengan halaman luas yang penuh dengan pohon rindang di sekelilingnya. Ditambah saat ia memasuki sebuah ruangan, dua pria berjas hitam yang berdiri di ambang pintu menjadi pemandangan mengerikan tersendiri baginya dan semakin menambah kepanikannya. 

Lyla menelan ludahnya berkali-kali demi meredakan kegugupannya. Ia sesekali melirik Jake yang tampak santai dan tenang menghadapi Damian.

"Perkenalkan dirimu, Lyla." Jake membuyarkan kebisuan dalam ruangan yang sekilas mirip dengan ruangan baca itu karena di sekeliling mereka banyak berbagai macam buku-buku yang tersusun rapi pada rak yang memenuhi dinding ruangan.

"L ... Lyla, nama saya Lyla Auburn, Tuan." Suaranya yang tercekat terdengar sedikit mencicit karena kegugupannya.

"Kau tak ingin duduk, Lyla?" Damian sedikit menggeser postur tubuhnya agar lebih tegak. Lyla yang masih berdiri, refleks sedikit mundur menanggapi gerakan Damian itu. 

Ya, ia serasa ingin melarikan diri dari ruangan bernuansa gelap yang begitu menakutkan saat itu juga. Walau sekarang masih sore dan terbilang cukup cerah diluar, entah mengapa begitu memasuki ruangan ini keadaan seolah berubah seperti malam yang mencekam.

"Duduklah,"  bisik Jake padanya. Ia sendiri kemudian mengambil tempat pada salah satu kursi yang sama-sama menghadap ke arah Damian.

"Kau karyawan baru?" Damian meraih cangkir tehnya perlahan, dan dengan cara elegan yang tenang ia meneguk isinya begitu Lyla mendudukkan diri pada kursi ukiran yang lembut yang berhadapan persis dengan Damian.

Lyla sedikit heran dengan ketenangan Damian mengambil cangkir teh di hadapannya tanpa kesulitan sama sekali. Jika tak tahu, sekilas ia tampak seperti orang normal lainnya yang tidak memiliki kekurangan fisik apapun.

"Kau heran? Sudah sejak setengah tahun yang lalu aku berdamai dengan keadaanku. Jika untuk melakukan hal-hal kecil seperti ini, sudah tidak menjadi masalah bagiku." Damian tersenyum seolah dapat membaca pikiran Lyla.

"Ma ... maaf, aku tidak bermasud ...." Lyla seketika menutup mulutnya dengan telapak tangannya saat menyadari ketidaksopanannya. "Maksudnya, saya tidak bermaksud apa-apa, Tuan," lanjutnya lagi.

Damian sedikit tergelak. "Tidak perlu formal padaku, panggil aku Damian karena panggilan itu nanti yang akan kau gunakan setiap kali kau menyebutku."

"Benarkah? Maksudku, apa berarti kau ...?" Jake bergiliran menatap Damian dan Lyla dengan penuh arti.

Damian tersenyum dan mengangguk. "Ya, kau benar Jake."

"Kau tak ingin mengujinya atau semacamnya?" tanya Jake lagi.

Lyla menahan napasnya saat Jake menyebutkan itu. Ia berkeringat dingin dan rasanya seperti hendak menangis. "T ... Tuan, maaf sebelumnya," 

"Damian. Panggil aku seperti itu," potongnya.

"D ... Damian, aku harus mengakui sesuatu padamu," ucap Lyla terbata.

"Jake, kau bisa meneruskan pekerjaan yang terakhir aku minta ...," potong Damian yang seketika menghentikan ucapan Lyla. "Jika kau keluar, panggil Ben dan Joe untuk segera masuk," lanjutnya.

"Baiklah, Lyla aku keluar sebentar." Jake merujuk padanya dengan tatapan menenangkan dan tersenyum.

Lyla yang mulai membaca situasi seketika memasang wajah memohon dan menggeleng untuk memberi isyarat pada Jake agar tidak meninggalkannya sendirian. Tanpa bersuara, Jake menepuk perlahan bahunya sebelum berlalu dari Lyla.

"Jadi, mari kita lanjutkan. Kau ingin berkata apa tadi?" tanya Damian.

Lyla kembali fokus menatap Damian dengan jantung yang berdegup kencang. "A ... aku hanya ingin mengatakan kebenaran padamu. Damian, mungkin aku bukanlah orang yang kau cari." Lyla membasahi bibir bawahnya dengan gugup. "A ... aku bukanlah cenayang seperti yang kau inginkan," ucapnya setengah berbisik.

Kedua pengawal Damian yang berada di luar tadi tiba-tiba saja masuk dengan tenang dan berdiri di belakang Lyla dengan menempel pada dinding ruangan.

Damian melipat kedua tangannya perlahan, ia seperti sedang mencerna ucapan Lyla tadi. "Ben, apa yang terjadi pada Kathy kemarin?" seolah tak menghiraukan Lyla, Damian bertanya pada salah satu pengawalnya.

"Dia tak selamat, Tuan, kami menguburkannya," jawab pria berambut cepak itu dengan mantap. 

Tanpa seorang pun tahu, entah mengapa hati Lyla mencelos seketika mendengar jawaban pria itu. Lyla meremas jemarinya untuk menahan perasaannya.

"Hmmm ... sayang sekali," Damian menggeleng-geleng prihatin. "Lalu Clarissa? Apa yang terjadi padanya, Joe?" lanjutnya.

"Patah tulang di beberapa bagian tubuhnya, dan sedang dirawat di rumah sakit, Tuan," ucap pria bernama Joe.

Lyla kembali menahan napasnya. Detik itu juga jawaban mengerikan lainnya yang dilontarkan pengawal Damian membuatnya seolah kehabisan oksigen.

Kathy? Clarissa? Siapa mereka? Apa mereka adalah gadis-gadis sebelum dirinya? Apa mereka telah mengecewakan Damian sehingga mendapat balasannya atau apa? Kepala Lyla terasa berputar, ia mulai bernapas pendek-pendek untuk mengimbangi kecemasan yang tengah menjalarinya.

"Kalian boleh keluar," perintah Damian kemudian.

Kepanikan yang sudah ditahannya sejak tadi, akhirnya tak kuasa Lyla bendung lagi. Air mata bening mulai berlinang dari pipinya. Ia menangis tanpa suara!

"Lyla," panggil Damian dengan suaranya yang dalam dengan heran.

"M ... maafkan aku!" sembur Lyla kemudian. "A ... aku tak dapat memenuhi permintaanmu, aku bukanlah cenayang seperti yang kau cari! Izinkan aku pulang Damian." Lyla terisak dan menangis pilu. Kali ini ia tidak menahan lagi perasaannya. Ia bahkan tak peduli apa yang selanjutnya akan terjadi padanya.

"Mengapa kau menangis? Kau mengejutkanku, Lyla." Ada nada keterkejutan dalam suara Damian. Ia mungkin tidak menyangka jika gadis yang ada di hadapannya itu tiba-tiba menangis.

"Kau yang mengejutkanku!" Lyla kembali terisak. "Apa kau akan membunuhku? Atau me ... mematahkan tulangku? Atau menguburku jika aku tak memenuhi keinginanmu seperti yang telah kau lakukan pada Kathy dan Clarissa?!" semburnya berang. Lyla seolah sudah lupa dengan siapa ia berhadapan.

Ada jeda sejenak sebelum akhirnya pria itu tergelak! Damian menengadahkan kepalanya ke belakang dan tawa yang renyah seketika terdengar memenuhi ruangan suram tersebut. "Apa maksudmu?" tanyanya heran.

"Kemarilah, berikan tanganmu," perintah Damian dalam sisa-sisa tawanya. Ucapannya masih bercampur dengan nada geli.

"U ... untuk apa?" Lyla refleks melindungi tangannya.

"Kau tahu aku tak dapat melihat bukan? Aku tidak mungkin mendekatimu dan merabamu untuk mencari tanganmu." Damian mengeluarkan saputangan dari dalam kantung celananya dan mengulurkan tangannya ke arah Lyla.

"Apa kau takut? Tak perlu merasa seperti itu, hentikanlah tangisanmu," ucapnya kemudian.

Ragu, tapi Lyla menerima saputangan itu dengan penuh tanya. "Kau  tahu apa yang membuatku takut bukan?" tanyanya.

"Aku tahu. Maaf, jika aku mengejutkanmu. Aku tak tahu kau akan setakut ini." Damian sedikit tersenyum. "Besok kembalilah kemari, kau mulai bekerja untukku secara pribadi," terang Damian dengan tegas.

"A ... apa?! Benarkah?" Lyla tercekat. "Ta ... tapi aku belum melakukan apa-apa selain menangis. Dan aku sudah bilang bahwa aku bukan cenayang. Aku hanya bisa membacakan peruntungan zodiak ataupun ramalan tarotmu. Itu pun hanya untuk bersenang-senang. Kau tak menolakku?" tanyanya heran.

Damian mengangkat sebelah alisnya. "Kau ingin aku menolakmu?"

"Jelas!" jawab Lyla tanpa ragu, dan untuk sesaat berikutnya ia mengutuk dalam hati karena telah keceplosan menyuarakan isi hatinya. "Ma ... maksudku, karena aku tak memiliki kemampuan apa-apa. Apa aku memang orang yang tepat?"

"Kau yang kubutuhkan, Lyla," jawab Damian dengan tenang.

"Kenapa? Apa alasannya?" tanya Lyla ingin tahu.

"Ada alasannya, dan aku ragu kau akan mengerti itu. Hm ... begini saja, bagaimana jika aku melipatgandakan gajimu tiga kali lipat dari sebelumnya?" ucap Damian tiba-tiba.

Lyla mengerjap, "Apa? Maksudku bukan begitu, hanya saja ...."

"Lima kali lipat," tawar Damian lagi.

"Ta ... tapi aku belum setuju untuk ...," jawab Lyla terbata.

"Sepuluh kali lipat, dan ini penawaran terakhirku."

"Se ... sepuluuh??!!!" Lyla membelalakkan matanya begitu mendengar tawaran Damian. Ia membeku membayangkan nominal yang akan ia terima jika ia menyetujui permintaan Damian. Otaknya masih mencerna semua ucapan Damian.

Keheningan melingkupi mereka untuk beberapa saat. Lyla tak juga bersuara karena kebekuannya. "Oke, baiklah aku anggap kau setuju." Damian menyimpulkan begitu saja diamnya Lyla sebagai persetujuan atas tawarannya.

____****____

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mama Lana
jejak lagi, semangat yah...️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status