Lyla membeku di tempatnya, tak dapat memalingkan wajah dari pria beraura gelap yang berada di hadapannya itu.
Damian Green Foster, pria yang memakai kacamata hitam dan menggenggam tongkat itu duduk dengan tenang dan tampak berwibawa dengan setelan kemeja biru dan celana panjang navy miliknya.
Lyla tadi begitu panik dan sedikit gemetar saat Jake membawanya memasuki rumah besar dengan halaman luas yang penuh dengan pohon rindang di sekelilingnya. Ditambah saat ia memasuki sebuah ruangan, dua pria berjas hitam yang berdiri di ambang pintu menjadi pemandangan mengerikan tersendiri baginya dan semakin menambah kepanikannya.
Lyla menelan ludahnya berkali-kali demi meredakan kegugupannya. Ia sesekali melirik Jake yang tampak santai dan tenang menghadapi Damian.
"Perkenalkan dirimu, Lyla." Jake membuyarkan kebisuan dalam ruangan yang sekilas mirip dengan ruangan baca itu karena di sekeliling mereka banyak berbagai macam buku-buku yang tersusun rapi pada rak yang memenuhi dinding ruangan.
"L ... Lyla, nama saya Lyla Auburn, Tuan." Suaranya yang tercekat terdengar sedikit mencicit karena kegugupannya.
"Kau tak ingin duduk, Lyla?" Damian sedikit menggeser postur tubuhnya agar lebih tegak. Lyla yang masih berdiri, refleks sedikit mundur menanggapi gerakan Damian itu.
Ya, ia serasa ingin melarikan diri dari ruangan bernuansa gelap yang begitu menakutkan saat itu juga. Walau sekarang masih sore dan terbilang cukup cerah diluar, entah mengapa begitu memasuki ruangan ini keadaan seolah berubah seperti malam yang mencekam.
"Duduklah," bisik Jake padanya. Ia sendiri kemudian mengambil tempat pada salah satu kursi yang sama-sama menghadap ke arah Damian.
"Kau karyawan baru?" Damian meraih cangkir tehnya perlahan, dan dengan cara elegan yang tenang ia meneguk isinya begitu Lyla mendudukkan diri pada kursi ukiran yang lembut yang berhadapan persis dengan Damian.
Lyla sedikit heran dengan ketenangan Damian mengambil cangkir teh di hadapannya tanpa kesulitan sama sekali. Jika tak tahu, sekilas ia tampak seperti orang normal lainnya yang tidak memiliki kekurangan fisik apapun.
"Kau heran? Sudah sejak setengah tahun yang lalu aku berdamai dengan keadaanku. Jika untuk melakukan hal-hal kecil seperti ini, sudah tidak menjadi masalah bagiku." Damian tersenyum seolah dapat membaca pikiran Lyla.
"Ma ... maaf, aku tidak bermasud ...." Lyla seketika menutup mulutnya dengan telapak tangannya saat menyadari ketidaksopanannya. "Maksudnya, saya tidak bermaksud apa-apa, Tuan," lanjutnya lagi.
Damian sedikit tergelak. "Tidak perlu formal padaku, panggil aku Damian karena panggilan itu nanti yang akan kau gunakan setiap kali kau menyebutku."
"Benarkah? Maksudku, apa berarti kau ...?" Jake bergiliran menatap Damian dan Lyla dengan penuh arti.
Damian tersenyum dan mengangguk. "Ya, kau benar Jake."
"Kau tak ingin mengujinya atau semacamnya?" tanya Jake lagi.
Lyla menahan napasnya saat Jake menyebutkan itu. Ia berkeringat dingin dan rasanya seperti hendak menangis. "T ... Tuan, maaf sebelumnya,"
"Damian. Panggil aku seperti itu," potongnya.
"D ... Damian, aku harus mengakui sesuatu padamu," ucap Lyla terbata.
"Jake, kau bisa meneruskan pekerjaan yang terakhir aku minta ...," potong Damian yang seketika menghentikan ucapan Lyla. "Jika kau keluar, panggil Ben dan Joe untuk segera masuk," lanjutnya.
"Baiklah, Lyla aku keluar sebentar." Jake merujuk padanya dengan tatapan menenangkan dan tersenyum.
Lyla yang mulai membaca situasi seketika memasang wajah memohon dan menggeleng untuk memberi isyarat pada Jake agar tidak meninggalkannya sendirian. Tanpa bersuara, Jake menepuk perlahan bahunya sebelum berlalu dari Lyla.
"Jadi, mari kita lanjutkan. Kau ingin berkata apa tadi?" tanya Damian.
Lyla kembali fokus menatap Damian dengan jantung yang berdegup kencang. "A ... aku hanya ingin mengatakan kebenaran padamu. Damian, mungkin aku bukanlah orang yang kau cari." Lyla membasahi bibir bawahnya dengan gugup. "A ... aku bukanlah cenayang seperti yang kau inginkan," ucapnya setengah berbisik.
Kedua pengawal Damian yang berada di luar tadi tiba-tiba saja masuk dengan tenang dan berdiri di belakang Lyla dengan menempel pada dinding ruangan.
Damian melipat kedua tangannya perlahan, ia seperti sedang mencerna ucapan Lyla tadi. "Ben, apa yang terjadi pada Kathy kemarin?" seolah tak menghiraukan Lyla, Damian bertanya pada salah satu pengawalnya.
"Dia tak selamat, Tuan, kami menguburkannya," jawab pria berambut cepak itu dengan mantap.
Tanpa seorang pun tahu, entah mengapa hati Lyla mencelos seketika mendengar jawaban pria itu. Lyla meremas jemarinya untuk menahan perasaannya.
"Hmmm ... sayang sekali," Damian menggeleng-geleng prihatin. "Lalu Clarissa? Apa yang terjadi padanya, Joe?" lanjutnya.
"Patah tulang di beberapa bagian tubuhnya, dan sedang dirawat di rumah sakit, Tuan," ucap pria bernama Joe.
Lyla kembali menahan napasnya. Detik itu juga jawaban mengerikan lainnya yang dilontarkan pengawal Damian membuatnya seolah kehabisan oksigen.
Kathy? Clarissa? Siapa mereka? Apa mereka adalah gadis-gadis sebelum dirinya? Apa mereka telah mengecewakan Damian sehingga mendapat balasannya atau apa? Kepala Lyla terasa berputar, ia mulai bernapas pendek-pendek untuk mengimbangi kecemasan yang tengah menjalarinya.
"Kalian boleh keluar," perintah Damian kemudian.
Kepanikan yang sudah ditahannya sejak tadi, akhirnya tak kuasa Lyla bendung lagi. Air mata bening mulai berlinang dari pipinya. Ia menangis tanpa suara!
"Lyla," panggil Damian dengan suaranya yang dalam dengan heran.
"M ... maafkan aku!" sembur Lyla kemudian. "A ... aku tak dapat memenuhi permintaanmu, aku bukanlah cenayang seperti yang kau cari! Izinkan aku pulang Damian." Lyla terisak dan menangis pilu. Kali ini ia tidak menahan lagi perasaannya. Ia bahkan tak peduli apa yang selanjutnya akan terjadi padanya.
"Mengapa kau menangis? Kau mengejutkanku, Lyla." Ada nada keterkejutan dalam suara Damian. Ia mungkin tidak menyangka jika gadis yang ada di hadapannya itu tiba-tiba menangis.
"Kau yang mengejutkanku!" Lyla kembali terisak. "Apa kau akan membunuhku? Atau me ... mematahkan tulangku? Atau menguburku jika aku tak memenuhi keinginanmu seperti yang telah kau lakukan pada Kathy dan Clarissa?!" semburnya berang. Lyla seolah sudah lupa dengan siapa ia berhadapan.
Ada jeda sejenak sebelum akhirnya pria itu tergelak! Damian menengadahkan kepalanya ke belakang dan tawa yang renyah seketika terdengar memenuhi ruangan suram tersebut. "Apa maksudmu?" tanyanya heran.
"Kemarilah, berikan tanganmu," perintah Damian dalam sisa-sisa tawanya. Ucapannya masih bercampur dengan nada geli.
"U ... untuk apa?" Lyla refleks melindungi tangannya.
"Kau tahu aku tak dapat melihat bukan? Aku tidak mungkin mendekatimu dan merabamu untuk mencari tanganmu." Damian mengeluarkan saputangan dari dalam kantung celananya dan mengulurkan tangannya ke arah Lyla.
"Apa kau takut? Tak perlu merasa seperti itu, hentikanlah tangisanmu," ucapnya kemudian.
Ragu, tapi Lyla menerima saputangan itu dengan penuh tanya. "Kau tahu apa yang membuatku takut bukan?" tanyanya.
"Aku tahu. Maaf, jika aku mengejutkanmu. Aku tak tahu kau akan setakut ini." Damian sedikit tersenyum. "Besok kembalilah kemari, kau mulai bekerja untukku secara pribadi," terang Damian dengan tegas.
"A ... apa?! Benarkah?" Lyla tercekat. "Ta ... tapi aku belum melakukan apa-apa selain menangis. Dan aku sudah bilang bahwa aku bukan cenayang. Aku hanya bisa membacakan peruntungan zodiak ataupun ramalan tarotmu. Itu pun hanya untuk bersenang-senang. Kau tak menolakku?" tanyanya heran.
Damian mengangkat sebelah alisnya. "Kau ingin aku menolakmu?"
"Jelas!" jawab Lyla tanpa ragu, dan untuk sesaat berikutnya ia mengutuk dalam hati karena telah keceplosan menyuarakan isi hatinya. "Ma ... maksudku, karena aku tak memiliki kemampuan apa-apa. Apa aku memang orang yang tepat?"
"Kau yang kubutuhkan, Lyla," jawab Damian dengan tenang.
"Kenapa? Apa alasannya?" tanya Lyla ingin tahu.
"Ada alasannya, dan aku ragu kau akan mengerti itu. Hm ... begini saja, bagaimana jika aku melipatgandakan gajimu tiga kali lipat dari sebelumnya?" ucap Damian tiba-tiba.
Lyla mengerjap, "Apa? Maksudku bukan begitu, hanya saja ...."
"Lima kali lipat," tawar Damian lagi.
"Ta ... tapi aku belum setuju untuk ...," jawab Lyla terbata.
"Sepuluh kali lipat, dan ini penawaran terakhirku."
"Se ... sepuluuh??!!!" Lyla membelalakkan matanya begitu mendengar tawaran Damian. Ia membeku membayangkan nominal yang akan ia terima jika ia menyetujui permintaan Damian. Otaknya masih mencerna semua ucapan Damian.
Keheningan melingkupi mereka untuk beberapa saat. Lyla tak juga bersuara karena kebekuannya. "Oke, baiklah aku anggap kau setuju." Damian menyimpulkan begitu saja diamnya Lyla sebagai persetujuan atas tawarannya.
____****____
Damian dan Lyla masih sama-sama mengenakan jubah mandi mereka setelah mereka menyantap hidangan makan malam yang diantarkan ke dalam kamar mereka malam itu.Mereka sebelumnya telah mandi bersama setelah selesai melakukan pergumulan panas untuk menghilangkan gundah di hati Damian tepat ketika ia terbangun dari tidurnya. Dan kini, mereka kembali berbaring berdampingan."Apa kau lelah, Sayang?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Mengapa kau bertanya? Kau tahu benar apa yang membuatku lelah, bukan? Yang pasti, saat ini aku sedang kekenyangan.""Oh ya? Tapi katakan kau tidak selelah itu, please, karena aku masih membutuhkan dirimu untuk 'menenangkanku' lagi, Sayang," balas Damian sambil membelai wajah istrinya dan menatapnya penuh arti.Lyla sejenak tertawa. "Oh, ya ampun, kau bocah yang sulit 'ditenangkan' ha? Staminamu masih cukup besar rupanya," jawab Lyla sambil memutar kedua bola matanya dengan geli.Damian tergelak karena mengerti maksud Lyla. "Kau tahu benar diriku, Sayang. Aku ta
Damian yang masih terdiam semenjak mereka kembali dari pabrik hingga ke kediaman mereka lagi, membuat Lyla sedikit khawatir. Ia kemudian beringsut mendekati Damian yang tengah duduk bersandar di atas ranjang sambil membawa secangkir minuman hangat untuknya."Sayang, minumlah," ucap Lyla sambil menyerahkan cangkir tersebut. "Ini sudah menjelang sore, dan kau belum makan apa pun sejak siang tadi."Damian menghela napas dengan berat sebelum akhirnya menoleh. Ia menerima minuman hangat itu dan menyesapnya sejenak. Ia memberikan lagi cangkirnya pada Lyla yang kemudian diletakkannya di meja di samping ranjang."Apakah mereka telah pergi?" tanya Damian kemudian.Mengerti yang dimaksud suaminya, Lyla mengangguk. "Ya, mereka telah memeriksa apa yang mereka perlukan. Dan para petugas itu ... telah membawa Ester," jelasnya."Mereka menemukan ponsel rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai semua pergerakanmu pada Madison. Mereka juga menemukan banyak lotre undian yang ia beli beberapa waktu lal
Beberapa saat kemudian, segerombolan orang mengetuk pintu ruangan rapat dan masuk setelah Nathan mengangguk dan mempersilakan mereka.Mereka yang terdiri dari empat orang, segera mendekati Nathan sambil menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang yang berisikan map-map dan berkas di dalamnya. Mereka lalu meletakkan kardus tersebut di atas meja di hadapan Nathan."Sungguh tepat waktu," gumam Damian puas.Nathan yang sigap, kemudian berdiri setelah mendapat anggukan isyarat dari Damian. "Saudara-saudara sekalian, seperti yang telah Tuan Damian sampaikan, kardus ini berisi semua catatan tentang kejahatan dan kecurangan yang dimiliki oleh mereka," ucap Nathan.Sontak Gilbert, Madison, dan Edric menegakkan tubuhnya. "Apa-apaan itu?! Tak mungkin! Kalian licik dan hanya akan membuat kebohongan, bukan!" seru Edric panik.Edric yang tampak telah tersulut emosinya, hendak maju dan menghambur ke arah Nathan saat kemudian ia ditahan oleh Ben dan Joe yang sigap yang tengah berjaga di dalam ruangan
"Lalu, sekarang apa tanggapanmu tentang ini, Damian? Mengapa kau menyerahkan kekuasaan pada wanita yang telah mengalami kecacatan mental itu?" tanya Madison dengan raut menantang. Ia semakin bersemangat saat ucapannya sudah pasti akan didengar oleh seluruh dewan direksi perusahaan.Bisik-bisik semakin riuh terdengar karena para anggota pertemuan saling mengungkapkan pemikirannya masing-masing satu sama lain. Tak hanya itu, dalam tangkapan layar pun para anggota rapat online lainnya juga tampak saling berbisik."Ayo! Katakan apa penjelasanmu! Jangan membuat kami terlalu lama menunggu!" tantang Edric sambil berseru arogan di tengah-tengah ruangan yang riuh itu.Damian yang tampak tak terganggu, hanya tersenyum kecil. Ia masih tenang dalam menghadapi keriuhan itu. "Kalian ingin mendengar apa penjelasanku?" ucapnya. "Kecacatan mental katamu?" lanjut Damian sambil tertawa kecil. "Katakan, siapa di sini yang tak satu pun mengalami kecacatan mental? Aku ingin tahu. Karena yang kutahu, kita
Tiga hari kemudian ....Pagi itu, semuanya telah berkumpul di kantor utama di dalam pabrik milik mendiang ibu Damian untuk rapat bersama dalam agenda menerima hasil kinerja Allen dan mengumumkan beberapa pemberitahuan baru, termasuk diangkatnya Allen untuk menjalankan pabrik tersebut.Raut beberapa orang terlihat masam setelah mereka menerima hasil dari target yang telah ditentukan untuk pabrik itu dalam masa tenggat yang telah disepakati sebelumnya. Karena pabrik ternyata menghasilkan keuntungan yang mampu menutup semua kekurangan sebelumnya, maka rencana seseorang untuk memilikinya pun pupus sudah.Ya, itulah yang dirasakan oleh Felicia. Selama rapat dewan direksi, ia sudah berwajah masam. Terlebih saat melihat Lyla yang turut mendampingi Damian, membuatnya semakin merasa panas."Baiklah, kurasa sudah cukup. Sekian pertemuan kita hari ini." Damian mengakhiri rapat mereka setelah menjabarkan segala hal penting yang menjadi agenda pertemuan hari itu.Ketika para anggota rapat dan Dami
"Kau sudah melihat bagaimana ayahku tadi bersikap, bukan? Tak perlu diambil hati ya, Sayang, ia memang pria tua yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Entah ia memang benar-benar tak tahu, atau ia sengaja tak peduli dan hanya memikirkan dirinya saja, aku pun sesungguhnya tak mengerti. Yang jelas pasti, ia adalah pria yang tak memiliki pendirian karena dari awal saja ia tak tahu harus berpihak dan melindungi siapa.""Yah, walau jawaban itu sudah jelas tak usah dipertanyakan lagi, kita sama-sama tahu bukan, apa jawabannya. Memiliki satu anak dibandingkan dengan tiga lainnya dari wanita berbeda, sudah jelas ia berada di pihak siapa, benar begitu? Bahkan dalam kehidupan pernikahannya pun ia masih saja mampu berkhianat dari istri pertamanya. Andai saja dari dulu aku sudah dapat lepas dari mereka dan hidup dengan kemauanku sendiri, mungkin sekarang kau tak akan ikut menderita dan terhina seperti sekarang, Sayang. Maafkan aku."Lyla mengangguk dan bersandar pada dada Damian ketika malam itu mere