Tumbal Purnama

Tumbal Purnama

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-13
Oleh:  AirylineOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
28Bab
489Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Tumbal Purnama Di sebuah desa terpencil, keluarga muda Lila dan Bima mencoba menjalani hidup damai bersama bayi mereka, Arga. Namun, kedamaian itu hancur ketika mereka menyadari bahwa Arga menjadi target kutukan tua yang telah menghantui keluarga Bima selama beberapa generasi. Kutukan ini berasal dari perjanjian gaib yang dibuat oleh kakek buyut Bima, meminta tumbal bayi di bawah dua tahun setiap bulan purnama sempurna. Ketika tanda-tanda gaib mulai muncul, bayi menangis tanpa sebab, bayangan bergerak sendiri, dan suara bisikan di malam hari, Lila dan Bima terpaksa menghadapi teror yang mengancam keluarga mereka. Dengan bantuan seorang pria misterius bernama Pak Gana, mereka menggali asal-usul kutukan dan menemukan bahwa pohon tua yang disebut Pohon Leluhur adalah portal antara dunia manusia dan makhluk gaib. Namun, menghancurkan kutukan tidaklah mudah. Mereka harus menjalani ritual berbahaya di bawah bulan purnama, menghadapi makhluk-makhluk gelap yang haus akan tumbal. Dilema moral pun muncul—apakah mereka rela menyerahkan Arga untuk menyelamatkan diri, atau mempertaruhkan segalanya untuk menghentikan kutukan selamanya? Di tengah ancaman gaib dan pengkhianatan tersembunyi, cinta dan keberanian mereka diuji hingga batas terakhir. Meski ritual berhasil menghancurkan Pohon Leluhur, mereka segera menyadari bahwa kutukan itu tidak sepenuhnya hilang—hanya menunggu untuk bangkit kembali. Tumbal Purnama adalah kisah mencekam tentang kutukan turun-temurun, rahasia kelam keluarga, dan perjuangan untuk melawan takdir yang mengancam generasi masa depan.

Lihat lebih banyak

Bab 1

1

Bab 1

Malam itu, bulan purnama menggantung di langit, terlalu besar dan terlalu terang. Cahayanya memantul pada jendela-jendela rumah keluarga Wiratmaja, menembus tirai, seakan mencari sesuatu. Angin dingin membawa aroma anyir yang menyengat, bercampur dengan bau kayu tua dari rumah yang sudah berdiri selama tiga generasi.

Lila terbangun dengan dada yang terasa sesak. Dadanya naik-turun, napasnya terputus-putus. Ia baru saja bermimpi buruk, tapi detailnya menghilang begitu cepat, meninggalkan rasa takut yang membekas di tubuhnya. Perlahan, ia menoleh ke ranjang kecil di sampingnya.

"Arga?" bisiknya dengan suara parau.

Ranjang bayi itu kosong. Selimut yang biasanya membungkus tubuh kecil anaknya terjatuh ke lantai, basah oleh cairan berwarna gelap yang menetes perlahan. Aroma anyir kembali menusuk hidungnya, membuat perutnya mual.

Sebelum ia sempat berteriak, suara itu datang. Tangisan bayi, pelan dan parau, seperti berasal dari tenggorokan yang hampir robek. Tangisan itu tidak datang dari kamar, tapi dari bawah, dari arah gudang tua di belakang rumah.

“Bima!” Lila mengguncang suaminya, yang terbangun dengan mata setengah tertutup. “Arga... dia hilang. Aku mendengar sesuatu.”

Bima terdiam sejenak, tubuhnya kaku. Ia mendengar tangisan itu juga. Suara yang menggema lembut, namun penuh kepedihan, memanggil-manggil.

“Gudang...” gumam Bima, hampir tidak terdengar.

Gudang tua itu sudah bertahun-tahun tak tersentuh, terkunci sejak kakek mereka meninggal. Tapi malam ini, pintunya tampak terbuka sedikit, seperti sedang menunggu mereka masuk.

Lila menggenggam lengan Bima erat, mencoba menguatkan diri. Mereka berjalan menuju pintu belakang, setiap langkah terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahan tubuh mereka. Suara tangisan itu semakin jelas, bercampur dengan bisikan-bisikan lirih yang menyayat telinga.

“Dia milik kami... janji harus ditepati...”

Lila berhenti di depan pintu gudang. Suaranya bergetar saat ia berbisik, “Bima, kita jangan masuk. Ada yang salah...”

Namun, sebelum mereka sempat berbalik, pintu gudang berderit terbuka sendiri. Angin dingin menyapu wajah mereka, membawa serta aroma tanah basah dan darah. Di dalam, bayangan-bayangan bergerak liar di sudut gelap, menciptakan bentuk-bentuk yang tak bisa didefinisikan.

Dan di tengah gudang itu, ada sosok kecil. Arga duduk di lantai, tubuhnya terbungkus cahaya bulan yang menyorot dari lubang di atap. Tapi ada yang salah. Tangannya yang mungil terulur ke arah mereka, sementara di belakangnya, bayangan hitam besar berdiri, tak bergerak, tak bernapas, hanya menatap mereka dengan mata kosong yang bersinar merah.

“Tumbal,” suara itu menggema, tak berasal dari mulut siapapun. “Kau tak bisa lari.”

Lila duduk di lantai, tubuhnya menggigil memeluk selimut basah yang masih meneteskan darah. Bima mondar-mandir di ruang tamu, mencoba berpikir jernih meski pikirannya terus dihantui suara-suara dari gudang.

“Kita harus melakukan sesuatu,” kata Lila dengan suara gemetar. “Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Arga... Arga masih di sana.”

“Tapi bagaimana? Apa yang kita hadapi ini bukan... manusia,” jawab Bima, frustrasi. “Apa kau dengar suara itu? Mereka tahu segalanya tentang kita, Lila. Mereka tahu kelemahan kita.”

Lila terdiam, pikirannya melayang pada cerita-cerita aneh yang pernah ia dengar dari para tetua desa. Tentang keluarga Wiratmaja yang, meski selalu kaya raya, membawa kematian bagi keturunannya. Tentang suara-suara di malam purnama dan bayi-bayi yang hilang tanpa jejak. Ia selalu menganggap itu hanya legenda, sampai sekarang.

“Ada seseorang,” kata Lila akhirnya. “Pak Surya. Dia yang pernah menceritakan hal ini padaku dulu. Dia bilang kutukan ini nyata.”

Pak Surya adalah tetua desa yang tinggal di ujung kampung, dikenal sebagai penjaga rahasia keluarga-keluarga lama. Bima awalnya enggan, tapi akhirnya menyerah pada desakan Lila.

Rumah Pak Surya

Di dalam rumah Pak Surya, bayangan dari lampu minyak menari-nari di dinding, menciptakan bentuk-bentuk aneh yang seakan bergerak sendiri. Udara di ruangan itu terasa berat, hampir sulit untuk bernapas. Lila memegang erat selimut berdarah yang ia bawa, tangannya gemetar tak terkendali.

Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah Pak Surya yang terlihat lebih tua dari usianya. Mata tuanya langsung menatap selimut di tangan Lila. “Kalian sudah terlambat,” katanya datar.

“Tolong, Pak,” kata Lila memohon. “Kami harus menyelamatkan anak kami. Kami harus tahu cara menghentikan ini.”

Pak Surya menghela napas panjang sebelum mempersilakan mereka masuk. Di dalam, ruangan itu dipenuhi aroma dupa yang menyengat. Di meja kayu, ada sebuah kitab tua dengan halaman yang terlihat rapuh.

“Ini bukan hal baru,” kata Pak Surya, tangannya menunjuk kitab itu. “Kakek buyut kalian, Wiratmaja, membuat perjanjian dengan sesuatu yang seharusnya tidak disentuh manusia. Kekayaan dan kejayaan yang kalian nikmati datang dengan harga yang harus dibayar setiap purnama sempurna.”

“Kenapa bayi?” Lila hampir tidak bisa mengendalikan emosinya. “Kenapa mereka mengambil yang tak berdosa?”

“Karena darah bayi adalah yang paling murni,” jawab Pak Surya tanpa ragu. “Semakin tua tumbal, semakin lemah kekuatannya. Dan jika kalian menolak... mereka akan datang untuk seluruh keluarga kalian.”

Bima mengepalkan tangannya. “Pasti ada cara untuk menghentikannya. Ritual atau apa pun itu.”

Pak Surya terdiam lama sebelum akhirnya berbicara. “Ada. Tapi harganya mungkin lebih besar dari yang kalian bayangkan.”

“Kalian tidak mengerti,” suara Pak Surya serak, nyaris seperti bisikan. “Kutukan ini tidak hanya menuntut darah. Ia menciptakan ikatan. Semakin dekat kalian dengan kebenaran, semakin dalam ia mencengkeram kalian.”

Sebelum Bima bisa bertanya lebih jauh, pintu di belakang mereka berderit pelan, seperti ada seseorang yang mendorongnya. Lila menoleh cepat, tapi tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan di luar, gelap yang terasa lebih pekat daripada biasanya.

“Pak Surya, apa itu?” Bima bertanya dengan suara rendah, tubuhnya tegang.

Pak Surya menatap pintu itu dengan ekspresi muram. “Mereka tahu kalian di sini. Semakin lama kita berbicara, semakin dekat mereka.”

Suara langkah terdengar dari luar, perlahan, seperti seseorang berjalan di atas tanah berbatu. Langkah itu semakin mendekat, diiringi suara napas berat, seperti makhluk yang kehabisan udara.

“Kita harus pergi,” bisik Lila, hampir menangis.

“Belum,” Pak Surya berkata tegas. Ia membuka kitab tua di atas meja, jarinya menunjuk sebuah halaman yang penuh simbol aneh dan gambar yang menyerupai bayangan-bayangan di gudang. “Ini adalah satu-satunya cara. Kalian harus mencari tempat di mana perjanjian pertama dibuat. Kakek buyut kalian meninggalkan tanda, sebuah lingkaran yang terbuat dari darah. Di sana, kalian bisa memutuskan kutukan ini.”

Sebelum ia sempat menjelaskan lebih jauh, lampu minyak tiba-tiba padam. Ruangan itu tenggelam dalam kegelapan total, hanya diterangi sedikit oleh cahaya bulan dari celah-celah jendela.

Lila mencengkeram lengan Bima. “Apa yang terjadi?!”

Kemudian, suara itu datang. Tangisan bayi, tapi kali ini lebih menyerupai jeritan. Jeritan itu bergema di seluruh ruangan, seakan datang dari setiap sudut.

“Dia milik kami...” suara dalam itu menggema, penuh kebencian.

Lila berteriak saat melihat sesuatu di sudut ruangan, bayangan besar, sama seperti yang ia lihat di gudang, kini berdiri diam, menatap mereka dengan mata merah menyala. Bayangan itu tak bergerak, tapi kehadirannya begitu kuat hingga udara di sekelilingnya terasa membeku.

Pak Surya dengan cepat mencabut pisau kecil dari balik jubahnya, menggoreskan garis di telapak tangannya. Darah segar menetes ke lantai kayu. “Kalian harus pergi sekarang! Lingkaran ini akan menahan mereka sementara waktu.”

“Bagaimana dengan Anda?” tanya Bima panik.

“Jangan pikirkan aku. Kalau kalian ingin menyelamatkan anak kalian, temukan lingkaran darah itu sebelum purnama berikutnya.”

Bayangan itu mulai bergerak, mendekat perlahan. Dengan langkah berat, Lila dan Bima lari keluar dari rumah, tapi suara jeritan terus mengikuti mereka. Di luar, bulan purnama terlihat lebih besar, memancarkan cahaya merah seperti darah. Di kejauhan, mereka mendengar suara langkah yang mengikuti bukan satu, tapi banyak, seperti seluruh desa mengejar mereka.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
28 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status