"Apa yang sudah kau dapatkan?" tanya Allen pada Lyla yang saat ini sedang berkutat dengan laptopnya."Belum ada. Mungkin kita hanya harus menunggu saja," balas Lyla."Apa kau yakin cara ini akan berhasil? Karena yang kutahu bukankah dalam zaman modern seperti sekarang ini hal-hal yang berbau ... yah, katakanlah mistis, paranormal, aneh, dan semacamnya itu tidaklah nyata?" ucap Allen lagi.Lyla mengangkat sebelah alisnya sebelum akhirnya berkata, "Apa kau tak benar-benar mengerti dengan apa yang telah kujelaskan padamu? Bukankah semalam aku telah mengatakan semuanya padamu? Bagian mana yang tak kau mengerti?" tanya Lylabalik bertanya pada saudaranya."Entahlah ... bagian dimana kau bercerita tentang Damian yang memiliki kemampuan spesial, rasanya ... itu masih sulit kumengerti," bisik Allen lirih seolah tak ingin ada seorang pun yang mendengar."Ssh, hentikanlah ... jangan berkata apapun tentang itu. Sebaliknya, kau sekarang tahu apa yang harus kau lakukan, bukan?" ucap Lyla.Allen men
Enam bulan kemudian ....Seorang pria mengendap-endap masuk ke dalam kamar yang temaram tanpa menyalakan lampu. Ia perlahan-lahan berjalan masuk dan mendekati ranjang dengan pemilik yang masih terlelap di atasnya.Napas si pemilik ranjang itu naik turun secara beraturan menandakan tidurnya yang begitu lelap. Dengan melihat sebotol anggur kosong di samping bantalnya, siapa pun pasti akan tahu penyebab tidurnya yang lelap.Pria itu, kemudian perlahan mulai naik ke atas ranjang luas yang tampak dingin karena si pemilik ranjang, wanita itu, tampak sedikit meringkuk dengan selimut yang telah tersibak yang memperlihatkan setengah paha dan betis mulusnya."Damian ...," gumamnya lirih. Sisa air mata sedikit membasahi sudut matanya yang terpejam.Ya, Lyla sedang bermimpi tentang Damian. Ia lagi-lagi merasa nyeri hingga memerlukan alkohol untuk membantunya terlelap. Ketika semua telah menumpuk dan ia merasa kesepian, ia sesekali diam-diam pergi tidur dengan meminum anggurnya malam-malam tanpa s
Lyla segera bangkit dari tidurnya. Ia terduduk menatap Damian dan membeku untuk beberapa saat. "Apakah benar itu kau?" Lyla kemudian meraih wajah Damian dan sedikit meremasnya beberapa kali hingga Damian meringis kesakitan."Aw, ya Sayang, ini aku. Ini bukanlah mimpi," ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Lyla.Lyla menggigit bibirnya dengan kuat. Ia sontak terisak dan menangis. Ia seketika berhambur memeluk Damian dan menangis sejadinya. "Kau jahat Damian! Hgghk ... kau jahat!" isaknya sesekali memukul dada Damian.Damian hanya tersenyum dan memeluk Lyla erat sambil mengusap-usap puncak kepalanya dengan lembut. Ia sendiri merasa lega setelah akhirnya dapat kembali memeluk istrinya."Mengapa kau tak mengatakan apapun di telepon!! Mengapa kau?! Oh!! Hhiiks! Kau menyebalkan! Kau tak memikirkanku!! Harusnya ... harusnya kau ... ooh! Hhhgk!"Damian membiarkan Lyla mengeluarkan isi hatinya dan menangis sepuasnya. Beberapa saat setelah Lyla lebih tenang, Damian meraih wajahnya dan meng
Allen masih menatap Damian lekat-lekat ketika ia duduk di sisi samping pria itu saat makan siang mereka."Apakah ia masih menatapku, Lyla?" tanya Damian tenang sambil menyantap hidangan yang telah disiapkan Lyla."Ya, masih," jawab Lyla sambil tersenyum geli.Allen mengembuskan napasnya setelah bergantian menatap Damian dan Lyla. "Aku masih tak percaya ini. Sebenarnya apa yang terjadi? Kau menghilang begitu saja dan kini, muncul tiba-tiba di hari libur kami tanpa pemberitahuan apapun. Bahkan sekarang kau begitu tenang. Apa kau baik-baik saja? Bagaimana kondisimu? Itu bukanlah suatu penyakit yang serius, benar? Di mana saja kau selama ini?" tanya Allen."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, Allen," ucap Damian sambil tersenyum dan membetulkan letak kaca mata gelapnya."Kulihat kau pun sama terkejutnya denganku. Lihatlah kedua matamu yang membengkak itu, Lyla. Apakah kau menangis semalaman? Wajahmu sekarang benar-benar berantakan dan tampak kacau," komentar Allen."Diamlah, Allen
Lyla sedang berfokus pada laptopnya dan terlihat sedang membalas pesan beberapa 'klien' dalam media sosialnya itu dengan raut serius. Beberapa kali ia pun membalas pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke dalam pesan miliknya."Kau telah mendapatkan mereka rupanya," ucap Damian yang tiba-tiba telah muncul di sampingnya dan ikut memeriksa layar di depannya."Ya, seperti yang kau katakan, beberapa dari mereka sangat mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan tarot dan semacamnya," balas Lyla."Lalu apa kau mempercayainya?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Aku membencinya," jawabnya tenang.Damian mengangkat kedua alisnya seolah bertanya-tanya. "Lalu ... mengapa kau?" ucapnya tak mengerti.Lyla tersenyum lagi. "Mengapa aku membacakan kartu orang lain maksudmu? Bahkan, aku dapat memperoleh pendapatan dari sana? Well ... itu adalah cerita yang lain lagi.""Benarkah? Coba ceritakan padaku," balas Damian.Apakah kau benar-benar ingin mendengarnya?" tanya Lyla."Tentu, sebanyak apapun kau ber
"Benarkah kau baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" ucap Felicia yang siang itu mengunjungi kediaman Damian dan menatap Damian dengan raut haru seolah merasa prihatin dengan keadaannya."Aku baik-baik saja, Felicia," ucap Damian tenang. "Sekarang, katakanlah apa tujuanmu berkunjung kemari?" tanyanya."Melihatmu, tentu saja!" ucapnya. Ia mendekati Damian dan meraih lengan pria itu. "Aku harus melihat langsung bagaimana keadaanmu untuk mengetahui bahwa kau baik-baik saja."Sambil berucap, ia melirik Lyla yang sedang mengamit lengan Damian di sisi lainnya dengan penuh arti."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, bukan?" ucap Damian kemudian."Benarkah tak ada sesuatu yang terjadi padamu?" tanyanya lagi. "Jika kau sedang menjalani perawatan untuk kesehatanmu, apakah tidak terlalu berlebihan saat kau memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada wanita itu?" Tanpa berbasa-basi lagi, Felicia kini menuding Lyla di hadapan Damian.Lyla hanya mengembuskan napasnya dengan tert
Suasana tegang telah menghiasi meja makan di kediaman Damian yang telah tertata begitu banyak hidangan malam itu. Madison beserta suami dan ketiga anaknya telah duduk di tempat masing-masing yang telah dipersiapkan. Lyla dan Allen sendiri yang duduk di sisi Damian, seolah sedang menegaskan status dan keberadaan mereka. "Silakan menikmati hidangan kalian," ucap Damian memberi aba-aba pada keluarganya. "Mungkin ini tak terlalu sempurna mengingat kalian memberitahukan kunjungan dengan mendadak, jadi aku dan istriku tak sempat mempersiapkan semuanya dengan benar," ucap Damian merendah. "Tak perlu berbasa-basi, kau tentu tahu maksud kedatangan kami, bukan?" ucap Gilbert, sang ayah. "Oh, Dad, tentu saja. Tak perlu terburu-buru. Kau datang kemari karena memang sedang mengkhawatirkan keadaan putramu, alih-alih sesuatu yang lain, benar?" balas Damian sambil tersenyum tipis. "Seperti yang kalian lihat sekarang, aku telah kembali dan baik-baik saja." "Oke, baiklah, kulihat kau memang baik-bai
"Kau sudah melihat bagaimana ayahku tadi bersikap, bukan? Tak perlu diambil hati ya, Sayang, ia memang pria tua yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Entah ia memang benar-benar tak tahu, atau ia sengaja tak peduli dan hanya memikirkan dirinya saja, aku pun sesungguhnya tak mengerti. Yang jelas pasti, ia adalah pria yang tak memiliki pendirian karena dari awal saja ia tak tahu harus berpihak dan melindungi siapa.""Yah, walau jawaban itu sudah jelas tak usah dipertanyakan lagi, kita sama-sama tahu bukan, apa jawabannya. Memiliki satu anak dibandingkan dengan tiga lainnya dari wanita berbeda, sudah jelas ia berada di pihak siapa, benar begitu? Bahkan dalam kehidupan pernikahannya pun ia masih saja mampu berkhianat dari istri pertamanya. Andai saja dari dulu aku sudah dapat lepas dari mereka dan hidup dengan kemauanku sendiri, mungkin sekarang kau tak akan ikut menderita dan terhina seperti sekarang, Sayang. Maafkan aku."Lyla mengangguk dan bersandar pada dada Damian ketika malam itu mere