"Apa kau yakin ini tempatnya?" tanya Lyla pada Damian. Lyla sedikit tak yakin ketika Damian membawanya ke sebuah salon kecantikan yang terlihat masih tutup.
"Benar inilah tempatnya. Mari kita masuk," balas Damian.
Seorang pria tiba-tiba keluar dari pintu masuk salon tersebut dan tertawa cerah saat melihat Damian dan Lyla sudah berdiri di hadapannya. "Damian! ... oh, harusnya kau menghubungiku. Aku bisa menjemputmu."
"Tak perlu berbasa-basi Clark. Aku ingin kau memberikan kemampuan yang terbaik yang kau punya untuk Lyla."
Saat namanya disebut, Lyla sedikit tersentak dan refleks menatap Damian. "Aku? Mengapa? Aku pikir kau yang akan menghabiskan waktu di sini?" Lyla berbisik agar pria di hadapannya tak mendengar yang ia katakan.
"Clark, segera persiapkan semuanya," perintah Damian. Lagi-lagi seolah merupakan kebiasaan Damian, ia mengabaikan begitu saja saat Lyla bertanya sesuatu.
"Oke, masuklah kalian. Aku akan bersiap!" Pria bernama Clark itu kemudian masuk kembali ke tempatnya.
"Damian?" Lyla berani bertanya lagi dengan agak keras setelah Clark kembali masuk.
"Kau sudah mendengar bukan? Apa lagi yang ingin kau ketahui?" jawab Damian tenang.
"Mengapa?" tanya Lyla.
"Sebagai asistenku, aku ingin kau memiliki standar yang cukup yang sesuai dengan keinginanku. Itu saja, Lyla," ucap Damian lagi.
Lyla mengerutkan alisnya. "Apa itu artinya penampilanku begitu buruk?" Lyla sedikit tertegun saat Damian menyebutkan soal standar. Ia tiba-tiba tersadar, mungkin dirinya sebenarya tidak layak untuk menjadi asisten Damian.
"A ... apa Jake, atau seseorang pernah menyebutkan tentang penampilanku padamu?" tanyanya. "Apakah menurut mereka aku begitu buruk? A ... aku rasa penampilanku tidak seburuk itu dan tidak terlalu memalukan untuk dapat menjadi asistenmu," lirihnya merasa sedikit tak percaya diri.
"K ... kau bisa tanyakan itu pada mereka, Damian! Kau bisa meminta mereka menggambarkan wajahku dengan baik. Dan jika aku begitu mengganggumu dengan penampilanku, kau bisa membatalkan niatmu untuk menjadikanku asistenmu." Kali ini Lyla mulai sedikit terbawa emosinya.
"Lagipula ... kurasa aku juga tidak terlalu buruk," gumamnya lagi sambil menggigit bibirnya. Ia kemudian menatap Damian dengan wajah cemberutnya. "Dengar, Damian, walau mungkin aku memang tidak cantik, kau juga seharusnya mengatakan sesuatu dari awal mengenai syarat penampilan tertentu yang sesuai untuk kriteria menjadi asistenmu!"
Lyla kemudian menghembuskan napasnya perlahan. Karena sedikit kesal, ia tanpa sadar menjadi terlalu banyak bicara.
Damian yang sedari tadi hanya diam, akhirnya mulai bicara. "Apakah kau sudah selesai mengomeliku?" tanya Damian sambil tersenyum simpul. Tak ada sedikit pun raut kesal pada wajahnya. "Kau kadang menjadi sedikit terlalu banyak berbicara saat kau sedang merasa kesal, Lyla," komentar Damian dengan sedikit geli.
Lyla sedikit terkejut dan merona malu karena sadar ia mungkin telah bertindak sedikit lancang. "Ma ... maaf, maksudku bukan begitu," gumamnya lirih.
"Tak apa, aku mengerti. Aku membawamu kemari untuk suatu tujuan. Anggap saja ini adalah tugas barumu selanjutnya. Bukan berarti penampilanmu buruk, Lyla. Percayalah, aku tahu kau begitu cantik, dan aku juga tak meragukan itu," jawab Damian yakin dan penuh arti.
"Bu ... bukan begitu maksudku. Dan aku tidak cantik. Jangan mengatakannya hanya untuk menghiburku. Lagipula kau belum bisa mengatakan seorang wanita itu cantik jika kau belum benar-benar melihatnya!" Lagi-lagi Lyla seperti telah kelepasan berbicara. Ia refleks menutup mulutnya. "Ah! Maaf, bukan maksudku ...."
Damian tertawa ringan. "Tak apa, aku mengerti. Lagipula, aku memang lebih tahu dari siapa pun tentang kecantikanmu itu," jawabnya lagi seolah menyiratkan sesuatu. "Nah! Baiklah, mari kita masuk," ajaknya kemudian.
Walau tak sepenuhnya mengerti dengan maksud ucapan Damian tadi, Lyla kemudian hanya menuruti ucapannya dan membimbing Damian untuk masuk.
Ketika sampai di dalam salon kecantikan itu, Lyla mendapati ruangan yang begitu luas dan elegan dengan berbagai macam interior mewah yang menghiasi setiap sudutnya begitu ia dan Damian menginjakkan kaki mereka di atas lantai mewah itu.
Mulutnya sedikit menganga karena baru pertama kali ini ia memasuki salon dengan jenis kemewahan yang seperti ini. Jelas, salon kecantikan ini bukanlah salon yang mungkin biasa dimasuki oleh gadis sepertinya.
"Clark!" panggil Damian kemudian.
"Yes, Damian?" Clark kembali menghampiri tamu terhormatnya dengan wajah riang. Jika Richie tadi berbadan besar, maka Clark adalah kebalikan darinya. Ia seorang pria yang ramping dan simpel. Jika diperhatikan, kesamaan yang mereka miliki hanyalah gaya bicara yang riang dan ramah serta sikap yang sedikit gemulai itu.
"Jam enam, sebelum makan malam, aku akan menjemputnya kembali. Layanilah ia dengan baik, Clark." Damian memberikan perintah tegas pada Clark.
"Oke, tak masalah! Kemarilah, Cantik!" Clark serta merta meraih lengan Lyla dengan santai. "Lihat saja, Sayang, akan kupastikan kau menjadi bersinar dan seksi di tanganku," ucap Clark dengan berbinar.
"Clark, jangan terlalu berlebihan. Kau tahu apa yang kuinginkan bukan?" ucap Damian lagi.
"Tentu saja!" Clark mengerling pada Damian walau tentu saja ia tahu Damian jelas tak dapat melihatnya.
"Baiklah, sampai nanti aku menjemputmu lagi Lyla, nikmatilah waktumu." Damian kemudian telah disambut oleh Ben dan begitu saja meninggalkan Lyla sendirian dengan tatapan kebingungan.
"Ikuti aku, Cantik! Tak perlu malu-malu, ayo!" ucap Clark.
"Baiklah," jawab Lyla sedikit gugup. Jantungnya berdetak kencang. Walau ini hanya sebuah salon kecantikan, tetapi ia merasa seolah-olah dirinya sedang masuk ke dalam dunia baru yang belum pernah ia lihat dan alami sebelumnya.
Di luar salon, tampak Damian yang dibimbing Ben, sudah masuk ke dalam mobil. "Ben, bawa aku ke tempat Sammy." Damian memerintahkan Ben segera setelah ia duduk di dalam.
"Baik, Tuan," jawab Ben yang kemudian dengan sigap pindah ke kursi pengemudi untuk bersiap menyetir.
"Pastikan kau melewati jalanan yang tak terlalu mencolok, Ben. Dan seperti biasa, kita ke tempat Harvey dahulu untuk berganti mobil."
"Baik, Tuan," jawab Ben lagi dengan formal.
"Dan ... Ben ... mari kita sedikit bermain-main pada penguntit yang sedang mengikuti kita. Pastikan ia mendapatkan pengamatan yang bagus dan berita menarik untuk tuannya, hmmm ...," ucap Damian sambil kemudian tersenyum kecil.
Ben refleks memeriksa kaca spion mobil. Dan benar saja, di pantulan kaca tampak ada sebuah mobil hitam kecil berjarak cukup jauh sedang berhenti untuk mengawasi mereka.
"Ba ... bagaimana Tuan bisa tahu?" Ben sedikit terkejut dengan petunjuk yang diberikan Damian. Ia sendiri bahkan tidak pernah memperhatikan bahwa ada mobil yang sedang menguntit mereka sebelumnya.
Damian hanya tersenyum simpul lagi tanpa ada yang benar-benar mengerti maksud senyumannya itu selain dirinya sendiri.
____****____
"Bagaimana perkembangan penyelidikanmu, Sam?" tanya Damian yang sedang duduk di salah satu ruang kerja sederhana yang tampak tersembunyi itu. Pria di hadapannya menghampirinya dan segera duduk di depannya. "Aku hanya menemukan petunjuk kecil saja, dan masih berupaya. Seperti yang kau bilang, kecelakaan yang melibatkanmu dan Olivia memang telah direncanakan, Damian." "Belum ada petunjuk siapa yang mungkin melakukan itu?" tanya Damian lagi. "Maaf, sayangnya belum. Dengan penyelidikan diam-diam dan tersembunyi seperti ini, aku terlalu sulit untuk menggali lebih dalam lagi. Tapi aku kau tahu, aku akan tetap berusaha," jawab pria yang bernama Sam itu. "Damian, bisakah kau ingat-ingat lagi kejadian janggal yang mungkin kau alami sebelum kecelakaanmu terjadi?" tanyanya kemudian. Damian menghela napasnya perlahan. Ia memutar kembali rekaman kejadian sebelum dirinya masuk ke dalam mobil yang mengakibatkan ia kecelakaan itu. "Saat itu aku memang sedang mabuk, Sam. Aku hanya ingat kilasan s
Lyla belum berani membuka matanya sesaat setelah ia mendarat ke dalam pelukan Damian. Ia sendiri masih merasa begitu terkejut dan shock. Jantungnya yang berdetak begitu kencang menandakan seberapa besar keterkejutannya itu. "Kau sungguh tak sabar ingin menyambutku ya ... hmm?" Suara berat Damian yang dalam, dan aroma tubuhnya seketika memenuhi indra penciumannya. Lyla mendongak menatap Damian, dan sedikit bergidik karena meremang akibat efek dari suara maskulin Damian. Jika memang gairah tiba-tiba dapat terbangkitkan karena adanya perpaduan antara aroma dan suara maskulin yang serak dan dalam yang menggodanya sehalus beledu itu nyata, maka Damian adalah pemilik sempurna untuk semua perpaduan itu. "Apa kau begitu senang karena melihatku, Manis?" bisik Damian. Lyla yang sejenak begitu terlena dengan suara seksi dan aroma maskulin Damian, kemudian sedikit bergetar. Entah mengapa, ia seolah merasa enggan untuk melepaskan diri dari dekapan dada bidang dan liat tersebut. Lyla merasa sepe
Tak hanya Alice, tetapi semua karyawan Damian seperti tersihir saat melihat Lyla dan Damian masuk melalui pintu utama. Mereka sejenak menghentikan aktivitas yang sedang dilakukan begitu Sang Tuan kembali dengan wanita cantik di sebelahnya. Alice bahkan menganga saat melihat Lyla dengan anggunnya masuk dan tersenyum padanya saat melewatinya. "Bawa aku ke kamar, Lyla," perintah Damian. Lyla dengan patuh menuntun Damian ke lantai atas dan mengantarkannya ke dalam kamarnya. "Apa kau lelah?" tanya Lyla kemudian. "Mengapa kau bertanya?" "Kau meninggalkanku di tempat Clark dan pergi begitu saja. Apa selama itu kau menungguku? Di mana kau menungguku?" "Apa kau ingin tahu?" ucap Damian balik bertanya. "Yah, hanya saja jika kau memang menungguku, aku akan merasa sangat bersalah. Kita pergi dari pagi hingga menjelang malam. Kau pasti lelah. Apa kau sempat kembali ke rumah? Di mana kau saat makan siang?" tanya Lyla lagi ingin tahu. Damian tersenyum simpul. Setelah Lyla menuntunnya, ia ke
Sajian makan malam di rumah itu telah tertata rapi saat mereka sudah bersiap dan berhadapan di meja makan. Lyla duduk bersebelahan dengan Damian, sedangkan Edric dan Madison, ibu Damian berada berseberangan dengan mereka. Walau terkesan ramah, Lyla merasa sedikit was-was dengan cara Madison memperhatikannya. Terlebih saat Damian memperkenalkannya sebagai kekasihnya. Walau samar, Lyla juga dapat melihat ketidaksukaan di dalam raut keterkejutan yang ditunjukkan oleh wanita itu. Entah, mungkin hanya perasaannya saja, tapi ia bersumpah, ia berhasil menangkap beberapa detik rasa ketidaksukaan itu pada dirinya. "Silakan, mari kita mulai makan malam kita. Sayang, Dad dan saudari-saudariku yang lain tidak dapat bergabung dengan kita." Damian membuka makan malam dengan percakapan ringan. "Oh, maafkan ayahmu, Eva, dan Elina. Mereka memiliki kesibukan yang tak dapat ditinggalkan, Sayang. Lain kali aku akan meminta mereka untuk mengunjungimu agar kau tak merasa kesepian," balas Madison. Damian
Lyla yang mematung, menatap iba ke arah Damian. Lebih dari itu, entah mengapa ia merasa ikut menderita hanya dengan melihat wajah kacau Damian. "Damian! Apa yang terjadi padamu? Damian?" Tanpa pikir panjang, Lyla berhambur ke arahnya. Damian yang tampak terkejut menepis Lyla ketika dirinya menyentuh lengan pria itu. "Pergi!! Monster! Pergii!!" teriaknya. Saat itu Lyla kembali terkejut ketika Damian beringsut mundur dengan ketakutan. Ia meringkuk di sudut ranjang dan bahkan menangis terisak dengan pilu! Tak kuasa melihatnya, Lyla kemudian naik ke atas ranjang dan memeluk Damian dengan erat. "Damian, sadarlah. Ini aku, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" "Pergi dari sini!! Pergi! Jangan menggangguku!! Kalian monster! Iblis! Aku tak akan kalah! Kalian tak bisa membunuhku dengan mudah!" teriaknya lagi sambil meronta-ronta. "Oh, ya Tuhan. Damian! Sadarlah! Damian!" Lyla merengkuh wajah Damian dan berbicara tepat di hadapannya. Ia berharap Damian dapat mendengarkannya dan berhenti mer
Lyla mendengar dengkur halus Damian saat ia terlelap bagai bayi. Siapa yang menyangka dibalik badan tegap dan pembawaan tenangnya itu, Lyla melihat sesosok rapuh yang menyedihkan dari seorang Damian. Damian yang meracau karena ketakutan sungguh membuatnya merasa pilu. Ia tak tahu apa saja yang mungkin telah dialami pria itu sehingga dirinya tampak rapuh seperti tadi. Lyla kembali merenung, ia kembali menelaah apa yang sebenarnya terjadi sesaat sebelum Damian kacau. Bagaimanapun dirinya berpikir, ia masih belum dapat menemukan jawabannya. Perubahan Damian yang tiba-tiba itu sungguh mengejutkannya. Karena setengah jam yang lalu sebelum Damian meracau ia tampak baik-baik saja. Ia tak akan berkeringat atau menggigil dan bahkan menangis seperti itu, jika memang tak terjadi sesuatu padanya. "Oh, kau sungguh malang. Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Damian ...." Lyla mempererat pelukannya, dan disambut dengan gerakan kecil oleh Damian yang terlelap. Semakin memikirkannya, semakin Lyla
Damian memilih sarapan di lantai atas. Ia dan Lyla telah bersiap ketika Alice membawakan mereka hidangan pagi untuk sarapan mereka."Kau pasti sangat kelaparan karena kita semalam tidak makan apapun, benar?" Damian berkata sambil meneguk jus miliknya."Kurasa bukan hanya aku, kau pasti juga sama kelaparannya denganku," gumam Lyla."Maaf mengejutkanmu semalam, Sayang. Aku tahu itu yang pertama bagimu mengalami hal seperti itu," ucap Damian lagi.Lyla mengerjap dan dengan sedikit gugup berdehem. Ia tahu maksud ucapan Damian, tapi ia juga tahu apa yang dipikirkan Alice yang sedang berada di dekat mereka. Alice yang tersenyum kecil dan malu-malu semakin membuat Lyla salah tingkah."Ak ... aku tak apa, tak perlu kau pikirkan," jawab Lyla gugup. Ia tak mungkin menjelaskan situasi sebenarnya yang terjadi semalam, bukan?"Alice, terima kasih. Ada Lyla yang akan membantuku," ucap Damian kemudian."Baik, Tuan." Alice mundur dan segera turun menyusuri tangga."Oh, kau sungguh dapat membuat orang
Kediaman Madison .... "Apa yang sebenarnya kau lakukan? Sudah kubilang jangan terlalu terburu-buru. Mengapa semalam kau begitu gegabah?!" ucap Madison. "Tenang, Mom. Aku tahu apa yang aku lakukan. Sedikit kejutan yang kuberikan untuknya kemarin mungkin akan menyebabkam Damian tak bisa mengangkat kepalanya pagi ini," balas Edric sambil tersenyum sinis. "Kau melakukannya lagi?" bisik Madison setengah terkejut. "Ya! Aku harus melakukannya. Harusnya kau cepat-cepat mencari lagi wanita yang dapat mendampingi Damian sebelum wanita asing yang dibawa Jake itu masuk! Bahkan terakhir kali Olivia pun tak mampu kau kendalikan!" protes Edric. Madison menghela napasnya. Ia menatap Edric sambil berpikir serius. "Kau benar, kita memang harus mencari cara lain," gumam Madison. "Hmm ... atau ... kita masih tetap bisa menggunakan Felicia." Madison kembali tersenyum sinis. "Apa maksudmu, Mom?" Edric mulai menaruh atensi yang besar setelah menatap binar di mata ibunya. "Kita posisikan Felicia di ten