"Bagaimana perkembangan penyelidikanmu, Sam?" tanya Damian yang sedang duduk di salah satu ruang kerja sederhana yang tampak tersembunyi itu.
Pria di hadapannya menghampirinya dan segera duduk di depannya. "Aku hanya menemukan petunjuk kecil saja, dan masih berupaya. Seperti yang kau bilang, kecelakaan yang melibatkanmu dan Olivia memang telah direncanakan, Damian."
"Belum ada petunjuk siapa yang mungkin melakukan itu?" tanya Damian lagi.
"Maaf, sayangnya belum. Dengan penyelidikan diam-diam dan tersembunyi seperti ini, aku terlalu sulit untuk menggali lebih dalam lagi. Tapi aku kau tahu, aku akan tetap berusaha," jawab pria yang bernama Sam itu.
"Damian, bisakah kau ingat-ingat lagi kejadian janggal yang mungkin kau alami sebelum kecelakaanmu terjadi?" tanyanya kemudian.
Damian menghela napasnya perlahan. Ia memutar kembali rekaman kejadian sebelum dirinya masuk ke dalam mobil yang mengakibatkan ia kecelakaan itu.
"Saat itu aku memang sedang mabuk, Sam. Aku hanya ingat kilasan samar-samar saat Olivia dan Billy membawaku masuk ke dalam mobil. Dan saat dalam perjalanan pulang, yang aku ingat hanya ledakan, kemudian aku terpelanting. Itu saja," ucapnya sambil mengerutkan alisnya.
"Ah ... entahlah ... hanya itu yang dapat kuingat. Harusnya aku tak terlalu banyak minum saat itu ...," desahnya kemudian.
"Tenanglah, kawan. Semua itu bukan salahmu. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mengungkap siapa dalang dibalik semua ini." Sam menatap Damian dengan wajah serius. "Untuk itu ... aku harus menemukan Billy terlebih dahulu," gumamnya lagi.
"Ya, terima kasih Sam," balas Damian.
"Ah, benar ... apa perjalananmu aman saat datang ke tempatku?" tanya Sammy lagi.
Damian mengangguk. "Yeah, seperti biasa, aku meletakkan mobilku di bengkel Harvey dahulu sebelum aku kemari," jawab Damian.
"Penguntit lagi?" tebak Sam.
"Benar. Sudah beberapa bulan ini mereka selalu mengawasiku."
"Beruntung indra supermu masih berfungsi dengan baik, malah ternyata lebih baik lagi semenjak kau tak dapat melihat, benar?" tebak Sam sambil tersenyum.
Damian hanya tersenyum simpul. "Aku yang dahulu masih terlalu muda dan bodoh untuk dapat segera menyadari arti dari semua kemampuanku. Aku terlalu sombong dan meremehkan banyak hal, Sam. Mungkin, ini adalah teguran untukku."
Sam kemudian memutar kedua bola matanya. "Oh, please ... jangan terlalu keras pada dirimu. Kau tak mendapat teguran apapun, Damian. Kau hanya sedang berada dalam masa istirahat dan merenung. Masa dimana kau diharuskan untuk mereka ulang lagi semua kejadian dan perjalanan kehidupanmu."
"Wah, kau sungguh bijak! Tak sia-sia kau menumbuhkan rambut di janggutmu, Pak Tua!" Damian terkekeh perlahan menanggapi ucapan Sam.
"Kau bisa melihatnya?! Benar! Sangat cocok dan terlihat tampan padaku bukan!" Sammy tergelak sembari mengelus-elus janggutnya.
"Terlihat sangat mencolok di mataku! Menyilaukan! Apakah tak ada yang mengatakan padamu jika kau terlihat lebih tua sekarang dengan janggut itu?" balas Damian lagi dengan nada bercanda.
"Kau tahu aku tidak setua itu bukan? Aku memiliki alasan tersendiri mengenai itu, dan asal kau tahu, kekasihku sangat menyukai janggutku ini." Sammy ikut terkekeh bangga.
Ia kemudian meletakkan secangkir teh ke hadapan Damian yang sedikit jauh dari jangkauannya. "Minumlah," Sammy sengaja mempersilakan Damian untuk mengambil cangkir tersebut.
"Ah, aku tak selera dengan teh murahanmu. Panggilkan Ben kemari, aku tak ingin berlama-lama lagi di ruangan sempitmu ini."
Sammy tergelak mendengar penuturan Damian. Ia seperti sengaja mengetes kemampuan Damian, jadi ia tak terlalu terkejut mendapati jawaban Damian yang terkesan mengelak.
"Sudah kuduga kau tak dapat melakukannya! Ternyata kau tak terlalu super, Damian!" ejeknya lagi. Kemudian ia berdiri dari kursinya, dan segera menuju pintu keluar untuk memanggil Ben.
Setelah meninggalkan kediaman Sammy secara diam-diam, Damian memerintahkan Ben untuk kembali ke kediaman Harvey.
Harvey merupakan salah satu sahabat Damian yang memiliki sebuah bengkel mobil besar yang cukup besar. Untuk menghindari para penguntit tadi, Damian sengaja meninggalkan mobilnya di sana dan keluar secara diam-diam dengan mobil lain sebagai penyamarannya.
Saat sebelumnya mereka keluar dari bengkel Harvey, mereka bahkan melewati mobil si penguntit tanpa ketahuan. Damian lagi-lagi mendapati bahwa si penguntit dengan jumlah dua orang itu adalah orang yang sama yang telah mengikutinya selama beberapa bulan belakangan ini.
****
"Cantik! Sempurna!" Clark sekali lagi mengitari Lyla untuk kesekian kalinya. Ia merasa sangat takjub dengan hasil yang ia lakukan pada gadis itu. "Lyla, kau akan menjadi putri sejati malam ini, aku yakin! Oh! Kau membuatku bangga!" ucapnya seolah terharu.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu, dan mengapa kau memberiku gaun ini?" tanya Lyla sambil mengamati gaun malamnya.
"Ah, gadis konyol! Bahkan Damian mengantarmu sendiri kemari saat usahaku masi tutup tadi, sekarang kau masih berani bertanya?" ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku lebih penyabar dibanding Richie, tapi lihatlah Damian tampan itu membuatnya datang kerumahnya pagi-pagi hanya untuk mengukur ukuran tubuhmu! Oh, aku tak dapat membayangkan wajah kusutnya!" Clark berceloteh dengan sesekali terkikik seru, menertawakan ucapannya sendiri.
Lyla yang benar-benar tak dapat menangkap arah pembicaraannya itu, hanya mengerutkan alisnya dengan heran. "Sudahlah, duduk yang manis saja di sini ya, Sayang. Damian pangeranmu sebentar lagi akan menjemputmu."
"Damian akan menjemputku?" ucap Lyla terkejut. "Tapi ... sekarang belum pukul enam seperti permintaannya tadi,"
"Yeah, kau benar. Mau bagaimana lagi, kau sudah selesai aku sulap untuk hari ini. Aku sudah memberikan semua perawatan kecantikan terbaikku yang aku miliki di daftar menuku. Richie juga sudah mengantar gaun ini padamu. Semuanya sudah aku lakukan. Bahkan, aku juga sudah menelepon Damian tadi." Clark dengan santai menjawab kebingungan Lyla.
"Kau apa?" Lyla membulatkan matanya. "Kau bilang, kau meneleponnya? Oh, My God! Seharusnya kau tak melakukan itu? Ia adalah bosku! Oh, apa yang harus aku lakukan? Kau seharusnya memesankanku taksi saja agar aku dapat kembali sendiri!" ucap Lyla sedikit panik.
"Hm ... hmm. Tidak ... tidak ... jika aku lakukan itu, Damian akan menutup usaha elitku yang sudah kubangun bertahun-tahun dengan susah payah ini, selamanya!" Clark bergidik ngeri. Ia menggeleng-geleng seolah menyiratkan hal yang buruk.
"Tapi ... anyway, cukup lucu juga kau menyebutnya bos, Sayang. Kami tahu itu sebutan yang bagus. Tapi sayangnya bukan hanya untukmu saja, ia memang 'Bos' bagi semua orang." Clark tersenyum geli.
"Yap! Karena ia adalah bosku juga ... tak perlu memasang wajah heran seperti itu," komentarnya. "Sebutan bos mungkin memang sama, tapi aku tahu benar apa yang membedakannya. Karena bagimu, ia adalah bos di ranjangmu, bukan ... hihi," Clark berbisik seolah itu adalah lelucon yang sedang Lyla buat.
"Ap ... apa?" Lyla mengerjap sekejap menanggapi lelucon Clark. "Apa sebenarnya maksudmu?" tanyanya heran. Tapi kemudian, ia tak mau ambil pusing dengan apa yang diucapkannya. Mungkin Clark memang salah paham dengan situasinya hari ini.
"Klining!"
Baru beberapa saat pria itu mereka bicarakan, versi aslinya tiba-tiba sudah memasuki salon dengan tegap dan gagah setelah bel pintu tadi berbunyi. Damian yang memakai setelan rapi dengan gaya maskulinnya masuk dengan begitu tenang. Ben sebagai pengawal dengan sigap menahan pintu untuk Damian.
Aura kejantanan Damian yang sedang melangkah masuk itu seolah berpendar memenuhi seluruh ruangan yang didominasi oleh wanita.
Seperti terhipnotis, setiap pasang mata yang ada di sana menatap Damian dan mengikutinya seolah ia adalah singa jantan yang sedang berlenggok memamerkan keperkasaannya. Sebagai wanita normal, Lyla pun tak dapat memungkiri dan mengelak dari daya tarik Damian yang begitu kuat itu yang mampu membuat wanita mana pun pasti terlena ketika menatapnya. Tentu saja, itu termasuk dirinya.
Walau Damian jelas sedang berjalan dengan memakai tongkatnya, tapi itu tak membuat aura kelelakiannya berkurang. Entah mengapa, sex appeal pria itu malah terlihat begitu mematikan sekaligus elegan.
"Oh, no Damian, jangan naik dulu," gumamnya lirih.
Tak perlu menunggu lama, Lyla yang refleks dan cepat tanggap karena mengamati pria itu akan menaiki undakan kecil, segera bergegas menghampiri Damian. Ia hendak membantu Damian agar pria itu tidak terantuk undakan tersebut.
Karena ketergesaannya, Lyla sendiri bahkan tak menyadari ukuran heels yang sedang dikenakannya yang begitu tinggi. Karena terburu-buru, ia tak memperhatikan langkahnya hingga hampir terjerembab jika saja Damian tidak sigap menangkap dirinya yang sontak berhambur ke arahnya.
"Bluugh!"
Dengan terpejam dan terpekik kecil, Lyla sukses mendarat di dada Damian dengan sedikit keras. Hanya butuh sedetik untuk jantungnya berdetak begitu kencang, karena ia hampir saja mengalami kejadian yang amat sangat memalukan jika ia benar-benar terjerembab dan menjadi tontonan oleh banyak orang. Dan sekarang, dirinya malah berada dalam pelukan pria itu!
____****____
Lyla belum berani membuka matanya sesaat setelah ia mendarat ke dalam pelukan Damian. Ia sendiri masih merasa begitu terkejut dan shock. Jantungnya yang berdetak begitu kencang menandakan seberapa besar keterkejutannya itu. "Kau sungguh tak sabar ingin menyambutku ya ... hmm?" Suara berat Damian yang dalam, dan aroma tubuhnya seketika memenuhi indra penciumannya. Lyla mendongak menatap Damian, dan sedikit bergidik karena meremang akibat efek dari suara maskulin Damian. Jika memang gairah tiba-tiba dapat terbangkitkan karena adanya perpaduan antara aroma dan suara maskulin yang serak dan dalam yang menggodanya sehalus beledu itu nyata, maka Damian adalah pemilik sempurna untuk semua perpaduan itu. "Apa kau begitu senang karena melihatku, Manis?" bisik Damian. Lyla yang sejenak begitu terlena dengan suara seksi dan aroma maskulin Damian, kemudian sedikit bergetar. Entah mengapa, ia seolah merasa enggan untuk melepaskan diri dari dekapan dada bidang dan liat tersebut. Lyla merasa sepe
Tak hanya Alice, tetapi semua karyawan Damian seperti tersihir saat melihat Lyla dan Damian masuk melalui pintu utama. Mereka sejenak menghentikan aktivitas yang sedang dilakukan begitu Sang Tuan kembali dengan wanita cantik di sebelahnya. Alice bahkan menganga saat melihat Lyla dengan anggunnya masuk dan tersenyum padanya saat melewatinya. "Bawa aku ke kamar, Lyla," perintah Damian. Lyla dengan patuh menuntun Damian ke lantai atas dan mengantarkannya ke dalam kamarnya. "Apa kau lelah?" tanya Lyla kemudian. "Mengapa kau bertanya?" "Kau meninggalkanku di tempat Clark dan pergi begitu saja. Apa selama itu kau menungguku? Di mana kau menungguku?" "Apa kau ingin tahu?" ucap Damian balik bertanya. "Yah, hanya saja jika kau memang menungguku, aku akan merasa sangat bersalah. Kita pergi dari pagi hingga menjelang malam. Kau pasti lelah. Apa kau sempat kembali ke rumah? Di mana kau saat makan siang?" tanya Lyla lagi ingin tahu. Damian tersenyum simpul. Setelah Lyla menuntunnya, ia ke
Sajian makan malam di rumah itu telah tertata rapi saat mereka sudah bersiap dan berhadapan di meja makan. Lyla duduk bersebelahan dengan Damian, sedangkan Edric dan Madison, ibu Damian berada berseberangan dengan mereka. Walau terkesan ramah, Lyla merasa sedikit was-was dengan cara Madison memperhatikannya. Terlebih saat Damian memperkenalkannya sebagai kekasihnya. Walau samar, Lyla juga dapat melihat ketidaksukaan di dalam raut keterkejutan yang ditunjukkan oleh wanita itu. Entah, mungkin hanya perasaannya saja, tapi ia bersumpah, ia berhasil menangkap beberapa detik rasa ketidaksukaan itu pada dirinya. "Silakan, mari kita mulai makan malam kita. Sayang, Dad dan saudari-saudariku yang lain tidak dapat bergabung dengan kita." Damian membuka makan malam dengan percakapan ringan. "Oh, maafkan ayahmu, Eva, dan Elina. Mereka memiliki kesibukan yang tak dapat ditinggalkan, Sayang. Lain kali aku akan meminta mereka untuk mengunjungimu agar kau tak merasa kesepian," balas Madison. Damian
Lyla yang mematung, menatap iba ke arah Damian. Lebih dari itu, entah mengapa ia merasa ikut menderita hanya dengan melihat wajah kacau Damian. "Damian! Apa yang terjadi padamu? Damian?" Tanpa pikir panjang, Lyla berhambur ke arahnya. Damian yang tampak terkejut menepis Lyla ketika dirinya menyentuh lengan pria itu. "Pergi!! Monster! Pergii!!" teriaknya. Saat itu Lyla kembali terkejut ketika Damian beringsut mundur dengan ketakutan. Ia meringkuk di sudut ranjang dan bahkan menangis terisak dengan pilu! Tak kuasa melihatnya, Lyla kemudian naik ke atas ranjang dan memeluk Damian dengan erat. "Damian, sadarlah. Ini aku, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" "Pergi dari sini!! Pergi! Jangan menggangguku!! Kalian monster! Iblis! Aku tak akan kalah! Kalian tak bisa membunuhku dengan mudah!" teriaknya lagi sambil meronta-ronta. "Oh, ya Tuhan. Damian! Sadarlah! Damian!" Lyla merengkuh wajah Damian dan berbicara tepat di hadapannya. Ia berharap Damian dapat mendengarkannya dan berhenti mer
Lyla mendengar dengkur halus Damian saat ia terlelap bagai bayi. Siapa yang menyangka dibalik badan tegap dan pembawaan tenangnya itu, Lyla melihat sesosok rapuh yang menyedihkan dari seorang Damian. Damian yang meracau karena ketakutan sungguh membuatnya merasa pilu. Ia tak tahu apa saja yang mungkin telah dialami pria itu sehingga dirinya tampak rapuh seperti tadi. Lyla kembali merenung, ia kembali menelaah apa yang sebenarnya terjadi sesaat sebelum Damian kacau. Bagaimanapun dirinya berpikir, ia masih belum dapat menemukan jawabannya. Perubahan Damian yang tiba-tiba itu sungguh mengejutkannya. Karena setengah jam yang lalu sebelum Damian meracau ia tampak baik-baik saja. Ia tak akan berkeringat atau menggigil dan bahkan menangis seperti itu, jika memang tak terjadi sesuatu padanya. "Oh, kau sungguh malang. Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Damian ...." Lyla mempererat pelukannya, dan disambut dengan gerakan kecil oleh Damian yang terlelap. Semakin memikirkannya, semakin Lyla
Damian memilih sarapan di lantai atas. Ia dan Lyla telah bersiap ketika Alice membawakan mereka hidangan pagi untuk sarapan mereka."Kau pasti sangat kelaparan karena kita semalam tidak makan apapun, benar?" Damian berkata sambil meneguk jus miliknya."Kurasa bukan hanya aku, kau pasti juga sama kelaparannya denganku," gumam Lyla."Maaf mengejutkanmu semalam, Sayang. Aku tahu itu yang pertama bagimu mengalami hal seperti itu," ucap Damian lagi.Lyla mengerjap dan dengan sedikit gugup berdehem. Ia tahu maksud ucapan Damian, tapi ia juga tahu apa yang dipikirkan Alice yang sedang berada di dekat mereka. Alice yang tersenyum kecil dan malu-malu semakin membuat Lyla salah tingkah."Ak ... aku tak apa, tak perlu kau pikirkan," jawab Lyla gugup. Ia tak mungkin menjelaskan situasi sebenarnya yang terjadi semalam, bukan?"Alice, terima kasih. Ada Lyla yang akan membantuku," ucap Damian kemudian."Baik, Tuan." Alice mundur dan segera turun menyusuri tangga."Oh, kau sungguh dapat membuat orang
Kediaman Madison .... "Apa yang sebenarnya kau lakukan? Sudah kubilang jangan terlalu terburu-buru. Mengapa semalam kau begitu gegabah?!" ucap Madison. "Tenang, Mom. Aku tahu apa yang aku lakukan. Sedikit kejutan yang kuberikan untuknya kemarin mungkin akan menyebabkam Damian tak bisa mengangkat kepalanya pagi ini," balas Edric sambil tersenyum sinis. "Kau melakukannya lagi?" bisik Madison setengah terkejut. "Ya! Aku harus melakukannya. Harusnya kau cepat-cepat mencari lagi wanita yang dapat mendampingi Damian sebelum wanita asing yang dibawa Jake itu masuk! Bahkan terakhir kali Olivia pun tak mampu kau kendalikan!" protes Edric. Madison menghela napasnya. Ia menatap Edric sambil berpikir serius. "Kau benar, kita memang harus mencari cara lain," gumam Madison. "Hmm ... atau ... kita masih tetap bisa menggunakan Felicia." Madison kembali tersenyum sinis. "Apa maksudmu, Mom?" Edric mulai menaruh atensi yang besar setelah menatap binar di mata ibunya. "Kita posisikan Felicia di ten
Seperti yang Damian sebutkan sebelumnya tentang membawanya pergi, kini Lyla hanya terdiam selama perjalanan mereka berlangsung. Setelah Damian menyebutkan tentang menikah tadi, perhatiannya kemudian harus terpecah karena terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah kamarnya. William kemudian muncul dan melaporkan tentang kedatangan para petugas pengiriman barang yang telah sampai di kediaman Damian. Damian dengan segera memerintahkan para petugas itu untuk masuk dan meletakkan semua barang kiriman tersebut ke ruangan kecil di sudut kamar Lyla yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan pakaian. Ya! Para petugas kurir itu ternyata mengantarkan berlusin-lusin pakaian dan sepatu untuk Lyla. Dan Lyla yang belum pernah memiliki sebanyak itu pakaian dan sepatu seumur hidupnya, hanya dapat menganga takjub. Seperti yang dikenakannya saat ini, kasual midi dress simpel berwarna putih tulang yang menjadi pilihannya untuk menemani Damian keluar. "Kau jadi pendiam, Lyla," ucap Damian memeca