Suara Laura bagus sekali, lambat laun aku mengantuk dan tertidur tanpa sadar.Aku bermimpi.Mimpi itu terjadi di kelas X IPA 7 setelah kematian Nadia. Kematian seseorang yang hanya menjadi bahan olok-olok tidak membuat para siswa itu bertobat. Mereka masih saja mengejek dan melecehkan Nadia setiap kali menyebutnya.Nadia melayang di udara, mengamati semuanya dengan tatapan dingin.Sampai mereka menyadari bahwa Nadia sepertinya kembali untuk membalas dendam kepada mereka.Lampu kelas tiba-tiba padam. Sidik jari berdarah tiba-tiba muncul di buku-buku. Mereka mengalami mimpi buruk saat tidur siang. Di ruang kelas yang tidak ber-AC saat matahari terik di tengah hari, mereka menggigil kedinginan.Mereka ketakutan.Jadi, ketika seseorang bertanya tentang Nadia, mereka akan berkata ..."Nadia? Dia anak berprestasi!""Nadia sangat cantik. Kulitnya putih mulus. Bibirnya merah merona tanpa lipstik. Aku jadi iri.""Nadia sangat sempurna. Pasti ada sesuatu di balik kasus menconteknya waktu itu. Ka
"Heh, Nadia, pindah kelas saja sana. Sekelas sama kamu cuma bikin malu.""Iya. Kalau nggak pintar ya belajar yang tekun. Kenapa malah mencontek?""Apa yang bisa diharapkan dari anak keluarga miskin? Cih."Perundungan, didiamkan oleh guru, tatapan benci teman sekelas. Aku melewati masa-masa SMA Nadia yang menyedihkan di koridor ini.Air mata berjatuhan di pipiku."Maafkan aku. Seandainya aku ada di sana ...."Pada saat itu, aku mendengar desahan pelan.Seseorang di depan tiba-tiba berseru, "Tangganya sudah kelihatan, ayo!"Semua orang meninggalkan gedung kelas yang menakutkan itu. Sebelum dapat mengatur napas, mereka segera mulai bersiap-siap.Mereka juga menurunkan meja merah tua milik Nadia. Meja yang sudah compang-camping itu dipenuhi bunga-bunga. Satu per satu, mereka membungkuk ke arahnya dan memberikan Nadia kebaikan dan rasa hormat yang tidak pernah dia dapatkan selama hidupnya.Murid-murid yang lain dan Pak Samuel duduk melingkar di lantai, tanpa sepatah kata pun dan dengan tata
Nadia menangis histeris. "Keluar! Keluar!"Pada saat ini, Paula dan Ryan juga masuk ke dalam kelas. Setelah melihat situasinya dengan jelas, Paula mengangkat alisnya dan berkata, "Kamu beneran nggak pilih-pilih."Bastian tersenyum canggung. "Iseng saja. Toh Nadia nggak akan bisa berbuat apa-apa."Dia menendang Nadia dengan ujung kakinya. "Hei, aku sarankan, jangan melakukan hal-hal yang nggak perlu. Selama kamu patuh dan melayaniku sesekali, aku bersedia membayar uang sekolahmu. Tenang saja, siswa miskin, belajarmu nggak akan terganggu."Paula membungkuk untuk mengambil rok di lantai dan berjalan ke arah Nadia."Masih takut apa lagi? Kamu 'kan sudah punya videonya?" Dia menarik jaket yang ada di tangan Nadia dengan kejam dan melemparkannya ke luar jendela bersama roknya.Nadia memekik keras.Paula tertawa jahat. "Nadia, semua orang sudah pulang, nggak ada siapa-siapa di sini. Turunlah ke bawah dan ambil sendiri rokmu."Setelah puas menghina, tiga orang itu pergi meninggalkan kelas, han
Jendela yang tadinya seakan dipaku di bingkainya itu tiba-tiba bisa didorong dengan mudah. Pak Samuel menjulurkan kepala ke luar ....Potongan kayu merah tua yang patah dari kursi menembus dada Paula. Matanya terbuka lebar, masih dipenuhi kebingungan dan kecemasan.Segalanya terjadi begitu cepat.Kelas menjadi hening. Teman sekelas mereka meninggal dengan cara yang aneh satu per satu. Para siswa yang masih duduk di bangku SMA ini tidak lagi panik dan teriak-teriak. Mereka sekarang hanya saling memandang dengan tatapan kosong, mencoba sebisa mungkin agar tidak menggigil ketakutan.Aku menatap Laura dengan mata membelalak lebar.Beberapa saat yang lalu, wajah Laura tiba-tiba berubah menjadi wajah Nadia!Pak Samuel mendadak berlutut ke arah meja merah tua di belakang kelas."Sudah cukup, Nadia. Mereka bertiga sudah mati. Tolong lepaskan kami, kami ... kami akan membakar dupa untukmu!"Matanya merah dan dia berteriak, "Nggak ada yang boleh pulang sekolah hari ini. Tunggu sampai malam, kita
Siswa kelas XI IPA 7 serta guru yang mengajar diberi libur satu minggu sejak hari itu.Luka-luka Laura sudah sembuh. Dia memegang selembar tisu basah untuk mengelap dengan hati-hati kursi lamanya di ruang kelas yang baru ini.Setelah menenangkan diri selama seminggu, para siswa tampak telah mendapatkan semangatnya kembali. Mereka ramai mengobrol dan tertawa tak henti-hentinya.Seolah dua kecelakaan itu telah terhapus dan bunga-bunga muda akan terus bermekaran.Pak Samuel memakai baju baru. Dia menepuk tangan, memberi isyarat agar semua orang menatapnya. "Anak-anak, ini hari pertama kita di ruang kelas yang baru. Bapak harap kalian bisa melupakan hal-hal buruk dan memulai kehidupan sekolah yang baru! Anggap saja ini hari pertama sekolah, ayo bersih-bersih!"Paula memberikan tugas kepada setiap anggota kelas. Saat tiba giliran Laura, dia melihat ke sekeliling kelas."Laura, bersihkan tiga jendela ini."Ruang kelas baru itu berada di lantai lima. Jendelanya sudah usang dan bertumpuk debu.
Kata-kata itu langsung memvonis Laura bersalah.Aku menatap mata Pak Samuel lekat-lekat. "Bapak memangnya lihat Laura menghafal soal itu?"Pak Samuel berdehem. "Ryan selalu dapat nilai tinggi. Dia nggak mungkin bohong."Kemarahanku memuncak dan aku ingin berdebat lagi, tapi Laura menarik bajuku dari belakang."Farah, nggak apa-apa. Tolong antar aku ke UKS."Aku membantu Laura berjalan menuju UKS selangkah demi selangkah.Aku bertanya kepada Laura kenapa dia melarangku melanjutkan.Dia tersenyum dan matanya menatapku bulat-bulat."Percuma, Farah. Pak Samuel nggak akan mendengarkan.""Siapa pun yang mendapat nilai lebih baik dari Ryan pasti akan dituduh mencontek atau semacamnya."Dia berpikir sejenak dan bertanya padaku, "Farah, kenapa kamu membantuku? Apa karena aku cantik?"Langkahku terhenti. "Aku sering di-bully waktu kecil karena badanku kurus. Rasanya sangat menyesakkan. Sekarang, karena aku mampu melawan, aku ingin selalu membantu sebisa mungkin."Pergi ke ruang UKS dari kelas XI