Share

Perkiraan (part 2)

Arwen berjalan cepat ke garasi dan mengeluarkan mobilnya. Dia sangat merasa bersalah menyembunyikan sesuatu dari Trinita. Tapi dia masih belum ingin mengatakan semuanya. Trinita akan syok jika mendengarnya. Arwen mencoba menenangkan perasaan bersalahnya sambil membawa mobilnya meluncur kejalanan. Ketika sampai di perempatan dia membanting setirnya ke kanan menuju kampusnya.

Setelah memarkir mobilnya, dia keluar dan berjalan ke tempat Dinar menunggunya. Kampus masih sepi. Memang terlalu pagi untuk berangkat kuliah. Dia menemukan sahabatnya di kursi panjang taman, di bawah pohon cemara besar. Berkacamata dan memakai kemeja krem bergaris-garis. Dinar tersenyum kepadanya. 

“Hei,” sapanya kepada Arwen. Arwen bergegas menghampirinya. ”Kamu selalu saja terlambat. Aku sudah 10 menit menunggumu di sini.” Dinar menunjuk ke arlojinya. 

“Hei, tukang gerutu,” balas Arwen.” Terima kasih sudah menungguku.”

“Bagaimana kabarmu? Kukira kamu sudah lupa di mana tempat ini karena terlalu lama membolos.”

Arwen hanya menggeleng mendengarkan sindirian sahabatnya itu. “Aku membolos karena ada sesuatu yang harus kulakukan.”

“Begitu? Jadi, karena itu kamu membutuhkan pendapatku?”

Arwen mengangguk. “Dengar Dinar, aku merasa kecelakaan orangtuaku bukan kecelakaan biasa. Kurasa ada seseorang yang sengaja membuat mereka kecelakaan.” Jelas Arwen langsung ke pokok masalah.

“Kamu serius?” Dinar tampak terkejut. Suaranya yang keras membuat satu mahasiswa yang kebetulan lewat menoleh ke arah mereka.

“Ssstt, pelan-pelan dong. Aku yakin ada yang sengaja yang mau mencelakakan mereka. Kamu percaya padaku kan?”

“Bagaimana kamu bisa tahu?” Suara Dinar memelan hampir seperti bisikan.

“Dengarkan aku baik-baik dan jangan menyelaku.”

“Oke.” 

Kemudian Arwen mulai bercerita bagaimana dia mendapat gagasan bahwa orang tuanya sengaja dibunuh dan apa saja dia dapat ketika berada di Jakarta. Arwen memang lebih mudah bercerita ke Dinar dari pada ke Trinita. Dia jarang sekali bercerita sesuatu yang penting kepada kakaknya. Menurutnya, Dinar lebih gampang diajak berkompromi dan tenang. Sedangkan Trinita pribadi yang gampang berubah menjadi tak stabil apalagi jika syok.

“Coba lihat ini,” Arwen merogoh tasnya kemudian menarik amplop merah dan menyodorkan ke Dinar.

Dinar membukanya dan membacanya, setelah selesai dia langsung menyorongkan amplop itu ke Arwen, kentara sekali dia sama jijiknya dengan Arwen mengenai amplop berwarna merah itu. Lalu Dinar memandang sahabatnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ekspresi tak percaya yang terpancar di wajahnya. 

“Bagaimana menurutmu?” tanya Arwen sambil menelusupkan amplop itu kembali ke dalam tasnya.

Dinar tak menjawab tapi dia memandang arlojinya. “Arwen, aku akan memberikan pendapatku nanti. Sebaiknya kita segera ke kelas.” 

Mereka berjalan ke kelas, mahasiswa-mahasiswa lain sudah berada dalam kelasnya masing-masing. Kelas dimulai lima menit kemudian. Mereka duduk di dua bangku yang kosong paling belakang. Arwen berusaha mendengarkan penjelasan Pak Adi. Tapi tak satu pun kalimat Pak Adi yang dimengertinya. Ketika sudah mulai bosan, dia menyobek secarik kertas dan menulis.

“Dinar bagaimana pendapatmu?”

Dia menggulungnya dan melemparkannya ke Dinar. Dinar menerimanya dan membacanya. Kemudian menoleh ke arahnya 

“Nanti setelah usai kuliah.” Dinar menjawab tanpa suara. “Aku sedang berkonsentrasi.”

 Arwen menyobek kertas lagi lalu menulis.

“Nggak bisa. Setelah kuliah kamu harus ikut aku ke rumah, Trinita mengundangmu makan malam. Aku nggak menceritakan apa pun ke dia. Jadi jangan bahas hal itu di rumah.”

Kemudian Arwen melempar kertas itu lagi. Arwen memandang Dinar yang ekspresinya terlihat sudah habis sabar. Dia menulis dan melemparkan kertas kembali. Arwen menerimanya dan membacanya. 

“Kalau begitu ikut aku mencari buku dan aku akan memberikan pendapatku sebelum makan malam. Segera hentikan permainan konyol ini, kalau kamu nggak mau Pak Adi menjitak kepalamu.”

***

Matahari tepat berada di atas kepala ketika Dinar dan Arwen berjalan ke parkiran. Mereka terpaksa terpisah dalam mobil masing-masing dan meluncur ke sebuah pusat perbelanjaan di tengah kota .

“Nah, bagaimana menurutmu?” Arwen memulai ketika mereka sudah berada dalam mal dan sedang berjalan menuju ke toko buku.

“Jujur saja aku kaget. Tapi menurut bukti-bukti yang sudah kamu dapatkan memang cenderung ke pembunuhan. Walaupun polisi tetap mengganggap itu hanya kecelakaan biasa.”

“Jadi kamu mendukung gagasanku?”

“Ya, kalau aku jadi kamu, aku pasti berpikiran sama sepertimu. Apalagi tentang ancaman dan pesan yang ditinggalkan ayahmu atau ibumu mungkin?”

“Aku tidak terlalu yakin siapa yang meninggalkan. Tapi aku cenderung ke Papa. Noda darah berbentuk bulan sabit itu persis berada di kaca atas roda kemudi. Kemana-mana, ibu selalu memakai sopir. Dia nggak mau menyetir sendiri.”

“Mungkin pelakunya adalah seseorang yang mengenal ayahmu Arwen,” kata Dinar yang sekarang melepaskan tasnya untuk dititipkan di penitipan barang. Mereka sudah sampai di toko buku.

“Kurasa begitu.” Arwen merenung. “Tapi siapa? Bukti sudah berhenti sampai di situ. Aku nggak punya informasi lain lagi. Kecuali rumah bobrok waktu itu. Rumah itu kosong sejak 23 tahun yang lalu. Dan nggak ada yang tahu ke mana penghuninya sekarang,” timpal Arwen sembari berjalan ke rak buku yang memanjang buku-buku baru.

Dinar berbalik, memandang Arwen dengan serius. ”Ngomong-ngomong kenapa kamu nggak memberi tahu hal sepenting ini kepada kakakmu?”

“Aku nggak ingin membuatnya terlalu banyak pikiran. Dia sudah kualahan dengan pekerjaannya. Jika aku sudah punya pandangan yang nyata, baru aku akan beritahu dia.”

Dinar merenung sebentar dan berpikir. “Kamu benar, lalu sekarang apa rencanamu selanjutnya?”

“Aku akan tetap mencari petunjuk selanjutnya tapi aku tinggal di Surabaya Dinar. Aku nggak mungkin bisa mencarinya di sini, satu-satunya cara aku harus kembali ke Jakarta lagi.”

“Aku juga berpikir begitu.” Mereka mulai mendekati rak-rak. Dinar mengangkat buku asal. Tidak bisa berkonsentrasi. ”Apa kamu sangat mengenal kedua orangtuamu Arwen? Maksudku apa kamu mengenal kehidupan mereka di Jakarta? Mungkin karirnya, teman-temannya atau siapa pun yang diperkirakan bisa jadi musuh.”

“Entahlah, kurasa aku memang tak mengenal mereka. Aku tak tahu bagaimana mereka di sana, siapa temannya, ke mana mereka sering pergi ataupun hal-hal kecil seperti pasta gigi yang biasa mereka pakai. Aku hanya mengenal mereka sebagai orangtua yang selalu pulang sebulan sekali dan terlalu sibuk kerja. Aku hanya mengenal seorang Oma, karena dia yang menjagaku sejak kecil. Tapi mereka semua pergi secara bersamaan. Nggak ada yang bisa aku tanyai lagi,” jawab Arwen getir.

“Aku tahu dan aku mengerti bagaimana penderitaanmu,” Dinar mengelus bahu Arwen kemudian meneruskan. “Tapi nggak ada gunanya lagi meratapi yang sudah pergi. Mereka bertiga memilih jalan yang terbaik dan bahagia di tempatnya Arwen.”

“Kamu tahu Dinar, kadang aku merasa bersalah sudah berteriak sangat keras ketika polisi memberitahuku tentang kecelakaan orang tuaku dan membuat Oma kaget dan… meninggal.” 

Sudah lama dia berusaha menyingkirkan pikiran seperti ini. Dia berusaha memendamnya. Karena semakin dia memikirkannya, semakin dia ingin menyusul kedua orangtuanya dan Oma.

“Itu bukan salahmu Arwen. Hal itu sangat wajar karena kamu sendiri kaget. Jika aku jadi kamu, aku pasti juga berteriak karena syok. Kamu nggak pantas berkata itu salahmu.” Hibur Dinar sambil bergerak ke arah rak buku yang lain dan Arwen mengikutinya.

“Seharusnya aku sadar waktu itu agar nggak berteriak. Aku dan Trinita selalu berhati-hati membicarakan sesuatu yang penting dan buruk ketika ada Oma. Dia terlalu tua dan rapuh.”

“Sudahlah Arwen, jangan menyalahkan dirimu terus menerus. Maafkanlah dirimu dan relakan mereka pergi Mereka akan sedih kalau kamu terus seperti ini. Walaupun kamu nggak berteriak waktu itu, Omamu juga pasti akan tahu.”

Arwen tidak menjawab. Dia hanya menggelangkan kepalanya dengan pelan.

“Kurasa aku memilih waktu yang salah lagi untuk mengajakmu ke toko buku.” Eluhnya. Meletakkan kembali buku di tangannya.

“Maaf.”

“Sudahlah lupakan, kamu kan sudah punya misi lain. Fokus Arwen. Kamu akan memerlukan banyak waktu untuk memecahkan kasus ini.” Tambahnya cepat-cepat ketika melihat Arwen merana lagi.

“Kenapa cara bicaramu tiba-tiba seperti detektif?”

“Hanya meniru salah satu kalimat yang pernah aku baca di novel misteri pembunuhan.“ Jawabnya kemudian tersenyum melihat Arwen terhibur.

Mereka keluar dari toko buku. Melewatkan makan siang di restoran dalam mal. Ketika menunggu pesanan mereka diantar, Dinar mulai membuka lagi pembahasan mereka.

“Arwen aku masih nggak yakin tentang satu hal,” celutuknya.  

“Tentang?”

“Tentang pesan yang ditinggalkan ayahmu. Tentang bulan sabit itu.”

“Aku punya fotonya. Apa aku belum menunjukkannya padamu?”

 Dinar menggelengkan kepalanya kemudian Arwen merogoh sakunya mencari ponselnya.

“Aku sempat memotretnya waktu itu.” Dia memberikan foto di ponselnya ke Dinar.

 Setelah memutar-mutar ponsel Arwen untuk mengamatinya dari segala sudut Dinar berkata. ”Kurasa kamu benar Arwen, nggak mungkin cipratan darah berbentuk seperti ini. Noda darah ini terlihat jelas sengaja dilukis. Mungkin menggunakan jari.”

“Polisi-polisi itu melewatkannya. Mereka bersikukuh kalau orangtuaku kecelakaan seperti biasa karena jalanan itu memang rawan kecelakaan. Kamu punya pendapat tentang ini?”

“Kurasa ayahmu mengenali pelakunya. Mungkin bernama bulan sabit atau mungkin pelakunya memiliki tanda bulan sabit seperti tato dan sejenisnya.”

“Aku juga berpikir seperti itu. Kalau namanya bulan sabit aku meragukannya. Apa kamu pernah mendengar seseorang bernama bulan sabit?” tanya Arwen.

“Nggak. Tapi kamu harus memasukkan segala kemungkinan dalam kondisi seperti ini Arwen.” Dinar mengembalikan ponsel Arwen.

“Kamu benar. Aku harus mencari tahu siapa orang ini dan mencari hubungannya dengan Papa.“ Arwen berhenti bicara. Makanan pesanan mereka sudah datang.

“Terimakasih,” kata Arwen kepada pelayan wanita dan setelah dia berlalu Arwen kembali meneruskan, ”aku harus segera kembali ke Jakarta.”

“Tentu saja, kamu harus kembali ke Jakarta untuk menyelidikinya. Orang yang mengirimkan ancaman dan bulan sabit itu, mungkinkah orang yang sama?” tanya Dinar lalu menyuap ayam teriyakinya.

“Entahlah, aku masih punya sedikit petunjuk.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status