"Kau di sini?" tanyaku pada Rosmala yang tengah duduk sendiri di teras rumah. Rosmala hanya mengangguk. "Aku ingin bicara denganmu, apa kau sibuk?" ajak Rosmala. "Tentu saja tidak," jawabku segera. Kapan lagi aku bisa mengobrol dengan Rosmala seperti ini. Ini adalah kesempatanku untuk menjelaskan kejadian kemarin bersama Mustika. "Rosmala, aku bisa jelaskan tentang aku dan Mustika kemarin. Sebenarnya ... " Rosmala kembali berkata seraya memotong ucapanku. "Sekarang itu semua tidak penting. Yang lebih penting adalah masalahmu dan keluarga Razan," bisik Rosmala. Tunggu, dari mana Rosmala tahu tentang rencanaku terhadap Razan?Tatapan matanya terlihat serius, dia melihat ke kiri dan kanan sambil terlihat waspada. "Apa di sini kita aman?" Sebenarnya apa yang Rosmala bicarakan? Aku sama sekali tidak mengerti. "Tentu. Aku akan memanggil temanku untuk berjaga," jawabku tanpa tahu apa maksud ucapan Rosmala. "Baiklah, Aldi. Dengarkan aku! Ini bukanlah hal mudah. Tapi, aku bisa memb
Razan terduduk bersimpuh. Tangannya gemetar saat mencoba meraih nisan bertuliskan nama Bulan yang tengah usang. "Bulan ... maafkan aku ... aku terlambat menemuimu." Isak tangis terdengar dari Razan, mulutnya bergetar, tangannya terus menggenggam nisan Bulan dengan kuat. "Aku benar-benar sangat menyesal tak mencarimu," rintih Razan. "Andai dulu aku tak menjadi penakut, tentu kau tak akan seperti ini. Aku terlalu bodoh!" "Jangan menangis Razan. Kau tidak bersalah." Kini Bulan pun ikut menimpali. Walaupun dia tahu, Razan tak mungkin bisa mendengar atau pun melihatnya saat ini."Aku tidak pernah berfikir kau meninggalkanku. Aku tahu, kau sangat mencintaiku."Bulan kembali berucap, seakan-akan Razan bisa mendengarnya."Bulan ... ternyata dunia ini bukan tempat untuk kita. Aku akan segera menemuimu, tunggulah aku, di kehidupan selanjutnya. Aku janji ... " Keduanya pun menangis bersamaan. Bulan menyentuh pundak Razan, memeluknya dari dunia yang berbeda. Aku yang menyaksikan mereka ber
"Kenapa kau memberitahukan semuanya pada Razan?" Bulan nampak menghempaskan beberapa buku-buru yang tersususun rapi di lemari. Entah karena kesal atau apa, tapi tak biasanya Bulan bertingkah seperti itu."Razan hampir saja celaka. Dia pasti sangat terguncang dengan perkataanmu!" bentaknya lagi.Ya, seperti yang dikatakan Bulan barusan. Dalam perjalanan pulang, Razan terluka saat mengendarai mobilnya. Dia menabrak sebuah bangunan kosong di jalanan desa."Bukankah itu yang terbaik untuk Razan saat ini? Dia harus tahu tentang kejahatan yang dilakukan Ayah dan Kakaknya," ucapku membela diri.Saat Bulan hendak memalingkan wajahnya, aku lantas segera menyelesaikan ucapanku."Yang kau lakukan untuknya semuanya sia-sia, Bulan. Apa kau belum sadar? Kau tidak bisa pergi bukan karena Razan atau orangtuamu. Tapi, karena dendam yang belum terbalaskan pada mereka yang telah menyakitimu." Aku tahu, ucapanku ini memang agak keterlaluan pada Bulan. Aku hanya ingin Bulan menyadari semuanya sebelum ter
Malam itu ... tubuh Rosmala mengapung di atas langit-langit kamar. Kepalanya berbalik 180 derajat menatap Pak Sarip dan Bi Asih kala itu. "Ros ... " teriak Pak Sarip disusul jeritan Bi Asih. Bi Asih menjadi histeris melihat keanehan yang ditunjukkan Rosmala malam itu. Hatinya terasa tercabik melihat anak gadisnya terlihat begitu tersiksa. Dalam kegetiran, Pak Sarip hendak meraih tangan Rosmala. Walau tubuhnya bergetar hebat, dia tetap ingin menjangkaunya. "Kau telah melanggar perjanjian Sarip! Anak ini adalah milikku." Suara berat nan parau itu keluar dari mulut Rosmala. Sontak Pak Sarip terkejut, ingatannya kembali pada kejadian 15 tahun yang lalu. Saat dirinya meminta bantuan Ki Demang untuk menyembuhkan penyakit yang diderita Rosmala sejak kecil. "Biarkan anak ini menjadi tubuh keduaku. Maka semua ilmuku akan aku turunkan padanya." Ucapan itu terus terngiang di kepala Pak Sarip.Kala itu Pak Sarip hanya mengangguk tanpa berpikir maksud dan akibatnya untuk Rosmala. "Tidak! Di
Sudah hampir 3 hari aku mencari keberadaan Rosmala dengan mengandalkan insting. Tapi tetap saja nihil, walaupun dengan bantuan Bulan dan Nana sekalipun. Sekarang aku mulai putus asa. Dan jalan satu-satunya adalah menghubungi paman Suwarno. Siang itu, telepon genggamku sangat sibuk. Aku terus menghubungi paman, tapi tak ada jawaban. Hanya ada suara perempuan yang memberi kabar bahwa 'Nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif atau di luar jangkauan. Cobalah ... " Tak! Aku bergegas menutup saluran telepon. Geram rasanya saat tahu wanita itu kembali menjawab telepon paman. "Kau tidak berniat menyerah, kan?" tanya Bulan yang sedang asyik mengepang rambut ikal si kecil Nana. Aku menggeleng, "Tentu tidak. Nyawa Rosmala dalam bahaya. Aku harus menolongnya!" ucapku dengan semangat yang menggebu-gebu. "Cih ...!" ejek Bulan. Nana pun bangkit seakan ingin menyemangatiku. "Heh, apa kau ingin mati? Duduk dan diam!" bentak Bulan pada Nana. Si kecil Nana yang ingin merangkulku pun diam dan m
Malam mulai berganti pagi. Tapi aku tak kunjung bangun dari tempat tidur. Aku hanya bisa menatap diriku samar-samar. Seperti versi hologram dari tubuhku. "Kenapa aku bisa seperti ini? Apa aku sudah mati?" Pikiran itu terus terlintas di kepalaku. Tubuhku lagi-lagi tak bisa bergerak seperti orang mati. Kali ini, hanya tersisa raga tanpa jiwa. Aku menatap cermin. Tak ada lagi pantulan wajahku yang terlihat di sana. Begitu pula dengan bayanganku yang tak dapat aku lihat lagi. Apa yang harus ku lakukan?Tok ... tok ... tok"Kak?" Suara Ayla memanggilku.Krieettt ..Pintu kamarku pun terbuka, disusul dengan kedatangan Ayla dari balik pintu."Kakak, ini sudah pagi. Cepat bangun," celotehnya."Belikan aku air untuk mandi."Dasar anak tidak tahu diri. Sudah lebih dari sebulan dia tinggal di sini tapi belum bisa beradaptasi. Mandi pun tetap harus pakai air mineral."Kakak!" Dia terus menggoyang-goyangkan tubuhku yang tengah terbaring kaku."Kau tidak lihat aku sekarang bagaimana?" bentakku
Aku menangis sesegukan. Memangku lutut dan menunduk dalam. Tiba-tiba sebuah tangan mungil menyentuhku perlahan. Mengusap-usap punggungku dan memelukku dari belakang. "Aldi. Jangan menangis, Nana sangat sedih melihat Aldi kesakitan," seru Nana yang tengah memelukku. Aku berpaling menatap Nana, mengelus rambut ikalnya yang berwarna kuning keemasan. Mata coklatnya menimbun air mata. Rasa sedih yang dia rasakan mungkin datang dari ikatan batin yang kami rasakan sejak kecil. Lama ingatan tentang Nana tak pernah muncul di kepalaku. Tapi saat ini tiba-tiba saja ingatan itu muncul dengan sendirinya. Terlintas begitu saja ingatan saat aku masih kecil. Tubuh mungilku tengah merasakan sakit akibat terlalu lama bermain di bawah teriknya sinar matahari. Saat itu, Nana mengantarku pulang dengan wajah yang khawatir. Seperti halnya orangtua pada umumnya, begitu mengetahui aku pulang dalam keadaan sakit, ibu segera memanggil dokter ke rumah kami untuk memeriksaku. Setelah mendapat perawatan dar
Suasana berubah mencekam saat mereka memandang tajam ke arahku. Makhluk mitologi itu kembali mengerang, menatapku seakan ingin segera melumatku. Dadaku terasa tercekik. Sebuah kalimat tak lagi dapat keluar dari mulutku. Ibu ... aku takut. Aku kembali melihat Rosmala yang tak berdaya, dia nampak lusuh dengan pakaian yang sudah tercabik. Darah yang sudah mengering itu masih terlihat di sudut bibirnya. "Ros!" Aku ingin berlari menolongnya. Ingin sekali. Tapi sekujur tubuhku membeku. Lagi-lagi aku tak bisa menggerakkan tubuhku dengan leluasa. "Sial! Apa yang terjadi padaku?" Aku terus mencoba untuk bergerak, melawan rasa takutku yang mulai menjalari seluruh tubuh. Namun, mereka tak tinggal diam. Aku sudah dikepung. Kali ini mereka benar-benar menunjukkan wujud aslinya. Rosmala menatapku penuh kesakitan. Tubuh lemah yang tak berdaya itu mencoba bangun dan meneriakki sebuah kalimat. "Pergi dari sini, Aldi. Kumohon!" Tongkat yang tadinya hanya berdiri tegak, kini terayun dan membua