"Halo, apa kamu menemukan sesuatu?" Nalen bertanya pada orang suruhannya yang bicara diseberang. Laki-laki tampan tersebut terlihat tengah sibuk dengan setupunk dokumen di meja."Ya, Pak Nalen. Saya membawa kabar penting. Saya sudah menyelidiki siapa orang yang pertama kali menjual dokumen itu pada perusahaan Agra Grup."Info yang barusan didengarnya membuat Nalen merasa senang. Secercah harapan muncul di hatinya. "Benarkah? Kalau begitu kirim alamatnya pada saya sekarang. Saya akan secepatnya mendatangi orang ini." Nalen menjawab tanpa melepaskan perhatian dari dokumen-dokumen yang tengah ia kerjakan."Baik, Pak." Sambungan ditutup setelah itu.Nalen memutuskan mendial nomor Safiyya lebih dulu setelah ia mendapat kiriman alamat yang dimaksud orang suruhannya. Telalu tergesa-gesa membuat Nalen tak sempat membaca dengan teliti alamat yang dikirim itu. Sebab ia memilih langsung menghubungi Safiyya. Lama panggilang tak kunjung diangkat. Hingga suara istrinya terdengar di seberang sana.
Yusuf dan Pak Ali saling berpandangan ketika keduanya menemukan keanehan pada beberapa vidio cctv."Coba ulangi bagian ini," ujar Yusuf pada penjaga keamanan. Laki-laki berseragam di depan Yusuf pun menuruti perkataannya."Lalu coba ulangi yang ini?" sambung Yusuf. Ia terdiam sejenak setelah menemukan sesuatu yang janggal."Apa Pak Ali bisa melihat juga apa yang saya lihat?" Yusuf mengalihkan perhatian pada Pak Ali saat bertanya. Laki-laki paruh baya itu pun mengangguk setuju."Banyak sekali vidio yang dihapus di sini. Lihat saja, jam nya lompat-lompat nggak berurutan," sambung Yusuf."Kamu benar," ujar Pak Ali setuju, laki-laki itu lalu mengalihkan perhatian pada orang yang duduk di depanya sambil mengawasi cctv."Kamu tahu siapa orang yang bekerja di jam dan hari itu?" tanya Pak Ali pada petugas keamanan sambil menunjuk vidio cctv di depannya."Seingat saya yang bertugas hari itu Angga. Saya masih ingat sekali saat kami berganti sift hari itu."Jawaban dari petugas membuat Yusuf dan
"Jadi kamu beneran bakal menggelar acara pernikahan di Bali, Saf?" Felis bertanya pada Safiyya dengan suara yang sengaja dikeraskan. Ia melirik Indah yang duduk di belakang sambil memakai headset.Meski bibir wanita itu seolah tengah bernyanyi mengikuti irama musik, Safiyya dan semua sahabatnya jelas tahu bahwa Indah sebenarnya sedang tidak menyalakan musik di ponsel."Kita taruhan, yuk. Aku yakin si Indah sebenarnya sengaja memakai headset hanya untuk mengelabui kita. Dia pasti nggak menyalakan musik di ponselnya," Silvia mencondongkam tubuh dan berkata dengan nada sedikit berbisik agar Indah tak mendengarnya."Coba aja buktikan kalau memang benar, berani nggak?" Tantang Maira."Siapa takut. Mari kita buktikan." Setelah mengatakan itu, Silvia pun bangkit. Dia berjalan menghampiri Indah yang tengah memejamkan mata di kubikelnya. Sedang semua sahabatnya terus mengawasi Silvia dari kejauhan, takut-takut kalau Indah akan memancing keributan."Eh, Indah. Lo dari tadi diam di sini terus ka
"Indah!" Anna berseru memanggil Indah yang tengah berjalan menuju besment karena jam pulang kantor sudah tiba. Wanita yang dipanggil terpaksa berhenti walau dia enggan.Kehadiran wanita itu cukup membuat Indah gugup, ia takut Anna akan bertanya banyak hal kenapa tadi dia memutus panggilan. Indah tak mungkin bicara semua kebenaran itu atau Safiyya benar-benar akan memecatnya. Lebih dari siapa pun, Indah juga tahu seberapa berbahayanya wanita ini. Indah mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas. Ia ingin bersikap seperti biasa di depan Anna agar wanita itu tak curiga."Kenapa tadi kamu menutup panggilan sepihak?" tanya Anna ketika ia sudah berdiri di depan Indah"Itu ... aku kebelet pipis tadi, makanya langsung aku tutup."Jawaban Indah membuat Anna mengangguk paham. "Kita bicara di cafe dekat sini." Anna langsung menarik Indah tanpa menunggu persetujuan wanita itu."Jadi info yang kamu katakan itu benar?" Anna bertanya pada Indah setelah mereka berada di cafe.Indah menyeruput capo
"Kamu akan tahu seberapa tak berartinya dirimu di mata Anna, setelah dia berhasil mendapat apa yang dia mau,"Brian masih saja terngiang kalimat yang Safiyya ucapkan beberapa hari lalu. Sejak istri Nalen datang ke apartemen Anna, Brian seperti dihantui kegelisahan. Bahkan sudah beberapa hari ia berusaha menahan diri agar tak bicara apapun pada Anna terkait Safiyya yang datang ke rumah ini. Jalan satu-satunya, Brian memang harus menemui Nalen untuk memastikan semuanya. Benarkah yang dicintai Anna sebenarnya adalah Nalen? Jika benar begitu, Brian tak akan pikir dua kali untuk balik menikam wanita itu dari belakang, dan memberinya pelajaran yang tak akan bisa dilupakan.Setelah memikirkan semua baik-baik, Brian pun langsung meraih jaket dan kunci mobilnya lalu pergi."Loh, kamu mau ke mana, Brian?" tanya Anna yang baru saja masuk setelah pulang kantor. Keduanya berpapasan di depan pintu."Aku ingin keluar sebentar menemui kolega bisnis di sini," bohong Brian. Ia berusaha menahan rasa mar
"Aku ingin menikahi Safiyya. Dengan atau tanpa persetujuan kalian." Ucapan yang terlontar dari suara bariton itu seolah bagai petir yang menyambar di siang bolong. Mengagetkan semua orang yang kini berada di ballroom sebuah hotel mewah. Termasuk Safiyya yang saat ini tengah berdiri di samping laki-laki yang baru saja bicara itu.Wanita yang penampilannya sekarang sudah tak karuan itu, berusaha melepaskan cekalan tangan Nalen pada tangannya. Tapi, semakin dia mencoba, tangan besar itu seolah makin menggenggamnya kuat-kuat dan tak mengizinkannya lari.Safiyya menatap putus asa pada Nalen. Berharap laki-laki berwajah blasteran Australia itu menghentikan aksi gilanya. Lalu Pandangannya kini dia arahkan pada Maira, sahabatnya, yang sekarang tengah menatapnya dengan mata terluka. Demi Allah, bukan ini kemauannya. Dia sama sekali tak memiliki niat menghancurkan kebahagiaan sahabatnya sendiri."Apa kamu gila, Hah! hari ini acara pertunangan kalian," ujar Aidan Akhtar, ayah Nalen. Laki-laki p
Subuh ini, di sebuah rumah sederhana itu, tampak Safiyya tengah membereskan beberapa buku di atas rak. Gerakan tangannya terhenti ketika tanpa sengaja meraih Alquran usang milik almarhum ayahnya. Wanita itu memutuskan duduk di tempat dia tadi melaksanakan shalat subuh, kemudian memicingkan matanya ketika membaca surah An-Nur:31.Tanpa disadari tubuhnya bergetar, ketika barisan asma Allah itu dia baca berulang-ulang. Entah apa maksud Allah hingga Dia memberi peringatan kepadanya melalui cara seperti ini. Niat awalnya membuka Al-quran untuk dibereskan. Tapi, halaman yang dibuka secara acak itu justru menampilkan ayat peringatan dari surah An-Nur.Bagai sebuah mantra ajaib, mulutnya mengucap istighfar berkali-kali, sementara air matanya semakin deras mengalir. Dadanya terasa begitu sesak, teringat segala bentuk dosa dan kelalaian yang selama ini dia lakukan. Dosa-dosa itu seakan berputar dalam kepalanya satu persatu. Dari mulai nasihat almarhum ayahnya agar dia mengenakan hijab, menutup
Awal BaruPagi ini, di rumah keluarga Amran tampak ada kejadian menarik. Halimah yang tengah menata sarapan di meja mendadak menjatuhkan sendok di tangannya. Wanita yang kini mengenakan kerudung abu-abu itu terpaku menatap Safiyya yang baru saja keluar dari kamar. Gibran yang masih berada di kamarnya pun otomatis keluar karena mendengar dentingan beda jatuh."Ibu ada ap-" Belum selesai kalimat yang diucapkan dari bibirnya, Gibran juga ikut terpaku menatap kakaknya. Safiyya menyunggingkan senyum lebar ke arah adik dan ibunya. "Gimana, Bu? Safiyya cocok ndak pakai hijab?" tanya wanita itu dengan senyum ceria. Sembari memutar tubuh, membuat rok plisket berwarna peach yang dikenakan mengembang. Tak ada respons dari dua orang di depannya. Halimah dan Gibran justru tampak saling berpandangan. Seolah terkejut dengan perubahan mendadak sang putri. Pasalnya Safiyya semalam memang belum sempat memberitahukan keinginannya berhijrah pada Halimah dan Gibran."Gimana? Safiyya nggak cocok, ya, pak