Satu Tim itu berkumpul di ruang otopsi. Mengotopsi jenazah secara langsung.
“Pada darah yang di temukan, terdapat golongan darah A+. Yang di mana, darah tersebut di temukan di baju milik korban. Sepertinya, korban berusaha untuk melawan. Juga, terdapat sayatan pisau di bajunya. Tentunya, darah tersebut berbeda dengan darah korban yang mana Korban bergolongan darah B+,” jelas Alana. Lili memperlihatkan beberapa luka yang berada pada tubuh korban. “Ada cakaran pada perutnya. Rambutnya juga hampir terlepas. Ada ikatan yang kuat pada pergelangan kedua kaki dan tangan. Sepertinya, korban di ikat dengan kuat. Apa yang telah mereka lakukan? Apa mereka menariknya?” kata Lili. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Tulang atas tangan kanan yang retak dan sebelah kiri terlepas.” Alana melihat hasil CT scan dari tubuh korban. **** "Tempat kediaman Pak Sudi dengan peternakan sapi milik Pak Edi, apakah memiliki jarak yang jauh?" tanya Bima. Sudi menahan jantungnya. Batuknya mulai parah. "Rumah saya paling dekat dengan peternakan sapi tersebut. Sehingga, mungkin itu menjadi alasan Pak Edi mempercayakannya kepada Saya." "Sebelumnya apa ada kendala? Apa Pak Sudi merasakan ketidaknyamanan?" tanya Athur. "Hanya sedikit sakit bagian Dada sebelah kiri, mungkin kecapekan. Obat saya memang sudah habis. Ya, hal biasa, nanti juga reda." Sudi menarik napasnya. “Bapak perlu obat apa? Biar kami yang menyediakan,” tanya Athur. “Tidak usah, di tidurkan sejenak saja akan kembali pulih,” jawabnya. "Baik, apakah setiap malam sapi-sapi itu tentram?" tanya Bima terhadap Sudi. "Setiap malam memang jarang ada suara sapi. Namun ... waktu saya terbangun tengah malam, saat hari jumat awal-awal Pak Edi pergi sekitar 2 hari, sapi-sapi itu ramai mengeluarkan suaranya, tidak seperti biasanya. Saya hanya mengecek dari rumah saja. Pintunya juga aman, gemboknya masih terkunci. Saya kira itu bukan masalah yang besar." jelas Sudi. Karena suaranya yang serak dan tidak jelas, sehingga sedikit sulit untuk mencerna perkata yang disampaikan Sudi. "Mohon maaf Pak, bisa ulangi perihal waktu dari suara itu dengan keberangkatan Pak Edi?" tanya Athur. "Jadi, sapi-sapi itu, bersuara di hari itu saja, tidak seperti biasanya. Di mana, itu hari ke-2 Pak Edi telah pergi keluar kota," jelas Sudi. "Sampai hari ini, sapi-sapinya masih bersuara di jam yang larut itu?" tanya Bima. "Jarang ... hampir tidak pernah." **** "Kematiannya sudah di pastikan, pelaku melakukannya di hari ke-2 setelah Pak Edi pergi." jelas Bima. "Alasan apa yang mendasarinya?" tanya Alana. "Sapi itu makhluk yang peka. Peka terhadap suara manusia. Tidak mungkin, ketika pelaku melakukan aksinya, tidak ada suara. Termasuk langkah kakinya dalam aksinya, memiliki suara." ucap Bima. "Tapi kita tidak bisa mengklaim bahwa itu terbukti. Bisa saja ada hal lain, yang membuat sapi itu bersuara. Seperti yang dijelaskan Pak Sudi. Bahwa, tembok dan pintunya aman." "Di umurnya yang sudah menginjak 80 tahun, tentunya sudah dipastikan penglihatan Pak Sudi sudah ... ya! Perlu dipertanyakan," tukas Alana. "Bolehkah saya meminta untuk memberikan pertanyaan terhadap Pak Sudi?" **** "Bisa Bapak deskripsikan hari itu, ketika suara sapi itu ramai, apa yang Bapak lihat?" tanya Alana. "Malam i-itu—" suara yang serak seperti menahan kesakitan. Lalu, Sudi memegang jantungnya seraya sesak napas. " Ahkk!" Melihat itu Alana dan Bima sigap memberikan pertolongan. "Pakaiannya longgarin, Bim!" Alana mengecek detak jantungnya. "Bim telepon ambulans." "Enggak mungkin, Na! Sekitar sejam ambulans sampe sini," jawab Bima. Bima berlari mengambil tabung oksigen di markas. “Gue panggil Lili sama Athur.” Alana berusaha membawa Sudi ke tempat yang lebih aman dan tidak sempit. Sehingga, siklus udara yang masuk dapat di hirup. "Bapak tenang ...." Alana berusaha melakukan pertolongan pertama kepada Sudi. Hingga, Sudi tak sadarkan diri. Alana berusaha menelepon ambulans. Tak peduli cepat dan lambat. Semuanya Ia usahakan dengan maksimal. **** "Gawat! Tolong Pak Sudi, Li, Athur." Bima berlari lagi membawa tabung oksigen. "Cepet!" perintah Bima. Melihat reaksi Bima panik, tentunya Athur dan Lili sigap berlari menuju tempat kediaman Sudi. Suasana di rumah Sudi dipenuhi rasa khawatir dan gelisah. Suasana gerah dan panas. Hanya dibantu satu kipas angin kecil. Semua orang di ruangan itu berlalu lalang berusaha menyelamatkan nyawa seseorang. Dengan keringat yang mengucur deras. Sudi saat itu sudah pucat dengan suhu badan yang mulai dingin. Hingga dimana, Sudi mulai tak sadarkan diri. "Ahh!" Usaha mereka tidak sampai situ. Mereka terus memberikan oksigen dan memompa jantung Sudi. Walaupun mereka mengetahui bahwa Sudi telah tiada. "Enggak mungkin," sergah Athur. Bima menahan tubuh Athur. "Athur! Lo nggak boleh kaya gini!" Alana menggelengkan kepalanya dengan pelan, seraya menahan air matanya yang hendak keluar. "Rabu, pukul 13.05, Pak Sudi telah mengembuskan napas terakhirnya," ucap Alana, seraya menunduk. Mendengar itu, mereka semua berusaha tegar. Berkat Sudi, semua kasus ini hampir saja terpecahkan. Bagi Tim, Sudi bagaikan pahlawan, yang membantu mereka tanpa imbalan. Sudah sangat jauh perjuangannya mengikuti agar masalah ini segera terpecahkan. Bahkan, bisa di katakan seusianya sudah seharusnya untuk tidak banyak pekerjaan. "Terima kasih Banyak, Pak Sudi." Kalimat yang selalu saja Alana katakan. Sudi sudah di tangani oleh keluarganya. Kasusnya, secara paksa di berhentikan. Karena, tidak ada saksi lagi. Saksi kedua Edi, Edi tidak tahu banyak mengenai kasus ini. Karena, memang telah terbukti. Bahwa, Edi bersama keluarganya memang pergi keluar kota. Begitu pun, dengan Sudi. Tidak ada jejak yang menunjukkan bahwa Sudi bersalah. Sudi berpulang, karena terkena serangan jantung. Jenazah perempuan itu, telah dikuburkan tanpa identitas. Namun, masih tetap di bagikan selembaran kertas mengenai identitas mengenai jenazah perempuan itu. Dengan sangat berharap keluarganya dengan cepat mengetahui. Namun, Alana memang pribadi yang memiliki keinginan tau dan kewaspadaan yang sangat tinggi. Sehingga, sedikit mengganjal mengenai jenazah perempuan yang di temukan tersebut. Karena, kematian Sudi sudah di buktikan bahwa Sudi terkena serangan jantung. Sehingga, tidak ada jawaban lagi. **** "Apa kita bakalan tutup kasus ini, Bim? Gimana kalau pembunuhnya masih berkeliaran?" tanya Alana dengan cemas. "Dari semua kasus yang telah kita tangani, hanya kasus ini yang sulit dipecahkan," timpal Athur. "Kita harus buat pemberitahuan agar masyarakat lebih waspada." "Tak ada jalan lain, selain menutup kasusnya. Beberapa upaya telah kita sebarkan baik luar maupun dalam negeri. Kita akan mencarinya kemana lagi? Dari bukti DNA yang cocok saja, tak ada yang mengarah ke pelaku. Sedangkan sanksi hanya Pak Sudi dan Pak Edi, keluarga Pak Sudi juga tak cocok dengan DNA tersebut," tutur Lili. Bima menimpal seraya menyetir. "Kemungkinan besar, jenazah itu dibuang dari tempat yang sangat jauh. Dan tak ada pihak keluarga yang mengakuinya, kasus ini juga dilaporkan oleh warga setempat."Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa