Tim andalan yang terdiri dari dokter forensik Alana Athaya dan Lili Aneth, serta polisi Bima Argiantara dan Athur Frida, berhasil menyelesaikan kasus pembunuhan. Namun, mereka menghadapi kasus misterius dengan korban mengenaskan yang membawa mereka ke kota Hema untuk penyelidikan lebih lanjut.
View MoreSekumpulan anak lelaki menertawakan. “Hahahah kalo lo bisa ambil sendal di pohon itu, kita nggak akan gangguin lo lagi,” jelas Haidan. "Lemah! Cewek kampungan!"
"Huuuh! Kampungan!" sahut Andre. Saat itu, Haidan menjadi anak kecil paling di takuti diusia sebayanya. Sikapnya menjengkelkan. Alana terus berupaya mengambil sandalnya di pohon. Haidan yang melemparnya. Walaupun sudah memanjat-manjat pohon tetap saja tidak terambil. “Ciah nangis, gitu aja nangis, lemah!” ejek Haidan. “Enggak! Alana nggak lemah! Kamu aja! Beraninya ke perempuan!” Hingga diikuti tangisan yang tersedu-sedu. “Bilangin—“ (ucap Alana langsung disergah Haidan). “Siapa? Emang aduan!” Membuat Haidan dengan paksa melepas sebelah sendal Alana dan melemparnya lagi. “Biar tahu rasa! Sana bilangin!” “Kamu kenapa sih? Gangguin Alana terus!” “Karena gue benci sama lo. Kenapa nggak terima?" Haidan mengangkat satu alisnya. Alana terdiam. "Ayo guys! Tinggalin aja anak lemah ini.” Haidan membalikan badannya. Mereka mulai berjalan menjauh. Hingga dimana, seseorang melemparnya dengan kerikil. “Aw!” Haidan melihat ke arah lemparan batu itu dilemparkan. “Woi! Beraninya!" Tatapan Haidan menatap Alana. "Oh ... jadi berani sekarang?" Alana menatap polos. "Apa? Emang Alana lakuin apa?" Seorang Anak Lelaki tiba-tiba saja keluar dari semak-semak. Sakunya dipenuhi oleh batu. “Ngapain? Berani lo? Sini maju!” Ia terus melemparkan batu kerikil. "Sini lo maju!' "Aduh! Aduh!" "Aduh!" "Aw!" Mereka berlarian. “Awas ya!” Membuat Haidan dan teman-temannya menjauh. "Gue tandain muka lo!"" Anak lelaki itu terus mengamati Haidan dan teman-temannya, perlahan mereka sudah tidak terlihat di pandangannya lagi. Kini lirikannya beralih menatap Alana. “Lagian ngapain sih kamu diem aja? Kan bisa lawan mereka! Kamu bakalan diem aja walaupun dibully? Lemah!" “Siapa sih kamu?” tukas Alana, seraya mengelap air matanya. “Lain kali lawan aja. Jadi perempuan lemah banget. Tinggal ambil batu, lempar.” Anak laki-laki itu memanjat pohon. Mengambilkan kedua sendal Alana yang tersangkut. "Nih pake lagi." Tanpa basa-basi Ia berjalan mengambil sepedanya di semak-semak tepat di depan Alana. “Dari tadi kamu di situ kok baru bantuin Alana?” tanya Alana. “Buat apa? Males.” Ia masih sibuk membersihkan sepedanya yang penuh dengan rerumputan. Lalu, Ia pergi. Alana penasaran. Ia mengikuti anak lelaki itu dari belakang seraya memberikan beberapa pertanyaan yang berada di dalam pikirannya. “Kok Alana nggak pernah liat kamu?” Ia menghiraukan pertanyaan Alana. “Kok kamu nggak jawab? Alana punya salah, ya?” Masih melakukan hal yang sama. “Kamu rumahnya di mana?” Ia menghentikan langkah kakinya. Raut wajahnya terlihat malas. “Kenapa? Sana pulang! Ngapain lagi? Mau diusilin anak nakal itu lagi?" Alana tersenyum manis seraya bertanya. “Kita boleh temenan, kan?” sambil mengajaknya bersalaman. Ia menghiraukannya. Melanjutkan lagi langkah kakinya dan meninggalkan Alana. “Aku hari ini main sama kamu, ya? Ya? Ya?" Matanya berbinar menanti sebuah jawaban. Tanpa menoleh Ia berucap. "Lupain aja. Kita nggak kenal juga. Sana pulang!" "Kok kamu gitu sih? Jahat banget!" "Karena aku nggak mau temenan sama anak lemah." Ia berjalan. Kini Alana tak mengikutinya lagi. "Pulang!" **** Sore itu sangat indah dan cerah. Sunset oranye menyinari wajah Alana. Gadis mungil itu tetap fokus pada mainannya yang baru yang dibelikan papanya, Fadli. "mau beli berapa? Tunggu yaa," ucap Alana, berimajinasi sedang melayani pembeli. "Silakan duduk." Takut hal sama kembali terjadi lagi, Alana menjadikan sandalnya sebagai alas duduk. Sejak dahulu, tidak ada anak perempuan seusianya, hanya ada anak-anak nakal, itupun diatas usia Alana. “Beli berapa? Satu ya? Oke tunggu ya, harap antri,” kata Alana lagi. Percakapan itu terdengar oleh Haidan dan teman-temannya. Haidan mengangkat kedua alisnya, sebagai kode bahwa mangsanya sudah ada di depan sana. “Idih si gila. Ngomong sendiri,” kata Andre, di barengi tawa. Haidan menimpal. “Enggak punya temen sampe gila gini, hahahaha." Raut wajahnya langsung berubah. Sandalnya dengan cepat Ia kenakan. Semua barang-barangnya Alana masukkan ke dalam tas. Melihat itu membuat Haidan tersadar. Tujuannya hanya satu, mengganggu Alana hingga menangis. Dengan cepat tangannya merampas sandal di kaki Alana. "Lepasin!" "Nggak!" teriak Alana. Haidan terus berusaha merampas sandal Alana. Hingga sandalnya berhasil Ia genggam. "Wleee! Ambil nih!" ejek Haidan. "Sini Haidan, lemparin sini." Andre menangkapnya. "Sini ambil!" Mereka terus mengoperkan sandal Alana. "Sini ambil!" ejek Andre. "Sini kalo berani ambil," ejek Galih. Sandalnya dioperkan lagi. Dengan tatapan yang tajam, Alana membalikkan badannya seraya berjalan menuju rumah. “Ambil aja. Sendalnya juga udah jelek, hitam dan buluk. Kalo kamu mau ambil, silakan. Sekalian cuci sana,” ketus Alana seraya menyilangkan kedua tangannya dan tetap terus berjalan. Mereka keheranan. Sikap Alana tak sama seperti biasanya. Tentunya membuat hatinya gundah. "Gue robek! Biar tau rasa!" ancam Haidan. "Robek ah," timpal Andre. "Boleh ... nih satu lagi." Alana melempar sendal satunya lagi. "Makan tuh sendal! Nggak punya uang buat beli sendal, ya? Kasian." Hatinya semakin gundah. Tak terima diperlakukan seperti itu, Haidan terus mengancamnya. “Yaudah! Gue robek-robek sandalnya, terus gue bakalan buang ke sungai!" Alana menghiraukannya. “Sendal kamu udah aku buang!!!” teriak Haidan. Alana membuka pagar rumahnya, lalu berbalik. “Berisik! Buang aja! Sana buang ke sungai!” Lalu, Alana masuk ke dalam rumahnya. **** "Jadi, bebek itu nggak punya teman seperti Alana ya, Papa?" tanya Alana polos, ketika Fadli selesai membacakan buku cerita sebelum tidur. Fadli menatap Alana. "Beda dong, Nak." "Bedanya apa? Sama-sama kesepian dan sedih, Alana juga rasain itu, Papa." Fadli tersenyum. "Tapi, bebek itu nggak punya Papa yang sayang seperti Papa ke Alana ... nggak punya Mama yang tulus seperti Mama ke Alana." "Bebek itu kasian ya, Pa." Alana menatap wajah Fadli. "Papa ... papa bakalan tinggalin Alana, nggak?" Alana menunjuk gambar bebek. "Mamanya kan udah pergi, Papanya juga ... Mama kan sering kerja, Papa kerja juga, tapi sering main sama Alana. Kalo Papa pergi, Alana gimana?" "Nggak dong sayang." **** Alana mencari Anak Lelaki itu lagi. Tetapi tetap saja sulit untuk ditemukan. Matahari sudah berada di barat. Keindahannya, akan di ganti dengan gelapnya malam. Alana akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pencariannya dan pulang menuju rumahnya. Berjalan seorang diri seraya berandai-andai untuk bisa dekat dengan anak lelaki itu. Karena didekatnya Alana merasa aman. Melihat anak-anak bercanda ria bermain peperangan, perlahan membuat ukiran di dalam senyumnya. “Kapan ya ... Alana kan juga pengen punya temen,” kata Alana seraya mengayunkan kedua tangannya. "Kenapa sih nggak ada yang mau jadi temen Alana. Alana kan juga nggak nakal." Alana berjalan menuju rumah. Pandangannya tak lepas pada anak-anak itu. Brughh!!!! “Papa!” jerit Alana. Tubuhnya tersungkur dalam kerikil.Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments