Share

7. Pergi

Penulis: Peony's
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-07 20:02:45

Pukul 07: 23 pagi ...

Ya, butuh waktu 6 jam untuk menempuh perjalanan dari Desa Lominggou ke Kota.

Alana membuka pintu rumahnya. Hanya membawa raganya yang lelah. Matanya kurangnya beristirahat, membuat suasana hatinya begitu berantakan.

Ceklekk

"Huh! Lagi-lagi gini lagi." Alana menutup pintunya.

Rasa kantuknya seketika hilang. "Omg!"

Diperlihatkan pemandangan indah. Raut wajahnya berubah menjadi marah. Aldo bersama teman-temannya tergeletak tertidur pulas di ruang tengah. Seketika pandangan Alana tertuju pada beberapa botol minuman keras dan sampah bekas kulit kacang yang begitu berserakan.

"Lo bangun atau gue guyur pake nih minuman?" teriak Alana.

Aldo bersama teman-temannya langsung berdiri. Tak peduli nyawa sudah berkumpul atau tertinggal. “Eh ekhmm ... kakak ... katanya pulang besok,” ucap Aldo panik. “Udah dong kak ... maafin kita."

Tatapan Alana menatap Aldo. "Keren lo kaya gitu? Gue tuntut lo apa sih, Do? Gue pernah suruh lo kerja? Gue pernah suruh lo cuci baju sendiri? Nggak! Nggak kan? Hidup yang baik. Gue cuma minta itu satu. Kakak mati-matian buat lo sekolah. Biar lo nggak sama kaya gue yang apa-apa susah, Do."

"Dan Aldo nggak pernah nyuruh Kakak lakuin itu."

Mata Alana dipenuhi rasa kecewa. "Iya ... oh pasti! Karena emang lo pengen hidup bebas nggak punya duit, nggak sekolah, tapi banyak cewek? Dan hidup bahagia ...." Alana tertawa. "Gue lakuin paling awal kalo hidup bisa kaya gitu. Hidup ada aturan. Jangan masukin diri lo sendiri ke jurang."

"Selebihnya gue nggak belagu kaya lo."

"Gue pantes belagu karena orang yang gue sekolahin nggak tau malu. Gue nggak minta apa-apa dari lo, Do. Gue cuma mau hidup lo jauh lebih baik dari gue, apa itu salah?" teriak Alana. Tatapannya menatap teman-teman Aldo. "Kalian pulang atau saya panggil security.

"Lo aja nggak tau malu sama Mama."

"Lo tau apa?"

"Gue tau semuanya. Lo aja yang selalu menyangkal."

"Karena lo nggak pernah rasain diposisi gue! Lo tau apa? Waktu itu, lo aja masih kecil."

"Mama lakuin itu buat lo makan. Buat beliin gue susu. Buat lo sekolah."

"Buktinya? Ada? Keliatan? Cuma susah doang. Lo jangan menyangkal."

"Siapa yang mau sih Kak? emangnya Mama mau diposisi kaya gitu?"

"Lo bakalan rasain kalo lo ada diposisi gue. Selebihnya emang pada egois."

"Emang lo aja yang belagu. Selalu menyangkal dan nggak terima."

Alana menoleh dengan tatapan tajam. “Ngomong belagu ke gue, emangnya lo udah bisa dapetin apa? Pencapaian lo apa? Ngerengek minta motor? Mobil? Itu pencapaian lo? Bolos disekolah? Bangga lo?"

Aldo menatap tajam. “Gue bisa hidup sendiri. Gue enggak butuh duit dari lo. Kayanya emang lo juga terlalu memaksakan. Lagian semua pencapaian lo juga dibantuin Kak Bima."

Ucapan Aldo saat itu, sungguh menyakiti hati Alana. "Lo pikir gue mau diposisi kaya gini? Emangnya gue minta Bima buat lakuin ini? Lo tau apa brengsek! Lo pikir gue baik-baik aja selama ini atas apa yang telah terjadi sama gue sebagai 'takdir' yang udah ditetapin di hidup gue?” Alana melangkahkan kakinya seraya mengambil beberapa berkas dari kamarnya. "Hidup gue lebih menderita ketimbang hidup lo, Aldo."

Emosi Alana tak bisa lagi dikendalikan. Ia berjalan menuju kamarnya, seraya menangis.

"Lo pengen hidup sendiri, kan? Itu berkas-berkas yang harus lo bayar perbulan, termasuk cicilan ni rumah. Di tambah lagi, biayain nyokap lo. Gue lepasin semuanya. Termasuk biaya hidup lo, gue enggak ngurus. Gue nggak akan lagi mau anggap lo termasuk mama. Gue nggak kuat lagi.”

Berpapasan dengan kedatangan Merlin.

“Anakku, baru pulang. Gimana tugasnya? Lancar?” Merlin memeluk Alana.

"Basi." Alana melepaskan pelukannya dan pergi.

"Lo aja sikapnya bikin sakit hati Mama, Kak. Lo sadar dong."

****

Bima sudah menunggunya di mobil, di depan rumah Alana. Bima terkejut. "Hah? Dia bawa apa?"

Bima menilik-nilik.

“Berkas apa yang dia bawa? Banyak banget ... emangnya dia lagi nyelesain kasus apaan? Apa skripsinya nunggak?” Bima terus menebak-nebak seraya melihat Alana.

Bima membuka kaca mobilnya. Seraya mengeluarkan kepalanya.

“Lama banget, gue udah nunggu setengah jam. Katanya harus gesit, lo sendiri yang lama. Itu lo bawa koper segede ondel-ondel bawa apa aja? Mau kemana? Mau pindah rumah lagi?"

Mata Alana terlihat sembab dan merah. “Buka bagasi,” ketus Alana.

"Siap ichibos." Bima langsung membuka bagasi mobilnya. Banyak pertanyaan di kepalanya mengenai Alana saat itu.

Alana terus berusaha mengangkat kopernya. Namun tidak terangkat. Seraya sesekali mengelap air matanya. “Susah banget.”

Beberapa kali Alana terus berusaha. Namun, masih saja tidak terangkat. “Susah banget, kenapa gini doang susah banget.” Lalu, Alana menangis tersedu-sedu seraya menutup wajahnya.

Bima memperhatikan Alana. Tak berucap sedikitpun. Dengan ragu-ragu Bima bertanya. “M-mau gue bantu nggak, Na?” tanya Bima dengan polosnya.

Alana mengelap air matanya. “Enggak usah, gue bisa sendiri.” Alana terus mencoba.

“Tapi kayaknya lo kesusahan. Mau ... mau di bantu gak?” suaranya semakin ciut. "Gue bantu ya?"

“Gue benci banget sama lo, Bim!"

****

“Ya tinggal bilang ‘tolong, Bim’ udah, selesai,” ucap Bima seraya menyetir.

“Anak kecil balita juga tau, Bima. Kalo tadi gue lagi murat-marit kesusahan angkat koper. Lo aja yang kurang kesadaran dalam hal menolong,” sahut Alana seraya menyilangkan kedua tangannya. "Aneh."

“Gak semua orang paham apa isi hati lo, Alana Athaya,” tukas Bima.

“Itu semua tadi bukan perihal tentang isi hati, Bima Argiantara! Tapi tentang kesadaran! Ya ... tanpa orang minta, kalo emang ada kesadaran dalam diri lo dan kalo orang lain lagi kesusahan dan kalo manusia punya hati yang baik, dia pasti bantu tanpa harus di minta. Manusia yang baik itu langsung ngelakuin, enggak usah nunggu orang lain minta dulu. Aneh banget!” jelas Alana.

“Ya ... orang kalo enggak di mintain tolong, bakalan bodoamat. Kenapa coba enggak minta tolong? Nyusahin hidup lo aja. Kalo ada apa-apa di luar batas kemampuan lo, ya tinggal minta tolong.”

“Pokonya pandangan dan pendirian gue tetep di ‘kesadaran’ pandangan lo terserah. Terserah Lo! Males banget debat masalah yang enggak penting. Udah lupain,” Alana mendelik malas.

Bima menatap Alana seraya tersenyum. Berusaha dengan tegar memahaminya. Bahwa, perempuan memang seperti itu. “Yaudah lupain. Jadi, apa strategi supaya kasus ini cepat terselesaikan?” kata Bima seraya menyetir.

Alana memasang raut wajah yang jutek dengan pandangannya ke arah kaca mobil. “Bukannya kemarin udah di jelasin?” ketus Alana.

Bima tersenyum seraya memandangi Alana. “Udah donggg, jangan personal, gue minta maaf. Jangan bawa masalah pribadi dong, katanya udah lupain aja, maaf,” kata Bima, berbicara pelan dan halus.

“Lah? Memangnya ada kalimat yang saya katakan perihal masalah pribadi? Lagi pula memangnya kita ada masalah? Kenapa minta maaf?” jawab Alana.

Bima menghela napas. “Kita langsung saja ke rumah Pak Sudi ya? Siapkan beberapa pertanyaan, agar tidak memakan waktu yang banyak. Kita bisa lebih fokus agar bukti semakin cepat terkumpulkan.”

“Baik.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Misteri Kematian di Kota Hema   71. Ending

    Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka

  • Misteri Kematian di Kota Hema   70. Menerima kemarin, hari ini, hari esok

    "Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu

  • Misteri Kematian di Kota Hema   69. Ulang tahun yang tak banyak harap

    "Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te

  • Misteri Kematian di Kota Hema   68. Memori yang tak kunjung hilang

    "Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal

  • Misteri Kematian di Kota Hema   67. Sulitnya hidup dalam ketakutan.

    Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.

  • Misteri Kematian di Kota Hema   66. Dipertemukannya Alana dan Lili

    "Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status