Detektif Tom berdiri dengan cengiran pongah terpampang di bawah kumis lelenya itu, pandangan matanya tak lepas dengan tajam memperhatikan kami masuk. Mengapa Langdon tak menuruti permintaan Remi dan malah mengkhianati kepercayaan putranya sendiri? “Maaf Remi, hanya detektif Tom yang bersedia ditugaskan untuk kasus ini. Detektif yang lain menolak dengan tegas.” Rahang Remi mengeras mendengarkan penjelasan Langdon, ia tahu telah masuk dalam permainan mereka, ia tak punya nilai tawar. Remi menatap Ray meminta dukungan. “Sir, klien saya menolak jika detektif Tom yang menangani kasusnya. Sejak awal klien saya merasa jika detektif Tom tak bisa bersikap objektif.” “Oh, apakah demikian tuan Remi? Ataukah kau masih tak rela melepaskan kenyamananmu di sini?” Tom menimpali dengan nada ejekan. “Bukti apa yang kau punya hingga merasa di angkasa, Tom?” tantang Remi, beruntung ia masih dalam mode tenang. Jika tidak, Tom akan semakin senang bisa memancing emosi Remi dan membuatnya menjadi terliha
“Meha ikut aku, Sir.” Ray menepuk bahuku dari belakang. “Hmm....” “Itu permintaan Remi. Lagipula, aku akan menjaganya.” “Ya, lebih baik jika saya ikut dengan Ray, Sir.” “Baiklah, tapi kau harus berjanji Ray, semua tetap di bawah kontrol. Pastikan ia tak kemana-mana, untuk sementara ini.” “Baik, Sir.” “Oke, kalian boleh pergi.” ‘Yes!’ Sorak hatiku yang senang terbebas dari interogasi orang-orang penting dan kaku ini. Saat aku dan Ray keluar dari ruangan, aku dapat merasakan tatapan tajam mereka menembus punggungku. Uugh, sungguh tak nyaman! Aku bergidik saat Ray menutup pintu. “Haha, kau takut? Jangan pedulikan mereka, anggap saja angin lalu. Remi bilang kau punya petunjuk baru mengenai David? Ayo kita diskusikan sambil jalan, dinding ini bisa mendengar.” Ray mengatakan kalimat terakhir dengan sedikit berbisik, ia mengarahkan kami menuju garasi. “Ya, West Wittering Beach.” “Kalau begitu kita harus segera bergerak, mumpung polisi-polisi itu sedang disibukkan oleh Remi dan para
Aku mencoba berpikir positif dan tetap tenang mengemudikan mobil, bagian pantai yang kami lewati tidak begitu ramai, hanya terdapat beberapa toko persewaan alat surfing dan menyelam di sisi kiri jalan dan itupun telah tutup karena kami tiba saat malam. Lampunya yang kekuningan redup tak membantu menerangi jalan. Sesekali aku melirik ke spion tengah dan masih mendapati mobil yang sama mengekori langkah kami.Aku melirik Ray yang duduk diam menghadap samping, haruskah aku memberitahunya tentang mobil mencurigakan itu? Karena aku sudah mencoba sengaja melambatkan laju tapi mobil itu tetap tak menyalip kami.Sekitar 100 meter kemudian aku melihat salah satu pub yang ramai pengunjung, barisan mobil dan motor memenuhi jalan. Aku sengaja menepi di sana, mobil itu ternyata juga menepi tak jauh dari kami.“Ray, aku ke kamar kecil sebentar.”“Oke, Aku tunggu di mobil ya.”“Mm...” Aku bimbang, haruskah aku memberitahunya? Ataukah aku saja yang sedang paranoid?“Ada apa?” Ray memperhatikanku yang
“Baiklah, kami ikut kalian. Tapi tuan Ray, kami akan menuntutmu karena melakukan penyerangan terhadap petugas.” Sorot mata petugas itu mengarah pada temannya yang masih terkapar di tanah. “Lakukan saja, aku punya dasar-dasar pembelaan, Dan, jika kalian lupa, aku adalah pengacara maka aku tak akan mundur dengan mudah.” “Cih....” Petugas bernama Albert itu menatap sinis pada Ray. “So, kau mau melanjutkan perdebatan kita atau ikut kami mencari David Brown?” Ganti aku yang memecah situasi, tanganku menyerahkan pistol petugas itu dengan takut-takut yang langsung diletakkan kembali pada tempatnya semula. “WUUU... Mana pertarungannya! Kenapa cepat sekali selesai! Ayo lanjutkan perkelahian kalian!!” Sorak pengunjung pub yang masih menonton kami. Sialan, bukannya melerai malah memanas-manasi, aku menarik lengan Ray menjauh. “Kami akan mengikuti kalian, kali ini dengan jarak dekat. Jangan mencoba kabur dan mengecoh kami.” “Tentu saja, mengekorlah.” Sebelum itu, Ray membantu Albert mengan
“David! David!” Panik, aku menggedor pintu kaca itu yang menimbulkan getaran keras. Ray melarangku, khawatir pintu itu pecah dan dituntut karena perusakan properti.Lalu ia dan Albert berusaha membuka pintu yang ternyata tak terkunci itu, terasa sedikit berat saat digeser. Rumah itu sepi, tak terdengar ada suara apapun dari dalam. Dari lantai yang tampak berdebu dan sarang laba-laba banyak, sepertinya cottage ini sudah ditinggal lama oleh pemiliknya.Albert meneliti tempat sampah yang penuh dengan bungkus makanan instan, meneliti labelnya yang bertanggal tak terlalu lama. Ia lalu mengirim kode pada temannya dan mereka bersama-sama mengeluarkan senjata. Mataku membulat melihat aksi mereka, jantung berdegup kencang menunggu apa yang akan terjadi. Ketiga pria itu lalu meneliti setiap bagian rumah satu persatu namun tak nampak tanda-tanda kehidupan.Pelan aku berjalan ke arah kamar mandi yang terletak paling dekat denganku, saat itulah aku mencium samar bau yang familiar di udara, aftersh
“Meha, kau berurusan dengan orang yang salah jika mencari tahu tentang Nina. Sebaiknya kau tak usah ikut campur jika masih ingin selamat. Menjauhlah Meha, tolonglah.” David memohon sembari menggenggam tanganku yang langsung kutarik jengah. Kebencianku pada David menjadi berkali-kali lipat, rasa iba yang tadi muncul karena melihat kondisinya yang berantakan kini sudah hilang. Jadi selama ini dia menghilang karena, dia sibuk menghindar?! Bukannya menuntut balas atas kematian sang kekasih?! Sibuk menyelamatkan b*kongnya sendiri! “Kau menjijikkan David. Mendengarmu mengatakan ini semakin membuatku menyesali kematian Nina yang sia-sia.” Raut wajah David terkejut dan matanya berkaca-kaca, tangannya dengan segera meraup muka untuk menyembunyikan rasa sedihnya, tampak punggungnya yang bergetar karena tangis tertahan. Aku sudah tak peduli, apa yang kukatakan itulah kenyataannya, dia tak layak mendapat simpati. Di sini dia berlindung sementara kekasihnya – sahabatku, mati dalam kondisi menge
“David, diam.” Perintahku pada David yang masih sibuk mondar mandir menggumamkan kata-kata penyesalan yang berulang-ulang.“David, DIAM!” Kini aku mengatakannya dengan lebih keras yang membuatnya terpaku di tempat.“Ada apa, Meha? Kau membuatku terkejut.”“Apakah tadi ada orang yang datang sebelum kami?”David mengedikkan bahunya tanda tak tahu, “Aku tadi tidur dan terbangun karena teriakanmu.”Aku menuju kamar mandi sekali lagi untuk memastikan, wangi itu masih lekat di sana jadi tadi bukanlah imajinasiku saja. Selanjutnya aku membuka lemari obat di atas wastafel meneliti isi di dalamnya satu persatu. David tak memakai produk perawatan badan dengan bau vetiver itu, yang artinya hanya satu. Ini adalah wangi dari orang yang tak ingin diketahui identitasnya.“Ayolah David, katakan siapa yang meneror kalian?!”“Kau kenapa sih?! Aku kan sudah bilang kalau tidak akan memberitahumu.”“RAY!! CARI DENGAN SEKSAMA, ADA ORANG YANG DATANG SEBELUM KITA!!” Aku berteriak pada Ray berharap kedua petu
“Jadi, diantara kalian berdua siapa yang mau memberi tahuku pembunuh Nina?!” Aku berdiri dengan berkacak pinggang memperhatikan keduanya dengan tatapan tajam berganti-ganti.“....”Tak ada yang langsung menjawab pertanyaanku, “Astagaaa...” Aku memijat pangkal hidung frustasi. Memperhatikan mereka berdua yang sibuk melempar pandang melemparkan tanggungjawab. Aku tak mengerti mengapa begitu susahnya mereka menyerahkan nama si pembunuh itu. Memutus komunikasi mereka, aku berdiri menghalangi dan kini menatap Cam tajam, sepertinya dia lebih gampang dikorek informasi.“Jadi, Cam?! Ini bukan permainan, sudah ada banyak nyawa yang melayang. Aku tahu di usiamu yang masih muda...”“... Pfft!” Ray menahan tawa yang membuatku mengernyit menanyakan alasannya menertawakan ucapanku, benarkan Cam masih muda? Dia tampak seperti baru memulai masa puber.“Oh, sorry Meha. Hanya saja, bocah ini walau tampak seperti remaja, namun sebenarnya dia sudah semester pertama di Elephas.”“Oh... Well, intinya situa