Di sebuah taman Saka menghabiskan akhir pekannya kali ini. Sesekali ia menatap beberapa anak kecil yang berlarian bermain bersama.
“Ini nomor siapa ya? tiba-tiba aja tanya kabar. Arunika. Enggak mungkin. Tapi kenapa tiba-tiba aku ingat dia.” Saka masih penasaran dengan nomor yang mengirim chat padanya. Ngapain Arun chat lagi? Dia kan udah pergi tanpa pamit.”“Arun cuma nitip pesan sama Tante supaya kamu melupakan dia. Katanya dia mau fokus sama kerjaannya.”“Tapi kenapa mendadak begini, kemarin waktu kita ketemu dia enggak ngebahas apapun.”“Maafkan Tante, Ka. Untuk kali ini Tante enggak bisa bantu kamu. Sebelum dia berangkat Tante juga udah ngomong supaya nemuin kamu dulu, tapi katanya enggak usah.”Saka terduduk lemas. Saat ini ia benar-benar tak bisa berpikir jernih. Separuh jiwanya pergi begitu saja. Hubungannya dengan Arunika selama ini ternyata sia-sia.“Ini ada titipan dari Arun,” ucap Tante Sarah sambil menyerahkan sebuah bingkisan kepada Saka.“Buuuk.” Sebuah bola mengenai Saka tanpa sengaja, perlahan Saka mengambil bola itu. Seorang anak kecil melangkah ke arahnya, wajahnya nampa ketakutan.“Maafin aku Om, tadi aku enggak sengaja,” ucapnya tanpa melihat ke arah Saka.Saka pun mendekati anak itu dan mengelus rambutnya. “Ini bolanya, lain kali hati-hati ya,” uacpanya sambil tersenyum.“Terima kasih, Om.” Anak itu pun lalu berlari meninggalkan Saka.Saka pun meninggalkan taman tanpa disadarinya ada sepasang mata yang mengawasi gerak-geriknya sedari tadi.Saka membuka sebuah album yang sudah tersimpan lama di laci mejanya. Lembar demi lembar perlahan ia buka. Sosok perempuan dengan wajah sangat cantik berambut pendek menghiasi isi album di tangan Saka. Bahkan ada beberapa foto yang sedang bersamanya. Sampai hari ini Saka masih belum tahu mengapa Arunika pergi meninggalkannya. Saka selalu mencari tahu apakah selama ini ada sikap atau pun perkataannya yang membuat Arunika pergi begitu saja. Namun ia tak kunjung menemukan jawaban yang ia cari selama ini. Bahkan sehari sebelum Arunika pergi mereka masih sempat jalan berdua bahkan sikap Arunika tak ada yang aneh. Pesan yang di terima Saka kemarin benar-benar membuatnya gelisah.Saka meraih ponselnya, kembali ia buka pesan tanpa nama yang ia terima. Ia mencoba mengetik pada layar ponselnya namun di hapusnya lagi. Akhirnya karena pesan ini memang sangat mengganggu dirinya ia pun akhirnya memutuskan untuk membalasn pesan tersebut.Maaf ini siapa, dari mana Anda tahu nomor sayaSaka pun menekan kirim pada pesan yang telah ditulis di layar ponselnya. Baru kali ini Saka penasaran dan gelisah menunggu jawaban pesan yang dikirimnya pada seseorang. Berkali-kali matanya kearah layar ponselnya. Saka pun akhirnya membiarkan ponselnya dan kembali melihat foto-foto yang terpampang di album yang masih di pegangnya. Tak lama ponselnya pun berbunyi. [Kamu memang orang baik, Ka masih mau balas chat aku] balas nomor tanpa nama. 'Arunika? Aku yakin ini kamu. Kenapa kamu pergi begitu saja.'Karena penasaran Saka pun menelepon Arunika. [Kenapa enggak di angkat teleponku] balas Saka. Tak ada balasan lagi dari Arunika. Saka benar-benar tak paham akan sikap Arunika yang mudah berubah. Dulu dia pergi tanpa pesan hingga hari ini Saka tak tahu alasan Arunika meninggalkannya. Kini ketika Saka akan melupakannya ia kembali dengan sesuka hati. Di lubuk hati Saka yang terdalam Saka memang masih mencintai Arunika, dan ia juga sadar ia tak punya hak marah kepada Arunika. Tiba-tiba perut Saka berbunyi. “Ach rupanya terlalu banyak berpikir membuat perutku lapar,” gumam Saka. “Asih!” teriak Saka. Namun berkali-kali Saka memanggil Saka tak mendengar jawaban dari Asih. Karena perut Saka sangat lapat akhirnta saka keluar dari kamarnya dan menuju dapur. Ternyata di dapur pun Saka tak menemukan Asih.Setelah beberapa kali Saka memanggil namun Asih tak juga muncul ia pun menuju dapur dimana biasanya Asih berada. Ternyata sama Saka tak menemukan yang di cari.'Kemana Asih, tumben keluar rumah enggak ijin.'“Bapak ngapain di dapur?” sapa Asih yang tiba-tiba muncul di belakang Saka.“Kamu ini kebiasaan tiba-tiba muncul dari belakang. Dari mana saja kamu di panggil berkali-kali enggak jawab," ucap Saka dengan wajah yang masih terlihat terkejut karena melihat Asih yang tiba-tiba muncul.“Dari depan Pak." jawab Asih.“Buatkan saya mie sama teh panas ya,” ucap Saka.“Baik, Pak.” Saka pun langsung meninggalkan dapur.Sambil menunggu mie yang di buat Asih ia pun duduk di teras sambil membuka buku yang sudah lama di belinya. Namun bukannya di baca tapi Saka justru iseng melipat lembaran buku menjadi seperti tumpukan kue dengan lapisan cream. “Ini Pak mie sama tehnya,” ucap Asih sambil meletakkan nampan di meja. “Ngapain kamu masih berdiri di situ,” tanya Saka karena melihat Asih belum pergi setelah meletakkan mie nya. “Nanti malam saya mau ijin keluar sebentar Pak mau main sama teman, tapi itu pun kalau Bapak kasih ijin, " ucap Asih tak berani menatap Saka. “Iya, tapi jangan pulang malam-malam ya.” “Baik, Pak kalau gitu saya kebelakang dulu.”Saka mengaduk semangkuk mie buatan Asih dan menunggu agak dingin. Saka tak mengetahu kalau Asih ternyata tak langsung ke dapur tapi mengintip Saka dari balik tirai jendela ruang tamu. 'Semoga dia tertidur pulas sampai pagi.' gumamnya sambil tersenyum penuh kemenangan. *** Saka menggeliat dan matanya benar-benar terasa berat. 'Tumben aku ngantuk banget, mataku juga berat. Kenapa habis makan mie sama minum teh aku langsung ketiduran.' Sampai tak ingat apa-apa. Pikiran Saka berusaha mengingat kejadian sebelum dia merasakan ngantuk yang begitu hebat setelah menyantap mie buatan Asih. Seingatku tadi aku makan mie di teras. Ini kenapa bangun tidur aku sudah di kamarku. Saka menggeliatkan tubuhnya. Walau berat namun Saka berusaha untuk bangun, di tengoknya suasana di luar dari jendelanya. Ternyata hari sudah gelap. 'Asih jadi pergi enggak ya,kalau pun jadi seharusnya dia sudah pulang. Lebih baik aku lanjut tidur sajalah besok juga harus masuk kerja.' Saka merebahkan kembali tubuhnya dan memejamkan matanya. *** Tanpa sepengetahuan siapa pun ternyata Asih menemui seseorang di rumah kosong yang terletak di ujung jalan perumahan. Rumah yang selama ini tak pernah di datangi siapapun karena peraturan yang berlaku. Sejak awal Asih datang Saka selalu berpikir positif . Bahkan Saka tak menanyakan pada Asih secara detail dari mana Asih tahu jika dirinya membutuhkan asisten rumah tangga. Saka tak pernah tahu jati diri Asih sebenarnta. Bagi Saka yang penting Asih jujur dan bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan baik. “Gimana semua masih aman kan sesuai rencana?” tanya Pak Dirga yang berdiri tak jauh darinya. “Pak Dirga percaya kan sama saya?” tanya Asih balik.Pak Dirga hanya diam mendengar Asih bicara, tapi kamu jangan lengah, kita enggak pernah tahu dia punya rencana apa. Kamu tahu kan Senin dekat dengan dia. Tugas kamu tidak hanya mengawasi Saka tapi juga Senin.” “Pak Dirga tenang aja, pokoknya semua beres. Tapi maaf Pak sebelumnya Pak Saka itu orang baru kenapa Bapak mesti menyuruh saya mengawasi dia?” “Dari awal datang Saka itu udah berani mencoba mendekati rumah ini, sepertinya dia kurang setuju dengan peraturan yang ada di sini.” “Tapi dia juga enggak akan berani masuk kesini. Lagian ini juga cuma rumah kosong.” Tanpa sengaja mata Asih tertuju pada sebuah foto yang terletak di sudut ruangan. Perlahan ia pun berjalan mendekati foto itu. “Foto siapa ini, Pak?” “Itu Mayla pemilik rumah ini. Memang kenapa?”Asih terdiam mendengar jawaban Pak Dirga. Sepertinya ia sedang mengingat sesuatu. Pak Dirga memperhatikan tingkahnya yang sedang mengamati foto yang di pegang Asih. “Kenapa kamu jadi diam.” “Enggak, Pak saya cuma merasa pernah lihat wajah di foto itu," jawab Asih dan pandangannya masih terus tertuju pada foto di tangannya. “Jangan mengada-ada kamu. Mayla itu jarang keluar rumah dia selalu pergi pagi pulang malam. Dia wanita karier jadi super sibuk," jelas Pak Dirga pada Asih. “Sekarang dia enggak pernah kesini kenapa, Pak,” tanya Asih penasaeran pada sosok Mayla. “Bukan urusanmu, kamu saya bayar buat mengawasi Saka. Bukan justru ingin tahu tentang Mayla," jawab Pak Dirga ketus yang sepertinya tak suka mendengar pertanyaan AsihWajah Asih langsung berubah ketakutan ketika Pak Dirga membentaknya.Saka pun segera menghubungi Arunika setelah mendengar kabar dari Asih. Arun pun segera mengirim pesan kepada Bagas agar segera menyusulnya ke rumah Saka. “Mau kemana kamu malam –malam begini?” tanya Bu Erika yang melihat Arunika membawa tasnya. “Arun ada urusan Mama nanti kalau sudah saatnya Mama juga akan tahu,” jawabnya dan bergegas meninggalkan Mamanya. “Ini anak semakin hari semakin aneh pasti dia pergi sama Bagas,” gerutu Mamanya. “Sabar, Bu. Mungkin Mbak Arun memang ada kepentingan mendadak,” sahut Bu Ijah yang berusaha menenangkan Bu Erika. “Kita lanjutin aja buat kuenya, Bu nanti keburu malam dan enggak selesai. Pesanannya kan di ambil pagi.”Bu Erika pun menuruti kata Bu Ijah, ia pun kembalkhiri ke dapur melanjutkan kerjaannya yang belum selesai. “Cepat sedikit, Pak,” ucap Arun pada sopir taksi. “Enggak berani Mbak ini jalannya ramai.” Arun nampak gelisah berkali-kali ia mengecek ponselnya. Semoga aja
“Ayolah, Mas mending kamu jujur aja mau sampai kapan kamu hidup seperti ini dihantui rasa bersalah. Aku tahu ada hal yang kamu rahasiakan,” desak Asih. Karto hanya diam mendengar ocehan Asih. Memang benar apa yang dikatakan Asih Karto sudah bosan hidup seperti ini, setiap hari selalu di kejar ketakutan. Apalagi ia merasa Mayla selalu menghantuinya. Andai dulu aku tak mengikuti kemauan Dirga tentu semua tak akan seperti ini. Batin Karto. “Siapa yang menyuruhmu sebenarnya?” tanya Karto perlahan. “Mas Karto enggak usah banyak tanya, intinya Mas mau enggak bantu aku dan menjelaskan tentang rumah kosong itu.”Karto menghembuskan nafas dengan kasar. “Aku tak tahu dimana Pak Dirga, karena aku juga sedang mencarinya. Kalau tentang Mayla.” Karto terdiam tak melanjutkan perkataannya matanya menyapu semua sudut rumahnya. “Pak Dirga adalah orang yang di percaya Mayla untuk menjaga rumahnya termasuk istrinya, tapi entah setan apa yang merasuki Pak Dirga saat i
Taksi yang di tumpangi Asih berhenti di sebuah rumah yang bangunannya terlihat sangat sederhana. Perlahan Asih pun turun dan mengamati rumah yang sedari kecil di tinggalinya. Suasana terlihat sangat sepi seperti tak berpenghuni. Apa Mas Karto sedang pergi ya. Kenapa asepi sekali. Monolog Asih. Asih pun berjalan kembali ke taksi yang ia tumpangi tadi. “Pak, apa sebaiknya Bapak tinggalkan saya saja? Karena saya takut akan lama nanti,” ucap Asih pada sopir taksi tersebut. “Tapi tadi Pak Saka pesan kalau saya harus nunggu, Mbak,” jawab Sopir tersebut.Asih terdiam mendengar jawaban Sopir tersebut. Asih nampak berpikir keras mmencari cara supaya sopir tersebut tak di ketahui Karto. “Gini aja, Mbak. Ini kartu nama saya di situ udah tercantum nomor telepon saya, nanti kalau urusan Mbak sudah selesai, Mbak tinggal hubungi saya.” “Bapak mau kemana?” tanya Asih stelah menerima kartu nama Pak Sopir tersebut. “Saya mau cari w
“Nach itu Winda,” tunjuk Asih yang melihat Winda dari kejauhan. “Akhirnya datang juga pesenanku,” celetuk Bagas. “Maaf, Mas lama,” ucap Winda begitu berdiri di hadapan Bagas. “Kamu ambil piring, Sih di belakang,” pinta Arun pada Asih. “Baik, Mbak sama saya mau buat munuman sekalian.”Asih pun langsung berjalan ke dalam toko, tanpa di minta Winda segera mengekor di belakangnya. “Asih,” panggil Winda berbisik karena takut Bagas atau Arunika mengikutinya. “Ngapain kamu ngikutin saya?” tanya Asih heran melihat Winda sudah berdiri di belakangnya. “Mau bantuin kamu, lagian dari pada jadi obat nyamuk aku juga enggak ngerti apa yang di bicarakan Mbak Arun sama Mas Bagas mendingan aku ikut kamu,” jawab Winda.Mereka berdua pun membuat minuman dan menyiapkan beberapa roti dan gorengan yang di beli Winda tadi di warung Bu Surti. “Silahkan, Mbak, Mas,” ucap Asih sambil meletakkan minuman dan makanan.D
Arunika menceritakan semua rasa penasarannya tentang rumah kosong di perumahan dekat toko roti miliknya. Bahkan tentang mimpi yang di alami Saka dan dirinya. Awalnya Dika tak percaya karena Dika mengira Arunika hanya menghayal karena terobsesi ingin menemukan Kakanya. Namun setelah Arun menemukan bukti foto-foto di rumah kosong itu Dika mulai mempercayai kecurigaan Arunika terhadap Pak Dirga. “Aku kehilangan jejak Pak Dirga, makanya aku bingung,” keluh Arun dengan suara lirihnya. “Apa dia tak punya sanak keluarga yang bis kita mintai keterangan?” tanya Dika. “Kenapa kita enggak kepikiran hal itu dari awal, setidaknya kita bisa tanya sama Pak Senin atau Asih tentang Pak Dirga,” imbuh Bagas sambil menepuk keningnya. “Dik, apa Nanda pernah menceritakan sesuatu atau mungkin berkeluh kesah tentang keadaannya?” tanya Ayu sambil menatap Dika seolah meminta mengingat sesuatu hal sebelum Nanda menghilang.Dika terdiam wajahnya nampak serius mengi
“Kamu mau kemana, Run pagi-pagi gini. Lagian bukannya toko buka jam sembilan,” tegur Mama Arunika ketika melihat Arun sudah rapi. “Arun ada perlu Bu mau pergi sama Bagas. Hari ini kayaknya Arun juga enggak akan sempat ke toko. Mama tenang aja udah ada Winda sama Asih, mereka bisa di andalkan kok,” jawab Arunika. “Kamu itu bukannya nyari Kakakmu tapi sibuk aja dengan Bagas.”Arunika memejamkan matanya sambil membelakangi Mamanya mendengar perkataan Mamanya hatinya begitu sakit jelas sekali Mamanya selama ini hanya memikirkan Kakaknya. Ma andai Mama tahu selama ini usahaku mencari Kak Nanda. Bahkan aku pergi dengan Bagas pun karena Kak Nanda. Sampai Bagas yang bukan keluarga kita mau bantu mencari kak Nanda karena dia tahu gimana perlakuan Mama ke aku. monolog Arunika. “Belum saatnya Arun menjelaskan apa yang Arun lakukan sama Bagas Ma. Karena selama Kak Nanda belum di temukan Arun akan selalu salah di mata Mama.” “Kamu marah sama Mama?”