“Saya perhatikan akhir-akhir ini Mas Saka murung. Memang ada masalah ya di kantor?” celetuk Pak Senin.
“Enggak ada, Pak. Semua berjalan lancar sesuai harapan saya,” jawab Saka tanpa melihat ke arah Pak Senin yang mengajak bicara.Pak Senin pun diam tak berani bertanya lebih jauh lagi pada Saka. Hanya terdengar deru nafas mereka berdua. Bahkan kopi di cangkir saka pun sudah mulai dingin. “Pak, saya tahu Bapak orang baik. Makanya saya percaya.”Mendengar perkataan Saka, Pak Senin pun sontak menengok ke arahnya. “Syukurlah kalau Mas Saka menilai saya seperti itu. Tapi tumben enggak ada angin enggak ada hujan kenapa Mas Saka muji saya?” Saka tak begitu mempedulikan perkataan Pak Senin barusan. “Pak, waktu saya lewat di depan rumah yang katanya tak boleh di kunjungi, saya melihat seorang perempuan.”Mata Pak Senin seketika langsung terbelalak, wajahnya pun langsung pucat dan dia beringsut dari tempat duduknya. “E--- Mas Saka salah lihat kali,” sanggah Pak Senin mendengar perkataan Saka. “Enggak, Pak saya tidak salah lihat. Orang dia senyum sama saya.,” jawab Saka dengan tangkas karena Pak Senin tak mempercayainya. “Jangan nakutin saya, Mas. Saya sering jaga di pos sendirian,” ungkap Pak Senin dengan wajah ketakutan. “Saya enggak nakutin, tapi saya benar lihat. Perempuan itu masuk kedalam rumah yang katanya kosong.” Suasana menjadi tegang, Pak senin menyeka keringat di dahinya.“Saya yakin, Pak ada rahasia besar dalam rumah itu,” celetuk Saka.Pak Senin pun menatap ke sekitar dimana ia dan Saka duduk. Sepertinya Pak Senin memastikan jika situasi di sekitar mereka berada aman, tak ada satu orang pun yang akan mendengar pembicaraan mereka berdua. “Mas, ada yang mau saya sampaikan, tapi Mas Saka janji ya, jangan cerita pada siapapun,” ucapnya setengah berbisik. “Iya, Pak saya janji. Memang Bapak mau ngomong apa sama saya, pakai bisik-bisk kayak gini.” “Menurut orang-orang yang tinggal di sini, memang katanya rumah itu angker. Sebelumnya memang ada seorang perempuan yang tinggal di situ. Kalau enggak salah namanya Mayla.” “Mayla,” gumam Saka. Saka pun terdiam setelah mendengar Pak Senin menyebut nama Mayla. Saka mengeryitkan dahinya mendengar bicara Pak Saka. “Bapak tahu kemana Mayla sekarang?” “Tidak ada satu pun yang tahu kemana dia. Tiba-tiba dia di kabarkan hilang tanpa jejak.” Bukannya takut atau diam setelah Saka mendengar penjelasan dari Pak Senin . Justru ia semakin penasaran. “Bapak sudah pernah bertemu atau mengobrol dengan Mayla?” tanya Saka antusias.Perlahan Pak Senin menggelengkan kepalanya. “Mas Saka kenal dengan Mayla?” “Tidak. Saya hanya penasaran saja. Karena dari awal saya merasa aneh saja dengan peraturan Pak Dirga.” “Sebenarnya saya kurang suka dengan Pak Dirga. Mentang-mentang jadi ketua RT lagaknya sombong banget sok berkuasa. Baru jadi RT saya enggak bayangin kalau dia jadi pejabat, Mas. Pasti tambah arogan," ucap Pak Senin dengan wajah yang terlihat kesal dan tak suka pada sosok Pak Dirga."Pak Senin tidak boleh seperti itu. Biarin saja Pak Dirga mau seperti apa. Saya harus tahu Pak sebenarnya ada apa dengan rumah kosong itu.""Pokoknya saya selalu siap, kalau Mas butuh bantuan.” “Terima kasih banyak Pak sebelumnya,” jawab Saka sambil tersenyum mendengar ucapan Pak Senin. *** Pikiran Saka masih menerawang jauh entah kemana, sosok perempuan misterius yang di lihatnya di rumah tak berpenghuni masih terus membayanginya. Tiba-tiba ia terperanjat karena melihat bayangan yang melintas. Sontak Ia pun beranjak dari duduknya. “Hey, siapa itu?” teriaknya sambil melangkah mengikuti bayangan yang baru saja di lihatnya. “Pak Saka kenapa?” suara Asih pun semakin mengejutkannya karena tiba-tiba perempuan itu sudah muncul dari belakangnya. “Kamu ngapain berdiri di belakang saya! Bikin jantungan aja,” bentak Saka. “Maaf Pak Saka, tapi memang sudah biasa sebelum saya tidur saya cek keadaan rumah saya takut kalau lupa mengunci pintu," ungkap Asih membela diri. Saka terdiam dan mengalihkan pandangannya. Merasa tak enak hati Saka pun mencoba mengalihkan pembicaraan. “Makanya lain kali yang teliti. Terus ngapain kamu masih berdiri di sini,” tanya Saka balik dengan wajah kesal. “Oh iya, Pak kalau gitu saya permisi.” Asih pun langsung meninggalkan Saka karena tak mau Saka semakin marah melihatnya. Langkah Asih terhenti di sudut ruang tamu, kepalanya masih melihat ke arah atas. Asih masih penasaran dengan sikap Saka yang baru saja di lihatnya. “Aku yakin pasti ada sesuatu yang di sembunyikan Pak Saka,” gumamnya.Saka masih penasaran dengan bayangan yang baru saja dilihatnya. Ia sangat yakin matanya masih normal dan tak salah lihat. Tak mungkin tadi bayangan Asih. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa sejak aku melihat perempuan itu pikiranku jadi tak tenang. Saka pun kembali kedalam kamarnya dan merebahkan tubuhnya. “Saka tolong aku," mohon perempuan itu sambil merintih sepertinya dia menahan sakit karena tubuhnya berlumuran darah. “Sssiapa kamu,” tanya Saka sambil melangkah menjauhi perempuan di hadapannya.“ “Hanya kamu yang bisa mengungkap semua kebohongan ini. Tolong aku Saka.” “Pergi...pergi!” Suara Saka meracau tak karuan.Saka pun terjaga dari tidurnya. Peluh membasahi keningnya, tubuhnya terasa lelah apa yang dialaminya seolah seperti nyata. Ada apa ini siapa dia. Ujung mata Saka melirik jam di kamarnya, 'masih pagi,' gumamnya. Saka pun meneguk segelas air putih yang biasa ia siapkan sebelum tidur. Perlahan di tariknya nafasnya dalam-dalam dan di hembuskannya perlahan. Sedikit terasa lega. Ponsel Saka pun bergetar dengan setengah hati ia meraihnya. [Apa kabar, Ka?”] Saka mengeryitkan dahinya. Sebuah pesan tanpa nama dibacanya. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. 'Nomor siapa ini,' gumanya lirih. 'Ada saja masalah satu belum ketemu jawabnya ini ada lagi. Aaarghh pusing!' 'Tujuan aku pindah rumah supaya tenang ingin melupakan masa lalu, tapi salah. Tempat baru ternyata menambah masalah baru dan lebih rumit membuatku pusing. 'Mau tidur lagi juga nanggung. Mending bangun ajalah.'Saka melangkah menuju jendela kamarnya, membuka tirai jendela dan menghirp udara pagi yang sangat segar. 'Enak juga ternyata bangun jam segini,' celetuk Saka sambil menggerak-gerakan badannya. ***Kantor Saka 08.00 WIB Ayu berlari kecil mengejar Pak Saka yang berjalan sangat cepat didepannya. Namun panggilan Ayu pun tak di hiraukan sepertinya Saka memang ada urusan yang sangat penting di luar kantor. Sehingga langkahnya begitu cepat. “Pak Saka,” teriak Ayu sekencang mungkin. Sontak pandangan orang-orang yang ada di sekitarnya langsung tertuju padanya. Akhirnya langkah Saka pun terhenti Ayu pun bernafas lega. Nafasnya masih terenfah-engah karena mengejar Pak Saka. “Ada apalagi," tanya Saka begitu melihat Ayu. “Ini Pak ada berkas yang harus bapak tanda tangani,” ucap Ayu sambil menyerahkan map berwarna biru di tanganya.Saka menatap Ayu, lalu di ambilnya map dari tangan perempuan yang selalu sabar menghadapi sikapnya itu. “Lain kali jangan seperti ini ya,” ucap Saka dingin. “Baik, Pak. Sekali lagi maaf,” ucapnya dengan wajah memelas. “Kerjaan kamu masih banyak?” tanya Saka sambil menyerahkan berkas yang sudah di tanda tanganinya. Ayu terkesiap ketika mendengar pertanyaan Saka. Saka pun balik melihatnya dengan wajah keheranan karena melihat tingkah Ayu. “Hei,” ucap Saka sambil melambaikan tangannya tepat di depan muka AyuSontak Ayu pun tersadar. “Iya Pak. Maaf tadi Bapak ngomong apa?” tanya Ayu gugup. “Kerjaan kamu masih banyak? Kalau enggak temenin saya ngopi sebentar,” jawab Saka dengan wajah yang sedikit kesal.” “Baik, Pak. Kerjaan saya sudah selesai kok,” jawabnya sambil tersipu malu.Mereka pun berjalan ke lobi kantor. Ayu masih salah tingkah karena tak menyangka Saka yang terkenal sangat dingin, acuh dan cuek tiba-tiba mengajaknya ngopi. Selama perjalanan mereka lebih banyak diam, Ayu masih merasa heran dengan sikap Saka hari ini. Saka yang memang orangnya cuek tak mempedulikan Ayu yang sedari tadi memperhatikannya. Saka terus saja fokus menyetir mobil sambil mendengarkan lagu yang di putarnya. Mereka pun akhirnya tiba. Ayu masih diam larut dengan tanda tanya hatinya. Ayu hanya mengikuti Saka begitu Saka keluar dari mobilnya.“Mau pesan apa, silahkan pilih aja. Tenang saya yang traktir jadi kamu enggak perlu kawatir,” Saka masih asik memilih menu di daftar yang di ambilnya di dekat pintu masuk kafe.Iya jelas Bapak yang harus bayarlah orang yang ngajak kesini Bapak. Lagian ini masih jam kantor mana mungkin saya berani keluar kantor kalau enggak di ajak Pak Bos. Batin Ayu.“Udah belum, mau makan atau minum apa?” tanya Saka karena melihat Ayu yang sepertinya bingung memilih menu yang dibacanya.“Saya ngikut Bapak aja,” jawab Ayu.“Ok.” Saka pun memanggil pelayan kafe dan menyerahkan menu yang di pesannya. Ayu memperhatikan seluruh sudut kafe ini. Ia tak berani menatap Saka karena takut di marahi. Kalau ingin memulai obrolan pun ia bingung harus memulai dari mana dan membicarakan apa.“Kamu kenapa diam aja?” tanya Saka karena menyadari Ayu kurang nyaman duduk disini bersamanya. “Enggak suka tempatnya?” tanya Saka.“Enggak, Pak,” jawab Ayu gugup.“Kenapa tadi diam saja kalau enggak suka tempat ini.”“Maksud saya buka gitu. Saya suka kok kafe ini lagian saya baru pertama kali kesini.”“Ehmmm. “Enggak ada yang marah kan saya ngajak kamu makan di sini?”Sontak Ayu semakin salah tingkah mendengar pertanyaan Saka yang benar-benar di luar dugaannya.“Enggak ada, Pak saya kan masih single.”“Saya enggak tanya kamu single apa enggak.”“Tapi tadi Bapak bilang---.” Ayu tak meneruskan ucapannya ia benar-benar salah tingkah dan kebingungan atas sikap Saka. Kalau tak ingat siapa saka Ayu memilih pergi dari pada menemani orang aneh seperti Saka.“Intinya gini ya, Pak enggak ada yang akan marah sama saya kalau saya pergi dengan siapapun.”“Orang tua kamu?”“Saya kost disini, kedua orang tua saya tinggal di luar kota. Tapi setiap saya mau pergi pasti saya ijin sama mereka, jadi enggak akan ada masalah.“Berarti kamu tadi juga udah ijin pergi sama saya.”Ayu menghembuskan nafas. Ia benar-benar bingung dengan Saka. “Iya enggak juga. Pak. Lagian tadi kan saya sudah bilang ini masih jam kerja. Kalau saya sekarang pergi sama Bapak berarti masih urusan pekerjaan karena masih jam kerja,” jawab Ayu menahan rasa kesal karena ucapan Saka.Saka menganngukan kepalanya mendengar penjelasan Ayu.Tak lama seorang parmusaji datang mengantarkan pesanan Saka.“Kenapa Bapak pesan sebanyak ini?” celetuk Ayu karena melihat makanan yang di pesan Saka begitu banyak.“Lho tadi kan kamu bilang pesanan kau samain aja sama saya. Terus yang salah bagian mananya? Saya memang pesan ini dan semua ada dua kan.”“Iya tapi mana habis Pak kalau segini banyaknya.”“Kalau enggak habis tinggal bungkus saja kalau memang kamu mau, lagian lumayan kan buat anak most seperti kamu.”Ayu tersenyum mendengar jawaban Saka. Ayu pun akhirnya memilih diam dan menikmati makanan yang sudah tersaji di depannya. Karena jika Ayu terus menjawab Saka yang ada enggak akan selesai dan ayu akan semakin lama berada di restoran ini bersama Saka.Di sebuah taman Saka menghabiskan akhir pekannya kali ini. Sesekali ia menatap beberapa anak kecil yang berlarian bermain bersama. “Ini nomor siapa ya? tiba-tiba aja tanya kabar. Arunika. Enggak mungkin. Tapi kenapa tiba-tiba aku ingat dia.” Saka masih penasaran dengan nomor yang mengirim chat padanya. Ngapain Arun chat lagi? Dia kan udah pergi tanpa pamit.”“Arun cuma nitip pesan sama Tante supaya kamu melupakan dia. Katanya dia mau fokus sama kerjaannya.”“Tapi kenapa mendadak begini, kemarin waktu kita ketemu dia enggak ngebahas apapun.”“Maafkan Tante, Ka. Untuk kali ini Tante enggak bisa bantu kamu. Sebelum dia berangkat Tante juga udah ngomong supaya nemuin kamu dulu, tapi katanya enggak usah.”Saka terduduk lemas. Saat ini ia benar-benar tak bisa berpikir jernih. Separuh jiwanya pergi begitu saja. Hubungannya dengan Arunika selama ini ternyata sia-sia.“Ini ada titipan dari Arun,” ucap Tante Sarah sambil menyerahkan sebuah bingkisan kepada Saka.“Buuuk.” Sebuah bola mengenai Sa
Rumah Baru Arunika.Setoples gula kacang menemani Arunika menikmati waktu senggangnya hari ini. “Mau kamu habiskan gula kacang sebanyak itu?” tegur Mama yang melihat Arunika tak berhenti mengunyah sedar tadi.Arunika hanya melirik Mamanya, tanpa mempedulikan ucapannya, karena dia terus asik menikmati gula kacang yang masih tersisa di tangannya. “Ma, kenapa hidup kita enggak semanis gula kacang?” tanya Arunika sambil mengambil gula kacang di toples yang masih dipegangnya. “Maksud kamu bicara seperti itu apa? Tiba-tiba mengumpamakan hidup dengan gula kacang,” ucap Mama menanggapi pertanyaan Arunika. Lagian enggak biasanya kamu seperti ini,” tanya Mama heran karena mendengar pertanyaan Arunika. “Iya, dari pada enggak ada bahan omongan. Tapi benar kan Ma dengan apa yang aku katakan. Buktinya dari kecil aku sama Mama selalu susah. Coba Mama bayangkan kalau hidup itu seperti gula kacang dari awal sampai akhir selalu manis enggak a
Kantor Saka Saka tak fokus dengan pekerjaannya hari ini, berkali-kali Ayu harus mengingatkan Saka tentang pertanyaan yang di ajukan karyawannya. “Maaf, hari ini saya agak kurang enak badan. Bagaimana kalau meeting kita lanjutkan lain kali saja,” usul Saka yang wajahnya terlihat sangat lelah. “Baik, saya rasa enggak masalah, Pak. Lagian tadi kita sudah menemukan beberapa solusinya. Tinggal memantapkan saja,” ujar Ayu.Saka pun langsung meninggalkan ruang meeting. Sampai di ruangannya Saka langsung menegak habis segelas air putih yang biasa di sajikan oleh office boy di kantornya. Mimpi yang dialaminya memang sangat mengganggu pikirannya. Perempuan itu mirip sekali dengan Arunika, tapi Saka yakin itu bukan Arunika. Lalu apa maksud dari perkataannya. Kalau aku yang akan membuka tabir rahasia yang selama ini di tutupi. Rahasia tentang apa? Saka benar-benar di buat bingung dengan mimpinya.TOK! TOK! terdeng
Tak seperti biasanya, Saka langsung menuju dapur membuat minumannya sendiri. Asih hanya terdiam melihat Saka, dengan ujung matanya Asih melirik Pak Saka yang sedang mengaduk minumannya. Asih pun segera memalingkan wajahnya, karena takut Pak Saka melihatnya jika sedang memperhatikan tingkah lakunya.“Kopinya sudah saya tarok dimeja, Pak,” ujar Asih.“Saya lagi enggak pingin minum kopi,” sahut Saka singkat. Asih memilih diam dia benar-benar bingung apa yang harus dilakukannya. “Sarapan Bapak juga sudah siap,” ujar Asih mengalihkan pembicaraan karena bingung melihat sikap Saka.“Kamu makan saja, saya juga enggak pingin sarapan.”DEG! Detak jantung Asih terasa berhenti mendengar jawaban Saka. “E... kalau Bapak enggak selera dengan masakan saya, nanti bisa saya buatkan yang lainnya,” usul Asih. Seketika Saka terdiam mendengar perkataan Asih.“Boleh juga ide kamu. Kalau gitu buatkan saya roti isi saja,” ucap Saka.Asih pun segera membuatkan roti sesuai permintaan Saka, tak butuh wakt
Dirumah Arunika“Ma,” ucap Arun sambil memijat pundak Mamanya.“Tumben kamu di rumah,” tegur Mama sambil mengelus tangan Arun.“Sekali-kali boleh ‘kan Ma. Ada yang mau Arun sampaikan ke Mama,” ucap Arun.Arun pun duduk di samping Mamanya. “Apa ada hal penting yang mau kamu sampaikan. Enggak biasanya kamu seperti ini,” ucap Mama datar.Arun tahu apapun yang Arun lakukan tidak akan pernah membuat Mama senang. Walau Arunika sudah berusaha sekuat tenaga. Karena yang di inginkan Mama selama ini hanya Kak Nanda bukan Arunika anak yang hanya membawa kesedihan dan kesengsaraan dalam hidup Mama. Tapi apapun perlakuan Mama Arunika tak akan merasa sakit hati. Arunika sudah sangat berterima kasih Mama masih mau merawatnya hingga hari ini. Bahkan perjuangan Mama membesarkannya tak akan pernah Arun lupakan. Sebagai anak Arunika tahu mengapa Mama bisa seperti ini.“Apa kamu dapat kabar tentang Nanda?’ tanya Mama yang membuyarkan lamunanku.Benar dugaan Arunika Mama pasti mengira kalau Arunika akan m
Arunika tersenyum lega melihat Mamanya yang asik melayani pengunjung yang datang silih berganti. Kini semua sudah lengkap, Arun mempekerjakan satu orang karyawan di toko rotinya. Di rumah Mama di bantu Bu Ijah membuat kue. Kini tak hanya kue-kue tradisioanl yang aku jual. Beberapa kue kekinian dan minuman juga sudah tersedia.Di depan toko roti kami juga ada beberapa anak muda yang sedang duduk meikmati kopi dan croisan. Kini Arun sudah merasa lega jika ada keperluan lain Arun tak perlu bingung jika ingin meninggalkan toko kuenya. Mama juga tak akan kecapekan membuat kue atau datang ke toko kue untuk membantu Arunika. Sekarang Arunika bisa fokus mencari Kak Nanda.“Ma, mau Arun antar pulang atau masih mau disini?” “Memangnya kamu mau kemana?” tanya Mama yang melihatku membawa tas dan mengenakan jaket.“Arun enggak mau kemana-mana. Cuma takut aja Mama kecapekan, lagian sekarang sudah ada Winda. Jadi Mama enggak apa-apa kalau enggak kesini juga,” jelas Arun“Iya sudah. Biar Mama pulan
Saka menutup teleponnya setelah memberi tahu Ayu kalau dia datang telat ke kantornya. Saka turun dari mobilnya dan melangkah masuk.“Selamat datang di Sweet Bakery,” sapa Winda ramah.Saka tersenyum menjawab sapaan Winda.“Silahkan, Pak biar saya bawakan nampannya. Mata Saka melihat berbagai macam kue yang berjajar di rak, semua sangat menggugah seleranya. Tiba-tiba matanya tertuju pada croisan. Perlahan Saka mendekati rak yang berisi berbagai macam croisan.“Croisanya enak banget lho, Pak,” ujar Winda membuyarkan lamunan Saka.“Ough... saya minta croisannya sepuluh. Tapi bungkusnya di jadkan dua ya,” ucap Saka.Winda nampak terkejut mendengar pesanan Saka. Enggak salah ini.“Ada minuman juga,” ujar Saka begitu melihat cup yang berjajar di sebelah kanan.“Iya, Pak ada,” jawab Winda.“Memangnya enggak repot ya di sini sendiri?” tanya Saka.“Enggak, Pak. Biasanya saya ada teman. Mungkin dia datangnya telat.”Saka menganggukkan kepalanya mendengar penjelasan Winda. Dengan cekatan Winda
“Enak banget, Mas kuenya,” celetuk Pak Senin sambil mengunyah croisan.“Iya, Pak. Tadi Asih yang beli di toko roti dekat swalayan biasa saya belanja,” jawab Saka.Pak Senin langsung terdiam dia berhenti mengunyah croisan di tanganya. “Ada apa, Pak kok bengong?”“Kata Mas Saka tadi Asih yang beli roti ini . Mas enggak takut kalau Asih kasih obat tidur?”“Tenang, Pak. Kayaknya Asih udah beda, tapi tetap saya selalu waspada. Nanti saya mau ajak bicara Asih baik-baik.”Tanpa sepengetahuan mereka berdua ternyata Asih sedang menguping pembicaraan.Ternyata Pak Saka sudah tahu semuanya, tapi kenapa dia masih bersikap baik padaku? Asih tertegun saaat ini dia benar-benar bingung. Apa yang harus dilakukannya. Tiba-tiba sebuah vas bunga jatuh tanpa sengaja Asih menabraknya. Sontak Saka dan Pak Senin pun berdiri dan melihat Asih yang masih terdiam di dekat puing-puing vas bunga yang berserakan.Kepanikan terlihat di wajah Asih, Kaki Asih terasa kaku dia tak bisa berbuat apa-apa lagi.“Kamu mengup