MasukHujan sore menembus jendela ruang kerja Adrian, membiaskan cahaya kelabu yang menari di lantai kayu.
Suara tetesan hujan hampir menutupi detak jantungnya sendiri. Ia masih menatap layar komputer, di temani Raina, sambil menunggu laporan terbaru dari polisi. Ada kabar buruk yang terasa berat sejak pagi. Jayadi Sutanto, salah satu dari lima pria yang terlibat malam itu, telah ditemukan tewas. Adrian menutup laptopnya perlahan, matanya menatap pecahan cermin yang tersusun rapi di meja. Batu giok di sampingnya memancarkan cahaya hijau samar, seakan memberi peringatan halus. Hatinya tidak tenang. Ia sudah merasakan energi itu, energi Mei Lin yang marah, menuntut keadilan. Adrian tahu, ini bukan kebetulan. Setiap detik yang berlalu, kutuHujan Hong Kong telah reda, meninggalkan udara dingin yang menggantung di antara gedung tua dan jalanan basah. Adrian menatap ke arah pintu toko antik Yuan, napasnya tertahan. Langkahnya terasa berat meski kaki tetap menapak di lantai keras. Raina di sampingnya menggenggam tangannya erat, dan Bu Evelyn menatap mereka berdua dengan mata penuh kecemasan dan kehati-hatian. Yuan menatap Adrian dengan mata tajam. Ia, sedikit teringat dengan kejadian yang baru saja berlalu di depan matanya. “Kalian sudah siap? Ini bukan ruang bawah tanah biasa. Energi di sini… sangat berbeda dari cermin yang kalian lihat di rumah keluarga Tan atau yang sebelumnya di Hong Kong.” Adrian mengangguk pelan. “Aku siap. Aku harus menghadapi apapun yang ada di sana.” Raina menatapnya penuh kekhawatiran. “Adrian… aku takut. Energi it
Lampu-lampu jalan Hong Kong memantul di jalan basah yang masih disiram hujan sore. Adrian, Raina, dan Evelyn berjalan beriringan, masing-masing membawa tas berisi dokumen, peralatan doa, dan benda-benda penangkal energi yang dipersiapkan Ustadz Danur. Suara hujan menimpa payung mereka dengan ritme yang seolah menegangkan setiap langkah mereka. “Menurut alamat dokumen kakek..,” kata Bu Evelyn sambil menatap smartphone, “toko ini milik keluarga Mr. Chou. Kakek menulis, cermin itu disimpan di bawah tanah, tersembunyi dari pembeli dan pemeriksa biasa.” Adrian mengangguk, wajahnya tegang. “Kita harus berhati-hati. Ini bukan sekadar antik. Lian Hua, aku bisa merasakan energi gelapnya sudah semakin dekat.” Raina menggenggam tangan Adrian sebentar, matanya menatap tajam. “Aku tidak
Setibanya di Shanghai. Hujan masih turun ketika Adrian, Raina, dan Bu Evelyn menuruni tangga gudang antik di Shanghai. Udara lembap dan dingin, namun mata Adrian tetap tajam menatap setiap rak, setiap dokumen lama yang disimpan dengan hati-hati. Bu Evelyn membuka laci besar dari lemari besi tua, mengeluarkan beberapa folder berdebu. “Ini sebagian arsip kakekku,” ujar Evelyn, menghela napas, suaranya setengah takut, setengah bersemangat. “Tidak semua terlabel dengan rapi. Ada puluhan dokumen perdagangan antik yang dikirim keluar negeri, terutama Hong Kong dan Singapura, tahun 1980-an.” Adrian mendekat, matanya menelusuri dokumen satu per satu. Tangannya terasa gatal untuk menyentuhnya, merasakan energi masa lalu yang masih tersisa di kertas dan tinta tua. Raina duduk di meja, membuka laptopnya dan mulai men
Malam itu, di kamar Adrian, hujan turun dengan derasnya, membasahi halaman rumah hingga bunyi tetesannya bergema seperti dentingan ritmis di langit-langit. Adrian duduk di tepi tempat tidur, matanya kosong menatap langit-langit kamar. Ia merasa letih, lelah yang bukan hanya karena fisik, tapi juga pikiran dan jiwa yang terbebani serangkaian kejadian supernatural belakangan ini. Di sampingnya, Raina duduk di lantai, laptop di pangkuannya, menatap layar dengan serius. “Aku ingin memeriksa sesuatu sebelum kita pergi ke Shanghai,” ucapnya, suaranya tenang tapi tegang. Adrian mengangguk, meskipun rasa lelahnya mendorongnya untuk memejamkan mata sejenak. Raina menekan beberapa tombol dan membuka rekaman CCTV rumah. Kamera-kamera itu memang sengaja dipasang sejak awal serangkaian kematian misterius, sebaga
Malam tiba dengan sunyi yang berat, seolah langit menahan napas. Di ruang kerja Adrian, cahaya monitor memantul di wajahnya yang letih. Tumpukan berkas dan catatan perjalanan cermin kembar berserakan di meja. malam ini, perhatian Adrian tidak tertuju pada peta atau arsip melainkan pada layar komputer.Ia mengamati dengan seksama, yang menampilkan berita investigatifnya, yang ia publikasikan beberapa bulan lalu tentang kisah Mei Lin dan kelima pelaku.Ia menyesap teh hangat, mencoba menenangkan diri, ketegangan itu tak pernah benar-benar hilang. Raina duduk di sebelahnya, menatap layar yang sama, matanya sayu karena lelah tapi waspada. “Adrian, aku merasa ada sesuatu yang salah,” ucapnya lirih.Adrian mengangkat bahu. “Aku juga merasakannya, Raina. Semacam energi yang terus bergerak di sekitar kita. Aku tidak tahu dari mana datangnya.”Sementara itu, di kota lain, beberapa orang yang sebelumnya mem
Senja menyelimuti kota dengan cahaya jingga lembut, ketika Ibu Evelyn Goh menutup pintu kantor lama keluarganya. Bangunan itu sudah jarang digunakan, sebagian besar dokumen dan arsip lama tersimpan di ruang bawah tanah yang remang. Malam harinya, ada dorongan aneh yang membuat Ibu Evelyn turun ke sana, langkahnya berderap di tangga kayu tua, hati berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia membuka brankas tua yang berkarat di pojok ruangan. Kunci itu berdecit saat diputar, membuka pintu besi yang berat. Debu beterbangan, menusuk hidung, tapi Bu Evelyn tidak peduli. Matanya menatap rapi deretan dokumen kuno, catatan harian, dan gulungan perkamen yang dilapisi lilin. Ia meraih satu folder kulit yang tebal, bertuliskan tulisan tangan halus yang nyaris pudar: “Cermin Kembar Giok Naga”.Hatinya bergetar. Selama ini, ia hanya tahu sebagian cerita tentang kakeknya, Tuan Goh. Namun selembar dokumen ini nampak berbeda.







