“Bersikap waras Kaisar, jangan jadi orang gila.” Untuk kesekian kalinya, Kaisar batal meraih gagang pintu kamarnya. Sudah sekitar 10 menit, tapi dia tidak juga bisa masuk ke dalam kamar. Dan ini gara-gara papanya. Ya. Ucapan Seno Jayantaka saat Kaisar berkunjung tadi, sedikit banyak mempengaruhi pikiran pria 28 tahun itu. Ini yang membuat dia terus berpikir sebelum masuk kamar. Dan ketika akhirnya dia berani menekan kenop pintu, pintu itu malah membuka dengan sendirinya. Kaisar yang tak siap nyaris saja menabrak tubuh Flora yang hendak keluar. “Astaga, Kai. Kau mengagetkanku,” pekik Flora memegangi dadanya yang jumpalitan. “Oh, maaf.” Tiba-tiba saja Kaisar jadi gugup. Bukan. Lelaki itu bukan gugup karena lingerie yang dipakai istrinya, tapi karena dia tiba-tiba teringat pada perkataan Seno. Entah kenapa walau sangat membenci sang papa, perkataan pria tua itu selalu nyangkut di kepala Kaisar. Seperti sekarang ini. “Bisa menyingkir sebentar?” tanya Flora karena suaminya bergemin
“Hah,” Erika menghembuskan napas melihat kaisar yang tersungkur di sebelah ranjangnya. Pria itu terlihat berantakan. Kancing pada bajunya terlihat salah karena sepertinya ada yang salah lubang kancing. Rambutnya juga berantakan dan dia juga jelas sudah mabuk. Erika melangkah mendekati bosnya itu. Dia berjongkok di depan Kaisar yang menatapnya dengan tatapan liar akibat mabuk, disertai dengan senyum aneh. Sejujurnya, pemandangan seperti ini yang ingin dilihat Erika. Dia ingin melihat bukan hanya Kaisar, tapi semua orang yang dibencinya sengsara dan hidup berantakan. Namun saat ini Erika belum puas, dia ingin melihat yang lebih dari ini. “Apa yang membuat Pak Kaisar menyusup masuk ke rumahku?” tanya Erika cukup lembut. “Aku tidak menyusup. Aku masuk dari pintu depan. Aku punya pin rumahmu, ingat,” jawab Kaisar dengan nada ceria, tentu karena dia mabuk. Dan kalimat itu membuat Erika mengerti kalau pria di depannya masuk dari lantai bawah. “Lalu apa yang membuat Pak Kaisar datang ke
“Aku ada keperluan sebentar. Kalian gak masalah kan nunggu dulu?” Erika bertanya dengan ponsel menempel di telinga, sambil mengantri di kasir. “Iya, gak lama kok. Paling juga 10 menitan gitu.” Kini giliran Erika yang melakukan pembayaran. “Ehm, Mbak. Ini dalaman lelaki loh,” seru si kasir sedikit malu-malu. “Itu untuk suami saya,” jawab Erika dengan senyum lebar, sama sekali tidak canggung harus membeli barang pribadi pria. Si kasir langsung memproses transaksi Erika tanpa banyak tanya lagi. Erika pun juga tidak banyak bicara lagi dan hanya membeayar saja. Para sahabatnya sudah menunggu dan dia harus bergegas. Ya. Erika memang membeli dalaman untuk Kaisar. Dia tahu ukuran pria itu dan tahu kalau bosnya tidak mungkin menggunakan celana dalam yang sama dengan kemarin. Sayangnya hanya ada classic brief di minimarket dekat penthousenya. “Non, itu ada temannya...” “Iya, Bik saya sudah tahu,” Erika memotong kalimat pengurus rumahnya. Perempuan itu melangkah dengan percaya diri men
“Dasar gila,” Kaisar bergumam seorang diri di kantornya. Setelah pergi berganti pakaian di rumahnya, Kaisar segera pergi ke kantor. Untungnya Flora masih tertidur jadi dia tidak perlu mengarang alasan apa pun. “Kenapa juga aku bisa pergi ke rumah perempuan itu?” Geram Kaisar mengacak rambutnya. Namun sekeras apa pun Kaisar berpikir, dia sama sekali tidak menemukan alasan apa pun. Begitu dia selesai dengan Flora dan meminta perempuan itu untuk tidur, Kaisar segera pergi dari rumah. Dan tanpa disadari dia sudah ada di kawasan penthouse milik Erika. Setelah diingat-ingat, itu lah yang terjadi kemarin. “Tapi kenapa harus ke sana?” gumam Kaisar benar-benar kesal. “Apa yang kau bicarakan?” Kaisar mendonggak ketika mendengar suara yang tidak asing itu. Dia berdecih pelan ketika melihat dua sahabatnya yang lain memasuki ruangannya. “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Kaisar ketus sekali. “Jangan tanya aku. Tanya dia,” teman Kaisar yang terlihat seperti orang asing itu, menunju
Sinar mentari yang menerpa jendela kamarnya, membuat mata Erika mengerjap pelan. Sinarnya begitu menyilaukan karena rupanya dia lupa menutup tirai jendelanya.“Astaga, aku tertidur dengan keadaan begini?” Erika bergumam ketika menyadari keadaannya. Perempuan cantik itu tertidur tanpa busana, dengan mainan dewasanya berserakan di atas ranjang. Tidak banyak sebenarnya, tapi ada lebih dari satu. Rupanya bermain sendiri cukup melelahkan juga, apalagi dengan Chris yang menjadi penonton. Tanpa menunda, Erika segera bangkit dan membereskan kekacauan itu. Dia merasa harus bergegas karena masih harus bersiap ke kantor. “Halo.” Erika segera mengangkat ponselnya yang tiba-tiba berdering. “Apa kau sudah bangun?” tanya suara pria di seberang telepon. “Baru saja bangun. Ada apa ya? Tumben kau mencariku sepagi ini, Bim.” “Eh? Baru bangun? Tapi ini sudah hampir jam tujuh loh, Ka. Bukannya kau bisa terlambat kalau bangun jam segini ya?” “What?” Erika memekik kaget dan mengumpat setelah melihat
“Selamat siang teman-teman,” Erika menyapa begitu masuk ke ruangan divisi keuangan. Semua orang mendonggak untuk menemukan Erika datang bersama seorang pria. Dan ya itu adalah Radja Bima Jayantaka. Erika berjalan mendekati supervisor yang berada di sudut ruangan. Dia memberitahu tentang kehadiran Bima di sini, tentu setelah memberitahu manajer keuangan sebelumnya. “Perkenalkan ini namanya Pak Bima, kedepannya dia akan bantu-bantu di bagian keuangan,” Erika yang memperkenalkan Bima. “Salam kenal dan mohon kerja samanya,” sambung Bima agak canggung. Pada akhirnya Bima malah dilempar ke bagian keuangan sebagai staff. Walau latar belakang pendidikan Bima adalah manajemen bisnis, tapi dia tak punya pengalaman dan nilainya jelek. Mana mau Kaisar mengambil resiko menempatkan adiknya di posisi atas. Dan dengan posisi sekarang Bima tentu tak akan punya sekretaris, jadi Erika aman di tempatnya. “Haruskah aku di tempatkan di sini?” gumam Bima pada Erika sebelum perempuan itu melangkah
Kaisar menatap keluar jendela mobilnya. Dia tak sengaja melihat Erika yang duduk di dekat jendela sebuah restoran, bersama dengan adiknya sendiri. Hanya sebentar memang, tapi dia merasa aneh. “Apa sih yang kau lihat?” tanya Viktor mengikuti arah pandang sahabatnya itu, bahkan mencondongkan badan ke arah Kaisar. “Menjauhlah, brengsek.” Kaisar mendorong kepala sahabatnya dengan cukup keras. “Aduh, Babe. Jangan kasar gitu dong,” balas Viktor jelas sedang bercanda. “Najis.” Kaisar kembali menoleh ke arah jendela, tapat sebelum mobil yang mereka tumpangi melaju setelah terjebak macet. Dua orang lelaki tampan itu duduk di kursi penumpang belakang. Kebetulan, tadi Kaisar memang sedang ada urusan dengan salah satu sahabatnya, Viktor. Pria blasteran sahabat Kaisar itu, kebetulan sedang menangani beberapa berkas hukum perusahaan. Viktor baru ditunjuk sebagai pengacara resmi perusahaan, setelah Kaisar menjabat. “Cantik ya,” tiba-tiba saja Viktor bersuara. “Apanya yang cantik?” tanya Ka
“Hmm...” Erika bergumam sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Erika menatap setiap senti tubuh telanjangnya di cermin besar dengan pinggiran bergelombang. Dia sedang mencoba mencari tahu apa yang jelek dari tubuhnya. “Rasanya tidak ada yang cacat deh,” gumam Erika berputar untuk yang kesekian kalinya. “Apa ukuran ini gak memuaskan?” Erika kembali bergumam sambil menangkup kedua dadanya. Setelah semenit memperhatikan, akhirnya Erika menggeleng. Asetnya yang satu itu sudah sempurna, bahkan tanpa operasi. Dan dia sudah dapat banyak pujian untuk itu. Jadi tentu bukan itu. Erika menunduk melirik ke bagian tersensitifnya. Rasanya juga bukan itu karena dia rajin merawat seluruh tubuhnya, termasuk bagian yang itu. Dan lagi pula kalau ada yang salah dengan bagian sensitifnya yang di bawah, Kaisar tidak mungkin minta tambah jatah. “Lalu apa?” pekik Erika frustasi. Tidak bisa dipungkiri. Setelah tidak sengaja mendengar percakapan bosnya dan si pengacara, Erika jadi inscure. Dia tiba-t