“Shintia,” panggil seorang wanita saat mereka sedang menonton film di tv bersama-sama.“Ikut bunda dulu yuk.” Ajak wanita yang sering di sapa ‘Bunda’ oleh anak panti dan warga sekitar.Shintia di ajak ke belakang dapur dan hanya ada mereka berdua saja di sana. Sepertinya bunda ingin berbicara sesuatu yang serius dengan dirinya.“Ada apa bunda?”“Kamu enggak bermaksud kabur dari rumah, kan?” tanya bunda khawatir melihat Shintia yang tiba-tiba datang kemari sampai membawa seorang teman, tanpa memberikabar kepadanya. Tidak seperti biasanya.“Bunda, jangan khawatir.” Jawab Shintia singkat, seolah ia sudah terbiasa dengan sikap Bunda yang amat memperhatikan dirinya tidak seperti kedua orangtuanya.“Bunda mengerti, kalau begitu. Sejak kapan kalian berteman? Jarang sekali loh kamu bawa teman, sampai menginap.”Shintia terdiam sejenak, sesungguhnya pertanyaan
Jam menunjukkan pukul dua pagi, namun Alieen merasa jika ada seseorang yang menggendong dirinya. Ia ingin melihat siapa yang menggendongnya namun matanya tidak bisa terbuka lebih lebar lagi, bahkan tubuhnya terasa lemas tak berdaya, hingga akhirnya Alieen kembali menutup matanya kembali. SARAAAH! Air dingin disiram ke Alieen yang masih terlelap, tubuhnya seketika menggigil kedinginan. Ia melihat jika dirinya sedang di kelilingi beberapa Pria menyeramkan berbadan besar penuh bekas luka dan tato di sekujur tubuhnya. “Si... Siapa mereka... Apa yang mereka mau dari gue?” Raut wajah Alieen sangat ketakutan, ia bahkan merasa ini lebih menakutkan di banding menghadapi tingkah laku kakaknya, Bintara. “Sudah sadar, hm?” Suara itu tiba-tiba saja terdengar dari belakang Alieen lalu ia berjalan menghadapi wajah Alieen dan meremas pipinya hanya dengan satu tangan. “Lo tidak terlihat mirip dengannya.” Ujar si Pria berpenampilan lebih rapi dengan setelan jas yang sangat cocok di pakainya tidak
Alieen sadar jika saat ini adalah momen yang pas untuk melepaskan diri dari ikatan kursinya. Iya segera melihat sekeliling mencari sesuatu untuk memotong tali di tubuhnya. Sedangkan Lutbis ia akhirnya mengetahui dari mana serangan itu berasal dan segera menghadang serangan selanjutnya. Ternyata serangan tersebut berasal dari seorang remaja yang memakai hoodie hitam dan menutupi wajahnya dengan masker hitam, di tangannya juga terdapat katana panjang yang sedang di tangkis Lutbis menggunakan pipa besi. “Oh, ternyata bocah yang melakukan hal ini? Hei, apa Lo enggak takut melawan kami, bocah?” Lutbis menyeringai dan segera mengayunkan pipa besinya untuk menyerang balik tanpa memberikan kesempatan pada lawannya sekarang. Alieen yang sudah terbebas dari ikatannya ia segera akan di serang oleh anak buah Lutbis. Untungnya Remaja berhoodie itu tepat waktu menghadang serangan itu, dan membuat lawan di depannya tidak bisa lagi menggunakan tangannya. Ia berbalik melihat kondisi Aliee, “Lo engg
“Pak, kami sudah memeriksa gedung ini. Memang benar jika ada tanda-tanda dari nona muda. Tapi sepertinya nona muda di bawa orang lain dari sini.” Ucap salah satu anak buah Bintara sembari memberikan sebuah tab yang sedang memutar video rekaman cctv sekitar gedung. “Cepat temukan di mana Alieen berada!!” Perintah Bintara kepada anak buahnya. “Ketua, saya menemukan ini di semak-semak...” ucap Fitry, salah satu anggota tim investigasi kepolisian yang dapat di percayai oleh Bintara. “Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya ketua...” Bintara terkejut saat melihat apa yang di tunjukan Fitry kepadanya. “Bukannya ini ikat rambut Alieen, Adik Anda, ketua?” Bintara meraih plastik transparan yang berisi rambut yang masih terikat dengan ikat rambut biru. “Rambut halus ini, dan ikat rambut biru yang biasa di pakai Alieen... Apa maksud dari ia yang memotong rambutnya? Ah, benar. Gue ingat waktu pertama kali gue ketemu dia, kalau gue bilang suka sama dia yang rambut panjang, dan jika
Bagas masuk ke salah satu gang gelap bersama Alieen, dan segera mematikan motor yang mereka kendarai. Lalu suara sirene kepolisian mulai terdengar keras, tapi beberapa saat kemudian suara itu semakin menjauh. Alieen dan Bagas menghela nafas lega, Bagas sedikit menoleh ke belakang dan melihat wajah Alieen tiba-tiba pucat.“Alieen, Lo sakit?” Bagas sedikit panik dan khawatir.“Gue enggak apa-apa...” Tapi wajahnya yang pucat tidak bisa di bohongi. Bagas mencoba menempelkan punggung tangannya ke dahi Alieen, ia ingin mengecek apakah benar Alieen tidak apa-apa.“Lo panas! Gak bisa begini, gue harus bawa lu pulang!” Bagas akan menyalakan kembali motornya lalu tiba-tiba Alieen menempelkan kepalanya yang terasa berat ke punggung Bagas.“Jangan... Kalau pulang, gue enggak tahu apa di rumah aman atau enggak. Gue juga khawatir sama ibu gue tapi masih ada kak Bintara jadi ibu pasti aman.... Tapi, gue juga gak mau ke rumah sakit... Nanti mereka datang lagi dan Lo bisa-bisa dalam bahaya yang lebih
“Tuan muda, saya sudah menyelesaikan semua tugas, dan sekarang teman tuan sudah tidur. Apakah lebih baik saya menetap karena Anda akan menginap di sini, atau tidak?” tanya seorang wanita paru baya yang sudah bekerja dengan kakak Bagas sejak lama untuk merawat rumah lama mereka ini. “Ibu pulang saja, biar sisanya saya yang urus. Jangan lupa beri tahu kakak, jangan bertindak gila.” Setelah mendengarnya ia segera pergi meninggalkan rumah itu. Bagas terlihat sibuk dengan ponselnya kini meletakan ponselnya di meja, ia berbaring di sofa dan memandangi salah satu foto keluarga dirinya di dinding. “Gue sudah serahkan sama kakak, tapi apa kakak akan bertindak dengan semestinya? Dia itu, walau perempuan tapi kelakuannya mirip sama kakaknya Alieen.” Bagas menjadi mengingat masa lalunya saat pertama kali ia bergabung dengan organisasi dan pertama kali mendapatkan misi kecil yang di kelompokan bersama Lutbis. Tepatnya waktu itu Bagas baru masuk SMP, dan usianya masih 12 tahun. “Owalah, jadi in
Perlahan Alieen membuka matanya dan ia mulai mendengar suara keributan, lalu Alieen menyadari jika ada suara Bintara yang sedari tadi berteriak memanggil namanya. Dengan lemas ia berusaha untuk bangun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju pintu kamarnya. Setelah membuka, Alieen benar-benar melihat Bintara yang sedang berargumen keras dengan seorang perempuan yang berdiri di depan Bagas. Karena penasaran Alieen berusaha mendekati mereka. “Alieen!” Seru Bintara yang menyadari kedatangannya. Ia dengan cepat berlari mendekat dan memeluk tubuhnya. “Lepas!” Alieen mencoba menolak pelukan Bintara. “Alieen, lu kenapa keringatan banyak begini? Lo demam? Maafkan gue, gue memang enggak becus jadi kakak Lo.” Bintara dengan lembut mengelus wajah Alieen. “Berhenti berakting, gue tanya sama Lo, kenapa bisa Lo ada di sini? Bagas, apa Lo yang kasih tahu dia?” “Apa untungnya buat gue Alieen...” “Tapi Lo selalu bilang dia bakal datang temui gue, itu maksudnya apa?” “Tanya saja kakak Lo
Terdengar suara bantingan pintu yang mengejutkan seorang lelaki berusia 45 tahunan. Namanya adalah Gerdy, seorang pemimpin mafia di antara jaman modern saat ini.“Walau kamu adalah anakku sendiri, bukannya sudah di ajarkan tata krama di sekolah?” Dengan santai Gerdy menghisap rokok sambil sibuk melihat dokumen yang berserakan di mejanya.“Papa! Apa maksudnya papa bakar panti asuhan! Papa tahu kan ada bunda di sana! Terutama ada Alieen dan aku di sana!! Apa papa mau membunuh anak sendiri?!” Teriak Shintia yang amarahnya sudah meledak-ledak.Sebuah dokumen tebal langsung menghantam wajah Shintia, dan yang melemparinya adalah Gerdy. Papanya mungkin terlihat tenang namun ada amarah yang tidak ia tunjukkan secara langsung.“PAPA!”Mata Gerdy sangat dingin kepada anaknya sendiri, perlahan dirinya mendekati Shintia, lalu berbicara dengan suaranya yang serak dan berat.“Dengar, jangan pernah bicara masalah ini. Kita sudah sepakat bukan. Sejak kau gagal bawa Bagas kemari, maka tidak ada kemuda