LOGIN[18+] Lola, seorang fresh graduate yang mendapat pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan milik Christian—seorang pria yang diisukan pernah menikah, namun bercerai hanya satu minggu setelah pernikahannya. Dilanda kesulitan adaptasi saat probation, suatu hari Lola kedapatan lembur sampai malam. Yang ia tidak sangka, justru ia mendapati CEO itu bermain solo di ruangan. Antara rahasia dan perjanjian menyeretnya pada hubungan yang membingungkan. "Saya gak perlu tidur dengan kamu untuk kamu tutup mulut kan?"
View MoreAku benci Senin. Tapi lebih aku benci kenyataan bahwa Senin pertamaku sebagai sekretaris justru membuatku menyaksikan sesuatu yang tak boleh terlihat dari CEO di kantorku.
Namaku Lola Sienna. Fresh graduate. Baru sebulan lalu wisuda, dan sekarang sudah harus duduk di kursi sekretaris seorang Christian Luciano. Yes, the Christian. Pria yang hidupnya penuh gosip. Konon pernah menikah, lalu cerai cuma seminggu setelah akad. Orang-orang bilang dia gila. Orang-orang juga bilang dia terlalu perfeksionis, terlalu dingin, dan… terlalu banyak misteri. Aku sih nggak peduli. Selama gajiku lancar, biar saja dia punya seribu rumor. “Lola, tolong ketik ulang proposal ini. Jangan pulang sebelum selesai.” Suara Bu Emma, senior di divisi, membuat bahuku turun drastis. “Baik, Bu,” jawabku pelan. Dalam hatiku, oh selamat tinggal mimpi pulang sebelum malam. Jam dinding menunjukkan pukul 18.30. Lantai kantor sudah sepi. Lampu koridor hanya menyisakan separuh cahaya. Sementara aku masih terjebak dengan huruf-huruf yang menari di layar, jari yang hampir kram, dan otak yang mendidih. Aku berdiri sejenak, meregangkan badan. “Ambil kopi bentar, balik lagi kerja. Oke,” gumamku. Tapi ternyata, hidup nggak pernah simple. Saat melewati lorong menuju pantry, mataku menangkap cahaya dari ruang CEO. Lampunya masih menyala. Aku menggigit bibir. Semua orang tahu Christian selalu datang paling pagi dan pulang paling malam. Tapi melihat sendiri kalau dia masih ada di kantor jam segini? Rasanya bulu kudukku berdiri. Aku berhenti, menatap pintu kaca itu. “Dia belum pulang ya?” suaraku lirih. Kakiku bergerak mendekat. Pintu sedikit terbuka. Awalnya aku mau pura-pura nggak lihat. Tapi mataku malah terpaku. Christian berdiri membelakangi pintu. Jas hitamnya sudah dilepas, kemeja putihnya kusut, dasinya longgar. Bahunya naik-turun cepat, tangannya mencengkeram meja seolah mau meremukkannya. Aku menelan ludah. Ada apa dengannya? Suara berat keluar dari bibirnya. “…hngh…” Erangan. Pelan, tapi jelas. Astaga. Jangan bilang— "Hghh." Tangannya mengepal, urat-urat di lengan menonjol. Dari sisi wajah yang terlihat, napasnya tersengal. Ada ekspresi tertahan, seperti seseorang yang melawan sesuatu di dalam dirinya. “Dia… kenapa?” bisikku tanpa sadar. Tubuhku menegang. Aku harusnya pergi. Aku harusnya pura-pura nggak lihat. Tapi kakiku justru terpaku di depan pintu kaca itu. Bruk! “Akh!” Sepatuku tersandung pot kecil. Tubuhku menubruk gagang pintu, menghasilkan suara nyaring. Aku panik. Tanganku buru-buru menutup mulut. Sial. Bahunya kaku. Tangan yang tadi mencengkeram meja terlepas. Perlahan kepalanya menengadah. Dengan gerakan cepat, dia menoleh. Mata kami bertemu. Dingin. Tajam. Menusuk. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang lebih. Intens. Gelap. Aku membeku. Tubuhku menolak bergerak, meski kepalaku berteriak untuk lari. Christian tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap. Tatapan yang terlalu lama, terlalu berat, seakan menahan sesuatu yang bahkan aku tak berani bayangkan. “Aku... maaf, aku nggak sengaja lewat,” kataku terbata, mencoba mundur. Dia melangkah satu kali. Hanya satu. Tapi itu cukup membuat jarak di antara kami menyusut drastis. “Apa yang kamu lihat?” suaranya rendah, serak, tapi jelas. Aku menelan ludah. “Nggak… nggak lihat apa-apa, Pak.” “Jangan bohong.” Mata itu menusuk, membuat paru-paruku serasa terhenti. Aku mundur setapak, punggungku hampir menempel ke pintu. “Saya sumpah, saya cuma—” “Kenapa kamu masih di kantor jam segini?” potongnya cepat. Pertanyaan normal. Tapi nada suaranya membuatku terguncang. Seolah dia sengaja mengalihkan, tapi tidak melepas tatapannya dariku. “Saya… masih ada kerjaan dari Bu Emma,” jawabku jujur. Dia terdiam. Hanya napasnya yang masih berat, meski perlahan mulai stabil. Tangannya menyentuh kancing atas kemeja, seolah baru sadar dasinya longgar. “Pulang setelah selesai,” katanya singkat. Aku mengangguk cepat. “Baik, Pak.” Kupikir dia akan kembali ke mejanya. Tapi tidak. Dia tetap berdiri di sana, menatapku seperti sedang menimbang sesuatu. Aku menunduk, mencoba kabur ke lorong. Tapi sebelum aku melangkah jauh, suaranya menahan. “Lola.” Aku berhenti. Bahuku kaku. “Ya, Pak?” “Apa yang kamu lihat barusan…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Lupakan.” Deg. Aku berbalik perlahan. Dia masih menatap, kali ini dengan senyum tipis—senyum yang tidak ramah, lebih seperti peringatan. “Kalau kamu pintar, kamu akan berpura-pura tidak tahu apa-apa,” lanjutnya. Jantungku berdetak kacau. “Saya… mengerti.” Dia mengangguk sekali. Lalu berbalik, mengambil jasnya, dan duduk kembali di kursinya. Aku menelan ludah. Kakiku akhirnya bisa bergerak, membawa tubuhku menjauh dari ruangan itu secepat mungkin.Lola terdiam.Christian menatapnya, tidak dengan maksud lain—hanya memohon tempat untuk bernafas.Lola tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.Dan untuk pertama kalinya, sejak perjalanan itu dimulai, keduanya duduk berdampingan dalam diam yang tidak menyakitkan.Lola menyandarkan kepalanya di bahu Christian, sementara pria itu memejamkan mata.Tidak ada kata cinta di antara mereka malam itu, tapi ada sesuatu yang lebih jujur dari cinta—keberanian untuk berhenti berpura-pura kuat.Dan ketika lampu apartemen dimatikan, hanya cahaya kota yang masuk lewat tirai, Christian membuka matanya pelan, menatap wajah Lola yang tertidur di bahunya.Ia menelusuri garis wajah itu, lalu berbisik lirih, seperti pada dirinya sendiri.“Seandainya kau tahu, Lola... apa yang sebenarnya terjadi malam ini.”Wajahnya suram, tapi ada keputusan di matanya.Ia tahu, begitu matahari terbit nanti, semuanya akan berubah lagi.Tapi untuk sekarang, hanya malam ini, ia izinkan dirinya untuk beristirahat di dunia kecil
Hujan tidak turun malam itu, tapi udara terasa lembap, seperti kota baru saja selesai menangis.Di kamar apartemen kecil itu, Lola sudah terlelap di atas kasurnya. Rambutnya terurai berantakan di atas bantal, napasnya teratur, sesekali bibirnya bergerak kecil, mungkin sedang bermimpi, mungkin hanya sekadar bergumam.Ia baru saja menutup matanya kurang dari satu jam lalu. Matanya bengkak karena kelelahan, bukan karena tangis, meski keduanya terasa sama di tubuh yang nyaris tumbang itu.Tapi kemudian suara itu datang.Suara bel apartement nya.Lola menggeliat pelan, mengerang, mencoba mengabaikan. Ia menyelipkan kepalanya ke balik bantal, berharap suara itu hanyalah bagian dari mimpi. Tapi kemudian disusul bunyi bel pintu.Sekali. Dua kali. Panik, mendesak.Ia membuka mata, mendengus kesal. “Tengah malam begini...” gumamnya serak, bangkit setengah malas dari ranjang.Matanya masih setengah tertutup ketika ia menyeret langkah ke arah pintu, masih memakai kaus tipis dan celana tidur panja
Esther berdiri terpaku, menatapnya dengan pandangan tak percaya, lalu tiba-tiba ia tertawa mengejek. “Jadi sekarang kau membawa perempuan murahan itu ke dalam pembicaraan keluarga ini? Yang kedua, setelah aku?” katanya dingin. “Kau benar-benar kehilangan akal sehat, Christian.”Kata itu, 'murahan', membuat rahang Christian mengeras. Pria itu bahkan mengepalkan tangannya, mencoba meredam emosi yang semakin menggila. Ia menatap Esther perlahan, pandangannya naik dari ujung sepatu hingga ke mata wanita itu. Dan untuk pertama kalinya sejak perceraian mereka, rahangnya benar-benar mengeras.“Jaga bicaramu.” Suaranya pelan, tapi berat. Terlalu tenang untuk disebut ancaman, tapi cukup membuat udara di sekitar mereka menegang.Esther mengangkat dagu, tak gentar. “Kau marah karena aku mengatakan yang sebenarnya?”“Tidak,” jawab Christian cepat. “Aku marah karena kau dengan mudah meludahi nama orang lain, hanya karena kau ingin terlihat lebih tinggi dariku.” Nadanya kini naik setengah oktaf.I
Di sisi ruangan, lilin-lilin panjang menyala tenang, melemparkan cahaya keemasan yang bergetar di wajah tiga orang yang membisu di sana.Tuan Luciano menatap anaknya yang berdiri tegak di hadapannya. Tatapan itu seperti ujung pisau: dingin, presisi, dan berlapis kebencian yang tak terucap.Lalu ia membuka suara pelan, nyaris seperti gumaman:“Jangan pernah kau tadahkan kepalamu, sampai kau memastikan benar-benar bisa hidup tanpa bantuanku.”Christian tidak bergeming. Tatapan matanya menusuk lurus ke arah ayahnya.Kemudian, ia tersenyum tipis, senyum yang bukan untuk ramah, melainkan untuk menyembunyikan rasa muak yang sudah menahun.“Aku bisa hidup dengan kakiku sendiri sejak lama, Ayah,” ucapnya datar.“Hanya saja, setiap aku berhasil melaluinya sendiri, kau selalu memberikanku masalah lain dengan sengaja. Dengan begitu, usahaku akan tertutup, dan kau akan datang seperti pahlawan dalam kehidupanku. Selalu begitu.”Kata-kata itu jatuh seperti pecahan kaca.Nyonya Maria Luciano pucat.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews