Share

part 3

Author: Rizuki
last update Huling Na-update: 2021-07-12 02:27:33

Farrin masih tetap dengan pandangannya keluar jendela café yang kini tengah ia gunakan untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Tentu saja, ia masih belum tenang akibat berita pertunangannya yang begitu mengejutkan itu. Pun masih tak habis pikir, bagaimana bisa kekasih yang telah menjalin kasih selama tiga tahun ini dengannya bisa digantikan hanya dengan waktu satu malam saja tanpa pemberitahuan sebelum itu. Jangankan untuk pemberitahuan, bahkan untuk kata putus saja tidak ada di antara mereka. Memang, ia telah mengenal Vian jauh hari sebelum ini, tetapi tetap saja hal ini tak dapat ia terima dengan mudah.

Memang kau masih bisa menerima pertunangan dengan adik kekasihmu, di saat yang bahkan kau saja ingat jika tidak ada masalah di antara kalian?

Heol! Jika saja bukan adik dari kekasih yang kini menjadi tunangannya, ia tak akan merasa sakit lebih dari ini. Ia akan lebih menerima jika yang ditunangkan dan dijodohkan dengannya adalah orang lain.

Di mana hati mereka? Semudah inikah mempermainkan perasaan seseorang?

Padahal keluarganya dan keluarga kekasihnya sangat dan amat tahu jika mereka tengah menjalin kasih. Lalu, dengan seenak hati merubah status mereka menjadi tunangan tentu dengan merubah orang yang akan ditunangkan juga. Lagi, kabar yang lebih menyakitkan adalah kekasihnya pergi di hari yang sama dengan waktu ia ditunangkan. Sebegitu tak inginnyakah pria itu?

Padahal jika dipikir, kurang apa ia selama ini?

Ia telah cukup sabar mengahdapi kekasihnya. Ia sudah meminimalisir pertengkaran di antara mereka. Ia juga sudah belajar lebih banyak untuk bersikap lebih dewasa dan berusaha menjadi calon istri yang lebih baik. Apakah hal itu masih kurang? Ia bahkan yakin jika calon ibu mertuanya itu –yang artinya ibu dari kekasihnya--- dengan terang-terangan telah menyetujuinya dengan putranya.

Atau sebenarnya hidupnya hanya bisa begini? Hanya bisa terus disakiti tanpa dia bisa memilih?

Ia bahkan masih ingat dengan hubungannya dengan dua pria sebelum ini. Pertama ia di duakan, dan yang kedua, ia ditinggalkan begitu saja karena perjodohan.

Cih!

Perjodohan lagi.

Tak adakah hal lain selain perjodohan?

Karena sepertinya ia merasa muak dengan kata itu.

Kata yang mengungkapkan tentang ketidakberdayaan melawan manusia yang lebih tua dari segi umur darinya, dan berlaku seenaknya dengan dalih kebaikan untuk anak mereka.

Heh!

Ia janji, jika kelak ia memiliki anak, ia tak akan menggunakan kata perjodohan untuk anak-anaknya. Ia akan membebaskan apa yang ingin anaknya raih. Bagaimanapun keadaannya. Ia juga berjanji siapapun pasangannya nanti, akan ia layani sepenuh hati. Ia tak ingin menyesal di tengah jalan dengan menyia-nyiakan hal yang ada di hadapannya. Sebenarnya ia juga tak ingin naïf jika ia menginginkan kebahagiaan, tetapi, yang pelajari sejak kecil bahwa kebahagiaan akan datang jika ia menjalani hidup apa adanya dan mengikuti kata hatinya. Memang, bagi sebagian orang ia dinilai terlalu keras kepala. Tapi beginilah caranya. Ia hanya mengikuti apa kata hatinya, itu saja.

Lalu dengan menerima orang yang kali ini digadang-gadang akan menjadi pendampingnya di waktu kurang dari dua bulan ke depan adalah keputusannya.

I let my guard down and then you pull the rug,

I was getting kinda used to being someone you loved.

Seakan ditertawakan, diejek, dan dicela oleh dua baris syair yang tentunya ia faham artinya, Farrin merasa jika ia pun begitu. Tak ada ubahnya dengan lagu yang sekilas ia dengarkan dari audio café yang diputar dalam playlist mereka. Ia yang mengingat detail dengan baik jika akhir-akhir ini mereka sama sekali tak memiliki masalah berarti. Namun, bukan berarti mereka tak pernah memiliki masalah selama menjalin hubungan.

Bukan!

Bukan begitu.

Mereka pernah beberapa kali cekcok atau berseteru tentang beberapa hal. Setelah itu tak akan lama sebab mereka kemudian menyelesaikannya dengan baik-baik. Tidak seperti sekarang ini. Di mana mereka baik-baik saja. Namun, tiba-tiba dia pergi dan meninggalkannya tanpa kejelasan dan penjelasan sama sekali. Malah, dengan tidak etisnya kekasihnya merelakan ia bertunangan dan akan menikah dengan adiknya.

Dalam benaknya, apakah Avan sudah tak memiliki keberanian atau setidaknya hal untuk memperjuangkan ia di hadapan orang tua mereka? Hingga mereka menyerah akan keputusan ibunya yang lebih menginginkan jika ia bersanding dengan Vian?

Jika begini pun, ia hanya bisa insecure.

Tentu saja ia tak akan bisa menandingi pesona kakaknya yang hebat di segala bidang hingga mendapat kepercayaan dari orang tua mereka untuk melanjutkan bisnis property yang sudah berkembang itu. Ia yang tak tertarik sama sekali dengan dunia bisnis seperti kakaknya hanya bisa menjadi seorang guru di salah satu playgroup terkemuka di kotanya. Jangan salah, karena nyatanya menjadi salah satu pengajar di sana haruslah mengikuti seleksi ketat dan tidak bisa menerima orang sembarangan karena playgroup tersebut terkenal akan kualitasnya hingga banyak dilirik oleh pengusaha yang ingin penerus mereka mendapat pendidikan terbaik.

Tetapi tetap saja, penghasilannya tidak akan dapat menandingi pendapatan kakaknya sebagai seorang manager, ‘kan? Hal itulah yang membuatnya seakan dipandang sebelah mata. Tak hanya oleh orang tua, melainkan oleh beberapa orang di sekitarnya juga. Meski yang terlihat kedua orang tuanya tak mempermasalahkan hal itu, ia bisa menangkap gelagat tak mengenakkan karena meski mereka menyembunyikannya terlalu baik, ia tetap dapat melihat betapa raut kecewa itu tersirat di pandangan mereka. Apa lagi dengan pernikahan kakaknya dengan seorang yang memiliki jabatan yang sama, seorang pewaris. Hal itu juga menambah beban pikir Farrin.

Ia bisa mengerti akan hal itu. Karena pasti setiap orang tua ingin anaknya memiliki karir yang sukses dan masa depan yang cerah dengan gaji besar dan pasangan yang tak jauh darinya. Sedang ia? Hampir mendapat yang setara suami kakaknya, malah terbelokkan dan mendapat kepala divisi.

Ah, mungkin juga calon mertuanya malu mendapat menantu yang hanya seorang guru hingga merasa tak layak jika disandingkan dengan putranya yang luar biasa itu.

Akan tetapi, apakah memang benar begitu sesuai dengan pemikirannya ini?

“Aku lelah. Kepalaku terasa panas. Sepertinya hal ini bukan hal baik jika aku berlanjut memikirkan keadaanku. Pasti anak-anak akan terkena imbasnya,” bisiknya yang entah pada siapa.

Farrin memang sangat menyukai anak-anak dan segalanya tentang dunia kecil mereka hingga ia memutuskan untuk mengambil jalan ini. Ia tak menyesal, sungguh! Karena ia bahkan rela menanggung tekanan ini begitu lama. Sekarang, hal itu terbayar. Hanya dengan melihat murid-murid kecil itu ia bisa melepaskan segala beban yang selama ini menggelayuti pundaknya.

Lalu sepertinya, ia juga akan melakukan hal itu pada keadaannya sekarang.

Ia tak boleh berlama-lama terlarut dalam kesedihan akibat ditinggal kekasihnya pergi. Sama seperti ia melupakan pandangan mereka terhadapnya, begitu pula ia akan melakukannya.

Karena setelah ini bertekad jika ia akan menerima siapa pun tunangannya dan mencoba menerimanya apa adanya. Lagi pula ia pikir hal itu tidak terlalu buruk sama sekali. Ia bisa menerima perlahan, memulai kembali dan menjadi istri yang baik di waktu yang kurang dari dua bulan ini. Karena ia yakin, pernikahan mereka akan tetap berlangsung bagaimanapun keadaannya. Ia juga yakin jika sama sekali tak akan bisa menolak apapun alasan yang ia lontarkan pada mereka.

Karena memang sedari dulu selalu begitu. Tak akan ada yang menganggap penting dan mendengar pendapatnya.

“Boleh aku duduk di sini? Tempat lain sudah penuh dan hanya kau orang yang kukenal dan memiliki bangku kosong untuk kududuki.”

Farrin yang menghentikan lamunannya karena sebuah suara yang masuk indera pendengaran kini mendongakkan kepalanya. Ia bisa melihat jika suasana café sudah lebih ramai dari kedatangannya tadi itu hanya bisa membenarkan ucapan pemuda bertubuh jakung tersebut. Dengan perlahan, ia menganggukkan kepalanya dan mempersilahkan pemuda itu duduk di hadapannya.

“Terima kasih sudah mengizinkanku untuk duduk di sini,” ucapnya pada Farrin.

“Sama-sama.”

Farrin tahu, inilah langkah awal yang seharusnya ia jalani.

Karena mungkin setelahnya, ia akan melangkah ke depan dan membuang semua hal di awal sebelum ini.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mon Amour   Part 127

    “Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu

  • Mon Amour   Part 126

    Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un

  • Mon Amour   Part 125

    “Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far

  • Mon Amour   Part 124

    “Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny

  • Mon Amour   Part 123

    Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili

  • Mon Amour   Part 122

    Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu

  • Mon Amour   Part 121

    “Alex,” ujar Natsu. Ia menggoncang pelan tubuh Alex yang tengah terlelap di futon—kasur lantai khas Jepang, yang ada di kamarnya. Natsu mungkin merapal untuk meminta maaf untuk nanti, tetapi ia juga bersyukur karena Alex tidak mengunci pitu kamarnya.“Ada apa, Nats?” tanya Alex dengan pelan. Jika saja tuan yang memerintahkannya untuk menjaga Farrin ada di sini, sudah pasti ia akan mendapat hukuman karena menurunkan tingkat kewaspadaan. Karena bagaimanapun juga, Alex adalah seorang penjaga dan tugasnya adalah memiliki kewaspadaan yang tinggi. Dan membiarkan kamar tidak terkunci dan seseorang bisa masuk sembarangan adalah suatu kesalahan yang fatal.“Oh, tidak! Nats!” sergah Alex. Ia baru ingat jika tak mengunci kamar. Lalu, apakah ada suatu hal yang membuat wanita itu panik seperti ini?“Apa, lex?”“Aku lupa mengunci pintu dan menurunkan kewaspadaanku. Seharusnya aku tidak menuruti perkataan Farri

  • Mon Amour   Part 120

    “Vi, hentikan pencarianmu tentang Farrin.”Dengan satu kali tombol ditekan, pesan suara yang Nazilla kirimkan kini terkirim pada ponsel Vian. Ia sudah memutuskan untuk mengalah dan membiarkan Farrin lepas dari tanggung jawabnya. Setelah ini, ia hanya bisa berharap jika wanita itu bisa menemukan bahagianya sendiri, atau setidaknya menemukan orang yang mencintainya.Bukankah dicintai lebih baik ketimbang mencintai?Sebagai orang yang sudah melewati lima dasawarsa alam hidupnya, Nazilla mengerti betapa hidup terkadang tidak bisa kita kendalikan meski ada banyak uang di tangan kita. Padahal, tak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa jika kau memiliki uang, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan.Mungkin mereka benar, tetapi bukan berarti harus dijadikan sebagai sebuah pembenaran.Nazilla sendiri yang mengalaminya tanpa ada bantuan cerita dari orang lain. Kini, meski uang dan kekuasaan bisa ia pegang, satu wanita untuk kebahagiaan pu

  • Mon Amour   Part 119

    “Ap-apa maksudmu, Ri?” Badan Nazilla mengalami tremor kecil saat Rizuki menyelesaikan ucapannya. Semakin lama, Wanita paruh baya itu semakin merasa terancam saat wanita yang enggan duduk itu mengatakan banyak hal. Bahaya! Ia bisa mencium ada tanda-tanda bahaya untuk nanti.“Mama sangat tahu apa yang kumaksud, tapi masih menanyakannya padaku? Biar kuberitahu satu hal, Ma. Biarkan Avan bersama dengan Farrin dan mereka menjemput bahagianya. Putra kesayanganmu sudah bertemu dengan wanita yang pas untuknya. Wanita yang mencintainya dan memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang bisnis. Sebagai orang yang kau anggap anak juga, aku mengatakan hal yang sebenarnya dan berharap Mama bisa mengerti.”Rizuki melirik Nazilla sekilas lalu melanjutkan, “Yang Mama tuduhkan, bahwa aku tidak adil pada kedua orang itu semata-mata juga karena Mama sendiri. Perlukah aku mengatakan semua hal yang membuat Mama bisa berpikir bahwa apa yang Mama lakukan adalah sebua

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status