Share

part 2

“Aku tak akan meminta izin untuk diperbolehkan masuk olehmu atau tidak. Aku juga akan menunggu, jika dalam waktu lima menit kau tak membukakan pintu untukku, aku akan masuk. Aku sudah mendapat kunci duplikat kamarmu,” ujar Vian. Ia tahu jika dirinya kini tengah was-was karena takut ketahuan berbohong atas ucapannya.

Jujur saja, kini Vian tengah mencoba peruntungan. Ia berbohong jika ia memegang kunci duplikat pintu kamar yang ada di hadapannya, yang nyatanya tak ia pegang sama sekali. Selain itu, ia juga memikirkan tentang celah kecil dari ancamannya. Ia tahu jika kunci tidak akan berfungsi dari luar jika dari dalam masih ada kunci yang menggantung.

Namun, jika memikirkan kondisi Farrin yang kacau tadi, ia berharap jika Farrin lengah dan menanggapi ucapannya tanpa berpikir. Ia memang tak mengenal Farrin secara dekat dan tak lebih dekat dari Avan, kakaknya. Akan tetapi, waktu empat tahun juga bukan waktu yang sebentar untuk tahu beberapa hal tentang gadis berambut pirang panjang tersebut.

Cklek!

Vian banyak berucap syukur dalam hatinya karena Farrin masih mau untuk membukakan pintu untuknya. Setidaknya, ia harus berbicara beberapa patah kata agar suasana hatinya membaik. Ia tahu, ia menyayangkan sikap Avan yang dengan seenaknya mengambil keputusan begitu saja tanpa meminta pendapat ia atau ibunya. Namun, untuk ikut campur terlalu dalam dan membuat Farrin semakin terpuruk, tentu hal itu bukan hal yang bagus sama sekali. Jadi, ia memilih untuk sedikit menghibur suasana hati wanita itu.

“Boleh aku masuh ke kamarmu? Kita perlu bicara,” ujar Vian. Ia masih berdiri di pintu kamar Farran dan tak berani masuk tanpa dipersilahkan si empu kamar. Lagi pula, ini pertama kali ia menginjakkan kaki ke wilayah pribadi wanita yang menjadi kekasih kakak kembarnya itu.

Farrin mengangguk pelan, ia masih menundukkan kepala dengan isakan sudah tak terdengar lagi di telinga Vian. Begitu ia membukakan pintu untuk Vian, ia langsung berbalik dan berjalan pelan ke dalam kamarnya. Jujur saja, Farrin tak ingin sosok lemahnya begitu terlihat di mata lelaki yang mulai malam ini menjadi tunangannya secara sepihak itu.

“Duduklah di mana pun kau mau!” perintahnya.

Vian mengangguk tanpa mengeluarkan suaranya dan yakin jika Farrin sama sekali tak akan tahu jika ia mengangguk. Jujur saja, ia tak pernah masuk ke dalam kamar wanita mana pun selain ibunya sebelum ini. Ia mengagumi tatanan kamar Farrin yang terlihat minimalis untuk ukuran wanita yang beranjak dewasa sepertinya. Dulu, ia pernah mendengar jika Farrin tak banyak mengoleksi banyak hal, dan ia kini percaya jika pernyataan itu benar adanya. Tak banyak barang di ruangannya. Sebagian adalah barang yang benar-benar selalu dibutuhkan dan umum untuk berada di kamar. Seperti buku-buku, laptop, dan beberapa barang perempuan seperti boneka.

Boneka? Oh, sepertinya wanita itu begitu menyukai boneka kelinci hingga di kamarnya ini terlihat beberapa boneka kelinci dengan berbeda bentuk, pose dan warna. Ada yang berwarna biru, ungu, dan merah muda.

“Boleh aku duduk di sofa?” tanya Vian setelah matanya melihat siluat sebuah sofa tunggal yang berada tak jauh dari ranjangnya. Dari sana, ia bisa menyimpulkan jika sofa itu biasa Farrin gunakan untuk membaca. Terbukti dari adanya rak buku yang berada di dekat sofa itu.

Farrin mengangguk dan bergumam pelan jika ia memperbolehkan Vian duduk di sana. Vian mendengarnya. Setelah itu, ia langsung mendudukkan dirinya di sofa berwarna biru gelap tersebut.

“Maaf, aku tak punya kudapan untuk disuguhkan padamu. Aku juga terlalu malas untuk ke dapur dan mengambilkan untukmu,” ucap Farrin. Ia memang jarang membawa kudapan ke dalam kamarnya. Selain faktor malas, ia juga tidak ingin mengalami obesitas ataupun kelebihan kadar gula karena kudapan manis. Ia hanya akan mengambilnya di dapur hanya untuk saat-saat tertentu.

“Tak masalah untukku, lagi pula aku di sini untuk berbincang. Tak masalah jika tak ada kudapan atau minuman, aku sudah kenyang karena tadi kita telah makan bersama.”

Farrin masih menundukkan wajahnya. Ia masih malu untuk sekedar mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah eksistensi pria yang berusia tujuh menit lebih muda dari kekasihnya itu. Ah, atau mungkin bisa dikatakan mantan kekasih untuk saat ini?

Hening melingkupi keadaan mereka untuk beberapa saat. Farrin tahu, pemuda itu lebih pendiam ketimbang kakak kembarnya. Lalu, ia juga bingung ingin berbicara apa untuk memecah keheningan di antara mereka. Meski sudah beberapa menit berlalu sejak Vian duduk di sofa, ia sama sekali belum membuka mulutnya untuk berbicara seperti tujuan awalnya ke sini.

“Jika tak ada yang kau katakan, sebaiknya temui keluargamu agar aku bisa istirahat!” sarkas Farrin.

Vian mengerti, kata-kata itu adalah kata pengusir untuknya karena ia tak segera membuka percakapan pada gadis yang kini tengah duduk di ranjang itu. Ia sebenarnya tak tahu harus memulai dari mana, yang jelas, kini ia tengah mencari topic pembicaraan yang pas.

“Maaf,” ucap Vian. Ia memang bingung atas apa yang akan dikatakannya. Akhirnya, hanya ucapan maaflah yang bisa keluar dari mulutnya saat ini.

“Untuk?” tanya Farrin.

“Kakakku.”

“Mengapa kau yang meminta maaf? Jika memang kakakmu yang merasa bersalah, maka dialah yang harus meminta maaf. Bukan dirimu.”

“Aku tahu. Tapi aku juga ikut andil karena aku tak berusaha lebih keras untuk mencegahnya melakukan hal ini.”

Farrin menunduk, ia tahu jika Vian lah yang akan meminta maaf karena ia telah mengetahui tabiat calon adik iparnya itu. Ah, atau bisa di bilang kini calon suaminya karena pria itu telah menjadi tunangannya.

“Itu bukan salahmu. Lebih keras membujuknya atau tidak sama sekali, itu tak akan merubah apapun. Avan sangat keras kepala. Aku juga tak yakin jika ada yang bisa membuat keputusan yang ia buat berubah dalam hitungan menit.”

“Ya, seperti itulah kakak.” Avan tersenyum. Memang benar apa yang diucapkan oleh wanita itu tentang kakaknya. Tentu saja, apa yang akan kau harapkan dengan hubungan mereka yang tidak sebentar itu?

“Boleh kutahu di mana ia sekarang?”

Vian menghembus nafasnya dengan pelan. Ia tak tahu apakah jawabannya ini berdampak buruk atau tidak untuk calon kakak iparnya ini. “Dia telah terbang ke New York. Mungkin sudah lepas landas lima belas menit yang lalu. Sebelum ke sini, kami mengantarkan dia terlebih dahulu ke bandara,” ujarnya.

Air mata yang sebelumnya telah berhenti kini kembali mengalir lagi di pipi tirus milik Farrin. Vian menyadarinya. Namun, ia baru menyadari malam ini jika pipi Farrin lebih tirus dari terakhir mereka bertemu satu tahun yang lalu.

Sebelum ini, Avan memang menghindari Farrin karena mendengar kabar jika kakaknya akan meminang Farrin dalam jangka waktu dekat. Setelah kabar itu, ia memilih untuk menenangkan hatinya dan pergi ke negeri Paman Sam dengan dalih mengurus perusahaan yang kini berganti kakaknya yang mengurusnya karena beberapa hal dan ia ditugaskan kembali ke perusahaan lama menjadi karyawan biasa.

Lalu, tanpa disadari siapapun juga, ia diam-diam telah menaruh hati pada calon kakak iparnya ini. Jadi, boleh ia berharap lebih meski pada nyatanya nanti ia tak akan mendapatkannya? Ia ingin menikmati saat-saat menjadi tunangan Farrin walau hanya sebentar saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status