“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar.
“Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini.
“Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.”
Ah, panggilan yang Farrin rindukan.
Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
sudah, ya. book ini selesai sampai di sini. silakan check book lain dari penulis, ya. salam, Rizuki. ah, jangan lupa kasih gems kalian untuk cerita ini
“….. Lalu maukah engkau, Farrin Asytar, menerima Avan Kiandra sebagai pasanganmu. Menerimanya dalam keadaan sehat maupun sakit, kaya atau miskin, dan suka ataupun duka hingga ajal menjemput kalian?” “Aku. Tidak. Bersedia,” ujar mempelai wanita dengan tegas. Gadis yang memiliki darah keturunan ras Kaukasoid dari ayahnya itu menatap nyalang mempelai pria yang ada di hadapannya. Berharap seolah pandangan bisa membunuh, dan ia bisa membunuh pria di hadapannya dalam sekali tatap. Sungguh! Ia ingin muntah rasanya, begitu melihat wajah memuakkan yang sayangnya sangat mirip dengan orang yang menemaninya selama dua bulan ini. Andai saja di sini tidak banyak orang, ia ingin menyiram wajah arogan itu dengan segelas jus atau seember air bekas pel sekalian. "Pengantin priaku bukan dia. Dia hanya pengganti saja," Gadis itu menjeda, "mempelai priaku ada di sana," imbuhnya sambil menunjuk di mana ada seorang yang memiliki wajah mirip dengan pria yang ada di hadapannya
Denting jam besar yang berada di tembok ruang keluarga itu terasa begitu nyaring saat beberapa pasang mata di sana enggan mengeluarkan suaranya. Mereka, bahkan untuk bernapas saja terasa begitu menyesakkan saat seorang yang baru saja meninggalkan ruang itu kini tak tertampakkan lagi. Tak ada yang bisa mencegah, bahkan sang kepala keluarga sendiri yang biasanya memiliki suara paling berhak untuk didengar, kini sama sekali tak bisa, bahkan untuk sekedar menghentikan langkah putrinya.“Zilla, kupikir kau akan bermaksud meminang Farrin untuk putra sulungmu,” ujar wanita berambut merah sepanjang panggul itu kepada wanita berambut dark blue yang berada di hadapannya.“Aku memang bermaksud demikian. Tapi, ini adalah ide putra sulungku itu. Putra pertamaku itu yang mengusulkan untuk melakukan hal ini,” jawabnya.“Tapi yang ku tahu, Farrin itu keras kepala melebihi ayahnya-”Yang merasa disebut menolehkan kepala yang berhias sur
“Aku tak akan meminta izin untuk diperbolehkan masuk olehmu atau tidak. Aku juga akan menunggu, jika dalam waktu lima menit kau tak membukakan pintu untukku, aku akan masuk. Aku sudah mendapat kunci duplikat kamarmu,” ujar Vian. Ia tahu jika dirinya kini tengah was-was karena takut ketahuan berbohong atas ucapannya.Jujur saja, kini Vian tengah mencoba peruntungan. Ia berbohong jika ia memegang kunci duplikat pintu kamar yang ada di hadapannya, yang nyatanya tak ia pegang sama sekali. Selain itu, ia juga memikirkan tentang celah kecil dari ancamannya. Ia tahu jika kunci tidak akan berfungsi dari luar jika dari dalam masih ada kunci yang menggantung.Namun, jika memikirkan kondisi Farrin yang kacau tadi, ia berharap jika Farrin lengah dan menanggapi ucapannya tanpa berpikir. Ia memang tak mengenal Farrin secara dekat dan tak lebih dekat dari Avan, kakaknya. Akan tetapi, waktu empat tahun juga bukan waktu yang sebentar untuk tahu beberapa hal tentang gadis be
Farrin masih tetap dengan pandangannya keluar jendela café yang kini tengah ia gunakan untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Tentu saja, ia masih belum tenang akibat berita pertunangannya yang begitu mengejutkan itu. Pun masih tak habis pikir, bagaimana bisa kekasih yang telah menjalin kasih selama tiga tahun ini dengannya bisa digantikan hanya dengan waktu satu malam saja tanpa pemberitahuan sebelum itu. Jangankan untuk pemberitahuan, bahkan untuk kata putus saja tidak ada di antara mereka. Memang, ia telah mengenal Vian jauh hari sebelum ini, tetapi tetap saja hal ini tak dapat ia terima dengan mudah.Memang kau masih bisa menerima pertunangan dengan adik kekasihmu, di saat yang bahkan kau saja ingat jika tidak ada masalah di antara kalian?Heol! Jika saja bukan adik dari kekasih yang kini menjadi tunangannya, ia tak akan merasa sakit lebih dari ini. Ia akan lebih menerima jika yang ditunangkan dan dijodohkan dengannya adalah orang lain.Di
“Aku tahu kau masih belum menerima tentang semua ini. Tapi aku mohon, jangan terlalu dipikirkan tentang pertunangan kita,” ucapnya.Farrin menatap bola mata sehitam arang di hadapannya ini dengan tatapan menyelidik. Beberapa hari ini, ia memang terlalu memporsir tenaga untuk memikirkan pertunangannya. Hingga ia merasa jika badannya lebih ringan karena nafsu makan yang menurun. Juga, ia harus mempersiapkan mental untuk pernikahan yang akan dijalaninya kurang dari dua bulan mendatang.“Aku tahu, mungkin aku sama sekali belum layak untuk menjadi pendamping kakakmu, Vian. tapi kau juga mengenalku dengan baik bahwa aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk bisa layak bersanding dengannya. Lalu. apakah aku sangat kurang sempurna hingga Vian tidak mau aku bersanding dengannya dan memilih untuk pergi dariku, Vi? Selama ini aku yakin jika aku sama sekali tidak memiliki kesalahan yang fatal padanya.”Pria yang duduk di depannya itu, Vian, tidak tahu
“Kau serius atas ucapan mu?” tanya Vian memastikan.Farrin mengangguk mantap. “Ya,” ucapnya.“Apakah itu berarti kau sudah tak mencintai kakakku? Bagaimanapun juga kalian telah menjadi sepasang kekasih selama beberapa tahun. Lantas, bagaimana bisa kau mengatakan jika kau mau menerimaku sebagai tunanganmu?”“Sudah kubilang, ini sudah kupikirkan matang-matang. Aku bukannya sudah tak mencintai kakakmu. Tapi aku sadar diri. Aku sudah tak diinginkannya lagi menjadi pendamping hidup. Aku juga tak mau berharap. Jadi, apa salahnya jika aku hanya ingin membuat hatiku lebih menerima keadaan?”“Salah! Tentu saja kau salah!” pekik Vian. Ia reflek memekik karena pertanyaan Farrin. Bagi Vian, tidak ada yang salah dengan mereka. Hanya salah di satu sisi, dan itu di bagian Avan.“Mengapa? Sekarang katakan di mana salahku?!” bentak Farrin kepada Vian. Emosi yang ia pendam beberapa saat itu tela
Seperti yang telah mereka setujui sebelumnya bahwa mereka akan menjalani hari yang normal sebagai sepasang tunangan. Farrin dan Vian terlihat seakan keduanya telah saling menerima keadaan. Tentu saja hal itu membuat ibu dari Vian merasa khawatir karena ia takut tidak berjalan seperti yang mereka rencanakan di awal.Merasakan hal lain, Nazilla juga telah menghubungi putra sulungnya itu dan mengatakan tentang semua kekhawatirannya. Namun, jawaban putra sulungnya sama sekali tak bisa membuat hatinya menenang. Masih ada rasa yang mengganjal di hatinya akan kegagalan acara mereka nantinya. Akan tetapi, hal itu juga bukan poin utama. Poin utamanya adalah bagaimana jika Farrin menolak pernikahan mereka nanti? Atau Farrin menjadi histeris? Jujur saja, sbagai orang tua tunggal ia tak ingin pesta pernikahan putranya berakhir menggelikan.“Ibu jangan khawatir, Farrin tidak akan melakukannya karena ia percaya padaku dan sangat mencintaiku.” Begitulah jawaban yang di lo
Sebenarnya, tak terlalu lama bagi mereka untuk menuju unit apartment yang Vian sewa. Hanya saja, selama di perjalanan mereka lebih banyak diam dan tak mengeluarkan kata apapun hingga membuat perjalanan mereka terasa lama. Bahkan hingga mereka sampai pun, Farrin masih tetap saja terdiam dalam lamunannya sendiri hingga Vian berinisiatif menggendong dan menuai pekikan tak terima oleh Farrin.“Turunkan aku!” pekik Farrin.Vian terkekeh, ia terlihat menikmati Farrin yang sedikit berontak dalam gedongannya. Ia merasa gemas melihat wanita itu terlalu larut dalam lamunan hingga sama sekali tak menyadari pergerakan Vian hingga pria itu memutuskan untuk menggendongnya.“Aku akan menurunkanmu ketika kita sudah sampai di dalam nanti. Aku lihat kau terlalu lelah, jadi biarkan tunanganmu ini melakukan tugasnya untuk sedikit membantumu, ya?” ujarnya. Wajah Farrin terasa menghangat saat ia mendapat perlakuan manis dari Vian. Sedangkan Vian, ia merasa jik