Share

Bisa Apa?

   Masa sekolah ku dihabiskan dengan perkelahian. Namun cenderung perkelahian sepihak karena tidak ada anak yang berani melawanku. Sejujurnya aku juga tidak mau menyakiti orang lain, tapi aku tidak tau cara lain untuk melampiaskan kesedihanku.

   Setiap kali pikiran tentang ibu atau ayahku terlintas di benak ku rasa sakit akan menjalar keseluruh tubuhku. Aku perlu pelampiasan untuk rasa sakit ini. David, Airin dan Dave tidak pernah mau berbicara denganku selama setahun ini. Aku tidak punya teman berbicara sama sekali.

   Tampa terasa waktu terus berjalan seperti itu. Tak ada yang berubah dalam hidup ku hingga aku lulus dari sekolah menengah atas. Ayah juga tampaknya sudah lupa dengan keberadaanku. Walau beliau sebulan sekali mengirim pesan pada ku. Tapi pesan itu tampaknya bukan pesan dari ayah pada anaknya, namun lebih pada peringatan supaya aku menjaga tingkah laku ku.

'bulan ini kau sudah membuat lima orang masuk rumah sakit. Tolong kurangi jumlahnya'

'aku tidak tau kalau kau pengacau. Jaga tingkah laku mu'

'sampai kapan kau akan terus seperti ini?'

'apa kau mau masuk ke penjara?'

   Aku sudah muak dengan isi pesan yang di kirim ayah ku karena isinya hanya berulang seperti itu. Setiap kali dia mengirim pesan bukannya membuat ku lebih tenang, pesan-pesan itu malah menjadi bensin yang semakin menyulut emosiku.

   Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku belajar. Bahkan saat ujian aku kerap tidur tanpa melakukan apa pun. Menulis nama saja aku tidak. Tapi aku selalu menduduki posisi ke empat. Luar biasa.

   Anak-anak lain selalu iri pada ku karena perlakuan khusus itu, tapi tidak ada yang berani membahasnya secara lantang. Sehingga aku mendapat label baru, yaitu "anak emas".

.

.

.

   Saat upacara kelulusan, hanya aku siswa yang tidak memiliki orang tua atau wali untuk berfoto bersama. Tapi aku juga tidak peduli dengan itu. Kenyataannya aku memang tidak punya orang tua kan?

   Sepulang dari upacara yang hanya kuhadiri saat pembukaannya saja itu, aku langsung pulang ke villa. Aku kaget ketika melihat barang-barang ku sudah dikemas rapi.

'rasanya bagai Dejavu seperti saat pertama kali aku dibuang ke sini', pikirku dalam hati.

"ada apa ini? kenapa barang-barang ku disusun seperti ini", tanya ku.

"tuan besar memerintahkan kami tuan muda, katanya sebentar lagi ajudan tuan besar akan datang untuk menjemput anda. Anda pasti senang. Anda kan sudah enam tahun tidak bertemu dengan ayah anda", ujar bu Choi sambil tersenyum hangat. Di ujung matanya aku bisa melihat air mata.

   Kenapa malah dia yang menangis? apa karena dia tidak tau apa-apa? siapa yang tau selanjutnya apa yang akan dilakukan ayah pada ku? bisa saja kali ini aku akan dilenyapkan. Tidak lama setelah aku berbicara dengan bu Choi terkait barang mana saja yang akan aku bawa, terdengar suara mobil memasuki villa.

   Ajudan-ajudan ayah selalu melakukan semuanya dengan cepat. Saat ini wajah ku pasti benar-benar masam. Bu Choi yang menyadari hal itu segera berpesan.

"tuan, saat nanti anda bertemu tuan besar peluklah beliau. Beliau pasti sangat merindukan anda", ucapan bu Choi benar-benar menusuk ku. Bagaimana aku bisa memeluk ayah ku disaat aku sudah tau akulah yang mengacaukan hidupnya? aku cukup tau malu untuk tidak melakukan itu.

   Selama perjalanan di mobil aku terus menerus berpikir jika bertemu dengan ayah nanti apa yang harus ku lakukan? apa aku harus pura-pura tidak tau kalo aku sebenarnya bukan ayahnya? atau sebaliknya aku mengaku sudah tau jadi dia tidak perlu berpura-pura lagi.

   Tampa sadar mobil yang kutumpangi telah jauh bergerak. Anehnya ini bukan jalan menuju rumah utama? apa ada yang salah atau hanya aku yang lupa jalan ke rumah karena enam tahun terakhir aku memang tidak pernah kembali ke rumah.

Drtt

   Tiba-tiba ponsel ku bergetar.Aku benar-benar terkejut karena yah menelepon ku! apa ini kejutan? padahal enam tahun terakhir dia tidak pernah sekalu pun meneleponku.

'halo', ucap ku gugup. Perut ku terasa aneh, bagaikan ada banyak kupu-kupu yang beterbangan dari perut ku.

Tapi ayah di seberang sana hanya diam. 'halo' kata ku lagi.

"ini aku. Apa kau sudah dalam perjalanan?", tanya ayah dengan ciri khasnya. Suara yang dingin! tanpa terasa ujung bibir ku naik. Aku benar-benar senang. Beban yang selama ini menghantui ku lenyap seketika.

"ya", jawab ku. susah payah aku menahan agar suara ku tetap datar.

"sesampainya kau di sana hiduplah dalam tenang. Jangan buat kekacauan seperti di sini. Karena aku sudah tidak bisa menutupi lagi kelakuan mu selama ini", kata-kata ayah membuat ku bingung.

"apa maksud ayah?"

"kau dalam perjalanan menuju bandara. Kau akan terbang ke Amerika. Aku telah mendaftarkan mu ke salah satu perguruan tinggi swasta terbaik di sana. Setelah lulus nanti kau baru boleh kembali ke Korea.", segera setelah berucap setengah memerintah seperti itu sambungan telepon ditutup secara sepihak olehnya.

   Tampaknya enam tahun belum cukup bagi ayah untuk hidup terpisah dari ku. Dulu dia mengirim ku ke tempat jauh agar tidak perlu melihat ku. Kini dia mengirim ku ke benua lain. Tampaknya dalam enam tahun ini rasa benci ayah semakin dalam. Aku hanya bisa tersenyum terpaksa sambil menatap layar mati ponselku.

   Sepertinya ayah ingin cepat-cepat mengirim ku ke sana. Lihat saja jarak antara aku sempai ke bandara dengan jadwal penerbangan hanya terpaut satu jam. Setelah sampai bandara, para ajudan ayah langsung sibuk mengurusi keberangkatan ku.

   Mereka bilang hanya ditugaskan sampai di sini. Hanya aku yang terbang ke Amerika saat itu. Kata mereka, sesampainya aku di sana, aku akan dijemput ajudan ayah ku yang lain yang memang berada disana.

   Mereka juga menjelaskan beberapa hal lain yang tidak ku dengarkan sama sekali. aku tidang sedang baik-baik saja.

.

.

.

   Ternyata perkataan mereka tentang akan dijemput ajudan lain benar. Saat tiba di bandara di Amerika aku sudah ditunggu dua orang ajudan ayah. Aku lantas dibawa ke sebuah apartemen mewah. Kata mereka mulai hari ini aku akan tinggal disini seorang diri.

  Mereka juga menjelaskan bahwa makanan ku tiap harinya akan diantarkan. Lalu tiap minggunya akan ada petugas kebersihan yang akan membersihkan tempat ini. Jadi aku bisa berfokus pada studiku. Aku diberikan kunci apartemen itu dan lima buat kartu kredit dan satu buah kartu debit bank setempat.

'semuanya benar-benar telah dipersiapkan. Berapa lama ayah memikirkan semua hal ini untuk mecegah ku bertatap muka dengannya?'

   Para ajudan itu terus berbicara dan menjelaskan hal lainnya. Walau ku coba untuk menyimak mereka, tapi tak ada satu kata pun yang benar-benar ku dengarkan.

.

.

.

   Dihari pertama di Amerika aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak punya kenalan disini. Aku juga tidak punya siapa pun untuk ku hubungi di Korea. Ayah? tidak aku tidak mau mengambil resiko itu. Bisa saja dia malah makin membenci ku.

   Baiklah Taevin. Ayo mulai hidup baru mu disini. Kau harusnya bisa bersyukur karena semua keperluan mu sudah disiapkan. Kau harus bersiap untuk lepas dari dari bantuan suami dari ibu mu. Kau harus ingat di bukan ayah mu.

   Dengan tekad yang sudah bulat aku memutuskan untuk hidup mandiri. Membebaskan raga ku dari kendali ayah ku karena aku bukan bonekanya lagi. Di bulan pertama aku benar-benar kesulitan karena selama ini aku memang tidak pernah bekerja.

   Ternyata mencari kerja itu sangat sulit. Ditambah aku tidak punya keahlian dan pengalaman sama sekali. Aku hanya bisa bekerja sebagai pekerja kasar seperti kurir yang gajinya tidak seberapa.

   Setelah bekerja seharian aku akan pulang dengan rasa malu. Karena uang yang ku hasilkan bahkan tidak cukup untuk membayar biaya listrik apartemen yang kutempati.Memang ayah ku tetap mengirimi uang bulanan yang sangat banyak, bahkan gaji bulanan ku jika dikumpulkan setahun tidak sebanding dengan uang bulanan dari ayah.

'aku harus keluar dari apartemen ini sebelum perkuliahan di mulai'

   Itu adalah tekad bulatku setelah bekerja satu bulan sebagai kurir. Dengan uang seadanya serta "sedikit" uang kiriman dari ayah yang ku ambil ku putuskan untuk keluar dari apartemen mewah itu dan menyewa kamar studio bawah tanah yang kumuh.

   Karena memang aku telah tiba disana empat bulan sebelum waktu perkuliahan, jadi aku bisa memanfaatkan waktu itu untuk mencari uang. Di pagi hari aku bekerja sebagai pengantar susu, siangnya aku bekerja sebagai kurir dan di malam hari aku bekerja sebagai pelayan di restoran.

  Selisih antara kebutuhan hidup dengan uang yang ku hasilkan dari kerja keras ku sangatlah tipis karena aku juga belum terbiasa hidup sederhana. Aku pun memutuskan untuk menjual beberapa barang mewah ku yang dulu sempat ku bawa. Selain itu ada hal yang sangat mengganggu ku.

Uang kuliah ku sebulannya sangat tinggi!

   Bahkan jika seluruh gaji yang ku terima setiap bulannya benar-benar disimpan seluruhnya aku perlu gaji selama tiga bulan untuk membayar uang kuliah ku sebulan. Benar-benar tidak masuk akal, padahal aku sudah bekerja keras.

   Kenapa ayah harus mengirimku ke sekolah yang sangat mahal? padahal dia tau aku juga tidak akan belajar di sini? apa aku lebih baik tidak kuliah saja? pikiran ku sangat kalut malam itu. Selesai bekerja di restoran aku tidak langsung pulang, tapi singgah sebentar di taman untuk menenangkan pikiran ku.

   Samar-samar aku mendengar suara seorang pria meminta tolong. Aku diam-diam mendekati sumber suara itu. Ada tiga orang anak yang sedang mengganggu seorang pria. Ketiga anak itu tampaknya masik berusia seumuran dengan ku. Sedangkan anak yang diganggu itu tampaknya lebih tua dari kami.

   Seseorang dari ketiga anak itu tiba-tiba mengambil tongkat yang tergeletak di tanah lalu mematahkannya. Melihat hal itu, pria malang itu lantas berteriak mohon ampun. Apakah itu tongkat pria itu? tapi kenapa mereka mengganggu pria malang itu.

   Aku benar-benar marah dan mulai melangkah dengan langkah besar dan hendak menghajar mereka. Namun, bagai kilas balik ingatan ku beberapa tahun belakang tiba-tiba berputar. Itu adalah saat aku dengan kesal mengganggu seorang anak tuna netra dengan cara merebut tongkatnya.

   Tampa tongkatnya anak itu kesulitan untuk berjalan. Bagai karma, ketika anak itu kesusahan berjalan sambil meraba-raba jalan di sepanjang koridor kelas, dia tidak sengaja menabrak punggung orang di depannya yang tengah meminum jus. Jus itu tumpah tepat di kemaja dan muka ku.

   Pemilik jus itu lantas berlari ketakutan. Anak- anak yang tadi menonton aku mengerjai anak yang tuna netra juga langsung berbalik badan pura-pura tidak melihat karena takut aku akan mengamuk dan menghajar mereka. Ya walau bisa ditebak mereka tengah tertawa di dalam hati.

   Segera ku seret anak itu ke ruang olah raga dan mulai menghajarnya. Anak itu hanya bisa menangis dan memohon ampun. Melihatnya aku jadi tidak tega. Apa salah anak ini sampai aku membencinya?

   Sejujurnya tidak ada. Aku hanya iri dengannya! tadi pagi di gerbang aku melihatnya diantar oleh ibunya. Dia juga diberikan bekal oleh ibunya. Aku yakin itu buatan ibunya. Mereka terlihat sangat bahagia dan saling menyayangi.

   Kau bahkan tidak bisa melihat tapi tampaknya warna di dunia mu jauh lebih banyak dari punya ku!

   Aku tersadar dari lamunan ku setelah tanpa sengaja aku menendang kaleng minuman. Padahal ini taman di pusat kota kenapa ada orang yang buang sampah sembarangan? Saat ku naikkan pandangan ku, aku bertemu mata dengan mereka. Apa sekarang aku adalah target mereka?

   Perlahan mereka mendekati ku. Tapi aku tidak takut. Baru beberapa bulan lalu menghajar beberapa anak sekaligus! walau tubuh mereka jauh lebih besar dari ku, aku yakin bisa mengalahkan mereka.

Brug! Untuk beberapa menit ke depan suara pukulan memenuhi taman itu

Ya bisa di tebak siapa yang terkapar di tanah sekarang. Ya itu aku. 

   Tampaknya dulu aku bukannya bisa menghajar beberapa anak sekaligus. Tapi beberapa anak dengan suka rela dihajar oleh ku. Mereka bertiga perlahan menjauh dari ku yang tidak bisa bergerak lagi. Semakin mereka menjauh semakin aku teringat kenangan lama saat mengejek Jisung dan Wonseok yang menjadi pembuat onar dan bebas mengganggu siapa saja bukan karena mereka benar-benar kuat.

   Tapi karena memang tidak ada yang berani menunjukkan kekuatannya. Tampaknya hal itu juga sudah menimpa ku.

   Aku berana di sudut dunia lain sekarang, tanpa uang, tanpa kekuatan dan kekuasaan ayah ku. Aku tersenyum miris mengingat semua itu. Dulu aku hidup tanpa memikirkan apa pun tapi sekarang aku hidup sambil memikirkan besok harus makan apa. Terlebih bulan depan sudah masa orientasi kampus yang artinya aku tidak bisa bekerja sebanyak ini lagi.

   Ayah juga tidak pernah menanyakan kabarku padahal sudah tiga bulan aku tidak kembali ke apartemen yang disediakannya. Aku juga tidak menyentuh uang yang di kirimnya. Tapi sekali pun dia tidak pernah menghubungi ku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status