Share

Awal Baru

   Setelah mengetahu rahasia dibalik kelahiranku, rasanya aku ingin menghilang saja. Aku sangat membenci diriku sendiri. Ayah yang selama ini kubenci perlahan aku mulai merasa kasihan padanya. Dia juga korban sekaligus pelaku karena telah menipu semuanya.

   Disisi lain, ibuku yang selama ini kurindukan juga merupakan korban sekaligus pelaku. Dia merupakan korban penipuan ayahku sekaligus pelaku perselingkuhan. Jadi sebenarnya ini salah siapa? apa salah ayah karena dia yang memulai semua ini. Tunggu apakah aku boleh memanggilnya ayah? kami bahkan tidak memiliki ikatan darah.

   Memikirkan fakta itu membuatku sangat kesal sekaligus sakit. Apa ayah selama ini sangat dingin kepadaku karena aku bukan anaknya? jika aku terlahir sebagai anaknya apakah aku akan mendapatkan kasih sayangnya?

   Pertanyaan itu terus menerus menghantuiku. Rasa bersalah sekaligus sedih. Bahkan saat ibu mengandungku dia tidak mau sering di rumah karena merasa sakit hati melihat ibu mengandung anak dari pria lain. Aku sempat berpikir kalau aku dikirim ke villa ini karena ayah mungkin merasa aku rindu dengan ibu. Ini kan villa kesukaan ibu sekaligus tempat yang sempat ibu tinggali saat mengandungku.

   Tapi bagaimana kalau aku salah? bagaimana kalau sebenarnya ayah mengirimku ke sini karena sudah tidak mau melihat wajahku? atau yang paling buruk bagaimana kalau ayah mengirimku ke sini dengan harapan agar aku menghilang? seperti perbuatan ibu saat mengandungku.

   Pikiran-pikiran itu kian lama kian merasukiku. Seperti racun yang dengan cepat meresap dan menyebar di tubuhku. Seiring waktu berjalan, aku semakin membenci diriku sendiri. Aku semakin tenggelam dalam pikiranku bahkan sampai tidak menyadari bahwa teman-temanku belakangan ini tidak pernah berbisik lagi padaku. Apa ada yang salah?

.

.

.

   Ini hari pertama aku memasuki sekolah baruku di pinggir kota. Tempat ini dipenuhi dengan pengacau atau orang-orang yang diasingkan. Saat melewati gerbangnya aku melihat sekelompok siswa tengah memukuli siswa lainnya. Dia dikeroyok! lima orang anak menyerangnya dan tak ada yang peduli atau mau membantunya termasuk para guru disini.Seakan hal itu adalah hal yang biasa terjadi.

   Saat berjalan ke lapangan belakang sekolah aku melihat sekelompok anak tengah merokok. Aku mulai mempertanyakan lagi alasan ayahku mengirimku kesini. Apa ayah menganggapku sama dengan mereka semua?

"kim Taevin?"

   Suara itu menyadarkanku dari lamunanku. Itu adalah Pak Park, wali kelasku.

"Taevin, kepala sekolah ingin bertemu denganmu. Ikuti bapak", ucap pak Park sambil tersenyum. Namun senyumnya tampak menyeramkan di mataku. Ku ikuti langkah pak Park menuju ruangan kepala sekolah.

   Ruangan itu berada di lantai tiga sekolah ini. Ruangannya cerah dan cukup luas. Tapi yang membuatku heran adalah kenapa kepala sekolah memanggil murid pindahan ke ruangannya? apa ini semacam kebiasaan di sini?

"Kau pasti Taevin. HAhaha ayo duduk", Kata pak kepala sekolah sambil menjabat tanganku begitu aku masuk ke ruangannya.

"Taevin kau benar-benar terlihat seperti ayahmu. Kau tau sejak lama ayahmu yang menjadi donatur di tempat ini. Bapak harap kau suka bersekolah di sini", ucapnya sambil tertawa.

   Wajahku sama sekali tidak miri dengan ayah. aku juga bukan anaknya. Tapi kau bersikap ramah padaku karena berpikir aku adalah anak dari pemilik Simwoon kan?. Aku hanya bisa tersenyum kecut menanggapi perkataan pria tua di depanku.

"Pak Park, kau taukan Taevin adalah murid pindahan dari kota. Aku harap kau merawatnya dengan baik. Dia adalah putra tunggal keluarga Simwoon", ucap kepala sekolah pada Pak Park.

"Tentu saja. Saya akan merawat dan menjaga Taevin agar tak ada yang merani mengusiknya", balas Pak park sambil tersenyum. Senyumnya benar-benar mengerikan.

   Setelah semua basa-basi itu, aku dan pak Park turun ke lantai dua menuju ruang kelasku. Sepanjang jalan aku mencuri pandang pada ruang kelas. Keadaannya benar-benar buruk. Anak-anak sibuk bermain di dalam kelas sementara gurunya tidak peduli dan sibuk memegang ponselnya sendiri.

Apa ini benar sekolah? sangat jauh berbeda dengan sekolahku sebelumnya.

   Kami pun tiba di ruang kelas. Saat pintu kelas di buka pak Park aku bisa melihat banyak anak laki-laki yang sibuk bermain dengan ponsel mereka. Sebagian lagi tampaknya tengah menggangu anak lainnya.

   Sedangkan anak perempuannya kebanyakan tengah berdandan. Apa di sekolah ini kosmetik diperbolehkan?

Brak!

   Aku benar-benar kaget saat pak Park tiba-tiba menggebrak meja. Anak-anak lain tampaknya sudah biasa dan dengan santai kembali ke mejanya masing-masing.

"perhatian, duduk ke meja kalian masing-masing", ucap pak Park dengan nada jengkel. 

"kalian punya teman baru dari Seoul.Namanya Kim Taevin. Bapak harap kalian bersikap baik padanya. Jangan coba-coba menggangunya. Bapak peringatkan", ucap pak Park dengan nada mengintimidasi.

"Nah Kevin, di sana ada kursi kosong. Mulai sekarang itu kursimu. Jika ada yang menggangmu katakan saja pada bapak", kata pak park sambil tersenyum dengan nada ramah dan menunjuk bangku baris ke dua di lorong dekat pintu kelas. Aku rasa guru ini punya kepribadian ganda.

   Aku pun segera duduk ke kursiku. Saat berjalan kulihat ada sebagain anak yang tersenyum aneh saat melihatku. Apa masalah kalian?

   Pelajaran hari itu pun dimulai dengan kelas kosong. Maksudku tidak ada yang mengajar. Siswa hanya sibuk bermain. Aku pun mengambil ponselku dan bermain game.

"hei murid baru!", panggil seseorang dari belakang bangku ku. Aku pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan game ku.

"apa kau tuli?", teriaknya. Namun aku tidak tertarik untuk menjawab.

Plak!

   seseorang melempar kepala ku dengan buku pelajaran. Ini pertama kalinya aku menerima perlakuan seperti ini. Maksudku selama ini aku dilebeli dengan putra tunggal konglomerat. Siapa yang kehilangan akal untuk menggangguku? Ku tolehkan kepala ku untuk melihat pelaku pelemparan buku itu.

   Seorang anak laki-laki di kelasku tersenyum lebar. Dia anak yang tadi pagi kulihat tengah mengeroyok siswa di dekat gerbang sekolah. Di sebelahnya adalah anak yang tadi pagi ku lihat merokok di halaman belakang sekolah. Tapi dia bukan anak kelasku, kenapa dia disini?

"ah jadi selain tuli kau juga bisu rupanya?", tanya anak itu sambil tertawa anak-anak kelas lain ikut tertawa.

"jangan ganggu dia. Dia kan anak pindahan dari Seoul", ucap teman disebelahnya dengan nada menjengkelkan. Mereka pasti pembuat onar di sekolah ini. Padahal aku baru pindah tapi malah sekelas dengan mereka. Ya ini benar-benar tempat yang tenang untuk ku beristirahat.

"jangan ganggu aku. Kalau tidak aku akan mengadu pada pak Park", ejeknya lagi. Mereka benar-benar menyulut emosiku. Baiklah aku hanya diam di kusiku dan kau datang menggangguku. Jadi ini bukan salahku kan?

   Tanpa basa-basi aku langsung berjalan ke arah mereka. Anak yang tadi melempar buku ke arahku tertawa mengejek. Ku tarik kerah bajunya dan ku layangkan tinju ku ke wajahnya. Lalu ku hempaskan tubuhnya ke lantai. Setelah tubuh itu berada di lantai aku pun melayangkan tinju ku secara bertubi-tubi ke wajahnya.

   Tanganku terasa basah namun bukan karena keringan. Tanganku di penuhi darah anak laki-laki yang baru saja ku temui. Semua anak di kelas kaget melihatku.

"hentikan. Aku tau karena kau anak baru jadi kau tidak tau aku siapa. Aku anak kepala sekolah disini. Akan ku adukan perbuatanmu", ucapnya ketakutan. Namun aku tidak peduli. Ayah yang kau banggakan itu hanyalah salah satu penjilat ayahku.

   Setelah anak itu babak belur dan tak sadarkan diri karena tinju ku, aku pun bergerak meninggalkannya dan berjalan ke arah anak lain yang tadi duduk di sebelah anak itu. Wajahnya tampak pucat bagaikan mayat.

"A-apa mau mu? kau tidak tau ya? ayahku adalah kepala kepolisian di daerah ini!", bentaknya. Namun aku tau dibalik bentakan itu dia tengah menyembunyikan ketakutannya.

Bruk!

   Satu tinju ku mendarat tepat diwajahnya. Dia mencoba melawan namun tenaganya kalah telak dibanding tenagaku. Mereka bena-benar lemah. Orang-orang pasti takut pada mereka karena kekuasaan orang tua mereka bukan karena kekuatan mereka.

   Tiba-tiba anak itu mendorongku dan lari ke arah temannya yang sudah setengah pingsan. Dia memapah temannya itu lari keluar dari kelas. Aku pun ikut keluar kelasku untuk mencuci tanganku yang dipenuhi darah. Ntah siapa pemilik darah ini, yang pasti ini bukan darahku.

   Ku lihat pantulan wajahku di cermin kelas. Aku kini benar-benar menjadi monster sepenuhnya bukan? memikirkan hal itu membuatku tersenyum. Setelah tangan ku bersih aku kembali ke kelas. Tatapan anak-anak lain di kelas benar-benar beragam.

   Sebagian menatap ngeri, sebagian lagi tak peduli namun ada juga yang menunjukkan raut mengasihani. Seorang siswa mendekatiku. Dia adalah ketua kelas.

"Kau dipanggil kepala sekolah. Kalau kau tidak tau tempatnya, a-aku bisa m-mengantarmu", ucapnya gagap. Apa dia memang benar-benar gagap? atau hanya takut padaku?

   Aku pun berbalik badan untuk menuju ruang kepala sekolah. Ku tebak orang tua mereka sudah datang dan akan mengamuk. Tapi bukankah waktunya terlalu singkat untuk orang tua mereka sampai ke sini?

  Ketika pintu ruang kepala sekolah ku buka kulihat seorang wanita muda yang berusia sekitar di akhir umur dua puluh tagun tengah marah-marah sambil menangis. Siapa itu? bukankah dia terlalu muda untuk menjadi salah satu orang tua murid yang ku hajar tadi? 

"Taevin? kenapa kau disini?", ujar kepala sekolah kaget etika melihatku membuka pintu. 

   Tiba-tiba wanita lain yang berada di ruang itu dengan cepat menghampiriku dan dengan cepat menamparku. Kulihat bocah yang tadi lari ketakutan kini tengah duduk dengan senyum penuh kemenangan.

"berani-beraninya kau menyentuh putraku. Kau pikir karena kau dari Seoul kau bisa berbuat sesukamu", bentak wanita itu. Tiba-tiba gerakan wanita itu seperti akan menjambak rambutku. Kepala sekolah segera berlari untuk menghentikan hal itu.

"Taevin kembali ke kelasmu. Biar bapak yang selesaikan ini", ucap kepala sekolah sambil mengibaskan tangannya seolah memberi isyarat kepada ku untuk segera keluar dari tempat itu. Muka semua orang di ruangan itu berubah kaget tak percaya dengan tindakan kepala sekolah yang membebaskan ku.

   Ku langkahkan kaki ku untuk keluar dari ruangan itu. Tapi aku tidak kembali ke kelas karena penasaran apa yang kan mereka semua bicarakan di balik ku.

"Pak kepala sekolah apa maksudnya ini? anak itu sudah memukuli Jisung putraku, apa anda lupa Jisung adalah putra dari kepala kepolisian di sini?! anak itu juga sudah memukuli Wonseok putra anda sampai masuk rumah sakit!", suara itu terdengar seperti wanita yang tadi menamparku. 

   Jadi anak laki-laki yang pertama kupukul namanya Wonseok, putra dari kepala sekolah. Lalu anak yang satunya bernama Jisung anak kepala kepolisian di sini.

"itu benar sayang. Apa kau tidak merasa kasihan dengan putra kita Wonseok yang malang? apa kau lupa seberapa parah anak itu memukuli anak kita?", suara itu terdengar seperti wanita lain. Tapi di ruangan itu selain wanita yang menampar ku hanya ada wanita muda.

   Tunggu apa wanita muda itu istri kepala sekolah? bukan anaknya? tapi wanita itu terlalu muda.

"aku tidak punya pilihan. Dia putra dari pemilik Sinwoon Grup. Kalian tau sendiri bagaimana kita bisa bertahan sampai saat ini karena bantuan dari ayahnya. Maafkan saya Ibu Jisung, tapi suami anda juga tunduk pada ayah dari anak itu bukan?", ucap kepala sekolah.

"kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah anak itu berpesan bahwa putranya mungkin akan membuat masalah dan memintaku beserta ayah Jisung untuk mencegah hal itu tersebar keluar. Jisung, jangan membuat persoalan dengan anak itu", sambungnya lagi.

   Aku muak mendengar percakapan mereka. Mereka hanya bercerita betapa tidak adilnya aku dapat bebas setelah menghajar anak-anak mereka karena ayahku adalah orang yang berkuasa. Mereka sepertinya lupa akan kesalahan anak-anak mereka sendiri.

   Setelah kembali ke kelas aku duduk di kursi ku. Semua mata di kelas menatap ku dengan tatapan tidak percaya dapat kembali secepat itu setelah menghajar anak kepala sekolah dan kepala polisi di tempat itu.

.

.

.

   Keesok harinya tersebar berita bahwa aku adalah anak dari orang yang sangat berkuasa hingga kepala polisi dan kepala sekolah tidak dapat menghentikan ku. Ada juga yang mengatakan aku pindah ke sekolah di pinggir kota karena di sekolah lama ku aku terus berkelahi. Ada juga yang mengatakan bahwa aku pernah membunuh orang lain saat bertengkar. Yang paling aneh adalah bahwa aku anak seorang bos mafia. Tapi aku tidak peduli dengan dengan hal itu. Sebaliknya aku senang karena tidak ada yang berani mengajak ku bicara

   Tatapan yang dilemparkan orang-orang saat melihatku seperti melihat hantu. Bahkan ada yang lari ketakutan ketika aku balas melihat.

"hei nak, apa kau suka ditakuti semua orang?", mataku terbelalak. Itu suara David. Dua bulan lamanya mereka tidak berbicara bahkan saat ku panggil tidak ada jawaban.

'aku tidak suka dengan tatapan mereka yang menatapku seperti akan membunuh mereka. Tapi aku lebih tidak suka jika mereka datang mendekat hanya untuk menyenangkan ku karena aku putra tunggal dari Simwoon grup. Dis saat kenyataannya aku bukan putra ayahku', balas ku dalam hati.

"aku mengerti perasaanmu. Tapi tidak bisakah kau sedikit membuka hati mu untuk berteman dengan anak seumuranmu? punya teman itu hal yang baikkan?", kali ini Airin yang berbicara.

'bukannya kalian temanku? kalian kan sering berkata akan selalu menemaniku. Apa sekarang kalian juga akan meninggalkanku?', balasku lagi

"Taevin bukan begitu maksud kami. Tentu saja kami akan selalu bersamamu. Tapi kau tentunya memerlukan teman di dunia nyata yang bisa berbagi cerita denganmu. Lalu...", sebelum Dave menyelesaikan perkataannya aku langsung memotongnya.

'Maksudmu kalian tidak nyata? atau kalian juga sudah tidak mau menemaniku? sudahlah diam saja. Aku juga sudah muak dengan kalian", bentakku. Tentu saja hanya aku yang bisa mendengar bentakan ku karena aku membentak dalam hati.

Hening.

   Tampaknya mereka juga sudah mencampakkan ku. Sudah lah aku memang hanya sendirian di dunia ini. Memangnya apa yang kuharap kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status