Share

Siasat Gerald untuk Debora

Debora sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Irfan di rumah sakit itu. Setelah beberapa tahun selalu mendampingi ibunya untuk melakukan hemodialisa, Debora baru bertemu Irfan saat ini.

“Ibu juga ada penyakit lain ya?” tanya Dokter Irfan yang tidak tahu tentang kondisi ibu Wati.

“Iya, Ibu gagal ginjal, hari ini memang waktunya untuk hemodialisa. Ibu memang menungguku pulang, untuk ditemani ke sini,” jawab Debora dengan sedih.

“Hmm, jaringan kulit di wajah Ibu kamu rusaknya cukup parah Bora, dan butuh penanganan intensif, juga kornea mata sebelah kanan,” kata Dokter Irfan menatap Debora yang duduk di depannya terlihat sedih. Dokter Irfan lebih suka memanggil Debora dengan sebutan Bora, biar lain dengan temannya yang memanggil dengan nama Deby.

Dunia Debora runtuh seketika saat mendengar ibunya akan kehilangan penglihatannya juga selain kulit yang rusak. “Jadi apa yang terbaik untuk Ibu Dok?”

Dokter Irfan terkejut dengan panggilan dari Debora yang terkesan sangat formal, dan menjadi berjarak dengannnya. “Panggil nama aja Bora, lucu deh, kamu panggil begitu,” kata Dokter Irfan dengan tatapan tidak suka.

Debora hanya tersenyum tipis menanggapi permintaan Dokter Irfan. Tapi tidak sopan baginya jika harus memanggil Irfan yang sedang bertugas hanya dengan nama saja.

“Ada pengobatan bagus Bora, tapi tidak di sini. Dan, butuh biaya banyak pastinya,” kata Dokter Irfan ragu-ragu.

“Hmm, maksudnya operasi plastik dan di luar negeri?” tanya Debora memastikan. Dalam benaknya hanya ada cara itu jika terkait dengan kerusakan jaringan kulit.

“Ya, seperti itulah. Paling dekat yaitu Singapura, kalau mau yang terbaik China untuk korneanya juga ada,” jelas Dokter Irfan menatap Debora iba. Dia tahu Debora tulang punggung keluarganya, dan Dokter Irfan juga bisa menebak berapa gaji seorang pramugari seperti Debora. Pasti Debora akan kesulitan untuk mendapatkan biayanya.

Helaan nafas yang berat dari Debora menambah pilu di telinga Dokter Irfan.

“Sekarang Ibu di mana?”

“Ibu kamu ada di ruang Hemodialisa, setelah ditangani luka bakarnya tadi,” jawab Yuli mengusap punggung Debora dengan lembut.

“Hmm, Dokter, tolong lakukan yang bisa Dokter lakukan untuk ibu, saya akan usahakan uangnya,” pinta Debora pada Dokter Irfan memohon.

“Iya Bora, aku akan koordinasi dengan Dokter yang juga menangani ibu, aku akan berusaha yang terbaik semampu kami di sini,” jawab Dokter Irfan dengan tegas.

“Kalau begitu kami pamit dulu, saya ingin melihat Ibu,” kata Debora sambil beranjak berdiri dari duduknya. Yuli pun ikut berdiri dan menyalami Dokter Irfan sebelum keluar dari ruangan sang Dokter tampan.

“Tante, terima kasih banyak ya, sudah bawa ibu ke sini. Kalau Tante mau pulang enggak apa, Debora akan jaga Ibu.”

“Nanti saja, kalau Lukman sudah pulang, Tante mau di sini dulu.”

“Terima kasih Tante, maaf merepotkan,” kata Debora dengan mata berkaca-kaca. Betapa senangnya hati Debora memiliki tetangga seperti tante Yuli dan anaknya Lukman. Mereka selalu menjaga Pancawati jika Debora harus dinas dan tidak pulang.

Keadaan Pancawati yang mengharuskan cuci darah dua kali dalam satu minggu, membuat kondisinya lemah menjelang jadwal cuci darah.

Debora tidak ada pilihan lain selain terus merepotkan Yuli dan Lukman, karena Debora tidak punya saudara lain, dan keluarga yang perduli pada mereka.

Keluarga besar sang ibu, seolah membuang Pancawati karena memiliki anak hasil hubungan gelap dengan pejabat yang akhirnya menikahi Pancawati saat mengandung Debora meski secara di bawah tangan, namun naasnya, begitu Debora lahir, saat itu juga Pancawati diceraikan.

Debora sedikit tersenyum begitu melihat Pancawati didorong keluar dari ruang hemodialisa. Wajah sang ibu berbalut perban. Pemandangan miris bagi Debora dan Yuli.

 Pancawati kemudian dibawa ke bangsal kelas satu, sesuai dengan kartu jaminan kesehatan yang di pakai oleh Pancawati, karena tertanggung oleh Debora, yang memiliki kartu dengan kelas yang sama.

Debora ikut mendorong brankar sang ibu menuju kamarnya. Kata suster yang menangani sang ibu, pancawati tertidur. Debora pun mengurungkan niatnya untuk mengajak sang ibu bercerita, karena tidak tega bila membangunkan sang ibu, yang pasti sangat menderita.

Debora dan Yuli sedang mengobrol tentang pengobatan Pancawati saat Lukman, anak dari Yuli mengetuk pintu yang sedikit terbuka.

Lukman yang diam-diam menaruh hati pada Debora tersenyum ramah saat memasuki kamar Pancawati. Di tangannya menenteng sebuah nasi kotak dan sekantong camilan juga air minum.

“Ini Deb, kata emak kamu belum makan dari tadi,” kata Lukman memberikan dua kantong bawaaannya.

Debora merasa tidak hati, dan berat menerima pemberian Lukman, hingga dengan terpaksa Lukman meletakkannya di atas meja di depan Debora.

“Tante, Mas Lukman, kenapa repot-repot sih. Kalian terlalu naik pada Debora, yang selalu merepotkan. Debora takut tidak bisa membalasnya,” jawab Debora dengan rasa tak enak hati.

“Ehh, enggak boleh begitu. Kita bertetangga Deb, yang artinya saudara dekat. Jangan merasa tidak enak ya.” Yuli menepuk bahu Debora kemudian mengambil kantong yang di letakkan Lukman di atas meja.

“Nah, kamu makan dulu, biar bertenaga untuk berpikir dan menjaga ibu kamu.” Yuli membuka kantong yang berisi nasi kotak untuk Debora.

“Tante juga belum makan,” jawab Debora menatap Yuli.

“Tante akan pulang jadi bisa makan di rumah. Kamu yang di sini harus jaga kesehatan. Ayo di makan.”

“Hmm, nanti Debora makan Tan, sekarang belum nafsu.”

“Ibu gimana keadaannya?” tanya Lukman mendekati Pancawati yang terbaring setengah duduk. Tangannya bergerak-gerak, meminta Lukman mendekat.

Pancawati tidak bisa bicara, karena efek air keras yang tertelan, juga perban yang menutupi wajahnya. Tangannya memegang tangan Lukman, untuk mengucap terima kasih.

“Deb, kalau kata Dokternya agar cepat sembuh Ibu di bawa ke Singapura, bawa saja Deb. Aku akan cari pinjaman di kantor. Bahaya nanti kalau ibu tidak cepat di tangani penglihatannya,” kata Lukman memandang Pancawati dengan sedih.

“Jangan Mas, biar aku ke bank dulu, ajukan pinjaman, untuk di potong gajiku,” jawab Debora tidak mau berhutang budi lebih banyak lagi pada keluarga Lukman.

“Kalau Lukman bisa tidak ada salahnya dia bantu. Biar Ibu kamu cepat sembuh. Pikirkan lagi ya, kamu masih butuh banyak biaya nantinya, jika kamu hutang bank, gaji kamu akan habis, dengan apa kamu akan hidup.” Yuli beranjak dari duduknya untuk berpamitan pada Pancawati.

Pancawati meremas tangan Yuli dan tangannya yang lain menangkup ke atas tangan Yuli. Rasa terima kasih yang amat besar Pancawati sampaikan. Tidak tahu, bagaimana mereka akan membalas kebaikan tetangganya itu.

Setelah Yuli dan anaknya pulang, tinggallah Debora dan Pancawati di kamar. Debora meminta izin pada sang ibu untuk menemui ayahnya, agar di beri pinjaman. Setidaknya, jika meminjam sang ayah, Debora akan mendapat tempo yang cukup lama untuk membayarnya, dengan cicilan yang ringan.

Gerakan tangan Pancawati melarang Debora untuk menemui ayahnya lagi. Pancawati khawatir Debora akan dihina bahkan disakiti keluarga mantan suaminya itu jika Debora muncul.

“Debora akan menemui ayah di kantornya Bu, atau akan Debora ajak bertemu di tempat lain, yang penting jangan di rumah ayah.”

Pancawati tetap tidak menerima alasan Debora, dia tetap melarang Debora dengan tangannya. Debora menjadi bingung sendiri, bagaimana mendapatkan uang yang banyak dengan cepat.

*

Gerald Noe Bernado, pengusaha muda yang sukses dengan bisnis retailnya. Gerai supermarketnya hampir tersebar di seantero nusantara, masih menggerutu bagai kumbang di dalam pesawatnya yang akan membawanya ke Surabaya. Gerald akan menghadiri peresmian salah satu cabang supermarketnya di sana.

Sambil menatap kotak mainannya yang retak, Gerald merutuki gadis yang menabraknya. Mainan yang berharga ratusan juta rupiah, sudah pecah dan menjadi barang tidak ternilai lagi.

Ini, jalan terakhir aku untuk memiliki Genobe. Kalau sudah begini bagaimana aku bisa memiliki anakku,” gumam Gerald sedih. Otaknya membawanya pada kenangan saat bertemu Letha, saat Gerald memejamkan mata, bersandar pada kursi empuknya.

“Bos,” panggil Thomas, sang assisten pada Gerald yang nampak tidak tenang dalam tidurnya. Thomas menepuk lengan Gerald untuk membangunkan Gerald.

Gerald terkejut dan menggelengkan kepala, di lihatnya ke sekeliling, ornament kabin pesawat membuatnya sadar, dirinya masih dalam pesawat.

“Teringat lagi?” tanya Thomas menyodorkan segelas air putih pada Gerald.

“Ya, tiap aku mengingat Ginny, aku ingat potongan-potongan kisahku dengan Letha,” ucap Gerald mengusap dahinya.

“Aku harus apa lagi, untuk bisa membawa Ginny hidup denganku Thom?” tanya Gerald mengeluh pada Thomas. Gerald merasa sudah putus asa untuk mendapatkan hak asuh Ginny.

Rencana Gerald, setelah dia dari Surabaya, dia akan mengunjungi gadis kecilnya dengan membawa miniature Batman, yang dia dapat dari pelelangan di Eropa. Mainan dengan harga fantastis itu akan diberikan pada Ayah Letha, yang hoby mengkoleksi segala pernik-pernik tentang film manusia kelelawar.  Namun, karena mainan itu telah rusak, Gerald harus mengubur keinginannya sementara untuk bertemu sang anak.

“Masih ada satu cara ‘kan Bos, seperti yang tuan Subono minta,” jawab Thomas mengingatkan Gerald dengan syarat pertama yang ayah Letha ajukan untuk Gerald bisa memiliki Ginny.

 Syarat, bahwa Gerald harus sudah menikah dengan wanita yang  lemah lembut seperti Letha, agar Ginny  bisa diurus dengan baik olehnya. Agar Ginny bisa merasakan kasih sayang seorang ibu yang selama ini dirindukan Ginny, seperti yang teman-teman sekolahnya yang memiliki.

“Ahh, di mana aku dapat wanita yang seperti itu Thomas, kamu tahu sendiri, wanita yang mendekatiku mata duitan semua. Susah cari wanita yang seperti itu!” seru Gerald putus asa.

“Bos menyamar dulu deh, jadi orang miskin, seperti yang di n***l yang saya baca ini, Bos. Dia terpaksa pura-pura sakit dulu, dan jatuh miskin, baru dia bertemu cinta sejatinya,” kata Thomas menjelaskan inti cerita dari sebuah n***l yang dia pegang.

“Itu hanya ada di n***l dan sinetron, Tompel!” seru Gerald kesal dengan ide Thomas.

Gerald memandangi meja makan di depannya, name tag Debora tergeletak di atasnya. Gerald memiliki ide agar Debora bertanggung jawab atas kesalahannya.

“Cari wanita ini Thomas, dia harus bertanggung jawab atas kesalahannya membuatku menemui jalan buntu untuk memiliki Ginny. Suruh dia ganti rugi dua kali lipat dari harga batman ini,” kata Gerald memegang action figurenya. “Tunjukkan nota pembeliannya, buat surat perjanjian, jika dia tidak bisa mengantinya, dia harus mengikuti kemauanku, membantuku mendapatkan Ginny. Paksa dia dengan mengancamnya akan aku masukkan dalam penjara.”

Gerald tersenyum miring dengan rencananya, dia yakin seratus persen, Debora tidak bisa menggantinya. Dan mau tidak mau, Debora harus membantunya jika tidak ingin masuk penjara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status