Dua Tahun Kemudian
Gedoran di pintu sebuah rumah kontrakan di Jakarta membangunkan Pancawati yang tertidur lemas karena penyakitnya.
Dengan terseok Pancawati berjalan, berpegangan pada tembok untuk membuka pintu.
“Lama sekali kamu buka pintu, tidur ya,” teriak seorang wanita dengan sasak tinggi dan gelang emas gemirincing di tangannya.
“Enak sekali hidup tante hanya tidur-tiduran. Dengan uang papaku,” sahut seorang gadis muda dengan penampilan tak kalah hebohnya dengan wanita yang bersamanya.
“Ada apa kalian ke sini. Kalau mau cari ribut bukan di sini, saya tidak ada urusan dengan kalian,” kata Pancawati dengan sinis.
“Sombong kamu, orang tidak tahu diri. Kamu beri tahu anak kamu ya. Jangan pernah temui suamiku lagi, untuk minta uang. Dia sudah besar, jadi bukan tanggung jawab suamiku lagi. Dan kamu jangan merayu suami ku lagi. Itu akan merusak citranya sebagai pejabat tinggi,” seru sang wanita tua dengan telunjuk yang mengarah ke wajah Pancawati.
“Aku tidak merayu suami anda nyonya Fatmasari yang terhormat. Suami anda datang ke sini untuk menemui anak saya, yang juga putri suami anda. Saya tidak pernah mengundangnya ke sini. Perlu anda beritahu pada suami anda yang pejabat tinggi itu, bahwa rumah ini haram untuk dia masuki,” kata Pancawati tidak kalah gertak dengan sisa tenaganya.
“Kurang ajar kamu, masih sombong saja kamu, dengan kemiskinan kamu.” Fatmasari marah dan menarik rambut Pancawati dengan kasarnya.
Manda, gadis muda anak Fatmasari ikut menarik Pancawati keluar dari pintu. Sepasang ibu dan anak itu, kemudian mendorong dengan Pancawati sekuat tenaga keluar rumah, hingga Pancawati tersungkur dengan kepala terbentur lantai semen di depan rumah.
“Rasakan, wanita sombong. Apa kamu masih bisa sombong lagi di hadapanku sekarang?” Fatmasari menarik rambut Pancawati agar wajah wanita yang tertelungkup di tanah itu mendongak ke atas.
“Ini bonus dari Manda, untuk tante. Karena tante membuat papa lebih sayang pada Debora dari pada Manda,” kata Manda dengan senyum jahatnya sambil menyiram air yang merupakan larutan asam sulfat dan asam clorida, ke wajah Pancaati yang sudah terluka karena terbentur lantai.
Pancawati berteriak kencang, hingga membuat para tetangga rumahnya keluar dan melihatnya kesakitan terbaring di halaman.
Fatmasari dan Manda langsung pergi dengan tawa kencang begitu para tetangga Pancawati keluar.
*
Debora yang baru selesai melaksanakan tugasnya setelah terbang dari Bali menjadi panic, begitu menerima telepon dari tetangganya tentang kondisi ibunya yang dilarikan ke rumah sakit karena siraman air keras.
“Nita, aku duluan ya, ibu masuk rumah sakit,” pamit Debora pada Anita rekan kerjanya.
“Ok, aku urus semua di sini, kasih kabar kalau butuh sesuatu ya Deb,” kata Nita sedih menatap Debora yang begitu panic dan cemas.
“Thanks Nit,” kata Debora dengan segera keluar dari pesawat bersama para penumpang yang tadi ikut terbang dalam pesawatnya.
Debora berlari di landasan dengan menangis, pikirannya sudah kacau balau. Tante Yuli tetangga samping rumahnya menelepon dengan menangis, sudah pasti keadaan ibunya sangat parah.
Bruukkkkkk!.
Debora menabrak seorang pria dengan setelan rapi yang akan menuju pesawat pribadinya, karena tidak melihat ke depan, Debora sedang mencari taksi di aplikasi yang terpasang di ponselnya sambil berlari.
Sebuah kotak berisi action figure yang langka dan tidak ada lagi di pasaran, tinggal satu-satunya di dunia, terlepas dari tangan sang pria yang Debora tabrak dan jatuh di lantai, pecah menjadi beberapa bagian.
“Kamu punya mata tidak sih. Lihat itu, hancur barangku, itu mahal harganya,” teriak sang pria dengan marah.
“Maaf tuan, maafkan saya. Saya buru-buru, saya akan ganti tuan. Maafkan saya,” kata Debora dengan rasa bersalah.
“Ganti?” tanya sang pria meremehkan Debora. Dia menatap Debora dari atas ke bawah. Debora masih mengenakan seragam maskapai penerbangan milik Badan Usaha Milik Negara, dengan sebuah tas pakaian di tangannya.
“Iya tuan saya akan ganti. Tuan bisa cari saya di maskapai tempat saya bekerja. Ini kartu pengenal saya,” kata Debora, sambil memberikan kartu pengenalnya. “Saya pamit dulu tuan, saya harus segera pergi.” Debora membungkukkan badannya dan langsung berlari lagi masuk ke bandara.
“Hei, kembali kamu!,” teriak sang pria yang tak lain adalah Gerald, dengan kesal. “Dasar tidak punya sopan. Sudah salah malah pergi,” gerutu si pria dengan kesal menatap kepergian Debora.
“Bereskan ini dan simpan,” teriak Gerald pada Thomas, assistennya.
*
Debora sudah sampai di rumah sakit dengan menaiki ojek setelah taksi yang dia naiki terjebak macet saat keluar dari tol.
Rok sepan panjangnya begitu mengganggu langkahnya, hingga terpaksa dia menganggkat roknya dan menjadi pusat perhatian orang-orang yang dia lewat.
“Mbak, permisi, di mana pasien bernama Pancawati di rawat?” tanya Debora di bagian informasi rumah sakit daerah Jakarta.
“Debora!” seru seorang wanita dengan daster bunga-bunga berbadan gemuk dari sebuah pintu.
Debora menoleh dan mendekati sang wanita yang memanggilnya. “Tante Yuli, mana ibu?” tanya Debora cemas.
“Ibumu masih di dalam, wajahnya terluka, dan siraman air keras di wajahnya membuat kulit ibumu terbakar. Kata Dokter, mungkin juga tertelan oleh ibumu air itu,” kata Yuli dengan memeluk Debora yang menutup mulutnya sambil menangis.
“Siapa yang tega melakukannya Tante?” tanya Debora sambil menangis.
“Istri ayah kamu yang terlihat di rumah tadi, dia langsung pergi dengan anaknya begitu tante keluar dan berteriak melihat ibu kamu tersungkur di depan mereka,” jelas Yuli dengan penuh rasa marah.
“Ayo sayang, kamu temui dulu Dokternya, dia butuh persetujuan kamu untuk melakukan tindakan selanjutnya.” Yuli membawa Debora untuk ke ruangan Dokter yang menangani Pancawati.
Sebuah pintu dengan merk Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin bernama Irfan Idris terbuka lebar, seolah sudah menunggu kedatangan Debora.
Debora menatap papan nama yang tidak asing di benaknya. Debora pun mengikuti langkah Yuli untuk masuk setelah mengetuk pintu dan di persilakan masuk.
“Permisi Dokter, ini anak ibu Wati,” kata Yuli dengan sopan menarik tangan Debora untuk masuk.
Ruangan itu nampak sepi, namun terdengar suara air yang gemericik di balik tirai di belakang kursi.
Seorang pria keluar dari tirai yang tersibak dengan jas putih, dan kaos hitam di balik jasnya. Wajah Dokter yang putih bersih, berbetuk oval, berkaca mata dengan frame hitam menatap wajah Debora dengan terkejut.
Tak beda dengan Debora, dia pun terkejut dengan pria berjas putih yang baru muncul itu.
Debora dan sang Dokter saling memanggil bersamaan, membuat Yuli terkejut heran.
“Sudah kenal?” tanya Yuli menatap Debora dan Dokter itu bergantian.
“Sudah tante, Dokter Irfan, kakak kelas Debora saat di Denpasar,” jawab Debora lirih.
“Silakan duduk, Bu. Hanya satu tahun ya Deb, karena saya harus pindah ke kota ini begitu lulus. Enggak nyangka bisa ketemu di sini,” kata Dokter Irfan tersenyum senang.
“Jadi bu Wati adalah ibu kamu ya, kondisinya sangat memprihatikan Deb, aku turut sedih,” kata Dokter Irfan begitu Debora dan Yuli duduk di depannya.
Debora menatap sedih dan mengangguk pada sang Dokter, seniornya di SMA yang menjadi idola banyak wanita di sekolah.
“Lepas, Fatma.” Dengan kasarnya Bachtiar melepaskan tangan Fatmasari dari lengannya. Tubuh Fatmasari terdorong dan membentur dinding tangga.Bachtiar tidak mempedulikan Fatmasari, dengan langkah cepat dia mengejar Debora yang sudah keluar dari restoran. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan lagi, jika dia ketinggalan.“tunggu, Nak. Papa masih mau bicara!” seru Bachtiar tergopoh – gopoh.Debora masuk dalam mobil, begitupun Pancawati. Mereka sudah tidak sabar lagi untuk pergi dari restoran itu.“Papa untuk apa mengejar mereka? Papa mau tinggal dengan mereka?” seru Manda penuh amarah.“Iya, Papa mau tinggal dengan mereka,” jawab Bactiar dengan keras sambil terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Mobil Gerald telah berjalan meninggalkan restoran, tidak mungkin lagi baginya untuk mengejar dengan kakinya.“Papa memang tidak pernah Sayang dengan Manda,” seru M
Bachtiar merasa begitu senang mendapat kesempatan untuk mendekati Debora dan Pancwati lagi. Dia tahu jika keputusan Debora sangat berpengaruh pada kebaikan Gerald dan Pancawati. Untuk itu Bactiar akan membujuk Debora untuk memberinya kesempatan memperbaiki diri menjadi ayah yang baik untuk Debora.‘Kalau Debby bisa menerimaku lagi, Gerald pasti tidak akan segan lagi untuk memberiku kekayaan. Wati saja sekarang begitu cantik dan terawat,’ gumam Bachtiar dalam hati, ‘hmm …, dia juga sudag memekai perhiasan mahal sekarang, artinya dia sudah hidup enak dalam perlindungan Gerald,’ batin Bachtiar lagi dengan menyeringai dan membayangkan akan hidup enak, dan lebih terhormat lagi bersama Pancawati sebagai mertua dari seorang Gerald.“Mau ke mana lagi Babe?” tanya Gerald menuntun Debora yang kembali masuk ke restoran.“Masuk lagi Gee, biar cepat selesai. Aku sudah malas bertemu dengan orang itu dan keluarganya. Seola
Debora masih khawatir dengan Pancawati, meski sang Ibu sudah nampak di depan matanya. Debora tidak ingin sang Ibu terpedaya dengan ucapan Bachtiar.“Gee, kita duduk di sana aja yuk!” ajak Debora pada Gerald menunjuk sebuah bangku kosong yang tak jauh dari Pancawati dan Bachtiar berada.“Jangan Babe, kita di sini saja, kalau terjadi sesuatu yang membahayakan Ibu, baru kita mendekat,” jawab Gerald memaksa Debora untuk duduk di meja yang di pilih Gerald, “tenang saja, enggak akan terjadi apapun pada Ibu,” kata Gerald lagi menenangkan Debora yang masih khawatir.Baru sebentar Gerald dan Debora duduk, dari ujung restoran terdengar teriakan Pancawati yang marah pada Bachtiar.Semua pengunjung restoran ikut menoleh pada meja sepasang pria dan wanita yang sudah tak lagi muda itu.Pancawati terlihat mengancam Bachtiar, bahkan tangan Pancawati pun selalu menepis tangan Bachtiar yang akan menyentuh tangannya.Debora
Debora tidak menemukan ibunya di rumah. Seluruh sudut rumah Gerald sudah dia hampiri, namun belum juga menemukan Pancawati.“Mami, cari siapa?” teriak Ginny dari balkon kamarnya saat melihat Debora keluar dari taman samping rumah.“Lihat nenek, engak sayang?” jawab Debora sekaligus bertanya balik pada Ginny tentang keberadaan Pancawati.“Tadi Ginny lihat Nenek naik taxi Mi, pergi sendirian,” jawab Ginny dengan polosnya.Debora segera masuk ke rumah, mendengar jawaban Ginny. Ruang tengah menjadi tujuannya untuk mencari ponselnya yang seingat dirinya dia letakkan di atas meja untuk di tambah daya, di samping televisi.Debora menelepon Pancawati dengan rasa khawatir, tidak biasanya sang ibu pergi tanpa pamit padanya. Pesan pun tidak di tinggalkan oleh Pancawati di ponselnya.“Ada apa Babe? Gelisah banget, sampai enggak dengar aku jalan,” tanya Gerald mengecup kepala Debora yang berdiri di pinggir
Manager Manda, paham betul jika Manda sedang cemburu pada Debora. Mood Manda yang sedang buruk setelah di tolak seorang produser film, juga Manda yang baru di selingkuhi kekasihnya, melihat Debora begitu beruntung, pasti membuat Manda marah.Sang Manager mengikuti Manda dan berusaha mengajak Manda untuk keluar dari toko, sebelum Manda mempermalukan dirinya sendiri.“Kamu pergi sana, tidak perlu ikut campur urusanku!” seru Manda dengan kencang, membuat para pengunjung toko menatap pada Manda.Gerald dan Debora pun langsung mendongak ke arah Manda, yang berdiri empat meter di depannya.“Manda,” gumam Debora menyerahkan sebuah kaos dalam pada Gerald. Debora ingin berdiri untuk menghampiri Manda.“Duduk saja di sini. Bukan urusan kita Babe,” kata Gerald menahan Debora agar tidak mendekati Manda.“Begitukah?” tanya Debora meminta pendapat.“Iya. Biarkan saja. Ayo pilih lagi, mana
Gerald menyambut Debora dan membantunya menuruni dua anak tangga terakhir dengan mengulurkan tangannya. Sungguh sikap seorang pangeran pujaan, yang begitu perhatian pada istrinya. Dengan tersenyum manis Debora mengucap terima kasih. Debora berjalan ke meja dapur, mendekati satu piring besar kue pukis yang dia inginkan. “Kamu beli berapa sih Gee. Banyak banget!” tanya Debora sambil mengambil piring yang lebih kecil untuk membagi kue pukisnya. “Hmm, seratus lima puluh ribu, dagangannya langsung habis aku beli,” jawab Gerald dengan tersenyum bangga. Kue pukis dengan harga dua ribu perbuah, dia borong semua. “Tadi dapat bonus lima Babe.” Debora tersenyum, tidak heran lagi dengan cara suaminya mengabiskan uang. “Enak ‘kan Josh?” “Hmm. Iya, enak. Santannya terasa, manisnya pas dan tidak eneg. Dengan selai nanasnya jadi segar,” jawab Joshua setelah menghabiskan satu potong kue. “Iya. Dulu aku sering beli di situ kalau mau berangkat terbang. U