Pagi-pagi, setelah menyuapi sang ibu, dan memandikannya, Debora berpamitan untuk pergi ke kantornya. Debora terpaksa berbohong, tujuan asli dirinya pergi adalah ke kantor sang ayah di Senayan. Debora ingin meminta sang ayah memberi pinjaman, untuk pengobatan Pancawati sampai sembuh. Apalagi dia tahu, sang ayah masih mencintai ibunya, meski takut pada istri pertamanya.
Sial bagi Debora, sang ayah sedang tidak ada di kantor yang menjadi tempat untuk menyampaiakan aspirasi rakyat jika mahasiswa berdemo, tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Sang ayah sedang berdinas keluar daerah.
Bertahun-tahun sang ayah bekerja di kantor itu, setelah pensiun dari jabatannya sebagai pegawai negeri, sang ayah kemudian terjun ke politik dan mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Keberuntungan seolah selalu berpihak pada sang ayah, pencalonannya lolos selama dua periode.
“Kalau pinjam ke koperasi kantor, enggak akan dapat banyak. Kalau ke bank benar kata tante Yuli, aku sama ibu akan makan apa,” kata Debora sendiri saat keluar dari kantor sang ayah.
Debora melangkah menuju halte bis, yang tak jauh dari pusat perkantoran pemerintahan. Debora duduk termenung di halte bis, sambil menunggu bis yang akan membawanya ke rumah sakit. Debora harus menghemat untuk sang ibu, jadi dia harus naik bis dengan tarif yang terjangkau olehnya meskipun lama.
“Nak, kamu melamun?, kalau ada masalah itu sembahyang, jangan melamun di sini. Tu sana, kamu bisa berdoa di sana.” Seorang wanita tua dengan pakaian lusuh dan membawa karung mendekati Debora dan mengingatkan Debora, bahwa hanya Tuhan tempat manusia mengadu dan meminta.
Debora tersenyum pada sang wanita tua yang ikut duduk di sampingnya.
“Kamu, punya uang tidak, boleh nenek minta dua puluh ribu, untuk beli nasi?. Nenek belum makan, dan cucu nenek juga menunggu nenek di rumah. Hari ini nenek tidak dapat apapun di tempat sampah,” kata sang nenek memelas.
Debora merasa kasian dengan nenek tua itu, dia membuka dompetnya dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. “Nek, Debora hanya punya dua lembar ini, satu untuk nenek makan dengan cucu nenek, satu untuk Debora belikan ibu Debora bubur dan ongkos bis ya nek,” kata Debora menunjukan dompetnya yang memang hanya berisi dua lembar uang berwarna biru.
“Ibu kamu kenapa makan bubur, sakit?”
“Iya Nek, ibu saya di rumah sakit, penyakitnya kambuh,” jawab Debora dengan lembut.
“Kalau begitu tidak usah aja, kamu sedang butuh banyak uang untuk bayar rumah sakit,” kata sang nenek mengembalikan uang Debora.
“Tidak apa Nek, semoga Debora bisa dapat uang lagi, jadi bisa sembuhkan ibu. Ini ambil saja untuk nenek. Debora ikhlas Nek,” kata Debora memberikan lagi uangnya dalam genggaman sang nenek.
“Bis Debora sudah datang nek, Debora pamit. Terima kasih sudah memberi Debora jalan keluar,” kata Debora seraya berdiri menyambutnya bis yang dia tunggu.
“Terima kasih, semoga Tuhan mempermudah semua urusanmu Nak, seperti kamu mempermudah urusan perut nenek,” kata sang nenek mendoakan Debora. Debora menoleh dan tersenyum sebelum akhirnya masuk dalam bis.
Debora merubah lagi perjalanannya. Dia akan menemui teman lamanya yang sering menawarinya pekerjaan sebagai artis figuran dan beberapa pekerjaan entertainment yang hanya dalam beberapa jam, bisa mendapat uang yang lumayan.
*
Sementara Debora pergi mencari pekerjaan sampingan. Di rumah sakit, Pancawati kedatangan tamu yang tidak pernah dia kenali.
Seorang pria muda, dengan jas yang rapi, parfum yang harum namun tidak menyegat membawa satu keranjang buah segar.
“Tuan anda siapa?” tanya Pancawati begitu mendengar sapaan suara pria yang bersamaan dengan derit pintu yang terbuka.
Sang pria berdehem dan memperkenalkan diri. “Nama saya Thomas, Bu. Saya mencari Debora Genitri, tadi di kantor dia tidak ada. Dan saya dengar dia di sini, menunggu ibunya yang sakit.”
“Oh, Tuan teman kerja Debora ya,” kata Pancawati lega. Dia mengira yang datang ke kamarnya adalah orang suruhan dari istri sang mantan suami.
“Saya Pancawati, panggil saja Wati, saya ibunya Debora. Debora tadi pamit ke kantor Tuan, mungkin anda telisip jalan dengannya.”
“Iya, Bu. Mungkin begitu. Apa Debora akan lama Bu?”
“Saya juga tidak tahu Tuan. Dia hanya bilang untuk ke kantor untuk pinjam uang, sebagai biaya pengobatan saya. Lama atau tidaknya saya tidak tahu,” jawab Pancawati serak, menahan rasa sedihya.
“Dia anak yang baik, saya tidak tega selalu menyusahkan dia, sejak kecil Debora tidak pernah mengeluh meski terhina dan tidak bisa seperti dengan teman-temanya,” kata Pancawati mengungkapkan kesedihanya. “Debora di tempat kerja bagaimana Tuan?, dia tidak mengecewakan bukan?”
Thomas yang sebenarnya bukan teman Debora menjadi gelagapan saat ditanya tentang cara kerja Debora.
“Hmm, baik kok Bu, sangat baik. Anak ibu sangat ramah, jadi banyak yang suka,” jawab Thomas asal. Thomas yang kedatanganya atas perintah Gerald untuk meminta ganti rugi atas action figure yang kemarin Debora pecahkan dengan tidak sengaja, menjadi tidak tega dengan melihat keadaan Pancawati. Terlebih setelah tahu latar belakang Debora, juga kesulitan yang di hadapi Debora.
“Syukurlah jika dia bekerja dengan baik, karena itu cita-cita dia sejak kecil yang selalu ingin naik pesawat.”
“Hmm, karena saya masih ada urusan, saya mohon pamit Bu, ini ada buah segar untuk Ibu, semoga lekas sembuh. Nanti saya akan menghubungi Debora saja,” kata Thomas berpamitan. Dia harus cepat memberi laporan pada Gerald perihal keadaan Debora, yang tentu saja tidak akan mampu membayar ganti rugi, jika dirinya sendiri sedang butuh biaya untuk ibunya.
“Iya Tuan, maaf saya tidak bisa mengantar, dan terima kasih banyak sudah repot ke sini, tapi Debora tidak ada,” jawab Pancawati ramah.
Thomas kemudian keluar dari kamar Pancawati. Dia membawa kakinya menuju ke meja perawat untuk mendapatkan informasi tentang penyakit Pancawati dan kenapa wajah Pancawati terbungkus perban.
Awalnya sang perawat tidak mau memberi tahu Thomas, dengan alasan kode etik profesi. Namun setelah di bujuk dengan rayuan mautnya dan mengaku dirinya adalah calon suami Debora yang ingin membantu calon mertua. Sang perawat pun menjelaskan dengan lengkap apa yang di alami Pancawati.
Sang perawat juga memberi tahu pengobatan yang harus segera di jalani Pancawati terkait luka bakar pada kulit wajah dan retina matanya.
“Terima kasih suster. Hmm, ini ada voucher makan di restoran Jepang, untuk dua orang. Tadinya mau saya gunakan bersama pacar saya, tapi karena keadaan begini, jadi tidak mungkin ‘kan untuk bersenang-senang. Hanya sampai hari sabtu besok berlakunya. Jadi buat Suster berdua saja,” kata Thomas memberikan sebuah voucher makan berlogo restoran jepang, yang ada di salah satu mall terbesar di Jakarta Pusat pada suster yang memberikan informasi yang dia butuhkan.
Dengan senang hati sang perawat menerima hadiah yang menggiurkan itu. Kapan lagi makan di restoran mewah gratisan, pikir sang perawat dalam kepalanya.
Thomas kemudian benar-benar undur diri, dan pergi dari rumah sakit. Info yang dia dapatkan pasti akan membuat Gerald senang. Ide untuk meminta Debora mengganti rugi action figure yang pecah dengan pura-pura menjadi pasangan Gerald sangat tidak bisa di terima akal sehat. Namun dengan membantu pengobatan sang ibu, Debora pasti tidak akan berkutik lagi. Biaya ratusan juta, bahkan bisa milyaran harus Debora siapkan secepatnya, dari mana Debora akan mendapat uang itu dengan cepat. Itu yang menjadi rencana Thomas untuk dia bisikkan pada Gerald.
Dengan langkah penuh percaya diri, Thomas menyusuri lorong rumah sakit menuju tempat mobilnya terparkir. Thomas akan menjemput Gerald di rumahnya.
“Lepas, Fatma.” Dengan kasarnya Bachtiar melepaskan tangan Fatmasari dari lengannya. Tubuh Fatmasari terdorong dan membentur dinding tangga.Bachtiar tidak mempedulikan Fatmasari, dengan langkah cepat dia mengejar Debora yang sudah keluar dari restoran. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan lagi, jika dia ketinggalan.“tunggu, Nak. Papa masih mau bicara!” seru Bachtiar tergopoh – gopoh.Debora masuk dalam mobil, begitupun Pancawati. Mereka sudah tidak sabar lagi untuk pergi dari restoran itu.“Papa untuk apa mengejar mereka? Papa mau tinggal dengan mereka?” seru Manda penuh amarah.“Iya, Papa mau tinggal dengan mereka,” jawab Bactiar dengan keras sambil terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Mobil Gerald telah berjalan meninggalkan restoran, tidak mungkin lagi baginya untuk mengejar dengan kakinya.“Papa memang tidak pernah Sayang dengan Manda,” seru M
Bachtiar merasa begitu senang mendapat kesempatan untuk mendekati Debora dan Pancwati lagi. Dia tahu jika keputusan Debora sangat berpengaruh pada kebaikan Gerald dan Pancawati. Untuk itu Bactiar akan membujuk Debora untuk memberinya kesempatan memperbaiki diri menjadi ayah yang baik untuk Debora.‘Kalau Debby bisa menerimaku lagi, Gerald pasti tidak akan segan lagi untuk memberiku kekayaan. Wati saja sekarang begitu cantik dan terawat,’ gumam Bachtiar dalam hati, ‘hmm …, dia juga sudag memekai perhiasan mahal sekarang, artinya dia sudah hidup enak dalam perlindungan Gerald,’ batin Bachtiar lagi dengan menyeringai dan membayangkan akan hidup enak, dan lebih terhormat lagi bersama Pancawati sebagai mertua dari seorang Gerald.“Mau ke mana lagi Babe?” tanya Gerald menuntun Debora yang kembali masuk ke restoran.“Masuk lagi Gee, biar cepat selesai. Aku sudah malas bertemu dengan orang itu dan keluarganya. Seola
Debora masih khawatir dengan Pancawati, meski sang Ibu sudah nampak di depan matanya. Debora tidak ingin sang Ibu terpedaya dengan ucapan Bachtiar.“Gee, kita duduk di sana aja yuk!” ajak Debora pada Gerald menunjuk sebuah bangku kosong yang tak jauh dari Pancawati dan Bachtiar berada.“Jangan Babe, kita di sini saja, kalau terjadi sesuatu yang membahayakan Ibu, baru kita mendekat,” jawab Gerald memaksa Debora untuk duduk di meja yang di pilih Gerald, “tenang saja, enggak akan terjadi apapun pada Ibu,” kata Gerald lagi menenangkan Debora yang masih khawatir.Baru sebentar Gerald dan Debora duduk, dari ujung restoran terdengar teriakan Pancawati yang marah pada Bachtiar.Semua pengunjung restoran ikut menoleh pada meja sepasang pria dan wanita yang sudah tak lagi muda itu.Pancawati terlihat mengancam Bachtiar, bahkan tangan Pancawati pun selalu menepis tangan Bachtiar yang akan menyentuh tangannya.Debora
Debora tidak menemukan ibunya di rumah. Seluruh sudut rumah Gerald sudah dia hampiri, namun belum juga menemukan Pancawati.“Mami, cari siapa?” teriak Ginny dari balkon kamarnya saat melihat Debora keluar dari taman samping rumah.“Lihat nenek, engak sayang?” jawab Debora sekaligus bertanya balik pada Ginny tentang keberadaan Pancawati.“Tadi Ginny lihat Nenek naik taxi Mi, pergi sendirian,” jawab Ginny dengan polosnya.Debora segera masuk ke rumah, mendengar jawaban Ginny. Ruang tengah menjadi tujuannya untuk mencari ponselnya yang seingat dirinya dia letakkan di atas meja untuk di tambah daya, di samping televisi.Debora menelepon Pancawati dengan rasa khawatir, tidak biasanya sang ibu pergi tanpa pamit padanya. Pesan pun tidak di tinggalkan oleh Pancawati di ponselnya.“Ada apa Babe? Gelisah banget, sampai enggak dengar aku jalan,” tanya Gerald mengecup kepala Debora yang berdiri di pinggir
Manager Manda, paham betul jika Manda sedang cemburu pada Debora. Mood Manda yang sedang buruk setelah di tolak seorang produser film, juga Manda yang baru di selingkuhi kekasihnya, melihat Debora begitu beruntung, pasti membuat Manda marah.Sang Manager mengikuti Manda dan berusaha mengajak Manda untuk keluar dari toko, sebelum Manda mempermalukan dirinya sendiri.“Kamu pergi sana, tidak perlu ikut campur urusanku!” seru Manda dengan kencang, membuat para pengunjung toko menatap pada Manda.Gerald dan Debora pun langsung mendongak ke arah Manda, yang berdiri empat meter di depannya.“Manda,” gumam Debora menyerahkan sebuah kaos dalam pada Gerald. Debora ingin berdiri untuk menghampiri Manda.“Duduk saja di sini. Bukan urusan kita Babe,” kata Gerald menahan Debora agar tidak mendekati Manda.“Begitukah?” tanya Debora meminta pendapat.“Iya. Biarkan saja. Ayo pilih lagi, mana
Gerald menyambut Debora dan membantunya menuruni dua anak tangga terakhir dengan mengulurkan tangannya. Sungguh sikap seorang pangeran pujaan, yang begitu perhatian pada istrinya. Dengan tersenyum manis Debora mengucap terima kasih. Debora berjalan ke meja dapur, mendekati satu piring besar kue pukis yang dia inginkan. “Kamu beli berapa sih Gee. Banyak banget!” tanya Debora sambil mengambil piring yang lebih kecil untuk membagi kue pukisnya. “Hmm, seratus lima puluh ribu, dagangannya langsung habis aku beli,” jawab Gerald dengan tersenyum bangga. Kue pukis dengan harga dua ribu perbuah, dia borong semua. “Tadi dapat bonus lima Babe.” Debora tersenyum, tidak heran lagi dengan cara suaminya mengabiskan uang. “Enak ‘kan Josh?” “Hmm. Iya, enak. Santannya terasa, manisnya pas dan tidak eneg. Dengan selai nanasnya jadi segar,” jawab Joshua setelah menghabiskan satu potong kue. “Iya. Dulu aku sering beli di situ kalau mau berangkat terbang. U