Tasya buru-buru keluar dari ruangan Radhika, dia menangis karena marah dan sakit hati. Dia sempat berpapasan dengan Yoga yang menatap heran dan hendak bertanya padanya. Ada beberapa karyawan yang melihatnya dengan ekspresi ingin tahu. Namun Tasya mengabaikannya, dia hanya ingin segera keluar dari sini.
Dia sangat marah karena Radhika menghinanya seperti itu. Tasya benar-benar tidak membutuhkan apa-apa dari Radhika, dia justru ingin membantunya, tapi Radhika malah berkata seperti itu. Sangat tidak tahu diri.
Keluarganya memang sederhana dan tidak sekaya Radhika, tapi Radhika tidak pantas berkata seperti itu. Terlebih lagi ayahnya sudah menolongnya dulu. Walaupun Om Prawira sudah membalasnya dengan membantu perekonomian keluarganya. Tetap saja Radhika tidak berhak menghinanya seperti itu.
Detik ini dia sudah memutuskan, dia tidak akan berurusan lagi dengan orang yang bernama Radhika. Persetan dengan janjinya pada ayahnya dan Om Budi. Radhika benar-benar sudah keterlaluan.
Tasya menghapus air mata dengan punggung tangannya. Cukup orang-orang di perusahaan milik Radhika saja yang melihatnya menangis. Ini adalah jam pulang kantor, jalanan akan ramai. Dia masih punya harga diri.
Kemudian Tasya menghubungi Raka, mengirimnya sebuah pesan untuk menjemputnya. Dia butuh teman untuk membantunya meluapkan emosi yang sudah berada di ubun-ubun. Tasya menunggu di sebuah halte kosong tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang, dia cukup lelah karena terlalu emosi. Sehingga sekarang kakinya terasa lemas.
Tasya menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan-lahan. Mencoba meredam emosinya. Tasya benar-benar akan mengakhirinya dan Radhika jelas akan sangat senang jika itu terjadi. Namun, sekarang dia harus berpikir bagaimana cara menjelaskan situasi ini pada Om Budi dan ayahnya.
Dia hanya berharap tidak terlalu mengecewakan mereka, dan dia juga berharap Om Budi dan ayahnya akan menghormati keputusannya. Tapi dia tidak akan mengatakannya sekarang. Dia butuh sedikit waktu lagi untuk berpikir dan menimang-nimang cara yang tepat untuk mengatakannya.
Kurang lebih lima belas menit kemudian, Raka datang dengan menggunakan motor. Penampilannya sangat santai hari ini, hanya mengenakan hoodie berwarna putih, celana jeans hitam dan sneakers putih.
"Neng, pesen ojol kan?” canda Raka.
Tasya tertawa lalu berdiri dan menghampiri Raka. “Garing, Ka.” Tasya memukul bahu Raka.
“Alah dusta. Itu, lo ketawa.” Raka memberikan helm pada Tasya.
Tasya tidak menanggapi lagi perkataan Raka, dia hanya mengambil helm yang diberikan Raka lalu memakainya. Setelah itu dia duduk di belakang Raka. Sudah lama mereka tidak naik motor bersama. Kalau diingat-ingat mungkin ada sekitar setahun yang lalu.
"Kirain motor ini di bawa Ari," kata Tasya. Sudah lama juga dia tidak pernah melihat Raka memakai motornya ini, dia lebih sering melihatnya membawa mobil. Dan dia pikir motor ini sudah dibawa Ari ke tempat kostnya.
"Si Ari, udah gue suruh bawa mobil." Raka menyalakan mesin motornya dan menjalankannya dengan kecepatan sedang.
Tasya hanya mengangguk. Omong-omong dia selalu tidak mengerti dengan pemikiran kakak beradik ini. Raka dan Ari berada di kota yang sama, tetapi mereka tinggal di tempat yang berbeda. Jarak tempat yang disewa mereka juga tidak terlalu jauh. Dulu dia pernah bertanya pada Raka, dia bilang Ari ingin hidup mandiri. Namun Tasya tidak bisa menerimanya, itu kan boros namanya.
"Sekarang kita ke mana?" tanya Raka. Sesekali dia melirik ke arah spion untuk melihat Tasya.
"Terserah, Ka. Pokoknya gue pengin ngilangin stress nih." Tasya benar-benar butuh hiburan sekarang. Dia ingin menghapus Radhika dari ingatannya. Menghapusnya hingga tidak tersisa secuil pun di otaknya.
"Mau makan enggak?”
“Enggak selera. Gue lebih pengin makan si Wira Sableng.”
Raka tertawa. “Wira Sableng? Siapa lagi tuh?”
“Siapa lagi kalau bukan si kampret Radhika Putra Prawira Sableng.” Tasya menekan kata ‘Wira Sableng’.
“Jangan suka ngubah-ngubah nama orang, enggak baik. Bayangin kalau bokapnya dia denger, bisa didepak ke gurun Sahara, lo.” Walau Raka menasihati Tasya, tetapi dia tidak bisa menghentikan tawanya.
“Sekadar informasi, bokap sama nyokapnya udah meninggal.” Tasya memperbaiki posisi duduknya, tiba-tiba dia jadi merasa tidak enak hati. Karena dia juga pernah kehilangan orang yang penting dalam hidupnya. “Lo tau kan, Om Prawira?”
“Jangan bilang Ra … siapa tadi namanya?”
“Radhika,” jawab Tasya malas. Setelah menyebut nama itu, perasaan Tasya menjadi kesal lagi.
“Ah, iya … itulah gue lupa ... jadi, si Radhika itu anaknya Om Prawira?”
Tasya hanya bergumam sebagai jawaban. “Udah jangan dibahas, telinga gue bisa berdarah kalau denger nama dia terus.”
“Lebay banget sih.”
“Serius.”
“Jadi kita mau ke mana?”
“Terserah, yang penting lo yang traktir.”
"Iya, Ca. Apapun yang bikin lo seneng, gue lakuin deh."
Sebetulnya tadi Tasya hanya bercanda. Namun, Raka malah menganggapnya serius. Tasya senang. Jadi dia tiba-tiba memeluk Raka dari belakang dengan erat. Hal itu membuat Raka kaget sehingga nyaris kehilangan keseimbangan. Beruntung Raka dengan cepat bisa mengontrol laju motornya lagi.
"Astagfirullah! Anindira Tasya Kirania. Gue belum mau mati!" Raka berteriak.
Terdengar suara klakson dari arah belakang. Raka menjalankan motornya sedikit ke kiri, membiarkan orang di belakangnya menyusul. Raka mengangguk bermaksud meminta maaf pada pengemudi yang kini menatapnya garang.
“Parah lo!” Dia tidak habis pikir, dengan apa yang ada jalan pikiran Tasya. Bisa-bisanya dia memeluknya tiba-tiba seperti itu. Dia senang sih, tapi kalau sampai mereka masuk rumah sakit beda lagi ceritanya.
Sedangkan Tasya hanya tertawa. Raka benar-benar sangat bisa diandalkan, dan dia sangat bersyukur memiliki teman sepertinya.
-***-
Radhika duduk dengan kesal di ranjang kamar hotel yang Yoga pesankan. Orang yang ditunggunya sudah terlambat dua belas menit. Dan dia tidak suka dengan orang yang datang terlambat. Karena itu membuang waktunya.
Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan seorang wanita berambut panjang dan bermake up cukup tebal. Wanita itu mengenakan kemeja putih yang pas sekali, sehingga membuat lekuk tubuhnya terlihat. Dia juga mengenakan rok hitam yang sangat pendek.
Wanita itu tersenyum kearah Radhika. "Maaf sayang, tadi macet," ucapnya. Kemudian dia menutup pintu.
"Langsung aja." Radhika berdiri.
"Ih, kamu enggak sabaran ya." Wanita itu terkekeh, lalu dia berjalan mendekati Radhika dan tersenyum menggoda. "Buka dulu maskernya." Wanita itu meraih masker yang dipakai Radhika.
Namun, belum sempat wanita itu meraih masker yang Radhika kenakan, Radhika lebih dulu menyingkirkan tangan wanita tadi setelah tangan wanita itu menyentuh telinganya. Perasaan itu muncul lagi. Dan dia harus segera mengusir wanita ini.
"Pergi!" usir Radhika.
"Apa?" Wanita tadi terkejut dengan tindakan Radhika yang tiba-tiba. Wanita itu mencoba meraih tangan Radhika, namun Radhika menghidar dengan cepat.
"Pekerjaan kamu udah selesai. Kamu juga sudah dapat uangnya, kan? Jadi sekarang enyahlah!" Ingatan yang tidak ingin ia ingat bermunculan, tangannya bergetar.
"Tapi─"
"Enyahlah, jalang!" Radhika membentak wanita di hadapannya.
Wanita itu merasa takut dan tubuhnya sedikit bergetar, lalu dia segera pergi dan membanting pintu cukup keras, sehingga membuat suara dentuman.
Setelah Radhika memastikan wanita tadi benar-benar pergi, dia segera berlari ke kamar mandi. Dia menyalakan shower dan membiarkan air dingin itu membasahi tubuhnya. Kejadian tujuh tahun lalu terus berputar-putar di kepalanya. Dia merasa jijik pada dirinya sendiri.
“Sialan … Sialan!” umpatnya.
Minyak di wajan sepertinya sudah panas, karena sudah mulai mengeluarkan sedikit asap. Dengan perlahan Tasya menuangkan telur yang sudah ia beri garam dan potongan daun bawang ke dalam wajan tadi. Memasak telur seperti ini sangat mudah ternyata, dia juga sudah memasak nasi. Tadinya dia ingin membuat nasi goreng, tetapi dulu ibunya pernah bilang kalau membuat nasi goreng dari nasi yang masih panas itu pamali. Sebenarnya Tasya percaya, tidak percaya sih. Namun, saat dia browsing, hal itu memang tidak akan bagus, karena nasinya nanti akan menggumpal. Mungkin maksud dari pamaliyang diucapkan mendiang ibunya, mengarah ke arah situ. Sepertinya sudah saatnya membalik telur yang sedang ia goreng, Tasya mengambil spatula yang tidak jauh dari kompor. Perlahan-lahan Tasya mengangkat telur dalam wajan, namun dia merasa kesulitan. Tasya menghela napas, dengan sekali gerakan dia membalik telur tersebut, namun pada akhirnya telur itu tidak terbalik dengan sem
“Kamu kenapa? Pucat banget, kan aku bilang apa. Jangan telat makan. Sakit, kan, jadinya. Udah kita balik lagi aja.”Ucapan Tasya membuatnya seperti tersedot lagi ke dunia nyata. Napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa lemas sekali.Radhika bisa melihat pintu lift terbuka. Kedua wanita tadi keluar. Sedangkan Tasya menekan angka lima, mereka harus kembali lagi ke kamar.“Tahan sebentar, ya.” Tasya menggandeng lengan Radhika. “Sebentar lagi sampai.”Radhika mengangguk. Dia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia menyandarkan punggungnya dan mencoba mengusir ingatan buruk itu.“Tahan, ya.” Tasya mengelus-elus punggung Radhika. Dan Radhika merasa sedikit tenang karena sentuhan itu.Radhika merasa waktu berlalu begitu lamban. Walau perasaannya sudah mulai tenang, tetapi ingatan buruk masih berputar-putar di kepalanya. Membuatnya, merasa tersiksa.“Udah dibilangin makan itu
“Malam ini saya akan pulang. Kamu sebagai ketua tim Alpha harus menyelesaikan masalah ini sebelum saya pulang. Karena besok, kita sudah mulai kerja keras lagi. Kita cuman punya waktu dua minggu untuk cari solusi.”“Oke, Pak. Saya akan bicara sama Taufik. Saya yakin, Taufik ngelakuin itu pasti ada alasannya. Taufik lagi diamanin sama anak-anak, Pak. Lagi usaha ngorek-ngorek informasi.”“Oke, saya percaya sama kamu. Saya tutup ya.”Radhika menyimpan ponselnya di meja. Dia lelah sekali. Rapatnya tadi siang tidak sepenuhnya bisa dibilang lancar. Karena, dewan direksi masih menekannya. Bahkan mereka mengancam, jika dalam dua minggu tidak mendapat memberikan solusi, maka Radhika harus melepaskan jabatannya. Pantas saja proyek ini sebelumnya lancar-lancar saja. Hambatannya hanya di awal saja. Ternyata mereka menyimpan kejutan di akhir.Waktu dua minggu, adalah waktu yang singkat. Jelas tidak mungkin mengubah gamep
“Buang itu, Tasya! Saya enggak mau liat!”Bingung, terkejut dan takut. Itulah yang Tasya rasakan sekarang. Dia tidak tahu, mengapa Radhika bereaksi berlebihan seperti itu. Tasya melirik ke arah Radhika. Sepertinya ada yang tidak beres. Wajah Radhika pucat dan tangannya bergetar. Apakah dia … takut?“Dhika.” Tasya menyentuh lengan Radhika, namun dia tidak merespons. “Kamu enggak apa-apa?” Lalu dia mencoba menarik lengannya, namun tetap tidak berhasil.Tangan Radhika mulai memegang kepalanya, hal itu membuat Tasya semakin panik. Mungkin mainan itu ada kaitannya dengan kasus penculikan lima belas tahun yang lalu. Ya, itu masuk akal. Karena saat diculik, Radhika masih anak-anak. Bisa jadi mainan ini dia bawa saat diculik. Dengan perlahan, Tasya menarik lengan Radhika, lalu memeluknya dan berbisik. “Ada aku di sini. Jangan takut.” Dia mengelus punggung Radhika, berharap sentuhannya bisa membuat Radh
Udara di Surabaya lebih panas daripada di Bandung. Namun, tidak sepanas di Jakarta. Tasya baru saja menyelesaikan sarapannya. Sekarang masih pukul delapan lebih. Sebelum kembali ke kamarnya, dia berencana untuk berkeliling di sekitaran hotel. Ini adalah pertama kalinya dia datang ke Surabaya, jadi dia tidak mungkin berkeliling jauh. Lagi pula, dia datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk wisata.Tadinya Tasya ingin mengajak Radhika keluar, mencari udara segar, supaya dia bisa sedikit lebih rileks. Namun, chat darinya tidak dibalas. Mereka juga belum bertemu, sejak berpisah kemarin. Sepertinya Radhika sangat sibuk, Tasya tidak ingin mengganggunya.“Mbak.” Tasya terkejut saat bahunya tiba-tiba ditepuk. “Maaf, saya bikin kaget. Ini ada titipan untuk Pak Radhika, kurirnya bilang harus segera dibuka.”Tasya mengerutkan kening. Mengapa tiba-tiba ada kiriman untuk Radhika? Dan kenapa laki-laki di hadapannya tahu kalau dia adalah kenalan Radhika
Ada masalah besar. Dan masalah itu terjadi di kantornya. Ternyata ini masalah yang membuat Radhika kemarin buru-buru pergi. Sekarang situasi di kantor sangat kacau.Dari yang ia dengar, ada dua masalah yang datang bersamaan. Pertama sebuah perusahaan star up, baru saja merilis game yang sangat mirip, hampir 95% dari game Fire and Gun. Kedua, Athena’s diserang cheater lagi, dan sekarang lebih parah dari sebelumnya, karena memengaruhi keseimbangan dalam game, sehingga merugikan pemain lain.Diduga salah satu anggota tim Alpha ada yang membocorkan data. Sampai sekarang sepertinya kasus itu sedang diselidiki secara rahasia oleh Yoga, itu yang dikatakan oleh RadhikaTasya bingung, ingin membantu, tetapi tidak tahu harus melakukan apa. Apalagi bulan depan game ini sudah harus rilis. Dia hanya berharap semua akan baik-baik saja, dan Radhika bisa menemukan jalan keluarnya.Tasya menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Tasya mengaduk-aduk minuman cola dengan sedotan. Dia tidak mengerti dengan situasinya sekarang. Awalnya dia hanya ingin mengantar Raka membeli hadiah, lalu makan dan pulang. Tetapi sekarang, entah apa yang akan mereka lakukan setelah keluar dari sini.Setelah menutup telepon, Radhika memintanya untuk menunggu sampai dia sampai. Jadi Tasya mengajak Raka untuk makan terlebih dahulu. Sekarang, Radhika dan Senja sudah bergabung bersama mereka.“Jadi kalian habis ngapain?” tanya Senja pada Raka.Raka yang sedang fokus pada ponselnya, kini menatap ke arah Senja. “Oh, tadi kita abis beli hadiah buat ibu saya.”“Ibu kamu ulang tahun?”Raka menggeleng. “Bukan, cuman lagi ingin kasih aja.”“Oh gitu. Aku juga jadi pengin kasih hadiah buat mama sama papa.” Senja berdiri dari kursinya. “Bang minta kartu.” Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah Radhika.Radhika mengambil dompe
Tasya berguling di atas kasur nya. Sekarang dia sudah berada di rumahnya dan bersiap untuk tidur. Soal permintaan Radhika tadi, jelas saja dia menolaknya. Tidak ada alasan untuk bermalam di sana. Terlebih lagi, hal itu tidak terlalu baik. Mengingat hubungan mereka sekarang, walaupun sebenarnya masih tidak jelas, tetapi tetap saja mereka adalah sepasang kekasih.Gadis itu mengecek jam di layar ponselnya. Sudah satu jam lebih, tetapi Radhika belum mengabarinya. Padahal laki-laki itu sendiri yang mengatakan jika dirinya sudah sampai, maka dia akan memberi kabar. Jarak rumah mereka juga tidak terlalu jauh, bisa ditempuh kurang lebih empat puluh menit. Lalulintas juga tidak terlalu ramai, jadi Radhika tidak mungkin terjebak macet.“Apa gue tanya aja ya?” Tasya buru-buru menggeleng. “Enggak, enggak … kalau kayak gini, nanti gue dikira nungguin kabar dari dia.”Tasya menyimpan ponselnya lagi di samping kepalanya, lalu menatap langit-langi
Tasya sedang duduk di ruang tengah, tangannya sibuk memencet tombol remote TV, mencari saluran yang menurutnya menarik. Radhika sepertinya berlangganan TV kabel, karena banyak sekali salurannya. Tasya yang terbiasa menonton saluran lokal menjadi bingung sendiri.Sebenarnya Tasya juga tidak terlalu ingin menonton, dia juga sudah jarang menonton televisi. Hanya saja, dia cukup bosan menunggu Radhika yang sedang mencuci piring.Akhirnya Tasya menyerah, dia menyimpan remote TV di meja. Dia membiarkan TV memutar acara binatang yang hidup di alam liar. Tasya memperbaiki posisi duduknya, lalu mengambil bantal dan menaruhnya di atas paha.“Kamu suka acara kayak gini?”Tasya melirik ke arah Radhika yang kini duduk di sampingnya. “Enggak juga, cuman bingung aja.”“Mau coba nonton film?”Tasya berpikir sejenak. Menonton akan memakan waktu yang cukup panjang, minimal satu jam. Dia berencana pulang sekitar pukul sembil