Kurang lebih sepuluh menit kemudian, mereka sampai di sebuah kafe. Bisa dibilang kafe ini sangat populer akhir-akhir ini, tetapi Tasya belum pernah kemari. Karena sepertinya harga makanannya lumayan, tapi tempatnya nyaman dan sangat bagus untuk hunting foto.
Hujan sudah berhenti saat mereka masih dalam perjalanan menuju ke sini. Butuh sekitar empat puluh menit untuk sampai, karena jalanan macet.
Radhika berjalan duluan, sedangkan Tasya mengekor di belakangnya. Mereka menaiki tangga melingkar. Setelah sampai di lantai dua, Tasya dibuat kagum dengan pemandangan yang disuguhkan.
Karena kafe ini terletak di dataran tinggi, jadi dia bisa melihat pemandangan kota dari jendela kaca yang sangat besar.
"Duduk," ucap Radhika setelah mereka sampai di meja yang telah ia pesan.
Mereka duduk berhadapan. Kemudian seorang pelayan datang memberikan buku menu pada Radhika dan Tasya.
Tasya membuka satu persatu dan membaca daftar yang ada di buku menu tersebut. Di sana tidak ada ada harganya. Jadi Tasya bingung mau memesan apa. Dengan dompetnya yang kering kerontang seperti ini, Tasya tidak mungkin asal pesan. Jika uangnya tidak cukup akan sangat memalukan, dan Tasya tidak ingin itu terjadi.
"Aku udah makan, jadi aku mau Latte aja." Tasya tidak mau mengambil risiko.
Walau dia lumayan lapar, tapi lebih baik dia kelaparan daripada menanggung malu karena uangnya tidak cukup. Jujur saja, di dompetnya hanya ada satu lembar uang warna merah bergambar presiden dan wakil presiden pertama Indonesia. Jangan tanya, berapa sisa saldo di rekeningnya. Sudah dari seminggu yang lalu, hanya tersisa untuk membayar biaya admin.
"Yakin?" tanya Radhika. Tasya hanya mengangguk.
Radhika memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. Tasya tidak terlalu mendengarkan apa yang dipesan Radhika. Yang pasti sekarang ia ingin segera pulang dan makan mi sambil menonton drama, yang belum selesai ia tonton semalam.
"Kita bicara selesai makan," kata Radhika. Tasya hanya mengangguk.
Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Radhika sekarang sibuk dengan tabletnya. Dia mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai. Sedangkan Tasya hanya kembali melihat ke arah jendela besar.
Lalu pelayan datang membawa pesan mereka dan meletakannya di meja. "Silakan menikmati." Pelayan itu lalu pergi setelah selesai meletakkan semua pesanan mereka.
"Makan."
Tasya mengerutkan keningnya. Dia kan hanya memesan Latte.
"Makan dulu, saya masih harus kerja."
Tasya mengangguk pasrah. Mau tak mau dia harus menerimanya sekarang. Tasya menarik piring yang berisi steak itu ke arahnya. Lalu memotong-motongnya. Dia terus memperkirakan berapa harga makanannya, sehingga dia belum berani memakan makanan yang ada di piringnya.
Tasya tidak yakin uangnya akan cukup, jadi dia mengambil ponselnya. Dia mengirim pesan pada Raka untuk mengirimkannya uang, untuk berjaga-jaga. Setelah mendapat balasan dan bukti transfer uang dari Raka, Tasya baru bisa memakan makanannya.
Satu suapan pertama, rasanya enak dagingnya juga lembut. Bisa dibayangkan harganya tidak mungkin setara dengan steak yang biasa dia makan di pinggir jalan bersama Raka. Rasanya juga jauh.
Namun, karena Tasya adalah orang yang lebih mementingkan perut daripada rasa. Maka jika disuruh memilih, maka dia akan memilih makan di tempat biasa daripada sini. Tentu saja karena keselamatan dompetnya paling utama, jadi dia harus memilih makan di pinggir jalan.
Tasya telah selesai makan, namun Radhika masih sibuk dengan tabletnya. Tasya menghabiskan air mineral miliknya. Ternyata Radhika masih punya hati, dia memesankan air mineral untuknya.
"Udah?"
Tasya menatap Radhika lalu mengangguk. Dia meletakkan botol kosong itu di meja, lalu mengelap mulutnya dengan tisu.
"Bekerjalah di perusahaan saya." Radhika menatap Tasya dengan tatapan serius.
Tasya tercengang. Hal gila apa lagi yang sebenarnya Radhika rencanakan. Dia selalu membuatnya terkejut, heran dan takjub dalam artian negatif. Sampai-sampai dia ingin bertepuk tangan sekarang.
"Daripada ngomongin hal enggak masuk akal, mendingan kamu jelasin kejadian-kejadian tempo hari.”
“Bisa enggak, kamu enggak usah bahas itu?”
“Enggak!”
“Oke terserah. Yang jelas saya enggak akan jawab.”
Tasya menghela napas pasrah. Dia tidak tahu lagi harus menghadapi makhluk di hadapannya ini. “Terus alasan kamu minta aku kerja di tempat kamu apa?”
"Saya butuh kamu."
Ucapan Radhika tak henti-hentinya membuat Tasya tercengang. "Radhika, bisa enggak sih kamu bersikap kayak manusia normal. Enggak usah bikin aku nebak-nebak maksud dari semua tindakan kamu. Aku ini bukan cenayang!”
“Memangnya kapan saya enggak bersikap kayak manusia normal? Saya juga enggak minta kamu untuk nebak-nebak pikiran saya.”
“Iya makannya kamu jelasin dong. Kamu itu senang banget bikin orang emosi ya.” Tasya menjadi kesal sendiri.
Radhika menghela napas. "Kita lupain aja masalah itu."
Respons Radhika membuat Tasya semakin emosi. Dia meminta Tasya melupakannya, semudah itu? Bahkan si kupret ini tidak meminta maaf padanya. Jika bisa, Tasya ingin menendang Radhika ke Neptunus dan membiarkannya hidup bersama Alien.
"Untuk tawaran kamu, aku menolak! Aku bukan pengangguran." Pekerjaanya sudah cukup baik dan Tasya juga menyukai pekerjaannya. Jadi tidak ada alasan untuk menerima tawaran Radhika.
“Ini bukan negosiasi."
"Dhika, aku udah punya kerjaan. Kerjaan aku udah bagus dan aku suka. Jadi, kamu enggak bisa seenaknya gitu dong. Lagian, aku enggak mungkin bisa keluar semudah itu dari tempat kerja aku sekarang."
"Liat aja nanti." Radhika tersenyum miring.
“Apa maksudnya?” Tasya melotot dan mengeluarkan aura permusuhan pada Radhika, tapi si kupret itu malah melebarkan senyum miringnya. Benar-benar minta digaruk pakai garpu. “Masalah kemarin aja belum dijelasin, sekarang malah-Hei! Aku belum selesai ngomong!”
Radhika berdiri dan berjalan mendahului Tasya yang hanya bisa speechless. Baru dua langkah, Radhika kemudian berbalik. “Kamu bisa pulang sendiri, kan? Makanan kali ini saya yang teraktir.”
“Hah?” Tasya seperti orang bodoh sekarang. Dia hanya melihat Radhika yang berjalan semakin menjauh.
'Dasar si bunglon kutu kupret, Wira Sableng!'
-***-
Sudah menjadi kebiasaan Radhika setiap malam dia memandang pemandangan kota, karena itu bisa membuat hati dan pikirannya tenang. Setelah kembali dari pertemuannya bersama Tasya, dia kembali ke sini.
Jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas lebih, tidak membuatnya ingin pergi dari sini dan segera pulang ke rumah. Lucu memang jika berbicara mengenai sesuatu yang disebut rumah. Sudah sangat lama Radhika membenci rumahnya. Terlalu banyak kenangan pahit di sana.
Walaupun Radhika sangat membenci bangunan itu, namun dia tidak ingin menjualnya. Karena selain kenangan buruk, di sana juga ada banyak kenangan bersama ibunya. Hal itu sangat berharga untuknya, jadi dia terkadang pulang jika sedang rindu dengan ibunya. Jadi dia meminta orang untuk merawat rumahnya dan mengeceknya secara berkala.
Radhika kembali ke mejanya. Dia mengambil map pemberian dokter Vian. Itu adalah jadwal terapinya untuk sebulan ke depan. Setelah dia bertemu dengan dokter Vian beberapa waktu lalu, dia akan melakukan beberapa percobaan. Itulah alasan mengapa dia bersikap tidak tahu malu pada Tasya.
Untuk saat ini dia harus membuat Tasya berada di sampingnya, bagaimanapun caranya.
Minyak di wajan sepertinya sudah panas, karena sudah mulai mengeluarkan sedikit asap. Dengan perlahan Tasya menuangkan telur yang sudah ia beri garam dan potongan daun bawang ke dalam wajan tadi. Memasak telur seperti ini sangat mudah ternyata, dia juga sudah memasak nasi. Tadinya dia ingin membuat nasi goreng, tetapi dulu ibunya pernah bilang kalau membuat nasi goreng dari nasi yang masih panas itu pamali. Sebenarnya Tasya percaya, tidak percaya sih. Namun, saat dia browsing, hal itu memang tidak akan bagus, karena nasinya nanti akan menggumpal. Mungkin maksud dari pamaliyang diucapkan mendiang ibunya, mengarah ke arah situ. Sepertinya sudah saatnya membalik telur yang sedang ia goreng, Tasya mengambil spatula yang tidak jauh dari kompor. Perlahan-lahan Tasya mengangkat telur dalam wajan, namun dia merasa kesulitan. Tasya menghela napas, dengan sekali gerakan dia membalik telur tersebut, namun pada akhirnya telur itu tidak terbalik dengan sem
“Kamu kenapa? Pucat banget, kan aku bilang apa. Jangan telat makan. Sakit, kan, jadinya. Udah kita balik lagi aja.”Ucapan Tasya membuatnya seperti tersedot lagi ke dunia nyata. Napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa lemas sekali.Radhika bisa melihat pintu lift terbuka. Kedua wanita tadi keluar. Sedangkan Tasya menekan angka lima, mereka harus kembali lagi ke kamar.“Tahan sebentar, ya.” Tasya menggandeng lengan Radhika. “Sebentar lagi sampai.”Radhika mengangguk. Dia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia menyandarkan punggungnya dan mencoba mengusir ingatan buruk itu.“Tahan, ya.” Tasya mengelus-elus punggung Radhika. Dan Radhika merasa sedikit tenang karena sentuhan itu.Radhika merasa waktu berlalu begitu lamban. Walau perasaannya sudah mulai tenang, tetapi ingatan buruk masih berputar-putar di kepalanya. Membuatnya, merasa tersiksa.“Udah dibilangin makan itu
“Malam ini saya akan pulang. Kamu sebagai ketua tim Alpha harus menyelesaikan masalah ini sebelum saya pulang. Karena besok, kita sudah mulai kerja keras lagi. Kita cuman punya waktu dua minggu untuk cari solusi.”“Oke, Pak. Saya akan bicara sama Taufik. Saya yakin, Taufik ngelakuin itu pasti ada alasannya. Taufik lagi diamanin sama anak-anak, Pak. Lagi usaha ngorek-ngorek informasi.”“Oke, saya percaya sama kamu. Saya tutup ya.”Radhika menyimpan ponselnya di meja. Dia lelah sekali. Rapatnya tadi siang tidak sepenuhnya bisa dibilang lancar. Karena, dewan direksi masih menekannya. Bahkan mereka mengancam, jika dalam dua minggu tidak mendapat memberikan solusi, maka Radhika harus melepaskan jabatannya. Pantas saja proyek ini sebelumnya lancar-lancar saja. Hambatannya hanya di awal saja. Ternyata mereka menyimpan kejutan di akhir.Waktu dua minggu, adalah waktu yang singkat. Jelas tidak mungkin mengubah gamep
“Buang itu, Tasya! Saya enggak mau liat!”Bingung, terkejut dan takut. Itulah yang Tasya rasakan sekarang. Dia tidak tahu, mengapa Radhika bereaksi berlebihan seperti itu. Tasya melirik ke arah Radhika. Sepertinya ada yang tidak beres. Wajah Radhika pucat dan tangannya bergetar. Apakah dia … takut?“Dhika.” Tasya menyentuh lengan Radhika, namun dia tidak merespons. “Kamu enggak apa-apa?” Lalu dia mencoba menarik lengannya, namun tetap tidak berhasil.Tangan Radhika mulai memegang kepalanya, hal itu membuat Tasya semakin panik. Mungkin mainan itu ada kaitannya dengan kasus penculikan lima belas tahun yang lalu. Ya, itu masuk akal. Karena saat diculik, Radhika masih anak-anak. Bisa jadi mainan ini dia bawa saat diculik. Dengan perlahan, Tasya menarik lengan Radhika, lalu memeluknya dan berbisik. “Ada aku di sini. Jangan takut.” Dia mengelus punggung Radhika, berharap sentuhannya bisa membuat Radh
Udara di Surabaya lebih panas daripada di Bandung. Namun, tidak sepanas di Jakarta. Tasya baru saja menyelesaikan sarapannya. Sekarang masih pukul delapan lebih. Sebelum kembali ke kamarnya, dia berencana untuk berkeliling di sekitaran hotel. Ini adalah pertama kalinya dia datang ke Surabaya, jadi dia tidak mungkin berkeliling jauh. Lagi pula, dia datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk wisata.Tadinya Tasya ingin mengajak Radhika keluar, mencari udara segar, supaya dia bisa sedikit lebih rileks. Namun, chat darinya tidak dibalas. Mereka juga belum bertemu, sejak berpisah kemarin. Sepertinya Radhika sangat sibuk, Tasya tidak ingin mengganggunya.“Mbak.” Tasya terkejut saat bahunya tiba-tiba ditepuk. “Maaf, saya bikin kaget. Ini ada titipan untuk Pak Radhika, kurirnya bilang harus segera dibuka.”Tasya mengerutkan kening. Mengapa tiba-tiba ada kiriman untuk Radhika? Dan kenapa laki-laki di hadapannya tahu kalau dia adalah kenalan Radhika
Ada masalah besar. Dan masalah itu terjadi di kantornya. Ternyata ini masalah yang membuat Radhika kemarin buru-buru pergi. Sekarang situasi di kantor sangat kacau.Dari yang ia dengar, ada dua masalah yang datang bersamaan. Pertama sebuah perusahaan star up, baru saja merilis game yang sangat mirip, hampir 95% dari game Fire and Gun. Kedua, Athena’s diserang cheater lagi, dan sekarang lebih parah dari sebelumnya, karena memengaruhi keseimbangan dalam game, sehingga merugikan pemain lain.Diduga salah satu anggota tim Alpha ada yang membocorkan data. Sampai sekarang sepertinya kasus itu sedang diselidiki secara rahasia oleh Yoga, itu yang dikatakan oleh RadhikaTasya bingung, ingin membantu, tetapi tidak tahu harus melakukan apa. Apalagi bulan depan game ini sudah harus rilis. Dia hanya berharap semua akan baik-baik saja, dan Radhika bisa menemukan jalan keluarnya.Tasya menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.