“Maafkan aku, Ivy. Aku—“ “Hey, Max ... tak apa. Aku tahu kau bukanlah dirimu entah sejak kapan. Yang aku ingat dan tidak akan pernah kulupakan, kau sangat lembut memperlakukanku ketika pertama kali kita melakukannya. Apakah kau ingat? Dan beberapa waktu terakhir ... tiga kali dalam sehari, Max, seriously?!” Ivory tergelak ringan, hanya agar Max tidak terbebani dengan rasa bersalahnya. Namun, tak mungkin kalau Ivory tidak merasakan trauma dan beban yang sama atas perlakuan Max. Max meraih Ivory ke dalam pelukannya dan menyembunyikan wajah di ceruk leher Ivory, mengendus aroma tubuh dan parfum yang khas milik gadis itu. “Jadi apakah kita akan masuk sekarang?” tanya Ivory yang dijawab anggukan ragu oleh Max. “Tenang saja, Max. Dokter Alister tidak menggigit.” Ivory tersenyum kemudian turun dari mobil dan menanti Max untuk ikuti langkahnya. Keduanya melangkah masuk ke dalam bangunan itu dan Ivory membantu Max mendaftarkan diri di bagian administrasi. Mereka kemudian melanjutkan langk
Ivory dan Max terdiam selama dalam perjalanan. Ada banyak hal yang memenuhi kepala mereka masing-masing mengenai apa yang baru saja mereka alami. Max yang menyaksikan sendiri bagaimana Ivory di hadapan dokter Alister kini jadi tak tenang karena dibakar cemburu. Sementara Ivory, ke sekian kali bertemu dengan Seth, pria yang telah berhasil mengubah hidupnya menjadi lebih baik, dan harus menerima pernyataan yang sama sekali tidak ia harapkan. Apakah Seth berpikir dengan ia meminta Ivory untuk tetap bersamanya lantas akan membuat Ivory kembali menoleh ke belakang? Lalu sakit lagi karena tahu kenyataannya bahwa Seth hanya menginginkan Ivory untuk tidak dimiliki orang lain, sementara dirinya sendiri justru telah dimiliki. Wanita itu sangat beruntung, menurut Ivory, karena berhasil menawan hati Seth yang memang selalu bersikap baik terhadap semua wanita. Ia hanya tak menyangka kalau cerita antara dirinya dan Seth yang bahkan tak pernah terjalin, pada akhirnya justru makin rumit seperti be
Ivory mengerutkan kening saat mengetahui bahwa Max mengemudikan mobilnya ke arah berbeda. Bukankah tujuan mereka sudah selesai? Mereka sudah makan malam bersama meski hanya saling mendiamkan dan hanya fokus menghabiskan makanan yang ada di piring masing-masing, lalu ke mana mereka akan pergi sekarang? “Kita tidak pulang?” tanya Ivory yang dijawab gelengan oleh Max. Artinya Max punya tujuan lain dan itu membuat Ivory sedikit cemas. Bagaimana pun Max baru memulai perawatannya dengan Seth. Tak mungkin dalam waktu beberapa jam ia sudah menjadi dirinya yang normal. “Mau kau bawa ke mana aku?” desak Ivory yang tak bisa menyingkirkan pikiran buruknya mengenai Max. Pria itu bisa sanggat gila dan tak sadar akan perbuatannya jika ia sudah berada pada kondisi yang saka berulang kali. Ivory tahu dengan pasti karena ia harus menjadi korban selama beberapa hari terakhir dan itu sangat tidak menyenangkan.“Max, kumohon jangan berbuat bodoh. Kau tahu sendiri bagaimana kau memperlakukanku beberapa
Ivory berkeliling masuk ke masing-masing ruangan yang terdapat pada bangunan yang ia tempati saat ini. Ia tak percaya kalau dirinya harus menjalani kesehatian seorang diri tan Max atau siapa pun yang menemaninya. Ia sesungguhnya tidak ingin seorang diri di mana pun. Keberadaan Max dan Mirielle selama beberapa waktu sejak dirinya terbebas dari Benjamin membuatnya berpikir bahwa masih ada manusia yang bersikap normal dan menjalani kehidupan dengan baik meski bukan benar-benar manusia. Dan mereka adalah keluarga Reynz dan Alsen dengan kawanannya. Ivory masih ingat bagaimana Benjamin memperlakukannya. Manis, bahkan terlalu manis untuk ia percayai sebagai sebuah kenyataan. Dan sisi lain yang tidak ia terima adalah kehidupan Benjamin yang bahkan tidak pernah menunjukkan bagaimana keluarganya, siapa dirinya di hadapan ayah maupun ibunya. Benjamin adalah seorang manusia, tetapi ia bahkan lebih aneh dibanding Max dan keluarganya. Benar begitu, bukan? Tidak, bukan seperti itu. Ivory hanya
“Elle, tak bisakah kau berhenti dan mengatakan apa yang terjadi pada Ivy?” desak Max, menghadang langkah Ivory dan Gabriella yang ia tak ketahui ke mana tujuan keduanya. Mereka tampak begitu cemas dan tergesa. Apa yang terjadi sebenarnya? Max bahkan tak mendapat jawaban atas pertanyaannya sejak tadi. “Max, biarkan Gabriella melakukan tigasnya dulu, oke? Sekarang kau tenanglah dan—hey, Max!” Max menerobos portal yang Mirielle buat dengan kekuatannya lantas mengikuti langkah Gabriella menuju ke suatu tempat. Tentu saja. Mereka kini tiba di markas bawah laut di mana Max meninggalkan Ivory. Apakah terjadi sesuatu pada Ivory? Pertanyaan itu yang terus saja bergema di kepala Max. Ia tak bisa menahan diri saat tiba di sana dan menemukan Ivory tengah tergeletak di lantai dalam keadaan meringkuk seperti menahan sakit yang luar biasa. Wajahnya begitu pucat dan kulitnya terasa sedingin es. “Ivy, apa yang terjadi padamu?” Gadis itu membuka mata perlahan, kemudian membelai rahang Max denga
Benjamin mengumpulkan beberapa pengawalnya, bahkan termasuk Black dan Blue serta puluhan lainnya. Mereka yang telah ia berangkatkan untuk mencari Ivory sebelumnya, telah ia minta untuk kembali demi bisa mengatur rencana lain. Kini sudah saatnya Benjamin merebut kembali apa yang seharusnya jadi miliknya. Ia tak akan biarkan Max dan kawanannya melenggang dengan nyaman dan menerima kemenangan akan kehadiran Ivory sebagai sebuah piala yang menurut mereka telah mereka menangkan. Benjamin sendiri yang menganggap dan mengibaratkan Ivory layaknya piala yang tak akan pernah rela ia serahkan pada siapa pun. Menang atau kalah, Ivory adalah miliknya dan itu tidak akan pernah berubah. “Apakah kau sudah mempersiapkan pasukan yang akan kita berangkatkan ke sana?” tanya Benjamin pada Blue, salah satu pengawal yang paling ia percaya. Blue mengangguk. “Sudah, Tuan. Aku membagi beberapa untuk mencari ke kediaman Jeremiah Alsen, beberapa lagi akan menelusuri kediaman Reynz. Meski sesungguhnya aku t
Kabar yang Gabriella berikan pada Ivory dan Max memang merupakan kabar baik dan bahkan mengagumkan. Bayangkan saja dalam sekali melahirkan mereka akan memiliki tiga bayi. Hal yang jarang terjadi dan merupakan sesuatu yang luar biasa. Namun, tampaknya tidak seperti itu yang Max rasakan saat ini ia kini dirundung kecemasan yang cukup mendalam. Wajar saja jika itu terjadi karena ia khawatir akan kondisi Ivory. Pantas saja gadis itu begitu lemah dan tak berdaya. Karena ada tak hanya satu melainkan tiga bayi sekaligus yang akan ia bawa sepanjang kehamilannya. Bahkan mungkin sifat ketiga bayi itu pun akan jadi masalah nantinya. Apakah Ivory akan tetap seperti biasa ataukah akan terpengaruh akan karakter ketiga bayinya? “Apakah kau baik-baik saja?” tanya Max yang ia sadari itu merupakan pertanyaan konyol yang jawabannya pasti adalah pertanyaan yang sama dari Ivory. Tentu saja gadis itu juga bingung, tak tahu apakah ia baik-baik saja setelah mengetahui bahwa dirinya mengandung tiga bayi
“Lepaskan aku, bodoh!” Ivory berusaha meronta, melepaskan diri dari ikatan di kedua tangannya. Ivory telah berusaha melarikan diri dengan berubah menjadi duyung saat anak buah Benjamin tiba, entah dengan peralatan apa yang bisa membuat mereka berada di markas di mana Ivory berada. Dan kekuatan anak buah Benjamin memang tak bisa diragukan. “Jangan melawan, Nona Laverne. Ini demi keselamatanmu,” ucap Blue yang telah membaringkan Ivory di kursi belakang di mobil mereka. “Lepaskan aku, Blue. Aku tahu kau orang baik. Kau tidak harus menjadi seperti Ben!” serunya lagi, berusaha membebaskan diri. Namun, ia merasakan sedikit nyeri di perutnya yang sedikit menyembul. Tiga bayi serigala ada di dalam rahimnya yang membuat tenaga Ivory terkuras lebih banyak dan sekadar mengeluarkan suara saja ia sudah kelelahan. “Nona, Tuan Agony telah melakukan banyak kebaikan untukmu. Mengapa kau lebih memilih pria serigala itu?” tanya Blue, mendekat pada gadis itu agar bisa menatap bola mata birunya denga