Ruang Presdir terlalu luas hanya untuk dua orang manusia saja di siang itu. Rosie bahkan harus membiarkan waktu makan siangnya molor sedikit hanya untuk bertemu dengan Pak Harwan yang tengah duduk di belakang mejanya. Pria berbadan tambun itu menyatukan kedua tangannya dengan tatapan yang tertuju ke arah Rossi, menunggu penjelasan Rosie. "Karena Youth Serum masih tergolong produk baru, mungkin akan kalah dengan pesaing di pangsa pasar, tetapi kami dari akan berusaha agar dalam waktu dua bulan Youth Serum diiterima oleh kalangan muda.” Mendengar pejelasan Rosie, Pak Harwan melengos asal-asalan. “Inilah yang saya suka dari kamu. Muda dan penuh optimisme.” Ujung bibir Rosie melengkung ke atas, mendengar pujian sang Presdir. “Terima kasih,” ucap Rosie. Pak Harwan beranjak dari tempat duduk, mendekat ke jendela dan memandang keluar. Pemandangan gedung pencakar langit dan kota tampak jelas dari kantornya itu. “Kenapa kamu membatalkan pernikahan dengan Mario?” tanya Pak Harwa
Matahari tampak malu-malu menunjukkan dirinya di balik awan putih yang menggantung di langit Kota G. Hari Minggu membuat jalanan sedikit lenggang. Sebagian warga kota melepaskan penatnya di akhir pekan untuk sekadar berjalan-jalan atau menikmati family time setelah seminggu dijejali pekerjaan apapun profesi mereka. Tidak kecuali dengan Ethan, selepas membersihkan diri dan mengganti piyama dengan kaos rumahan dan bahawan celana pendek kasual, dia pergi dari apartemen Rosie sekadar untuk menikmati udara di luar. Dengan segelas es kopi seharga sepeluh ribuan yang dia beli dari kedai jalanan. Tangan kiri Ethan memegang es kopi sementara, tangan kanannya asik memainkan smartphone. Bruk! Pandangan Ethan baru teralihkan ketika dia menyadari seorang gadis sudah terkulai di trotoar, di dekat gadis itu sebuah buku yang tampak baru kotor, sampul hingga setengah bagian dari buku itu basah karena tumpahan es kopi milik Ethan. “Ish, jadi rusak gini!” Buru-buru gadis itu m
“Aku sudah ganti rugi bukumu, loh. Rawat dengan baik!” ucap Ethan sembari keluar dari toko buku. “Ma-makasih!” “Cuma makasih?” Ethan melipat tangan ke dada. “La-lalu mau apa lagi?” “Es kopiku gimana?” tanya Ethan. Yunri tidak kaget, seperti dugaan sebelumnya, persis yang dia bayangkan terhadap Ethan. Pria di hadapannya itu akhirnya meminta hal yang setimpal. “Kalau aku harus ganti es kopimu juga, aku gak akan mau kamu belikan buku pengganti!” protes Yunri. Yunri merogoh saku celananya. Berharap mendapatkan uang dari tiap kantung yang melekat di badannya. Seingatnya, dia mendapat kembalian dari pembelian buku yang sudah dirusak Ethan, tetapi harapannya sirna. Tidak ada sesuatu yang dia dapat sebagai alat tukar selain uang koin perak pecahan lima ratus rupiah. Jumlahnya tidak lebih dari enam keping atau setara dengan tiga ribu rupiah kalau ditotal. “Aku gak pegang uang saat ini!” ucap Yunri jujur. Ethan melengos asal-asalan. “Gak apa, aku hanya bercanda aja. Bye!
Rosie sudah terlarut dalam pekerjaannya sebagai seorang manajer, urusan percintaan bahkan sudah tidak terpikir lagi di balik tempurung kepalanya. Hal yang membuatnya tetap bersemangat hanyalah pekerjaan dan rutinitas di balik kursi manajer. Akan tetapi, hari ini Rosie sengaja mengambil cuti seharian. Pagi-pagi ketika matahari sudah mulai meninggi, Rosie mengawali paginya dengan secangkir kopi di balkon sembari menjatuhkan mata pada pemandangan kota di depannya. “Yo, selamat pagi, Kak Ros!” sapa Ethan. Pemuda itu baru datang dari luar dengan kaos yang basah di bagian punggung karena keringat. Celana training dan sepatu sport merk terkenal menjadi alas kakinya. Napasnya masih sedikit berat karena efek olahraga. “Darimana aja kamu?” Rosie menoleh. Memandangi adiknya yang sedang mengeringkan leher dengan handuk. “Udah jelas aku berkeringat begini. Ya
Tidak sampai dua jam mereka berada di rumah Om Clayton, mereka pamit pulang dengan alasan menghindari kemacetan lalu lintas kota. Akan tetapi, kepadatan lalu lintas kota metropolitan memang tidak dapat dihindarkan. Rosie harus memelankan laju kendaraannya begitu memasuki jalanan kota Jakarta yang padat. “Pergi macet, pulang juga macet!” keluh Ethan. Ethan bahkan nyaris tidak dapat mengedarkan pandangan ke hal yang menyejukkan mata. Selain pemandangan sekumpulan besi yang melaju sekena pengendalinya yang tepat ada di depan matanya itu. “Ternyata memang lebih baik di Kota G,” imbuh Ethan. Rosie memasang kacamata hitam, menghalau cahaya yang menyilaukan mataya tanpa memerdulikan adik lelaki yang nyeloteh tentang lalu lintas. “Kakak, ngomong-omong apa dengan minta bantua Om Clayton itu gak berlebihan?” tanya Ethan pada kakak perempuannya itu. “Berlebihan gimana?” Rosie melirik ke kaca spion seraya menjawab pertanyaan Ethan dengan pertanyaan. “Maksudku, jarang sekali Kak Ros minta
Musik mengalun kencang di bar itu. Lampu remang-remang bergonta ganti warna menyentuh kulit siapa saja yang ada di bawahnya. Para pengunjung yang asik menggoyangkan tubuh mengikuti alunan musik yang dimainkan oleh DJ. Mario meneguk minuman beralkohol di sebelah wanita yang mengenakan dress seksi ditemani oleh seorang pria yang menggoda gadis satunya yang juga duduk di sofa.. Meski hanya sesekali pergi ke sana, tempay itu adalah pelarian Mario pasca hubungannya kandas dengan Rosie. Tempat membuang semua kekalutan pikirannya. “Kamu tahu kan Lee. Ayahku lebih percaya Rosie yang memegang jabatan daripada aku. Terlebih lagi, sekarang sangat sulit karena aku tidak berhasil menikahi wanita itu.” Mario mengeraskan suaranya yang kalah oleh music agar terdengar oleh Lee. “Itu salahmu sendiri menuduhnya macam-macam. Padahal tidak ada bukti,” komentar pria keturunan Korea Selatan yang juga sahabat masa kecilnya itu. Lee Jung Gi, pria keturunan Korea Selatan. Ayahnya merupakan teman baik
Tengah malam, Mario datang ke apartemen Rosie. Mengetuknya dengan keras dalam keadaan mabuk karena alkohol. “Rosie! Rosie!” Pintu apartemen Rosie digedor dengan keras. Beberapa tetangga yang masih terjaga keluar untuk melihat siapa yang membuat gaduh malam-malam begini. Ethan yang menggunakan sofa sebagai tempat tidurnya sontak terbangun dari mimpinya yang indah. Dia menggeliat sejenak, menguap kemudian berjalan menuju pintu dengan mata sayu. “Rosie! Rosie! Buka!” “Hoaahem. Siapa sih malam-malam begini!” gerutu Ethan. Ethan memincingkan mata, mengintip dari interkom siapa manusia tidak beretika yang mengganggu menggedor pintu apartemem tengah malam dan mengganggu ketenangan. Pupil mata Ethan langsung melebar, mendapati Mario yang tampak sempoyongan di depan pintu. Tanpa pikir panjang, Ethan membukakan pintu apartemen. Begitu pintu apartemen terbuka, Mario menyemburkan muntahannya hingga mengotori piyama biru langit bermotif bintang yang melekat di badan Ethan. Sesaat kemu
Beberapa pasang mata di ruangan departemen pemasaran memandang Mario sinis saat dia keluar dari ruangan manajer. Berhasil membuat asisten pemimpin mereka terheran-heran. Mereka baru kembali bekerja saat Mario berkata, “Lihat apa? Kembalilah bekerja!” bentaknya. Setelah mengeluarkan kekesalannya, Mario duduk di kursi hidrolik. Memandang layar laptop dan mulai menggerakkan jari di atas keyboard. Sebagai asisten, Mario sebisa mungkin melakukan yang terbaik. Hal itu dia lakukan bukan semata-mata agar departemen pemasaran bisa berkembang denga baik di bawah kepemimpinan Rosie melainkan agar dipandang jika dia pantas untuk menduduki jabatan ayahnya. Baru sebentar Mario duduk di kursi hidrolik, kantong kemihnya terasa penuh dan harus segera dikeluarkan. Dia beranjak dari tempat duduknya kemudian melanggang ke kamar mandi. “Padahal mereka itu sudah putus tapi, Pak Mario masih aja dekat sama Bu Rosie,” wanita yang mejanya tepat di sebelah Mario mulai menggosip. “Gimana bisa jauh, hubun