Rosie Sarfosa duduk di kursi hidrolik sambil melipat tangan ke dada. Wanita berparas oriental itu sudah menginjak usia dua puluh sembilan tahun beberapa bulan lalu. Usia yang tidak bisa dikatakan tua dalam menduduki jabatan manajer. Hari ini, dia sedang memusatkan fokus sampai dahinya mengerut dalam memikirkan rencana pemasaran untuk Youth Serum, sebuah produk kecantikan yang baru saja launching sebulan. Sesekali dia membuka laporan penjualan di dalam layar komputer. Tangan dengan jari lentik itu lihai memainkan tetikus sambil menggigit ibu jari kanan yang lentik kemudian mereview satu persatu grafik penjualan produk.
Tidak hanya itu yang Rosie lakukan, Rosie juga mencatat hasil review di notebook dan menyiapkan presentasi untuk rapat direksi. Hal itu selalu dilakukan Rosie setiap awal dan akhir bulan. Belum lagi urusan lainnya seperti menetapkan tujuan dan sasaran jalannya operasional perusahaan. Setiap strategi penjualan kepada konsumen pun harus dia pikirkan matang-matang untuk bahan analisa terhadap pangsa pasar. Pekerjaan seperti itu saja membuat dirinya jenuh. Akan tetapi, itu sudah tugasnya sebagai seorang yang duduk di kursi manajer pemasaran.
"Permisi!" Suara seorang pria dari luar setelah pintu ruangannya diketuk.
"Masuk!" perintah Rosie.
Pria dengan setelan kemeja warna biru, celana hitam kain dan pantofel dengan potongan rambut cepak masuk ke ruangan Rosie. Sebuah map biru di tangan dia sodorkan begitu dia berdiri di hadapan Rosie.
"Ada beberapa dokumen yang harus kamu tanda tangani,” ucap pria itu.
"Tidak bisakah kamu nunjukin sedikit rasa sopanmu kepada atasan?" Rosie menatap pria itu lurus-lurus.
"Maaf!" Pria berwajah oriental khas Asia Timur itu menundukkan kepala, menyadari kesalahannya kepada Sang Manajer.
Rosie menerima map dengan perasaan kesal. Tangannya meraih benda kecil panjang dari lepitan blazzer kemudian menandatangani selembar kertas yang di dalam map setelah membaca sekilas kemudian mengembalikannya.
"Apa kita gak bisa perbaiki-,"
"Saya pulang duluan, hari ini cukup lemburnya." Rosie memotong kata-kata pria tersebut sembari berdiri lalu melenggang.
"Kerja keras yang bagus hari ini!" Rosie memberi pujian pada seluruh staff divisi pemasaran. Mereka bekerja tepat di depan ruangan Rosie yang hanya dibatasi dengan kaca, jadi Rosie bisa mengawasi apa yang dilakukan mereka. Sambil menyunggingkan senyum, Rosie memberi semangat seperti itu pada beberapa karyawan yang lembur.
"Tepuk tangan untuk kita hari ini!" Rosie lalu megadu kedua telapak tangannya. Sesaat kemudian, ruangan itu riuh karena tepuk tangan dan seruan.
Pria yang tadi di ruangan Rosie pun entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Rosie, ikut larut dalam suasana.
Rosie menaiki mobil sedannya, menginjak pedal gas, melajukan mobil di jalanan ke arah apartemen miliknya di kawasan hunian elit kota G. Sepanjang perjalanan dia sesekali memikirkan pria yang masuk ke ruangannya tadi.
Pria itu adalah Mario Minoru, calon suami yang gagal Rosie nikahi karena sebuah kesalah pahaman yang terjadi di kantor tepat sebulan sebelum hari pernikahan mereka. Waktu itu, Rosie diangkat menjadi manajer pemasaran namun, Mario menganggap Rosie mendapat posisi tersebut karena "penghiburan" yang Rosie berikan pada direktur. Begitulah rumor yang tersebar di kantor, padahal semua itu adalah hasil kerja keras Rosie sendiri saat menjadi supervisor, dia melakukan yang terbaik sekuat tenaga.
Meskipun di dadanya Rosie menyimpan rasa sakit hati pada Mario, wanita itu harus bertindak profesional di kantor. Mengesampingkan urusan perasaan dan fokus pada pekerjaan. Setiap kali Mario mengajaknya makan di luar jam kantor, Rosie selalu menolak dengan berbagai alasan. Wanita itu selalu saja menghindari obrolan pribadi di luar topik pekerjaan apabila kebetulan sedang perjalanan bisnis dengan Mario.
Mobil Rosie sudah memasuki area parkir apartemen. Setelah memarkir mobilnya dia menaiki lift untuk sampai ke lantai 4. Keluar dari lift, ia menuju ruang nomor 402. Dia terperangah ketika mendapati pintu apartemennya sedikit terbuka. Karena takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak, dia segera masuk ke dalam berniat mengecek keadaan di dalam.
"Eh, Bu Manajer sudah pulang!" seru seseorang dari dapur. Mendapati adiknya di sana, kedua mata Rosie membeliak, kebingungan. Sudah empat tahun, dia tidak bertemu dengan adik laki-lakinya itu.
"Kapan kamu kembali dari Jepang?" Rosie meletakkan tas di atas meja tamu lalu berjalan menghampiri adiknya.
"Baru aja-,” Ethan melihat arlojinya-."ya, sekitar 30 menit yang lalulah kira-kira," imbuh pemuda itu.
"Kenapa gak minta dijemput?" Rosie menuangkan air ke gelas dari keran dispenser.
"Aku gak mau ngerepotin, lagian Kakak pasti sibuk."
Rosie kemudian menenggak cairan bening itu hingga tandas. Gelas kosong bekas minumnya pun diletakkan dengan kasar.
"Oh iya, gimana kamu bisa masuk?" Rosie memincingkan mata. menaruh curiga kepada Ethan.
"Ah, soal itu, kayaknya Kakak gak ngunci pintu. Udah kebuka sedikit waktu aku datang. Entah apa jadinya tempat tinggalmu ini kalau aku gak segera tiba,” terang Ethan
Ethan merasa bangga bak pahlawan kampung yang menyelamatkan tempat tinggal seseorang dari upaya kemalingan.
Mendengar penjelasan Ethan, Rosie kemudian diam. Wajah wanita itu memerah menyadari dirinya seteledor itu. Demi menyembunyikan rasa malu pada Ethan, dia berkata ketus, “Kalau mau kopi, buat sendiri!” Lalu melangkah ke kamar.
“Sikap dinginmu itu masih gak hilang juga, ya. Kita udah gak ketemu lima tahun, masak gak ada niatan seduhin adiknya kopi?" protes Ethan.
“Apa kamu gak kangen aku?’’ bisik Ethan. Dia mendekap tubuh kakaknya erat-erat dari belakang.
“Lepasin! Kamu ngapain, sih? Mending kamu mandi sana, badan kamu bau!" Rosie meronta sekuat tenaga namun, dekapan Ethan semakin erat. Semakin Rosie meronta, semakin erat Ethan memeluk badannya yang ramping.
Rosie berhenti meronta ketika matanya menyorot noda merah di punggung tangan Ethan.
“Kamu habis ngebunuh?” tuduh Rosie.
“Apa maksudnya?”
Rosie menarik tangan Ethan kuat-kuat kemudian mengangkatnya. Dengan begitu, dia berhasil melepas dekapan Ethan.
“Ini apa?” Rosie mendelik.
“Waduh, pasti sisa darah korban kecelakaan tadi.” Ethan mengempas tangan Rosie yang kurus, pergi ke balik konter dapur dan mencuci tangannya dengan air mengalir di water sink.
“Menolong korban kecelakaan itu merepotkan,” keluhnya Ethan sembari menekan botol sabun cuci piring beraroma lime.
“Itu tugasmu sebagai dokter. Jangan ngeluh!”
Rosie melangkah ke kamar dengan kesal. Sementara, Ethan hanya tersenyum.
Sejak perceraian kedua orang tua mereka sepuluh tahun lalu, kepribadian Rosie yang ceria dan hangat mendadak berubah menjadi dingin, sifat yang suka bercanda pun hilang entah kemana. Rosie sudah kehilangan selera humornya sejak saat itu. Dia berubah menjadi gadis dengan ambisi dan selalu serius dalam hal apapun. Prinsip hidup Rosie sudah bulat sejak saat itu, entah apa yang merubahnya. Bahkan Ethan lupa kapan terakhir kali melihat senyum Rosie untuk dirinya. Walaupun Ethan tidak menyukai kehidupan yang terlalu serius seperti Rosie, dia tidak pernah sekalipun menertawakan prinsip hidup Rosie. Sementara, Ethan berjalan dengan prinsip hidupnya sendiri, “Hidup akan indah jika dibawa santai.”
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”