Share

Ms. Manager And Her Brother
Ms. Manager And Her Brother
Author: Ursa Mayor

Ethan Pulang

  Sinar matahari menyengat kulit orang-orang yang berkerumun di jalanan Kota G. Baru saja terjadi sebuah kecelakaan tunggal. Korbannya adalah seorang pengendara sepeda motor. Di antara kerumunan itu, seorang pria berwajah tirus dengan potongan rambut  undercut, berpakaian musim dingin sedang berjongkok di samping pria yang menjadi korban kecelakaan tunggal. Dengan sigap, pria itu memeriksa pupil korban. Saat dia merasakan terjadi pendarahan pada bagian lengan korban, dia segera memposisikan lengan korban  lebih tinggi dari jantung.

“Seseorang, tolong panggilkan ambulans!” teriakknya ke arah kerumunan.

     Beberapa dari mereka kemudian mengeluarkan smartphone secara bersamaan.

“Cukup satu saja yang panggil ambulans!” Pria itu membentak. Melihat reaksi dari mereka yang menggenggam smartphone kuat-kuat, dia lantas merebut salah satu ponsel dari tangan wanita berpakaian kantoran. Menekan tombol kemudian berkata setelah sambungan terhubung

“Halo, ambulans. Telah terjadi kecelakaan lalu lintas di Jalan Raya Habitat, Kota G.  Kondisi korban saat ini mengalami pendarahan pada pelipis dan kemungkinan luka dalam dan perlu penanganan lebih lanjut.”

[Baiklah, kami akan mengirim ambulans segera]

    Dia mengembalikan ponsel kepada pemiliknya kemudian menekan-nekan dada korban, segera dia menjampit hidung dan memberi napas buatan. Sesaat kemudian, dada pria itu mengembung,  dia kembali melakukan resusitasi jantung, mengulangi menekan-nekan jantung sambil sesekali memberi napas buatan. Tidak lama, pria itu terbatuk-batuk. Mereka yang berkerumun pun bersorak lega. Memuji pria itu bak pahlawan yang datang entah dari mana.

   Suara sirine ambulans mendekat. Setelah sampai di tempat kejadian, mobil berwarna putih dengan tulisan nama rumah sakit berhenti tepat di tempat kejadian. Empat orang petugas medis yang salah satunya adalah dokter turun dari bagian belakang mobil, lengkap dengan tandu.

    Tubuh pria yang tergeletak di trotoar  itu kemudian diangkat dengan hati-hati ke atas tandu, dipindahkan ke dalam mobil ambulans. Salah seorang petugas menutup bagian belakang mobil setelah rekannya masuk begitu juga dengan korban kecelakaan. Dia berlari bergegas masuk ke dalam mobil. 

Suara sirine dari mobil ambulans seolah memecah kota. Begitu mobil itu melaju, kerumunan manusia itu membubarkan diri, menyebar ke segala arah, melanjutkan ke tempat tujuan yang sempat tertunda.

     Tidak jauh dari tempat itu, seorang gadis penjual burger  sedang membersihkan meja bersama seorang rekannya yang sedang sibuk membersihkan konter truk. 

“Setiap bulan ada aja yang kecelakaan di perempatan itu, ya,” ucap gadis berparas ayu. Tubuhnya ramping semampai. Namanya Yunri Han, gadis yatim-piatu yang hidup seorang diri selepas meninggalkan panti asuhan. Ibunya meninggal saat dia masih kecil sedangkan ayahnya pergi entah kemana. Berita terakhir yang dia dengar adalah ayahnya bekerja untuk seorang kaya di kota G.

“Yah, tontonan seru untuk kita,” jawab rekannya yang berambut keriting dari balik konter.

“Hus! Kalau ngomong jangan sembarangan. Masa musibah orang kamu anggap sebagai tontonan.” Yunri nyeletuk kesal.

“Oh ya, bagaimana anak-anak di Yayasan itu?” tanya rekannya lagi. 

     Tirta, begitulah rekan Yunri dipanggil. Pria itu adalah pemilik waralaba Burgerdel. Mereka berdua dulu teman satu panti asuhan. Setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu Yunri mencari uang tambahan di kedai burger milik Tirta. 

“Seperti biasanya. Tapi, kamu tahu Le Regar, kan? Anak itu masih bermasalah dengan tulisannya.”

    Pria yang tadi menolong korban itu memandang bagian belakang ambulans yang semakin menjauh. Suara sirinenya pun semakin samar terngiang di telinga. Lambat laun, mobil itu menghilang dari pandangan matanya, dia mencangklong ranselnya. Melanjutkan perjalanan sembari menarik koper.

     Ethan Darius, itulah nama pria yang menolong korban kecalakan tunggal tadi. Pria berusian dua puluh enam tahun itu baru saja tiba di Indonesia setelah menempuh pendidikan dokter di salah satu universitas ternama di Jepang selama empat tahun. 

    Ethan memasuki lift di sebuah gedung apartemen mewah. Dua orang pria yang juga ada di lift bersama Ethan memandangnya dengan tatapan aneh. Bukan karena Ethan tampan atau karena kedua pria itu tertarik kepada sesama jenis melainkan, cara berpakaian Ethan yang membuat Ethan bagaikan benda antik. Maklum, di Jepang saat ini sedang musim  dingin sehingga Ethan pergi dengan pakaian musiman. Akan tetapi, Indonesia adalah negara tropis, musim dingin dan pakaiannya adalah hal yang tabu. Wajar saja, dia menjadi pusat perhatian di lift itu. 

   Pintu lift pun terbuka, Ethan dan dua pria tadi keluar beriringan. Mereka berpisah di lorong. Ethan mengambil jalur kiri di ujung lorong kemudian berdiri di depan kamar apartemen nomor 402. Tangannya gamang memencet bel apartemen tempat tinggal kakak perempuannya. Dia ingin segera melepas kerinduan dengan kakak.

    Hanya dengan sedikit dorongan yang tidak sengaja, pintu apartemen yang dia kira terkuci itu melebar, terbuka menyambut Ethan. Tidak ada siapapun di dalam sana bahkan, sosok perempuan yang dia rindukan.

     Ethan menyeret koper, masuk lebih dalam ke bagian tengah hunian kakaknya. Matanya takjub, disuguhi pemandangan apartemen luas dengan furnitur mewah di dalamnya. Dapur yang menyatu dengan ruang tamu tanpa sekat menambah kesan minimalis namun tetap mewah. 

“Dasar ceroboh!”  celetuk Ethan begitu melihat hunian kakaknya sepi. Dia kemudian masuk, menyeret tas lalu melempar badan ke atas sofa kulit berwarna biru muda, melepaskan rasa lelahnya di sana.

    Bertahun-tahun tinggal di negeri yang menerapkan tingkat kedisiplinan tinggi tidak lantas membuat Ethan membawa kebiasaan itu ke Indonesia. Dia bahkan ingin merasakan bagaimana nikmatnya melanggar aturan dan bertingkah semaunya. Sekarang, dia terbebas dari belengu aturan kedisiplinan. 

   Pulang ke Indonesia adalah hal paling diinginkan Ethan. Dia sudah rindu dengan wajah kakaknya yang asli. Selama ini hanya berkabar lewat video call dan itu pun singkat jika ada keperluan. Rosie terlalu sibuk untuk meladeni candaan Ethan yang bagi Rosie hanya basa-basi. 

    Perjalanan dari Tokyo-Jakarta yang memang menguras tenaga padahal hanya duduk dalam pesawat. Ethan melepas pakaian musim dingin yang tentu saja sudah tidak cocok lagi dengan iklim Indonesia yang panas. 

  Melempar pakaian itu sembarangan lantas merebahkan diri di sofa untuk melepaskan penatnya. Dia juga menyalakan AC yang ada di ruang tamu  itu. "Ah, kimochi!" Ethan merasakan udara yang berembus dari AC. Sejuk dan begitu nyaman. 

   

    Sesaat setelah merasakan hawa dingin yang menerpa seluruh tubuhnya, Ethan pun berpikir bagaiaman akan menyambut kakak perempuannya nanti. Sekadar memberi kejutan tapi, meskipun Ethan memberi kejutan nantinya, kakak perempuannya pasti hanya akan memasang ekspresi datar. 

   

   

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
keren Kak bagusss lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status