"Ha-ha-ha," Malik tertawa lebar melihat Diana terjatuh ke dalam kolam. Begitu pun Arvan yang menatap gadis itu tanpa ekspresi.
Tawa Malik berubah seketika saat melihat Diana yang meronta di dalam air. Sesekali tenggelam, muncul ke dasar sampai akhirnya benar-benar tenggelam.
Arvan menyadari ada yang salah. Ia segera melepas jas hitamnya dan menceburkan diri ke dalam kolam. Arvan menuju Diana yang sudah tak sadarkan diri di dasar kolam dengan kedalaman dua meter itu. Ia menarik lengan Diana dan membawanya ke permukaan.
"Van, sini aku bantu!" kata Malik yang membantu mengangkat tubuh Diana ke pinggiran.
Arvan kembali mendekati Diana yang pingsan. Ia menepuk-nepuk pipi tirus gadis itu. "Diana, bangun!" kata Arvan.
Malik panik dan berlari mencari Heksa. Pria berkumis tipis ini menemukan Heksa tengah bersama ayahnya, kedua orang tua Arvan dan orang tua Diana.
"Aseeek. Ada yang lagi kasmaran," ledek Malik."Kamu pergi aja! Aku tarik ucapanku kembali." Arvan kesal."Tapi aku gak bisa narik pendengaranku kembali, Van. Mulutmu bisa saja bilang begitu. Tapi aku tau kalo kamu itu mulai suka sama Diana.""Tau apa kamu tentang cinta? Bukankah kamu belum pernah punya pacar?""Aku gak bilang cinta. Aku kan cuma bilang kalo kamu mulai suka sama Diana. Paham gak paham gak? Paham lah masa gak!""Udahlah! Sana pergi!""Tega banget suruh aku ke sini cuma buat diusir!"***Keesokan paginya Diana datang ke kantor dengan taksi. Heksa belum bisa menjemputnya sedangakan sepedanya masih terparkir di kantor. Ia masuk ke kawasan kantor dan masuk ke ruang cleaning service."Pagi semua," sapa Diana pada rekan-rekannya yang sudah datang."Pagi, Di. Cerah ba
Arvan mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Ia segera keluar ruangan dan meninggalkan Malik yang tengah duduk dan akan memberikan laporan harian.CEO dingin ini melangkah begitu terburu-buru. Setiap karyawan yang berpapasan dengannya selalu menyapa atau sekedar memberi senyum. Meskipun mereka tahu bahwa Arvan tidak akan menghiraukannya.Di lantai bawah, Arvan berpapasan dengan Diana yang hendak menuju kantin untuk melihat menu makan siang. Tiba-tiba Arvan menarik lengan Diana dan membawanya keluar."Pak, ada apa?" tanya Diana bingung dan malu karena menjadi pusat perhatian para karyawan yang melihatnya.Arvan seolah tak sadar dengan tindakannya. Ia menghentikan langkah ketika dua security di depan menghampirinya karena mengira Diana tengah melakukan kejahatan."Ada apa, Pak?" tanya salah seorang security."Apa?" Justru Arvan bertanya balik. Ia melepas
Jam makan siang telah datang. Malik mengajak Arvan untuk ke kantin kantor. Namun, pria dengan rambut hitam berjambul ini menolaknya dan mengatakan jika makan siang mereka akan di antar oleh Diana."Oh, begitu. Baguslah. Gak perlu capek-capek ke gedung belakang," kata Malik.Benar saja. Diana datang membawa 3 porsi makan sesuai dengan permintaan Arvan. Gadis itu meletakkan dua tiga nampan berisi nasi putih, lauk, sayur, serta potongan buah-buahan di meja tamu yang ada di ruangan CEO itu."Sudah, Pak. Permisi," kata Diana."Duduklah!" perintah Arvan."Iya. Aku udah duduk, Van," jawab Malik."Bukan kamu," ucap CEO angkuh itu."Diana?" Malik menunjuk Diana yang berdiri."Iya.""Saya, Pak?" Diana bertanya untuk meyakinkannya lagi."Iya kamu. Duduk dan makanlah bersama kami."
Malik segera meluncur menuju ruangan Arvan. Pintu yang terbuka ditutupnya rapat-rapat agar tak ada karyawan lain yang melihatnya.Pria berkumis tipis ini berlari dan melerai Heksa sebelum baku hantam terjadi. "Sa, slow ... ada apa ini?" Malik pura-pura tidak tahu."Jelasin, Van! Apa yang kamu beri ke Diana!" bentak Heksa setelah Malik berhasil menarik tubuh Heksa menjauh dari Arvan.Arvan dengan santai membetulkan dasinya. Sambil berpikir apa yang harus ia katakan kepada Heksa. "Sa, dengerin penjelasan aku dulu," kata Arvan sambil mendekati Heksa yang masih emosi."Apa? Mau jelasin apa?""Aku nganggap Diana seperti teman kecilku. Aku pernah cerita ke kamu tentang Diana temanku kan? Sampai saat ini aku belum pernah bertemu dengannya. Aku ingin ketemu dia, Sa.""Apa hubungannya kamu kasih sepatu sama Diana milikku?""Maaf. Entah kenapa aku
Heksa mengabarkan berita ini melalui pesan kepada Diana. Namun, dua centang abu tak juga berubah biru. Akhirnya pria yang masih dalam suasana berduka ini memutuskan untuk berpamitan dari ruangan CEO. Ia mengatakan akan pulang. Padahal, tujuannya adalah mencari Diana di ruangannya.Heksa bergegas sebelum Arvan tahu. Ia mencari Diana di ruang cleaning service akan tetapi hanya ada OB yang tengah beristirahat. Dua puluh menit sudah Heksa menunggu Diana sampai akhirnya ia melihat gadis itu tengah berjalan menuju ruangannya.Heksa melambaikan tangan, memberikan kode kepada Diana agar gadis itu mempercepat langkahnya."Ada apa, Sa? Kamu belum pulang?""Di, Arvan sama orang tuanya mau makan malam di rumah kamu.""Serius kamu?""Iya. Tadi ibunya Arvan sendiri yang bilang.""Ya udah, deh. Nanti aku bakal ngumpet.""Maaf,
Diana tak ingin dirinya kelaparan. Ia tak mungkin keluar dan makam malam dengan keluarga Arvan. Ia mengambil makanan serta sebotol air minum lantas dibawanya ke kamar."Mih, jangan bilang kalo aku di rumah!" teriak Diana dari depan pintu kamarnya.Ia segera mengunci kamar itu dan menikmati makan malam di atas kasur. Ia sengaja menghibur diri dengan menikmati suapan demi suapan nasi beserta lauknya sambil menonton drama korea favoritnya. Drama yang sudah ditonton Diana berulang kali akan tetapi belum bosan juga karena salah satu aktor favorit Diana menjadi pemeran utamanya.Mata Diana berkedip cepat. Ia melihat sosok pemain dalam drama yang sedang ia tonton berubah menjadi sosok Arvan. "Kok jadi Arvan, sih!" Diana meletakkan piringnya di atas bantal dan mengambil ponselnya. Ia melihat layar dari dekat dan baru menyadari jika pemain dalam drama bukanlah si beruang kutub."Payah! Kenapa aku jadi gini? P
Arvan mengendarai mobil dengan terus tertawa. Seolah tak menganggap kedua orang tuanya duduk dibelakang."Van, kita ke rumah sakit dulu sebentar ya!" ucap Hutama."Jam segini? Emang ayah ada janji sama dokter Tio?" tanya Wulandari."Gak, Bu. Ayah pengin periksain Arvan ke psikiater.""Ayah jangan gitu dong! Kayak Malik aja. Waktu itu juga suruh Arvan periksa kejiwaan," sahut Arvan."Bener si Malik. Kamu itu belakangan ini aneh, Van," sambung Hutama."Menurut ibu gak aneh, Yah. Tapi kayak lagi kasmaran.""Ih, ibu apaan!""Terus kenapa nyetir sambil ketawa sendiri? Emang ada yang lucu?""Arvan lagi ngebayangin Diana buka kadonya, Bu. Pasti dia seneng.""Kamu kasih kado apa, sih?" tanya Wulandari."Rahasia."***"Mamih, Papih, Mbok
"Apa sih, Bu?" Hutama bangun dengan terkejut."Arvan sepertinya emang perlu ke rumah sakit, Yah. Kata bibik tadi dia aneh."."Aneh gimana?""Bik, sini jelasin!" Wulandari meminta pembantunya untuk menjelaskan.Dengan jelas dan lancar, pembantu itu menjelaskan sejak awal. Dari pertama meminta plastik, tersenyum, tertawa, membawa laba-laba hingga pergi ke kantor membawa bekal."Biar nanti ayah ke kantor dan liat Arvan di sana!""Ikut, Yah!" rengek Wulandari."Iya, Bu."***Arvan sampai di kantor pukul 06.00. Hanya ada dua security yang tengah berjaga di pintu masuk. Ia dengan santai berjalan membawa laba-laba itu ke ruangannya.Dibukanya ikatan kantong plastik bening berisi sebelas laba-laba beserta sarangnya. Arvan mengambil sarang yang telah menggumpal dan lengket di tangan. Ia menaruh sara