Pras menyatukan telapak tangannya di depan wajah, dengan kedua siku yang bertumpu di atas meja. Menatap tajam sekaligus dingin pada Sinar, karena ucapan wanita itu.
“Yakin?”
“Ya—kin …” namun intonasi yang dilontarkan Sinar sungguh tidak meyakinkan sama sekali. Apa yang diucapkan, sungguh tidak sejalan dengan hatinya yang masih saja gamang.
“Tanggal sudah ditetapkan, gedung dan dekorasi sudah dirancang. Undangan juga sudah meluncur di percetakan. Cobu buka hapemu, hitung dengan kalkulator, berapa biaya yang sudah dikeluarkan sejauh ini. Kamu mau ganti itu semua?”
Sinar berdecak pasrah dengan wajah memberengut. Menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dengan perasaan kesal. Tidak bisa membayangkan, berapa uang yang sudah digelontorkan Pras untuk membiayai semuanya. Terlebih, acara mereka akan berlangsung dalam sepuluh hari lagi, pastinya, uang yang dikeluarkan juga lebih extra karena tenggat waktu yang sangat sempit.
“Tapi, Mas. Orang nikah itu
Eh, kok doubel up, hehe ... soalnya saia gak bisa janji up buat besok ya! saia usahain tapi gak jannnjiii. Karena ada yang harus diurus di dunia nyata besok. Oia, mampir dund di 'Sexiest Journalist' baru bisa dibuka di web, goodnovel.com, belum masuk ke aplikasi. Numpang promosi~~ Thankizmucch~
Hari pernikahan keduanya hanya tinggal menghitung hari. Namun, Pras masih betah berlama-lama di Singapura. Sedangkan Sinar,menguatkan diri untuk tidak menghubungi pria itu, meskipun pikirannya penuh dengan semua rasa curiga. Entah mengapa, Sinar yakin, kalau calon suaminya itu tengah berkangen ria dengan Gina di sana.Rasa gengsinya yang begitu besar itu lah, yang membuat Sinar enggan menghubungi Pras. Lagi pula, hal yang sama juga dilakukan oleh pria itu. Selama berada di Singapura, Pras juga tidak pernah sekali pun menghubungi Sinar.Jadi wajar, kan, kalau pikiran Sinar sudah berlarian ke mana-mana."Aww! Bund, kecucuk!" Sinar mengeliatkan tubuhnya, untuk menghindari tusukan jarum pentul yang tidak sengaja menyentuh kulit pinggulnya.Sinar tengah melakukan fitting gaun pengantin yang akan dikenakan di hari pernikahan nanti. Kalau dulu, ketika menikah dengan Bintang, baik akad maupun resepsi, Sinar mengenakan kebaya modern yang sangat elegan.
Begitu Pras menurunkan tubuh Sinar di kamar hotel khusus pengantin baru, yang akan mereka tempati, manik wanita itu langsung mengarah pada beberapa paper bag yang berjejer di sofa. Menyingkap tinggi rok gaun pengantinnya lalu menghampiri, dan melihat isi paper bag tersebut, satu persatu.“Yang lainnya, sudah dibawa pulang ke rumah,” ujar Pras menghampiri Sinar dan berdiri di sebelahnya. Melihat sang istri membolakan maniknya, ketika mengangkat secarik kain tipis berenda yang sangat tipis menerawang.“Apa aku harus pake ini?” Sinar meletakkan kembali lingerie yang baru saja di ambilnya ke dalam paper bag yang berwarna ungu. Kemudian, Sinar merogoh paper bag di sebelahnya, dan mengambil barang yang sama, hanya saja dengan model dan warna yang berbeda.Karena Sinar sudah pernah menikah sebelumnya, maka, ia tidak awam dengan gaun seksi seperti itu. Tentunya, dahulu kala, Sinar juga memiliki beberapa koleksi gaun tidur seperti itu di lemarinya
“Sinar …” Pras menepuk pundak terbuka sang istri, yang masih tertidur pulas. Separuh bertelungkup seraya memeluk guling. Satu jam sebelumnya, Pras sudah bangun lebih dahulu, dan telah membersihkan seluruh tubuhnya dari sisa-sisa percintaan panas, yang baru mereka akhiri beberapa jam yang lalu. Pras pun sudah memesan sarapan untuk keduanya. Lantas, Pras baru membangunkan Sinar, ketika seluruh pesanannya telah diantar di kamar dan ditata rapi pada meja yang ada di balkon. “Sinar, bangun,” ujar Pras sekali lagi. Sinar menggumam kesal. Ia merasa baru saja menutup mata, tapi sudah dibangunkan begitu cepat. “Sinar, bangun! Atau aku lempar kamu ke bathub!” seru Pras dengan ancaman yang sukses membuat tubuh Sinar sedikit bergerak. Sinar kembali menggumam, tapi kali ini lebih panjang dan terdengar lelah. Melepaskan pelukannya pada guling lalu bertelentang. Namun, matanya masih terpejam. “Aku masih ngantuk, Maaas … mataku lengket,” desah
Sejak keluar dari hotel dan selama perjalanan menuju Raja Ampat, yang dilakukan Sinar hanya lah tidur. Begitu bokongnya menyentuh sesuatu untuk diduduki, kedua matanya sudah otomatis terpejam. Meletakkan kepalanya untuk bersandar di tubuh Pras. Benar-benar tidak kuat menahan kantuk, karena ulah sang suami yang membuatnya tidak dapat menikmati tidur dengan lelap. Begitu memasuki resort yang sudah di sewa sebelumnya oleh Aida, yang segera di cari oleh Sinar adalah tempat tidur. Setengah berlari, kemudian menghempas tubuhnya di atas ranjang dengan bertelungkup puas. Meluruskan pinggang dan meregangkan tubuhnya dengan helaan panjang. Beruntung, Sinar dan Pras sudah menyempatkan makan ketika pesawat tiba di Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua Barat. Setelah itu, barulah mereka menempuh perjalanan via laut menuju Raja Ampat. Jadi, Sinar bisa langsung melelapkan tubuh penatnya, tanpa harus merasakan kelaparan yang bisa saja tiba-tiba melanda. “Kamu mau tidur l
Sungguh bulan madu yang sangat melahkan bagi Sinar. Lima hari yang menguras tenaga, begitu pun dengan emosinya. Menyesuaikan diri dengan Pras, ternyata lebih sulit dari pada dengan Bintang dahulu kala.Rasanya wajar, jika sebagai manusia, Sinar membandingkan Pras dengan Bintang. Meskipun di dalam hatinya tidak memiliki tujuan apa pun. Hal itu hanya dilakukan untuk memuaskan rasa kesal di dalam hati, karena tidak tahu harus menumpahkannya kepada siapa.Bintang, merupakan pendengar yang baik dan selalu menanggapi semua ucapan Sinar, sekecil apa pun. Sedangkan bersama Pras, pria itu benar-benar memiliki egoisme yang tinggi. Pras tidak jarang memaksakan seluruh kehendaknya kepada Sinar. Hingga mereka kerap melakukan perdebatan yang hanya berujung kesal.“Aku mau pulang ke rumah bunda besok,” ucap Sinar ketika baru memasuki mobil yang menjemput mereka di Bandara Soekarno-Hatta.“Hm,” Pras hanya menjawab sang istri dengan gumaman singkat
“Oke kalau begitu, kita ketemu lagi besok lusa, permisi,” ucap Pria dengan penampilan parlente berkumis tipis kemudian berdiri. Mengakhiri sebuah pertemuan untuk membahas sebuah kasus perebutan sengketa lahan yang terjadi di dalam perusahaanya.Setelah pria tua itu menjauh, ada helaan panjang diikuti gelengan dari Lex. “Fiiuh, aku gak suka sebenarnya dapat klien seperti ini, mereka banyak duit tapi terlampau sombong. Apalagi, kalau tahu mereka berada di pihak yang benar.”“Gak usah dipedulikan, kita kerjakan kasusnya, selesai, dan dia berani bayar mahal,” balas Pras tidak ingin masuk terlalu jauh dalam sifat sekaligus kepribadian kliennya. Selama mereka bersikap sopan dan saling menghargai, itu saja sudah cukup bagi Pras. “Serahkan kasus ini ke Novan, biar dia yang tangani. Tapi terus kamu pantau.”“Hm,” gumam Lex sembari mengangguk. “Kita belum sempat bicara tentang istri barumu, Pras,” sin
Matahari, masih belum berpendar di ufuk timur. Bahkan, orang rumah pun, masih terlelap di di alam mimpi. Namun, Sinar sudah bangun untuk berkutat di dapur secepat mungkin. Meninggalkan sang suami yang baru saja bangun dan membersihkan diri di kamar mandi.Setelah urusan di dapur selesai, Sinar buru-buru masuk ke kamarnya. Pras terlihat sudah selesai mandi dan tengah memasang kancing kemeja putih, yang sudah diantar oleh Mario beberapa waktu lalu. Sinar menghampiri dan berhenti di depan sang suami. Mengambil alih untuk membantu mengancingkan kemeja putih pria itu.Pras terdiam. Kembali, ia merasa aneh diperlakukan seperti ini oleh Sinar. Bukan tidak suka, hanya saja, Pras belum terbiasa karena ini kali pertama baginya. Pria itu sudah terbiasa melakukan semuanya seorang diri. Setelah beres dengan urusan kancing, Sinar dengan cekatan menaikkan kerah kemejanya dan membelitkan dasi dengan sempurna.Apa … Bintang dulu juga mendapat perlakuan seperti ini? Pras m
Kembali, Pras merasa dimanjakan, karena tidak lagi perlu memilih pakaian untuk dikenakannya untuk berkerja. Satu setel jas lengkap beserta dasi dan tetek bengeknya sudah tergantung rapi. Siap untuk dikenakan. Belum lagi, dengan cekatan Sinar membantu mengancingkan kemeja dan memasang dasi persis seperti kemarin. Itu berarti, Pras akan mendapat perlakuan seperti ini setiap harinya dari sang istri. Yang sampai detik ini, Pras seolah masih belum bisa mempercayai semuanya. “Bekal yang kubawain kemarin, kamu makan gak, Mas?” Sinar memicing menatap curiga, menunggu Pras untuk menjawab pertanyaannya. Kemarin Sinar membawakan satu buah sandwich tuna dan dua buah roti gulung sosis untuk bekal Pras di pesawat. Padahal, pria itu pasti mendapatkan makanan dari maskapai, tapi tetap saja Sinar membawakannya, hanya untuk melihat bagaimana perasaan Pras kepadanya. Bagaimana pun, mereka sudah menjadi suami istri, jadi wajar kalau Sinar ingin tahu, sejauh mana niat Pra