“Bagaimana ini?” Bukannya menuntaskan hajat, Damar malah berjalan mondar-mandir di dalam bilik toilet yang sempit. “Kalau nanti Audrey malah mencari tahu sendiri, aku harus bagaimana?” Kali ini, lelaki itu menjambak rambutnya sendiri. “Woi. Yang di dalam cepat keluar dong, jangan malah bicara sendiri.” Damar terlonjak mendengar suara gedoran pintu yang begitu keras. Dia kemudian melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan dan rupanya sudah lebih dari lima menit. Tentu saja orang yang membutuhkan akan kesal. “Maaf.” Damar menyempatkan diri untuk mengucapkan kata itu, sebelum beralih untuk mencuci tangan. Dia memang tidak buang air, tapi merasa perlu untuk cuci tangan. Setelah sedikit membasahi rambut, Damar pun kembali ke tempat duduknya. Tapi dirinya malah dikejutkan dengan Audrey yang tengah memegang ponselnya, entah untuk apa. Yang jelas Damar menjadi tidak tenang karenanya. “Audrey.” Damar memanggil pelan.
“Sorry? Tadi kau bilang apa?” tanya Felix dengan kedua alis terangkat. “Mulai sekarang, saya yang akan berurusan dengan Pak Felix,” jawab Damar dengan senyum lebar. “Soalnya Bu Audrey ada kesibukan, jadi untuk sementara semua pekerjaan dialihkan pada saya dan kalau saya tidak bisa, baru dialihkan lagi pada orang lain.” “Begitu ya.” Felix hanya bisa mengangguk dengan senyum meringis yang sangat tipis. “Kalau begitu, saya serahkan contohnya saja ya. Setelah didiskusikan dengan Rey, tolong beri tahu aku apa yang harus diubah.” Kening Damar mengerut mendengar pernyataan dari sang ilustrator barusan. Rasanya dia sudah mengatakan kalau semua pekerjaan Audrey dialihkan padanya kan? Tapi kenapa Felix masih ingin menunggu keputusan sang atasan? “Kau akan memberikannya pada Rey kan?” tanya Felix menyerahkan map cokelat. “Tentu saja,” jawab Damar dengan senyum lebar. “Nanti kami akan melihatnya bersama.” Kini giliran keni
“Sekarang aku harus apa?” gumam Audrey menatap ponselnya. “Apanya?” Mel-sahabat dari Audrey bertanya. “Aku mendapat DM dari ibu mertua,” jawab Audrey, diikuti dengan gerakan menyugar rambut. “Apa kau tidak berhubungan baik dengan ibu mertua?” “Dia bahkan tidak tahu, kalau anaknya menikah denganku.” “WHAT?” “Apa kau pikir ini taman bermain?” tanya Audrey dengan mata melotot. “Ini di kantorku.” Mel menutup mulut dengan kedua tangan. Perempuan yang berkunjung demi membawa oleh-oleh itu, melirik ke arah pintu. Memastikan kalau orang yang sedang dibicarakan, tidak sedang berada di sekitar mereka. “Apa kau gila?” tanya Mel dengan wajah serius. “Masa kau menikah tanpa sepengetahuan keluarga lelaki? Kau beri alasan apa pada Daddy-mu?” “Damar yatim piatu. Mereka hanya orang tua angkat.” Audrey menjawab, disertai dengan kedikan bahu. Seolah apa yang dikatakannya bukanlah apa-apa.
“Bagaimana?” Vita menatap putrinya dengan tatapan penuh harap. “Apa sudah ada hasilnya?” “Hasil apa sih, Mom?” Audrey jelas saja akan membalas dengan pertanyaan lain. “Aduh, kau ini. Masa tidak mengerti maksud Mommy sih?” Vita berdecak kesal. “Maksudnya, kau sudah hamil atau belum?” Damar nyaris saja menyemburkan kopi yang sedang dia minum, ketika mendengar pertanyaan ibu mertuanya. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan membuat siapa pun itu akan tersedak. Lebih tepatnya, akan membuat pasangan nikah kontrak mana pun tersedak. “Tidakkah Mommy terlalu buru-buru?” tanya Audrey seolah tidak peduli. “Ini baru sekitar dua bulan sejak hari pernikahan.” “Tapi bukan berarti belum ada kan?” tanya Vita masih tersenyum lebar. “Bisa saja kalian itu sangat subur, sehingga bisa jadi bayi dengan mudah. Yah, walau mungkin kalian sempat pakai pengaman juga.” “Sayang sekali, tapi aku baru saja selesai datang bulan,” jawab Audrey de
“Apa aku boleh mengajukan cuti?” Damar bertanya dengan sangat hati-hati, seminggu setelah kejadian menelepon ibunya. “Cuti? Buat apa?” Audrey balas bertanya dengan kening berkerut. Kentara sekali kalau perempuan itu terlihat tidak senang. “Ada ... sedikit acara keluarga.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Damar dan hanya itu saja alasan yang terlintas di kepalanya. “Sedikit acara keluarga?” ulang Audrey dalam nada tanya, yang sebenarnya berupa sindiran. “Sejak kapan acara keluarga bisa diukur sedikit dan banyaknya? Lalu keluargamu yang mana?” Damar makin meringis mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan perempuan di depannya. Itu semua terjadi karena dia merasa tidak perlu memberi tahu pada Audrey, apa yang membuatnya harus cuti. Menjemput perempuan yang dijodohkan olehnya. Itulah agenda Damar saat cuti nanti. Tentu saja hal ini dilakukan bukan atas keinginan sendiri, melainkan atas ancaman sang ibu angkat.
“Buongiorno.” Audrey mengulurkan tangan dengan santai dan tentu saja dalam bahasa Italia, dilanjutkan dengan bahasa Inggris. “Kenalkan, Audrey Alexander Allen. Pacarnya Damar.” Perempuan dengan rambut pirang di depan pasangan itu, menatap uluran tangan Audrey dengan ragu-ragu. Dia sebenarnya bingung dengan keadaan sekarang ini. “Bisa jelaskan ini?” tanya perempuan pirang itu dalam bahasa Italia, jelas ditujukan untuk siapa. Damar tentu saja hanya bisa menganga. Dia merasa bingung dengan kedatangan Audrey yang begitu tiba-tiba, setelah kemarin sampai tadi pagi sempat marah. Tapi tentu saja dia harus mengatakan sesuatu kan? “Bagaimana kalau kita pindah tempat dulu?” tanya Damar, juga dalam bahasa Italia. “Maaf, tapi ada aku di sini.” Audrey, tentu saja akan menyela. “Bisakah kalian tidak berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti? Aku merasa seperti sedang diselingkuhi.” Walau Audrey sudah mempelajari bahasa Italia, dia masih tidak tahu banyak hal. Apalagi dia baru belajar seja
“Boleh aku tanya apa yang terjadi?” Damar langsung bertanya ketika dia dan Audrey pada akhirnya sudah berada di dalam ruangan perempuan itu. “Aku tidak mengerti,” jawab Audrey dengan asal. “Maksudku, kenapa tiba-tiba mengikutiku ke bandara?” Audrey mendesah cukup keras, setelah menghempaskan dirinya ke atas kursi kerja empuk miliknya. Sesungguhnya, Audrey sudah menyusun rangkaian kalimat untuk menjawab. Sayang sekali, itu terdengar agak ambigu baginya. Tapi memangnya ada jawaban lain? “Biar bagaimana, kau suamiku. Keluarga besarku tahu itu dan mereka bisa berpapasan denganmu di mana saja. Aku tidak ingin jadi bahan gosip.” Kening Damar berkerut mendengar kalimat itu. Jawaban yang sebenarnya cukup masuk akal, tapi sayangnya belum cukup. Masih ada banyak alasan yang bisa menepis fakta kalau dirinya selingkuh, hanya karena pergi menjemput perempuan asing di bandara. “Baiklah.” Damar mengangguk, mencoba untuk mengerti. “Tapi dibanding mengikutiku seperti itu, kau bisa langsung ikut
“Di mana Damar?” Audrey bertanya dengan kening berkerut. “Pergi makan siang, Bu,” jawab sang sekretaris yang terlihat sedikit bingung. “Bukannya tadi Pak Damar ada bilang ya?” “Kapan?” “Ka-katanya sudah beritahu waktu masuk ruangan tadi,” jawab sang sekretaris yang mulai takut karena dipelototi. Audrey menggeram marah mendengar pernyataan itu, karena saat terakhir masuk tadi, Damar tidak mengatakan apa-apa padanya. Lelaki itu hanya menyerahkan berkas dan sudah. Hanya terjadi kegiatan yang melibatkan pekerjaan dan tidak ada permintaan izin untuk apa pun. “Dia pergi sendiri?” tanya Audrey hanya untuk memastikan saja. “Bersama dengan ... Bu Jennie dari bagian lab, Bu.” Sang sekretaris sempat terhenti karena merasa gugup. Ekspresi marah Audrey makin menjadi, bahkan wajahnya sudah memerah. Padahal tadinya dia ingin berbaikan dengan lelaki itu, karena sadar dirinya memang sedikit keterlaluan. Tapi kalau seperti ini, namanya cari gara-gara. Saking marahnya, Audrey sampai membanting