“AUDREY.” Perempuan yang dipanggil itu mendongak. Dia bisa melihat ibu dan mertuanya berlarian di lorong rumah sakit. Hal yang membuatnya sedikit saja merasa lebih lega. Setidaknya, ada yang bisa menemaninya dan ada tempat Audrey untuk curhat. “Apa yang terjadi?” Fiana adalah orang pertama yang bertanya. “Kenapa Damar ada di rumah sakit lagi?” “Ada begal,” jawab Audrey tanpa perlu berpikir panjang. “Padahal jalanan cukup ramai, tapi mereka tetap berusaha memecahkan kaca mobil dan melukai Damar dengan pisau.” “Apa mereka gila?” tanya Vita dengan nada suara yang meninggi. “Dasar orang-orang tidak ada kerjaan. Memangnya mereka pikir tidak akan tertangkap.” “Mereka tertangkap, Mom. Itu pun karena Damar punya refleks yang cukup bagus,” balas Audrey terlihat cukup cemas. “Dia dengan cepat membuka pintu mobil dengan keras, untuk menjatuhkan orang-orang itu. Kebetulan mereka sangat mepet ke mobil.” “Lalu apakah Damar terluka? Di mana dia?” Audrey tersenyum kecut mendengar perta
“Ada apa dengan matamu itu?” Vita langsung bertanya, ketika melihat tampang putri sambungnya esok hari. “Kenapa dengan mataku?” tanya Audrey kebingungan. “Dia tampak merah.” Fiana yang menjawab. “Seperti orang habis menangis.” “Siapa yang menangis?” hardik Audrey tampak sedikit panik. “Aku hanya tidak bisa tidur semalaman, tapi itu tidak berarti aku cemas.” Fiana mendengus pelan mendengar apa yang barusan menantunya katakan. Baginya, melihat Audrey yang menyangkal terlihat sangat lucu. Tapi sudahlah, Fiana sedan tidak ingin bertengkar dan memilih untuk mengangguk saja. “Bagaimana Damar?” tanya Audrey, mengintip ke arah ranjang pasien. “Seperti yang kau lihat.” Masih Fiana yang berbicara. “Dia sudah dipindahkan ke kamar rawat inap biasa dan itu berarti Damar sudah lebih baik dari kemarin.” Audrey mengangguk pelan. Dia merasa sangat bodoh, karena masih mempertanyakan hal yang sudah pasti. Hal yang membuat perempuan itu lupa mendekat ke arah ranjang dan melihat lelaki yang
“Audrey ada apa denganmu?” Carl mengguncang bahu putrinya dengan kening berkerut. “Daddy.” Setelah cukup sadar dari keterkejutan, Audrey menatap ayah kandungnya dengan raut wajah bingung. “Sejak kapan Daddy pulang?” Saat ini, Audrey memang sedang melamun di ruang tamu rumahnya. Damar sudah kembali dari rumah sakit, dan Fiana meminta agar dia saja yang merawat sang putra untuk sementara. Itu berarti, Audrey dan Damar sekarang sedang tidak bersama. “Sudah sejak beberapa menit yang lalu, dan Daddy malah menemukan putri Daddy melamun di ruang tamu?” ucap Carl dalam nada tanya. “Tidak bisakah kau melamunkan suamimu di ruangan lain saja?” “Dari mana Daddy tahu kalau aku sedang melamunkan Damar?” tanya Audrey dengan kening berkerut. “Memangnya apalagi yang bisa dilamunkan seorang Audrey, kalau bukan pekerjaan atau lelaki yang tentu saja sudah menjadi suami. Rasa rindumu terlihat jelas.” Carl memutar bola mata, karena gemas melihat putrinya. Audrey meringis mendengar sang ayah. Padahal
“Damar.” Audrey mendesis pelan. “Kau mau apa?” “Menurutmu apa?” tanya Damar, tidak berhenti menghindu aroma yang menguar di antara ceruk leher sang istri. “Tentu saja menggodaku, tapi ada Madre di rumah ini.” Audrey kembali mendesis. Dia merasa geli dengan embusan napas Damar, juga sentuhan lelaki itu di tubuhnya.“Apa kau mau cari mati? Ibumu akan marah kalau kita bersenang-senang di sini. Lukamu juga belum kering.” “Lukaku itu ada di bagian leher, Audrey,” bisik Damar tepat di telinga. “Itu tidak akan berdarah lagi, hanya karena kita bercinta. Bercinta dengan brutal sekali pun tidak masalah, asalkan bagian itu tidak disentuh.” Audrey menggeram antara kesal dan ingin, tapi pada akhirnya dia menyerah juga. Padahal, semalam Fiana sudah memperingatkan untuk tidak membuat Damar kelelahan dengan alasan apa pun. Tapi subuh ini, janji itu sudah dilanggar. Biarlah nanti mertuanya marah, yang penting Audrey menikmati indahnya dunia sekarang. Lagi pula, yang penting dia hanya perlu hati-h
“Apa namanya?” Tiba-tiba saja Audrey bertanya, ketika Jelita muncul di hadapannya? “Ya?” Sang sekretaris yang baru saja tiba dari kantor itu, tentu bingung mendengar pertanyaan tidak jelas. Bahkan dia belum dipersilakan duduk. “Aku sedang bertanya,” balas Audrey dengan ketus. Dia merasa tidak didengar. “Saya tahu Bu Audrey bertanya, tapi apa pertanyaannya?” Jelita tidak segan untuk bertanya ulang. “Maksud saya, tadi Bu Audrey hanya bertanya tentang nama. Tidak ada penjelasan sebelumnya.” Audrey mendesis kesal. Dia ingin sekali marah, tapi yang dikatakan Jelita juga benar. Tadi memang dirinya hanya bergumam sangat pelan, berharap sang sekretaris yang datang ke rumah untuk bekerja, tidak terlalu mendengar. “Kemarilah.” Audrey meminta Jelita untuk mendekat. Dia pada akhirnya kalah dengan rasa ingin tahu. “Kalau kau tiba-tiba menjadi cemas atas seseorang yang sebelumnya tidak pernah kau cemaskan, itu kenapa?” Audrey berusaha menjelaskan dengan sedetail mungkin. Jelita tidak l
“Kalian tadi ngobrolin apa sih?” Damar yang sudah segar sehabis mandi pagi, mendekat. “Aku hanya dengar soal virus.” “Ada virus di komputer kantor,” jawab Audrey secara spontan. Tak lupa juga, Audrey segera melotot pada Jelita. Dia melakukan itu, agar sang sekretaris menutup mulut tentang pembicaraan mereka tadi. “Tapi tidak apa-apa kok, Pak. Sudah diselesaikan dengan cepat,” ucap Jelita mengikuti keinginan atasannya. “Baguslah kalau begitu.” Damar mengangguk, kemudian ikut duduk. “Sekarang waktunya aku membantumu.” “Apa maksudmu dengan membantu?” hardik Audrey dengan mata melotot. “Kau itu pasien, tidak boleh bekerja.” “Tapi aku juga tidak bisa duduk dan melihatmu.” Damar membalas, walau tidak terdengar terlalu ngotot. “Aku juga bosan, Re. Aku juga ingin bekerja walau sedikit dan aku masih asistenmu.” “Kalau begitu kau dipecat,” balas Audrey dengan teganya. “Kok gitu sih?” Jelas saja Damar akan protes. “Ya karena aku gak mau kau kerja saat sakit.” “Lalu dari mana a
“Kalian terlambat.” Seorang pria paruh baya, menatap arlojinya dengan tatapan serius. “Padre, kau tahu tidak mungkin bagiku datang dari rumah ke sini dalam tiga puluh menit.” Damar tentu saja akan mengeluh. “Apalagi ditambah dengan luka di sini. Ini menggangguku membawa mobil.” “Kenapa harus kau yang membawa mobil?” Ayah dari Damar itu mengerutkan kening. “Kan ada ... istrimu.” Walau sempat ragu, ayah angkat Damar pada akhirnya menunjuk Audrey juga. Hal yang membuat perempuan itu langsung menegakkan badan dan bersiap untuk menyapa. “Selamat sore, Padre. Maaf karena aku tidak bisa membantu Damar menyetir, juga selamat datang dan salam kenal. Namaku Audrey.” Sebelah alis ayah Damar terangkat melihat kepercayaan diri menantunya. Padahal tadi dia dengan jelas mengejek, tapi rupanya Audrey tidak terlalu terpengaruh. Entah perempuan itu yang kurang peka, atau dia memang bersifat percaya diri. “Dominique Evarado, panggil saja Domi. Seperti yang kau tahu, ayah Damar dan juga mertuamu.”
“Ada apa denganmu?” Damar bertanya, ketika melihat sang istri melamun di atas ranjang. “Aku hanya memikirkan pembicaraan tadi,” jawab Audrey, tanpa menoleh. Dia tetap menatap kosong ke arah depan. “Kalau kau khawatir kedua orang tuaku curiga, maka itu tidak pelu.” Damar mengatakannya, sembari menyibak selimut untuk masuk ke dalamnya. “Kau sudah mengatakan hal yang sebenarnya dan sangat meyakinkan.” Audrey mengembuskan napas pelan dan kembali membayangkan apa yang tadi dia katakan. Dia mengatakan sebagian besar kebenaran, walau ada sedikit bercampur kebohongan. Atau mungkin semua yang dia ucapkan tadi adalah kebenaran? “Kami bertemu pertama kali saat Damar melamar pekerjaan,” ucap Audrey saat makan malam tadi. Itu tentu saja adalah kenyataan. “Aku membaca CV Damar dan langsung tertarik. Maksudku, tidak banyak lelaki yang punya cita-cita jadi asisten pribadi dan saat itu aku pikir ... dia cocok.” “Cocok dalam hal apa?” tanya Domi dengan senyum miringnya. “Tentu saja menjadi asis