Home / Romansa / My 'Bad' Boyfriend / BAB 7 - Langit Malam Penuh Bintang

Share

BAB 7 - Langit Malam Penuh Bintang

Author: Kanita Faraya
last update Last Updated: 2023-12-13 10:30:45

Aku berjalan cepat menuju tempat parkir, lalu segera mendekati Nava yang tengah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di area itu.

"Gimana, Ris? Kamu udah ngomong 'kan sama Boy?" tanya Nava.

"Udah..." jawabku.

"Lho, kok muka kamu pucat gitu, Ris? Ada apa?" Nava mengamatiku dengan raut muka khawatir.

"Nanti aja ceritanya, Va. Sekarang kita pergi dulu yuk ke rumah kamu," kataku.

"Ya. Sebentar ya, aku ambil dulu motorku," ujar Nava. Dia beranjak untuk membawa skuter matic-nya ke dekat bangku yang barusan kami duduki.

"Ayo, Ris," ajak Nava. Aku memaksa badanku yang masih saja gemetaran pasca kejadian di lantai 3 tadi untuk berdiri dan naik ke skuter sahabatku itu.

Begitu kami tiba di rumah Nava, sahabatku itu langsung memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia mengajakku masuk ke sana dan mengunci pintunya dari bagian dalam ruangan, kemudian mendahuluiku berjalan melewati sebuah pintu penghubung ke ruang tengah setelah mencopot sepatunya.

"Kamu sakit ya, Ris? Mendingan kamu tiduran dulu gih," kata Nava. Dia menaruh tas ranselnya dan sepatunya dengan sembarangan di lantai kamarnya.

Aku cuma tersenyum maklum sambil melirik barang-barang yang sudah Nava hempaskan itu. Aku sudah tahu kebiasaan Nava itu sejak lama. Tapi aku tidak mau rewel mengkritiknya karena dia sering curhat padaku bahwa dia tertekan setiap kali diomeli oleh mamanya soal kebersihan dan kerapian kamarnya. Sebagai sahabat aku memilih untuk tidak menambah beban stresnya.

"Aku nggak kenapa-napa kok, Va," ujarku sembari duduk di kursi meja rias Nava.

"Kalau nggak kenapa-napa kok muka kamu tadi pucat?", timpal Nava tak percaya.

"Aku..." Wajahku memanas bersamaan dengan adegan jatuh yang terputar bagai video trailer film di otakku.

"Tadi Ada sesuatu, ya 'kan? Adegan romantis nih pasti," goda Nava gara-gara aku tergagap-gagap menjawabnya.

"Yang bener aja, Va. Aku 'kan justru minta dia berhenti nganggap aku jadi pacar pura-puranya dia," bantahku.

"Terus? Tanggapannya Boy gimana waktu kamu ngomong kayak gitu?"

"Dia belum jawab, Va. Tapi udah keburu ada kejadian yang malu-maluin," ujarku tersipu.

"Kejadian malu-maluin apa, Ris?" tanya Nava bingung.

Aku menceritakan secara singkat apa yang telah terjadi di antara aku dan Boy di lantai 3 kampus tadi. Obrolan kami, perdebatan kami, sampai pada adegan jatuh di pangkuan Boy yang langsung membuat mulut Nava menganga lebar saat mendengarnya.

"Aku nggak salah denger 'kan, Ris?" tanya Nava dengan ekspresi wajah terpana.

"Nggak," sahutku gugup. Rasanya malu juga harus menuturkan kejadian tadi dalam bentuk verbal pada Nava.

"Ya ampun, Ris! Pantesan muka kamu jadi pucat banget tadi," komentar Nava.

"Tadi aku pengin ngilang aja dari situ, Va. Kalau perlu besok juga nggak berangkat ke kampus..." desahku putus asa.

"Tenang, Ris. Besok aku bakalan pepet kamu terus, nggak bakal aku kasih kendor. Biar Boy nggak bisa deketin kamu lagi," tukas Nava menghiburku. Ucapannya yang ada lucu-lucunya membuatku tertawa geli.

"Ya, Va," kataku sambil terkekeh-kekeh.

"Tapi, Ris. Misalnya Boy nggak mau berhenti pura-pura pacaran sama kamu gimana?" celetuk Nava.

Aku tercenung mendengar pertanyaan Nava yang sebenarnya sudah sempat melintas di pikiranku dan membuatku galau.

"Mungkin nggak sih, kalau... Boy sebenernya udah putus sama Cinta? Buktinya Cinta udah nggak pernah nempel-nempel ke dia lagi, 'kan? Dateng nyamperin Boy ke kelas kita aja udah nggak pernah lagi," cetus Nava.

"Nggak tau deh, Va. Aku jadi pusing kalau mikirin itu. Kalau Boy nggak mau berhenti pura-pura pacaran sama aku, aku nggak tau mesti gimana lagi," tukasku.

"Mungkin nggak sih, kalau... Boy sebenernya udah putus sama Cinta?” Aku tercenung mendengar pertanyaan Nava. “Buktinya Cinta udah nggak pernah nempel-nempel ke dia lagi, 'kan? Dateng nyamperin Boy ke kelas kita aja udah nggak pernah lagi.”

"Nggak tau deh, Va. Aku jadi pusing kalau mikirin itu. Kalau Boy nggak mau berhenti pura-pura pacaran sama aku, aku nggak tau mesti gimana lagi," tukasku.

"Kamu jalanin aja kali, Ris? Kalau Boy bener-bener udah putus sama Cinta, berarti sah dong kalau dia deket-deket sama kamu. Kalaupun sampai pacaran betulan juga nggak apa-apa. Walau aku ngefans banget sama Boy, tapi aku ikut seneng kok misalnya kalian jadian," kata Nava sambil nyengir kuda. "Paling-paling irinya cuma sedikit," imbuh Nava jenaka ketika aku diam saja sambil menatapnya datar.

***

"Temenin aku ke Alphamart yuk, Ris?," ajak Nava saat aku masuk ke kamar sehabis mandi.

"Ayo. Tapi tunggu aku selesai sisiran dulu ya," jawabku seraya duduk di depan meja rias.

"Sekali-kali kamu pakai lipstik juga dong, Ris. Kamu cobain lipstik baruku yang ini ya. Warna pastel gini kamu pasti suka," kata Nava. Dia mengambil sebatang lipstik dari jajaran botol-botol dan semua koleksi kosmetik miliknya yang ada di atas meja rias lalu mengulurkannya kepadaku.

Aku tersenyum canggung menatap lipstik itu, "Nggak usah, Va. Aku udah biasa pakai lipbalm. Lagian, aku pakainya juga nggak selalu. Cuma pas mau berangkat ke kampus sama pas mau kondangan."

"Iya, aku tau kamu kayak gitu. Tapi apa salahnya sih sekali-kali kamu tampil beda?" bujuk Nava.

"Yaelah, Va. Cuma mau ke Alphamart, ngapain mesti pakai lipstik segala sih?" celetukku geli.

“Eh, nggak apa-apa kali, Ris. Nggak ada aturan tertulisnya 'kan kita nggak boleh pakai lipstik ke Alphamart? Siapa tau kamu ketemu cinta sejati di sana," bantah Nava keras kepala. Bahkan dia nekad membuka tutup lipstik itu dan mendekatkan ujungnya ke depan bibirku.

"Udah, sini. Biar aku yang ngolesin," ujar Nava memaksa.

"Nggak ah. Apa-apaan sih kamu, Va? Orang aku nggak mau kok," kelitku. Ku jauhkan wajahku dari tangan Nava dan lipstik itu.

"Padahal maksudku, aku pengin pake lipstik baru ini kembaran sama kamu..." lirih Nava. Mendadak raut wajahnya berubah jadi sedih. Aku jadi tidak tega melihatnya.

"Ya udah, Va. Ayo, buruan kamu olesin lipstiknya. Tapi jangan tebel-tebel ya," kataku.

Nava tersenyum lebar, "Iya, iya."

Setelah berganti baju dan mematut diri sekali lagi di depan cermin, aku dan Nava berboncengan di atas skuter matic menuju Alphamart yang letaknya di dekat alun-alun kota. Katanya, dia sengaja memilih Alphamart yang jauh dari rumah biar usaha kami untuk berdandan malam itu tidak mubazir.

"Siapa tahu aku ketemu cowok cakep di Alphamart sana. Soalnya aku lagi patah hati nasional nih, Boy maunya jadi pacar kamu, walaupun cuma pura-pura," kata Nava.

"Ngaco," timpalku sambil tertawa.

"Paling nggak aku nggak mau jadi pelakor di antara kalian 'kan, Ris," celetuk Nava.

"Udahlah. Ngomong apaan sih kamu dari tadi, Va?" Aku menepuk bahu Nava pelan sebagai tanda komplain.

"Kalau kamu gimana, Ris? Kamu pengin ketemu cowok cakep dan baik hati juga nggak kayak impianku?" tanya Nava.

"Nggak juga sih. Nggak cuma itu maksudnya," ujarku.

"Terus, kamu penginnya punya cowok yang kayak apa?" tanya Nava lagi.

Aku terdiam sejenak melihat ke hamparan langit malam itu yang dipenuhi bintang.

"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 117 - I Love You

    "Capek ya, Dek?" kataku pada Xander yang berada di gendongan Boy. Kami baru saja keluar dari wahana It's A Small World Tokyo Disneyland. "Kita makan dulu. Habis itu naik kereta keliling taman ini, mau nggak?" tanya Boy kepadaku dan Xander sekaligus. "Oke," timpalku. Ku ikuti saja langkah Boy yang panjang-panjang menuju ke sebuah restoran yang ada di taman hiburan tersebut. "Enak nggak waffle-nya?" Boy menanyai Xander yang tengah menggigit waffle berbentuk kepala Mickey Mouse dengan topping mangga kocok dan saus maple. "Enak," jawab Xander. "Lebih enak waffle itu atau kue pancong?" tanyaku iseng. Xander pernah makan kue pancong dan bilang kue itu enak sekali. Aku ingin tahu penilaiannya sekarang. Apakah kue pancong masih jadi kue favoritnya? "Kue pancong," kata Xander. Sontak aku dan Boy tertawa mendengar jawabannya yang bernada polos itu. "Emang ya, lidah lokal." Boy mengacak-acak rambut Xander dengan sayang.

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 116 - Percaya

    Boy membukakan pintu kamar kami menggunakan key card. Mataku sukses dibuat terbeliak lebar begitu berjalan memasuki ruangan yang super mewah itu, yang sepertinya merupakan kamar yang termewah dan termahal di Java Star Hotel.Aku melewati mini bar dan berbagai fasilitas eksklusif yang ada di kamar itu dengan batin yang tak kunjung berhenti mengagumi. "Mau minum sesuatu?" Boy membuka pintu kulkas yang berada di dapur. Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku udah banyak minum cocktail di ballroom tadi."Boy menenggak isi minuman kaleng di tangannya, kemudian dia bergabung duduk denganku di sofa yang ada di seberang meja TV. Kami berdua menonton film dokumenter mengenai kehidupan sekelompok gajah di Afrika dalam keheningan yang terasa aneh dan sedikit mencekam. Sampai-sampai, ketika laki-laki di sampingku mengatakan sesuatu, hampir saja badanku melonjak karena kaget. "Besok kita ke makam Bapak sama Ibu ya," kata Boy. Aku terpana men

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 115 - Bahagia

    Acara pemberkatan dan penandatanganan surat nikah sudah usai. Para tamu undangan bergiliran naik ke atas panggung untuk menyalamiku dan Boy yang berdiri diapit para orang tua. Kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang tak ku kenal sama sekali. Sepertinya mereka adalah rekan bisnis Papa dan kenalan Mama. Hanya Nava, beberapa tetangga, dan teman-teman dari Yogyakarta yang merupakan tamu dari circle-ku. Bahkan, Boy juga cuma mengundang Riga. Selebihnya, dia bilang dia tak mempunyai teman dekat lain.'Seandainya Bapak sama Ibu hadir di sini sekarang.' batinku sedih.Di urutan terakhir dari antrean tamu sepanjang rel kereta api itu, Febri cs menyapaku dengan heboh begitu mereka sampai di hadapanku. "Hai, Risaaa! Selamat ya, Ris! Btw, kamu cantik bangeettt pake gaun kayak gituuu!" Febri menjabat tanganku dan mencium kedua belah pipiku dengan kalap.Wawa, Devi, Nella, dan Marwah mengikuti apa yang dilakukan oleh Febri itu dengan gaya yang sama persis. Bahkan, Nella yang pendiam sepe

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 114 - Langkah

    "Emangnya mau dipanggil apa lagi selain 'kak'?" Seorang laki-laki muncul di belakang Kak Valerie. Badannya lebih tinggi dari Boy, tetapi lebih berisi dibandingkan badan adiknya. Soal wajah, mereka berdua mirip sekali, bahkan sampai ke tingkah-lakunya. "Dari mana aja kamu?" sentak Kak Valerie dengan ekspresi muka bak emak-emak menginterogasi anaknya yang baru pulang subuh. "Dari ruang makan. Tadi ada telpon dari pak hakim," jawab laki-laki itu dengan nada acuh tak acuh. "Oh," timpal Kak Valerie singkat. Dia kembali ke setelan anggunnya, kemudian mengalihkan pandangan kepada Xander. Badannya sedikit dia bungkukkan agar bisa sejajar dengan anak itu. "Kalau kamu namanya siapa? Aunty boleh tau nggak?" tanya Kak Valerie ramah. Namun Xander bukannya menjawabnya, malah bergegas bersembunyi di balik kaki Boy. "Dia takut tuh sama kamu. Kamu sih, nakutin." Kakaknya Boy meledek istrinya dengan bicara sok serius, padahal tanpa sepengetahuan wanita itu dia meringis lebar seraya mengulurka

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 113 - Impian

    Aku keluar dari ruang ganti dengan wajah tertunduk. Rasa malu menyerangku, padahal aku tengah memakai gaun pengantin yang ku impi-impikan sejak aku baru mengenal cinta monyet. Gaun berbahan tile berwarna putih dengan hiasan payet-payet dan renda, dengan model kerah Sabrina yang menampakkan kedua bahuku. Belum lagi ekor gaun yang panjang menjuntai di lantai, serta tak lupa kerudung dari bahan veil yang melengkapi gaun itu. Cantik, bukan? Tapi aku merasa tak nyaman memakainya karena terlalu terbuka. Kalau aku yang dulu memakainya, pasti bakalan suka. Berbeda sekali dengan aku yang sekarang. Kejadian yang sudah menjungkirbalikkan kehidupanku itu telah mengubah seleraku juga dalam hal berpakaian. "Cantik banget kamu, Ris!" cetus Mama. Otomatis kepalaku terangkat menatapnya. Dan secara tak sengaja pula, aku dan Boy jadi bersirobok mata.Boy memperhatikanku hampir tanpa berkedip. Tatapannya begitu sulit ku artikan. Yang jelas, efeknya membuatku serasa dikuliti. "Ya 'kan, Boy?" Mama menole

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 112 - Will You?

    "I... ini... maksudnya apa ya, Tan?" kataku penuh rasa terkejut luar biasa ketika Tante Merry berhenti di depan sebuah boneka manekin yang memakai gaun pengantin kepadaku. Tante Merry tersenyum menatapku. "Tanya aja sendiri sama calon mama mertua kamu. Itu orangnya."Aku menengok ke arah yang ditunjuk oleh Tante Merry lewat kerlingan matanya. "Ma..." panggilku dengan nada bingung. "Maafin Mama ya, Ris. Mama pikir, lebih baik kalian cepet-cepet nikah aja dibandingkan tunangan dulu. Kelamaan nanti. Mama udah nggak sabar pengin jadiin kamu menantu Mama, Sayang. Nggak apa-apa, 'kan? Toh, Xander juga udah akrab sama Papa dan Mama. Apa lagi yang mau kalian tunggu?" jawab Mama dengan raut wajah polos versi anggunnya. Dia menggandeng tangan Xander selagi mendekatiku, kemudian menyunggingkan senyuman terlembutnya. "Tapi kalau Risa nggak mau sama aku habis ini, berarti itu salah Mama ya." Boy tahu-tahu muncul dari balik tirai ruang ganti. Penampilannya sangat-sangat berbeda jauh dibandingka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status