"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"
Semua pasang mata memperhatikan aku dan Boy. Sementara Bu Asri kembali menegur kami dengan nada ketus.
"Kalau kalian mau mengobrol jangan di sini, di kafe saja. Kasihan teman-teman kalian yang serius ingin belajar di kelas ini."
Aku menunduk sambil menyembunyikan wajahku yang memanas karena merasa malu luar biasa. Lain halnya dengan Boy yang tampak tenang-tenang saja menghadapi kegusaran Bu Asri.
"Maaf, Bu," kataku dan Boy hampir bersamaan. Aku mengatakannya dengan terbata-bata, Boy dengan sopan tetapi santai.
"Ya sudah, saya maafkan. Tapi kalian harus menjawab pertanyaan yang saya sebutkan ini. Yang saya tanya pertama yang laki-laki dulu," ujar Bu Asri tegas.
Dosen itu langsung menyebutkan satu soal berkaitan dengan materi mata kuliah yang diajarnya, kemudian Boy menjawabnya dengan lancar. Bahkan Bu Asri sampai keceplosan memujinya.
"Bagus! Itu artinya kamu paham materi yang saya sampaikan meskipun kamu ngobrol dengan teman kamu selama saya menerangkannya tadi. Tapi akan lebih bagus lagi kalau kamu bisa lebih berkonsentrasi menyimak penjelasan saya," kata Bu Asri.
"Nah, sekarang. Pertanyaan kedua..."
"Biar saya saja Bu yang menjawab semua pertanyaan Ibu. Soalnya saya yang mengajak teman saya ngobrol. Dia tidak salah apa-apa," cetus Boy tiba-tiba memotong ucapan Bu Asri.
"Baik, kalau itu mau kamu. Walaupun yang namanya mengobrol tentunya ada lebih dari satu orang yang berbicara," tukas Bu tajam.
Aku merasa dia sedang menyindirku, mengusik hati nuraniku agar tak lari dari tanggung jawab.
Jari-jemariku yang berkeringat bergerak-gerak gelisah di pangkuanku. Rasa percaya diriku melesak sampai ke titik terendah. Dan di titik terendah itulah, aku tak punya tempat untuk melarikan diri yang lain, selain melenting ke atas.
Mendadak ada keberanian yang muncul di dalam diriku, setelah merasa tertekan karena menjadi pusat perhatian dalam hal yang buruk. Tekad ingin menyatakan bahwa penilaian Bu Asri terhadapku salah besar mendorongku untuk segera mendongakkan wajah dan bicara pada dosen itu.
"Sa... Saya saja Bu yang menjawab soalnya," kataku. Walaupun sekujur badanku gemetaran.
"Wow!" komentar Boy lirih sembari mendecakkan lidahnya dengan kagum.
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik pertanyaannya," kata Bu Asri.
Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya yang memakai lipstik berwarna merah tua. Dia memandangku dengan ekspresi senang. Apalagi saat aku bisa menjawab soal yang dia berikan kepadaku dengan benar dan tepat.
"Kerja bagus," puji Bu Asri.
"Terima kasih, Bu," jawabku diplomatis.
"Kamu keren juga," cetus Boy.
"Makasih," sahutku. Takut melambung tinggi sampai terbentur langit-langit ruang kelas itu.
Begitu kelas Bu Asri berakhir, Nava langsung beranjak mendekati bangkuku.
"Kalian tadi ngapain aja sih?" tanya Nava penasaran. Dia melirik Boy yang meninggalkan bangkunya dengan gaya acuh tak acuh.
"Kalau jadi ngomongnya, ikuti aku," kata Boy tanpa menoleh padaku.
"Y... Ya," jawabku.
"Jadi ngomong apa?" cecar Nava.
"Yang 'itu'," tukasku.
"Oh iya ya! Sori, aku lupa. Ya udah, kalau gitu, aku tunggu kamu di tempat parkir aja ya," kata Nava sambil nyengir kuda.
"Oke," sahutku.
"Udah, sana. Buruan ikutin mas Boy!" Nava pura-pura menarik tanganku agar aku cepat bangun dari tempat dudukku.
‘Sekarang atau nggak sama sekali!’ batinku.
"Semangat ya, Ris!" seru Nava ketika aku pergi menemui Boy di luar kelas.
"Akhirnya jadi?" kata Boy santai. Aku menemukannya bersandar ke salah satu pilar di selasar depan kelas.
‘Maksudnya apa 'akhirnya jadi'?’ batinku.
Apa Boy tahu tekadku sempat goyah beberapa kali tadi?
"Ya..." timpalku.
"Kamu mau ngomong apa?" tanya Boy.
"Di... sini?" Aku mengedarkan pandangan ke sekitar kami yang ramai.
"Di mana lagi emangnya?" tukas Boy geli.
"Mungkin... Kita bisa ngobrol di selasar lantai 3," usulku.
"Nggak apa-apa nih kamu berduaan sama aku?" celetuk Boy usil.
Aku diam. Sedikit salah tingkah menghadapi kenyataan bahwa akulah yang mengusulkan supaya naik ke lantai 3 gedung itu, lantai terakhir sebelum atap.
Kami menaiki tangga tanpa bercakap-cakap sedikitpun. Boy berjalan di depanku, sehingga aku bisa mengamat-amatinya dengan bebas. Kulitnya, rambutnya, langkahnya... Aku baru menyadari bahwa tinggi badanku cuma sebatas pundaknya.
Boy berhenti di selasar depan sebuah ruang kelas yang kosong di lantai 3 itu. Dia mendudukkan diri di bangku panjang yang tersedia di sana.
"Ayo, duduk," ujar Boy.
"Ng... Nggak usah. Aku berdiri aja," tanggapku sambil menyiapkan mental untuk mengungkapkan unek-unekku pada Boy sebentar lagi.
"Ya udah. Kamu mau ngomong soal apa?" tanya Boy.
Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya kuat-kuat sebelum mulai berbicara.
"Aku... Aku udah nggak mau jadi pacar pura-pura kamu lagi."
"Kenapa?" tanya Boy ringan.
Kok dia terdengar biasa-biasa saja seperti tak punya keinginan sedikitpun untuk memintaku tetap melanjutkan akting kami?
Jangan-jangan dia sudah berbaikan lagi dengan Cinta?
Kalau begitu, berarti aku bisa melepaskan diri dari Boy dengan lebih mudah, 'kan?
"Itu... Beban buat aku," jawabku.
"Beban gimana?" cecar Boy heran.
"Aku... Nggak bisa kalau suruh deket-deket terus sama kamu," dalihku.
"Kenapa nggak bisa?" tanya Boy heran. Tapi dia langsung menimpali ucapannya sendiri, tepat ketika aku mau menjawab pertanyaannya tersebut. "Oh... Gara-gara aku duduk sama kamu tiap hari?" tebak Boy.
"Bu... Bukan itu," sanggahku.
"Terus apa?" Kini Boy bersedekap. Dari nada bicaranya aku tahu jika dia kesal padaku. Padahal aku sama sekali tak berniat untuk bicara berbelit-belit begini.
"Pokoknya... Mulai besok aku udah nggak mau jadi pacar bohongan kamu lagi," tegasku.
"Ada yang ngancem kamu, ya 'kan?" ucap Boy.
"Ng... Nggak," sahutku bingung.
‘Kok malah dibilang ada yang ngancem sih?’ pikirku.
"Siapa orangnya?" interogasi Boy.
"Ng... Nggak ada," jawabku.
"Yakin nih?" Mata elang Boy menatapku lekat-lekat.
‘Duh, nggak kuat!’ batinku panik.
Kakiku lemas ditatap sedemikian rupa dalam jarak yang sedemikian dekat oleh Boy. Posisi tubuhnya yang sedang duduk di bangku panjang itu dan aku yang berdiri tak jauh di hadapannya membuat pandangan mata kami jadi sejajar.
"I... Iya. Yakin," sahutku. Terintimidasi.
Kepalaku menunduk karena aku tak kuat menanggung rasa gugup.
"Duduk dulu di sini kalau mau denger jawabanku," tukas Boy. Dia meraih pergelangan tanganku dan menariknya pelan. Tetapi, aku yang terkejut karena tiba-tiba ditarik olehnya jadi tergelincir dan jatuh terduduk di atas pangkuannya.
Aku terperangah. Kedua mataku terbeliak lebar. Dan wajahku terasa sangat panas menyadari bahwa kedua lengan Boy sekarang sedang melingkar di pinggangku. Sementara setengah badanku bersandar ke dadanya.
Entah karena syok entah karena hal lain yang tak ku pahami, aku terpaku selama beberapa detik sebelum akhirnya mengerahkan segenap daya dan upaya untuk kembali ke realita.
"Ma... Maaf!" cetusku otomatis.
Buru-buru aku bangkit dari posisi yang terasa begitu aneh dan memalukan itu. Untung saja Boy juga segera mengendurkan pelukannya.
"Hati-hati," ujar Boy.
"Tolong... Jangan bikin aku jadi makin terbebani," tandasku sambil cepat-cepat pergi dari tempat itu dengan gemetaran.
BERSAMBUNG"Capek ya, Dek?" kataku pada Xander yang berada di gendongan Boy. Kami baru saja keluar dari wahana It's A Small World Tokyo Disneyland. "Kita makan dulu. Habis itu naik kereta keliling taman ini, mau nggak?" tanya Boy kepadaku dan Xander sekaligus. "Oke," timpalku. Ku ikuti saja langkah Boy yang panjang-panjang menuju ke sebuah restoran yang ada di taman hiburan tersebut. "Enak nggak waffle-nya?" Boy menanyai Xander yang tengah menggigit waffle berbentuk kepala Mickey Mouse dengan topping mangga kocok dan saus maple. "Enak," jawab Xander. "Lebih enak waffle itu atau kue pancong?" tanyaku iseng. Xander pernah makan kue pancong dan bilang kue itu enak sekali. Aku ingin tahu penilaiannya sekarang. Apakah kue pancong masih jadi kue favoritnya? "Kue pancong," kata Xander. Sontak aku dan Boy tertawa mendengar jawabannya yang bernada polos itu. "Emang ya, lidah lokal." Boy mengacak-acak rambut Xander dengan sayang.
Boy membukakan pintu kamar kami menggunakan key card. Mataku sukses dibuat terbeliak lebar begitu berjalan memasuki ruangan yang super mewah itu, yang sepertinya merupakan kamar yang termewah dan termahal di Java Star Hotel.Aku melewati mini bar dan berbagai fasilitas eksklusif yang ada di kamar itu dengan batin yang tak kunjung berhenti mengagumi. "Mau minum sesuatu?" Boy membuka pintu kulkas yang berada di dapur. Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku udah banyak minum cocktail di ballroom tadi."Boy menenggak isi minuman kaleng di tangannya, kemudian dia bergabung duduk denganku di sofa yang ada di seberang meja TV. Kami berdua menonton film dokumenter mengenai kehidupan sekelompok gajah di Afrika dalam keheningan yang terasa aneh dan sedikit mencekam. Sampai-sampai, ketika laki-laki di sampingku mengatakan sesuatu, hampir saja badanku melonjak karena kaget. "Besok kita ke makam Bapak sama Ibu ya," kata Boy. Aku terpana men
Acara pemberkatan dan penandatanganan surat nikah sudah usai. Para tamu undangan bergiliran naik ke atas panggung untuk menyalamiku dan Boy yang berdiri diapit para orang tua. Kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang tak ku kenal sama sekali. Sepertinya mereka adalah rekan bisnis Papa dan kenalan Mama. Hanya Nava, beberapa tetangga, dan teman-teman dari Yogyakarta yang merupakan tamu dari circle-ku. Bahkan, Boy juga cuma mengundang Riga. Selebihnya, dia bilang dia tak mempunyai teman dekat lain.'Seandainya Bapak sama Ibu hadir di sini sekarang.' batinku sedih.Di urutan terakhir dari antrean tamu sepanjang rel kereta api itu, Febri cs menyapaku dengan heboh begitu mereka sampai di hadapanku. "Hai, Risaaa! Selamat ya, Ris! Btw, kamu cantik bangeettt pake gaun kayak gituuu!" Febri menjabat tanganku dan mencium kedua belah pipiku dengan kalap.Wawa, Devi, Nella, dan Marwah mengikuti apa yang dilakukan oleh Febri itu dengan gaya yang sama persis. Bahkan, Nella yang pendiam sepe
"Emangnya mau dipanggil apa lagi selain 'kak'?" Seorang laki-laki muncul di belakang Kak Valerie. Badannya lebih tinggi dari Boy, tetapi lebih berisi dibandingkan badan adiknya. Soal wajah, mereka berdua mirip sekali, bahkan sampai ke tingkah-lakunya. "Dari mana aja kamu?" sentak Kak Valerie dengan ekspresi muka bak emak-emak menginterogasi anaknya yang baru pulang subuh. "Dari ruang makan. Tadi ada telpon dari pak hakim," jawab laki-laki itu dengan nada acuh tak acuh. "Oh," timpal Kak Valerie singkat. Dia kembali ke setelan anggunnya, kemudian mengalihkan pandangan kepada Xander. Badannya sedikit dia bungkukkan agar bisa sejajar dengan anak itu. "Kalau kamu namanya siapa? Aunty boleh tau nggak?" tanya Kak Valerie ramah. Namun Xander bukannya menjawabnya, malah bergegas bersembunyi di balik kaki Boy. "Dia takut tuh sama kamu. Kamu sih, nakutin." Kakaknya Boy meledek istrinya dengan bicara sok serius, padahal tanpa sepengetahuan wanita itu dia meringis lebar seraya mengulurka
Aku keluar dari ruang ganti dengan wajah tertunduk. Rasa malu menyerangku, padahal aku tengah memakai gaun pengantin yang ku impi-impikan sejak aku baru mengenal cinta monyet. Gaun berbahan tile berwarna putih dengan hiasan payet-payet dan renda, dengan model kerah Sabrina yang menampakkan kedua bahuku. Belum lagi ekor gaun yang panjang menjuntai di lantai, serta tak lupa kerudung dari bahan veil yang melengkapi gaun itu. Cantik, bukan? Tapi aku merasa tak nyaman memakainya karena terlalu terbuka. Kalau aku yang dulu memakainya, pasti bakalan suka. Berbeda sekali dengan aku yang sekarang. Kejadian yang sudah menjungkirbalikkan kehidupanku itu telah mengubah seleraku juga dalam hal berpakaian. "Cantik banget kamu, Ris!" cetus Mama. Otomatis kepalaku terangkat menatapnya. Dan secara tak sengaja pula, aku dan Boy jadi bersirobok mata.Boy memperhatikanku hampir tanpa berkedip. Tatapannya begitu sulit ku artikan. Yang jelas, efeknya membuatku serasa dikuliti. "Ya 'kan, Boy?" Mama menole
"I... ini... maksudnya apa ya, Tan?" kataku penuh rasa terkejut luar biasa ketika Tante Merry berhenti di depan sebuah boneka manekin yang memakai gaun pengantin kepadaku. Tante Merry tersenyum menatapku. "Tanya aja sendiri sama calon mama mertua kamu. Itu orangnya."Aku menengok ke arah yang ditunjuk oleh Tante Merry lewat kerlingan matanya. "Ma..." panggilku dengan nada bingung. "Maafin Mama ya, Ris. Mama pikir, lebih baik kalian cepet-cepet nikah aja dibandingkan tunangan dulu. Kelamaan nanti. Mama udah nggak sabar pengin jadiin kamu menantu Mama, Sayang. Nggak apa-apa, 'kan? Toh, Xander juga udah akrab sama Papa dan Mama. Apa lagi yang mau kalian tunggu?" jawab Mama dengan raut wajah polos versi anggunnya. Dia menggandeng tangan Xander selagi mendekatiku, kemudian menyunggingkan senyuman terlembutnya. "Tapi kalau Risa nggak mau sama aku habis ini, berarti itu salah Mama ya." Boy tahu-tahu muncul dari balik tirai ruang ganti. Penampilannya sangat-sangat berbeda jauh dibandingka
Ini jalan ke pantai yang waktu itu bukan?" celetukku saat mobil yang kami tumpangi memasuki jalan raya yang tampak familiar bagiku, berkaitan dengan ingatan masa lalu. Boy tersenyum sambil tetap fokus menatap ke depan. "Ya. Kamu belum pernah ke sini pagi-pagi, 'kan? Sunrise-nya juga bagus lho diliat di sana."Ya, memang. Saat ini masih subuh menjelang matahari terbit. Kenapa aku tidak menyadari maksud dan tujuan Boy sebelumnya ya? "Jadi nggak sabar liatnya," jawabku antusias sembari memalingkan wajah menatap pemandangan di luar kaca jendela mobil di sisi kiriku. "Papa," panggil Xander. Mendadak saja anak itu terbangun. Dia yang tadinya setengah tiduran di pangkuanku sekarang beringsut mengubah posisinya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya mengusap mata yang merah khas orang baru bangun. "Kamu kaget nggak, tau-tau ada di mobil?" tanya Boy. Dia mengulas senyum lebar pada Xander yang tampak bingung celingukan melihat-lihat keadaan di se
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere