"Capek ya, Dek?" kataku pada Xander yang berada di gendongan Boy. Kami baru saja keluar dari wahana It's A Small World Tokyo Disneyland.
"Kita makan dulu. Habis itu naik kereta keliling taman ini, mau nggak?" tanya Boy kepadaku dan Xander sekaligus."Oke," timpalku. Ku ikuti saja langkah Boy yang panjang-panjang menuju ke sebuah restoran yangada di taman hiburan tersebut."Enak nggak waffle-nya?" Boy menanyai Xander yang tengah menggigit waffle berbentuk kepala Mickey Mouse dengan topping mangga kocok dan saus maple."Enak," jawab Xander."Lebih enak waffle itu atau kue pancong?" tanyaku iseng. Xander pernah makan kue pancong dan bilang kue itu enak sekali. Aku ingin tahu penilaiannya sekarang. Apakah kue pancong masih jadi kue favoritnya?"Kue pancong," kata Xander. Sontak aku dan Boy tertawa mendengar jawabannya yang bernada polos itu."Emang ya, lidah lokal." Boy mengacak-acak rambut Xander dengan sayang."Pagi, Bu. Maaf saya terlambat.” Sekitar 15 menit usai kelas dimulai, seorang cowok berjaketvarsity berwarna biru-putih mengetuk pintu. Semua orang menoleh ke arah cowokitu, yang berjalan memasuki ruangan dengan gaya santai bercampur tengil. Cowok bernama Boy itu malah tersenyum manis menghadapi dosenwanita yang dikenal galak—Bu Asri, yang kini tengah menatapnya dengan ekspresimuka marah.“Tadi ban belakang motor saya bocor di tengah jalan, jadisaya ke bengkel dulu," kata Boy pada dosen dengan sopan namun penuhkeberanian. Senyum manisnya masih terulas di bibir, yang entah kenapaterlihat seksi di mata para cewek di kampus ini. Aku tidak paham mengapa bibirBoy dibilang seksi. Apakah yang mereka maksud seksi itu, karena bibir Boysering menyunggingkan senyuman yang membuat mereka deg-degan setiap kalimelihatnya?Kalau memang itu definisi seksi, aku setuju. Karena akupernah begitu deg-degan melihat senyum manis Boy dari jarak dekat. Walau cumabeberapa detik, momen tersebut s
Boy meraih kotak bekalku dengan santai, lalu membuka tutupnya dan berkata dengan nada antusias. "Wah, kamu masak menu kesukaanku ya, Sayang? Makasih ya."Aku hampir pingsan ketika menyaksikan Boy mengambil sendok dan memakan nasi serta tumis kangkung dan telur mata sapi di kotak bekal itu.Masa sih, seorang Boy doyan makan makanan rakyat jelata sepertiku? Dengar-dengar, Boy anak seorang CEO salah satu perusahaan ternama di negara ini. Tidak mungkin 'kan, menu makannya sehari-hari berupa tumis kangkung dan telur mata sapi? Tapi, barusan kok dia bilang menu bekalku itu menu kesukaannya? Terus..., dia juga memanggilku 'Sayang'. Pasti aku yang salah dengar, 'kan?"Yang bener aja, Boy! Masa kamu bilang kamu pacaran sama cewek kampungan kayak gitu? Liat aja tuh, makanan yang dia bawa aja menu kampung," cetus Cinta seraya memelototiku dan tersenyum sinis."Mendingan kamu pergi aja deh. Jangan ganggu orang lagi pacaran kayak gini." Boy menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir seekor aya
"Nggak usah pada kaget gitulah. Kayak nggak pernah ajamanggil pacarnya 'Sayang'." Boy mendengkus geli sambil menyeruak maju, dan mendudukkandiri di bangku sampingku yang tak ditempati Nava."Kamu pacaran sama cewek ini, Boy? Serius?" tanyaPrima yang mendadak jadi seperti monyet kena lemparan batu."Ya seriuslah," tukas Boy santai. Sementara akutak berani menatap wajahnya sama sekali."Berarti kemaren kamu sama dia bener-bener habis ginidi atap?" Prima memperagakan adegan favoritnya dengan ekspresi mesumnyayang dari tadi dia pakai untuk menghinaku.Boy mendecih sembari tertawa kecil, "Nggak semua orangbarbar kayak kamu.""Oh ya?" dengkus Prima pongah."Kalau nggak mau ngaku nggak apa-apa kok. Bukanurusanku," timpal Boy tenang sambil meyandarkan salah satu lengannya kesandaran bangku di balik punggungku.Kini aku menunduk semakin dalam. Kekuatanku untuk mengatasiperasaan gugup ini sepertinya sudah mencapai batasnya."Tapi, kamu beneran suka sama dia nggak nih?"celetuk cowok
"Kamu sendiri mau nggak jadi pacarku?" tanya Boy.Lidahku serasa diikat tapi tak terlihat. Aku susah sekalimengucapkan keraguanku pada pernyataan Boy.Dia bilang suka padaku?Masa sih?Kalau dia betul-betul suka padaku, pasti dia akan menyadarikeberadaanku sebelumnya.Aku memang gugup sekali jika sedang bersamanya,sampai-sampai sering mengatakan dan melakukan hal yang konyol. Namun, aku jugaorang yang bisa berpikir rasional. Apalagi, aku sangat menyadari siapa diriku.Tidak mungkin cewek culun dan berpenampilan biasa-biasa sajasepertiku bisa membuat seorang Boy suka padaku."Kalau susah, nanti aja jawabnya. Atau nggak usah kamujawab sama sekali juga nggak masalah kok," kata Boy.Selama keseluruhan jadwal mata kuliah kami di hari itu, Boyterus saja duduk di sebelahku. Dia sepertinya tak punya minat untuk sekedarbergeser sedikitpun dari bangkunya. Boro-boro pindah ke bangku lain sebagaiselingan.Setelah kami sibuk mengobrol di sela-sela kelas BuGeraldine, Boy justru terlihat l
"Udah pulang?" Bapak melontarkan pertanyaanretoris kepadaku yang baru masuk ke rumah."Iya. Bapak udah makan atau belum? Aku bawainmakanan," kataku sambil mengangkat tas plastik yang isinya kotak styrofoamberisi nasi dan ayam bakar serta lalapan."Bapak udah makan kok barusan. Itu buat kamu aja,"tolak Bapak."Aku juga baru makan, Pak. 'Kan tadi makan sama Nava dirumah makannya langsung." Aku memasang muka cemberut.Bapak menatapku geli, "Buat nanti 'kan bisa."Aku menyerah, tak mendebat bapak lagi. Biasanya aku yangakan kalah. Selain ada saja jawabannya—dan tepat, pula—aku juga tak inginmelawan orang tua.Aku menaruh bungkusan plastik itu ke atas meja makan.Sekalian ku buka tudung saji yang ada di meja itu, untuk mengecek apakahlauknya sudah bapak habiskan. Tadi subuh aku memasak oseng tempe yang dicampurdaun kemangi, sayur asam, dan rempeyek kacang. Sekarang tinggal rempeyek kacangdi stoples yang tersisa. Aku bersyukur Bapak mau memakan menu yang ku sajikan hariini. Bebe
"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"Semua pasang mata memperhatikan aku dan Boy. Sementara BuAsri kembali menegur kami dengan nada ketus."Kalau kalian mau mengobrol jangan di sini, di kafesaja. Kasihan teman-teman kalian yang serius ingin belajar di kelas ini."Aku menunduk sambil menyembunyikan wajahku yang memanaskarena merasa malu luar biasa. Lain halnya dengan Boy yang tampak tenang-tenangsaja menghadapi kegusaran Bu Asri."Maaf, Bu," kataku dan Boy hampir bersamaan. Akumengatakannya dengan terbata-bata, Boy dengan sopan tetapi santai."Ya sudah, saya maafkan. Tapi kalian harus menjawabpertanyaan yang saya sebutkan ini. Yang saya tanya pertama yang laki-lakidulu," ujar Bu Asri tegas. Dosen itu langsung menyebutkan satu soal berkaitan denganmateri mata kuliah yang diajarnya, kemudian Boy menjawabnya dengan lancar.Bahkan Bu Asri sampai keceplosan memujinya."Bagus! Itu artinya kamu paham materi yang sayasampaikan meskipun kamu ngobrol dengan teman kamu selama saya meneran
Aku berjalan cepat menuju tempat parkir, lalu segera mendekati Nava yang tengah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di area itu."Gimana, Ris? Kamu udah ngomong 'kan sama Boy?" tanya Nava."Udah..." jawabku."Lho, kok muka kamu pucat gitu, Ris? Ada apa?" Nava mengamatiku dengan raut muka khawatir."Nanti aja ceritanya, Va. Sekarang kita pergi dulu yuk ke rumah kamu," kataku."Ya. Sebentar ya, aku ambil dulu motorku," ujar Nava. Dia beranjak untuk membawa skuter matic-nya ke dekat bangku yang barusan kami duduki."Ayo, Ris," ajak Nava. Aku memaksa badanku yang masih saja gemetaran pasca kejadian di lantai 3 tadi untuk berdiri dan naik ke skuter sahabatku itu.Begitu kami tiba di rumah Nava, sahabatku itu langsung memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia mengajakku masuk ke sana dan mengunci pintunya dari bagian dalam ruangan, kemudian mendahuluiku berjalan melewati sebuah pintu penghubung ke ruang tengah setelah mencopot sepatunya."Kamu sakit ya, Ris? Mendingan kamu tidu
"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang. "Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava. "Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati...""Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku."Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli. "Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling. "Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku. "Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua. "Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku."Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias. "Makasih,
"Capek ya, Dek?" kataku pada Xander yang berada di gendongan Boy. Kami baru saja keluar dari wahana It's A Small World Tokyo Disneyland. "Kita makan dulu. Habis itu naik kereta keliling taman ini, mau nggak?" tanya Boy kepadaku dan Xander sekaligus. "Oke," timpalku. Ku ikuti saja langkah Boy yang panjang-panjang menuju ke sebuah restoran yang ada di taman hiburan tersebut. "Enak nggak waffle-nya?" Boy menanyai Xander yang tengah menggigit waffle berbentuk kepala Mickey Mouse dengan topping mangga kocok dan saus maple. "Enak," jawab Xander. "Lebih enak waffle itu atau kue pancong?" tanyaku iseng. Xander pernah makan kue pancong dan bilang kue itu enak sekali. Aku ingin tahu penilaiannya sekarang. Apakah kue pancong masih jadi kue favoritnya? "Kue pancong," kata Xander. Sontak aku dan Boy tertawa mendengar jawabannya yang bernada polos itu. "Emang ya, lidah lokal." Boy mengacak-acak rambut Xander dengan sayang.
Boy membukakan pintu kamar kami menggunakan key card. Mataku sukses dibuat terbeliak lebar begitu berjalan memasuki ruangan yang super mewah itu, yang sepertinya merupakan kamar yang termewah dan termahal di Java Star Hotel.Aku melewati mini bar dan berbagai fasilitas eksklusif yang ada di kamar itu dengan batin yang tak kunjung berhenti mengagumi. "Mau minum sesuatu?" Boy membuka pintu kulkas yang berada di dapur. Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku udah banyak minum cocktail di ballroom tadi."Boy menenggak isi minuman kaleng di tangannya, kemudian dia bergabung duduk denganku di sofa yang ada di seberang meja TV. Kami berdua menonton film dokumenter mengenai kehidupan sekelompok gajah di Afrika dalam keheningan yang terasa aneh dan sedikit mencekam. Sampai-sampai, ketika laki-laki di sampingku mengatakan sesuatu, hampir saja badanku melonjak karena kaget. "Besok kita ke makam Bapak sama Ibu ya," kata Boy. Aku terpana men
Acara pemberkatan dan penandatanganan surat nikah sudah usai. Para tamu undangan bergiliran naik ke atas panggung untuk menyalamiku dan Boy yang berdiri diapit para orang tua. Kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang tak ku kenal sama sekali. Sepertinya mereka adalah rekan bisnis Papa dan kenalan Mama. Hanya Nava, beberapa tetangga, dan teman-teman dari Yogyakarta yang merupakan tamu dari circle-ku. Bahkan, Boy juga cuma mengundang Riga. Selebihnya, dia bilang dia tak mempunyai teman dekat lain.'Seandainya Bapak sama Ibu hadir di sini sekarang.' batinku sedih.Di urutan terakhir dari antrean tamu sepanjang rel kereta api itu, Febri cs menyapaku dengan heboh begitu mereka sampai di hadapanku. "Hai, Risaaa! Selamat ya, Ris! Btw, kamu cantik bangeettt pake gaun kayak gituuu!" Febri menjabat tanganku dan mencium kedua belah pipiku dengan kalap.Wawa, Devi, Nella, dan Marwah mengikuti apa yang dilakukan oleh Febri itu dengan gaya yang sama persis. Bahkan, Nella yang pendiam sepe
"Emangnya mau dipanggil apa lagi selain 'kak'?" Seorang laki-laki muncul di belakang Kak Valerie. Badannya lebih tinggi dari Boy, tetapi lebih berisi dibandingkan badan adiknya. Soal wajah, mereka berdua mirip sekali, bahkan sampai ke tingkah-lakunya. "Dari mana aja kamu?" sentak Kak Valerie dengan ekspresi muka bak emak-emak menginterogasi anaknya yang baru pulang subuh. "Dari ruang makan. Tadi ada telpon dari pak hakim," jawab laki-laki itu dengan nada acuh tak acuh. "Oh," timpal Kak Valerie singkat. Dia kembali ke setelan anggunnya, kemudian mengalihkan pandangan kepada Xander. Badannya sedikit dia bungkukkan agar bisa sejajar dengan anak itu. "Kalau kamu namanya siapa? Aunty boleh tau nggak?" tanya Kak Valerie ramah. Namun Xander bukannya menjawabnya, malah bergegas bersembunyi di balik kaki Boy. "Dia takut tuh sama kamu. Kamu sih, nakutin." Kakaknya Boy meledek istrinya dengan bicara sok serius, padahal tanpa sepengetahuan wanita itu dia meringis lebar seraya mengulurka
Aku keluar dari ruang ganti dengan wajah tertunduk. Rasa malu menyerangku, padahal aku tengah memakai gaun pengantin yang ku impi-impikan sejak aku baru mengenal cinta monyet. Gaun berbahan tile berwarna putih dengan hiasan payet-payet dan renda, dengan model kerah Sabrina yang menampakkan kedua bahuku. Belum lagi ekor gaun yang panjang menjuntai di lantai, serta tak lupa kerudung dari bahan veil yang melengkapi gaun itu. Cantik, bukan? Tapi aku merasa tak nyaman memakainya karena terlalu terbuka. Kalau aku yang dulu memakainya, pasti bakalan suka. Berbeda sekali dengan aku yang sekarang. Kejadian yang sudah menjungkirbalikkan kehidupanku itu telah mengubah seleraku juga dalam hal berpakaian. "Cantik banget kamu, Ris!" cetus Mama. Otomatis kepalaku terangkat menatapnya. Dan secara tak sengaja pula, aku dan Boy jadi bersirobok mata.Boy memperhatikanku hampir tanpa berkedip. Tatapannya begitu sulit ku artikan. Yang jelas, efeknya membuatku serasa dikuliti. "Ya 'kan, Boy?" Mama menole
"I... ini... maksudnya apa ya, Tan?" kataku penuh rasa terkejut luar biasa ketika Tante Merry berhenti di depan sebuah boneka manekin yang memakai gaun pengantin kepadaku. Tante Merry tersenyum menatapku. "Tanya aja sendiri sama calon mama mertua kamu. Itu orangnya."Aku menengok ke arah yang ditunjuk oleh Tante Merry lewat kerlingan matanya. "Ma..." panggilku dengan nada bingung. "Maafin Mama ya, Ris. Mama pikir, lebih baik kalian cepet-cepet nikah aja dibandingkan tunangan dulu. Kelamaan nanti. Mama udah nggak sabar pengin jadiin kamu menantu Mama, Sayang. Nggak apa-apa, 'kan? Toh, Xander juga udah akrab sama Papa dan Mama. Apa lagi yang mau kalian tunggu?" jawab Mama dengan raut wajah polos versi anggunnya. Dia menggandeng tangan Xander selagi mendekatiku, kemudian menyunggingkan senyuman terlembutnya. "Tapi kalau Risa nggak mau sama aku habis ini, berarti itu salah Mama ya." Boy tahu-tahu muncul dari balik tirai ruang ganti. Penampilannya sangat-sangat berbeda jauh dibandingka
Ini jalan ke pantai yang waktu itu bukan?" celetukku saat mobil yang kami tumpangi memasuki jalan raya yang tampak familiar bagiku, berkaitan dengan ingatan masa lalu. Boy tersenyum sambil tetap fokus menatap ke depan. "Ya. Kamu belum pernah ke sini pagi-pagi, 'kan? Sunrise-nya juga bagus lho diliat di sana."Ya, memang. Saat ini masih subuh menjelang matahari terbit. Kenapa aku tidak menyadari maksud dan tujuan Boy sebelumnya ya? "Jadi nggak sabar liatnya," jawabku antusias sembari memalingkan wajah menatap pemandangan di luar kaca jendela mobil di sisi kiriku. "Papa," panggil Xander. Mendadak saja anak itu terbangun. Dia yang tadinya setengah tiduran di pangkuanku sekarang beringsut mengubah posisinya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya mengusap mata yang merah khas orang baru bangun. "Kamu kaget nggak, tau-tau ada di mobil?" tanya Boy. Dia mengulas senyum lebar pada Xander yang tampak bingung celingukan melihat-lihat keadaan di se
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere