"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang.
"Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava."Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati...""Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku."Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli."Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling."Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku."Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua."Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku."Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias."Makasih," balasku."Aku juga mau dong jadi pebisnis yang sukses kayak kamu," timpal Nava."Ya udah, nanti pas lulus kita bisa mulai buka usaha yang nggak butuh modal besar dulu. Jujur, aku udah mulai nabung sejak semester satu buat uang modal usahaku nanti, Va," ungkapku."Boleh juga tuh buat aku tiru," komentar Nava seraya menghentikan laju skuter karena kami sudah sampai di halaman depan gedung Alphamart."Nanti kamu mau nggak nongkrong sebentar dulu di alun-alun?" cetus Nava sambil melepas helm-nya."Nggak ah. Rame banget," jawabku."Ya udah, nanti kita langsung pulang aja. Aku juga udah pengin ngajak kamu nonton film di rumah," kata Nava. Dia menggamit lenganku mengajakku bersama-sama meniti tangga teras gedung minimarket itu. Kami sangat kaget ketika hampir saja bertabrakan dengan Cinta dan Prima yang baru keluar melalui pintu kaca."Maaf," kataku dan Nava berbarengan."Minta maaf buat apa? Karena udah ngerayu Boy pakai makanan kampung, gitu ya?" celetuk Cinta sarkas. Spontan wajahku jadi memanas mendengar ucapannya yang sangat menyakitkan hati itu. Walaupun kepalaku menunduk, tetapi tidak dengan harga diriku. Bapak dan almarhum Ibu selalu mengajarkan untuk selalu jujur dan adil pada siapapun, dimulai kepada diri sendiri.Aku tidak punya salah apapun terhadap Cinta.Kenapa aku mesti takut kepadanya?Toh, dia sudah bersikap kelewat batas kepadaku."Aku... nggak pernah ngerayu dia sama sekali. Dia yang deketin aku," tegasku."Risa bukan cewek genit!" dukung Nava. Dia mengencangkan cekalannya di lenganku."Kalau bukan cewek genit, ngapain mau aja diajak berduaan di atap kampus, hmm?" kata Cinta tajam. Dia berjalan melewatiku seraya menabrakkan pundaknya ke pundakku dengan sengaja.Prima yang membuntut di belakang Cinta tertawa sengak, kemudian menjajari langkah cewek itu."Kasian kamu, Yang. Pundak kamu jadi sakit, 'kan," ujar Prima pada Cinta. Aku sempat melihatnya merangkul pundak Cinta dengan mesra."Dasar, cowok dan cewek ular. Mereka pacaran, 'kan?Pantesan Boy marah banget ke mereka. Orang Cinta nyelingkuhin dia gitu," geram Nava sembari menatap Cinta dan Prima dengan mata berapi-api. Pandangan matanya itu mengikuti mobil yang dinaiki Cinta dan Prima melaju meninggalkan tempat itu. Sedangkan aku berusaha menetralisir perasaanku yang masih kacau."Aku nggak ngerti, Va. Kenapa aku harus terlibat sama mereka sampai sejauh ini. Mendadak dihina-hina padahal nggak ngelakuin salah apapun sama mereka," kataku."Ya ampun, Ris. Kamu parah banget gemeternya. Ayo, kita duduk dulu di sini," ucap Nava. Dia membimbingku ke salah satu bangku yang ada di teras minimarket tersebut."Kayaknya kamu mesti lapor sama Boy deh, Ris. Kata kamu dia bilang kamu harus lapor ke dia kalau ada yang macem-macem sama kamu, 'kan?" lontar Nava ketika kami sudah duduk."Nggak deh. Aku nggak mau jadi tukang ngadu. Takutnya nanti malah jadi makin parah, Va," sahutku."Tapi mereka...""Mereka udah kelewatan, Va. Tapi, tetep aja masalah mereka semua sebenernya nggak ada hubungannya sama aku. Aku juga nggak mau terlibat terus-terusan sama Boy. Apalagi... habis ada kejadian tadi siang," sangkalku."'Kan yang tadi siang cuma kecelakaan, Ris. Kamu sama Boy sama-sama nggak nyangka 'kan bakal ada kejadian kayak gitu," tandas Nava."Iya sih," timpalku pelan. Namun, aku masih belum bisa menerima usul Nava untuk menceritakan perlakuan Cinta tadi kepada Boy."Sebaiknya kamu pikir-pikir lagi deh, Ris. Terserah kamu aja kamu mau ngelaporin penghinaan Cinta yang barusan itu ke Boy atau nggak. Aku dukung yang manapun keputusan kamu kok," cetus Nava penuh pengertian."Ya," tanggapku lirih.***Saat sosok Boy muncul di ambang pintu kelas, aku langsung menundukkan pandangan mata menyembunyikan rasa malu yang masih ada di hati."Dia duduk di tempat lain, Ris," bisik Nava."Baguslah, aku jadi bisa bebas. Nggak dikerjain dia terus," kataku diplomatis."Sekarang dia lagi ngeliatin kamu tuh. Duh, kok aku yang lumer ya liatnya ?" Nava menyikut lenganku pelan sambil mengernyitkan mukanya dengan ekspresi lucu."Nggak mungkin, Va. Udah ah, Pak Wayan dateng tuh," tangkisku sembari mengedikkan dagu ke arah dosen mata kuliah Komunikasi Bisnis yang tengah melangkahkan kaki memasuki ruangan itu."Va, dia ngeliatin kamu lagi. Coba kamu nengok sekali aja kalau kamu masih nggak percaya," beritahu Nava di sela-sela waktu kami menyimak penjelasan materi yang disampaikan Pak Wayan di depan kelas."Aku nggak mungkin nengok, Va. Pasti bakal kepergok. Harus berapa kali lagi sih aku malu sama dia?" kataku emosional."Iya sih," sahut Nava pelan.Hari ini jadwal kuliahku hanya sampai pukul setengah satu siang. Bapak tadi mengirimiku pesan singkat, mengabariku bahwa Pak Sanusi memberi izin dirinya untuk pulang di jam yang sama dengan waktu pulangku karena sedang tidak enak badan. Aku berjanji akan pulang bersamanya. Untuk itu, aku minta tolong pada Nava untuk mengantarkanku ke bengkel begitu kelas terakhir selesai."Bapak kamu udah cek ke dokter belum, Ris?" tanya Nava ketika mulai menjalankan skuternya."Belum. Biasa, keras kepala. Katanya dia udah cek tensi pakai alat ukur yang ada di kantornya Pak Sanusi terus hasilnya normal," jawabku. Rasa kesal mencuat saat mengenang perdebatan berujung kemenangan di pihak Bapak via WazzApp tadi membuatku membuang napas berat."Kata siapa cuma bapak kamu yang keras kepala? Anaknya juga, kali," celetuk Nava usil."Ya 'kan buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Va," kilahku.Nava tertawa, "Emangnya kamu buah apa, Ris?""Buah karya dong," timpalku sambil tertawa juga.Nava menghentikan skuter matic-nya persis di depan bengkel. Kami berdua masih tertawa-tawa, bahkan di saat aku turun dari kendaraan itu. Namun, beberapa detik kemudian, air muka Nava berubah jadi serius sembari memberi kode lewat lirikan matanya ke bagian dalam tempat kerja Bapak itu."Ris. Ada Boy. Dia lagi duduk di arah jam 11. Motornya lagi diservis sama bapak kamu," kata Nava dengan rahang terkatup rapat.Tawaku menghilang. Mendadak saja tengkukku merinding, menyadari ada sepasang mata elang yang mengamatiku dari dalam bengkel tanpa aku perlu memutar tubuh untuk melihat sosoknya secara langsung.BERSAMBUNG"Kok bisa ya mendadak kita ketemu sama dia di sini? Jangan-jangan... Dia juga mau ngaku-ngaku jadi calon menantu bapak kamu juga kali ya, Ris? Anj*y!" cetus Nava sambil menutup mulutnya yang menganga. Sementara aku sibuk mengendalikan diri, terutama mengendalikan detak jantungku yang kecepatannya seperti sedang berlari dikejar hantu."Bukan gitu juga kali Va, konsepnya. Bisa aja 'kan tadi motornya rusak pas baru keluar dari kampus. Bengkel yang paling deket dari sana 'kan cuma bengkel ini," kataku menampik spekulasi Nava yang ngaco itu. Kadang-kadang dia memang orangnya sangat visioner sampai-sampai rawan kebablasan. "Bisa jadi sih," sahut Nava sambil tersenyum kecut."Ngomong-ngomong Hp-mu bunyi tuh," kataku.Nava segera mengais isi tote bag-nya lalu mengeluarkan ponsel yang tengah berdering dari sana. Namun, tepat ketika Nava hendak menerima panggilan telepon itu, bunyi deringnya berhenti."Mama udah missed call 6 kali. Kayaknya ada urusan darurat nih. Maaf ya
Aku duduk di atas jok sepeda motor Bapak dengan sikap pasrah tapi wajah muram. Tak jauh di belakang sana Boy membuntuti kami dengan sepeda motornya yang keren itu. Setelah meledekku dengan gaya arogannya, tadi dia langsung menuruti ajakan Bapak tanpa banyak cakap lagi. Begitu sampai di depan rumah, aku bergegas turun dari sepeda motor dan membuka pintu dengan kunci duplikat yang selalu ku bawa di tas. Aku ingin menunjukkan protesku pada Bapak dalam diam. Karena silent treatment adalah cara paling efektif untuk menyatakan rasa tidak setujuku mengajak Boy ke tempat tinggal kami padahal dia tidak tahu seperti apa hubunganku dengan cowok itu di kampus. Hanya gara-gara dengar dia teman sekampusku, Bapak langsung bertanya mampir ke rumah? Kenapa Bapak tidak sekalian mengajak Cinta dan Prima juga? Biar aku tambah pusing! "Kamu kenapa? Marah sama Bapak ya karena udah ngajakin temen kamu itu ke sini?" celetuk Bapak geli. Tahu-tahu sudah berdiri di belakangku yang sedang berdiri di depan kul
"Ini apa namanya? Rasanya enak," komentar Boy sambil menelan makanan di mulutnya.Aku yang mati gaya sejak tadi karena duduk di sebelahnya hanya meliriknya sekilas, lalu menunduk menekuri isi piring di hadapanku lagi."Itu... Oseng oncom leunca," timpalku. Ku geser sedikit badanku biar agak menjauh dari Boy yang duduknya lebih makan banyak tempat di gang sempit yang memisahkan kursi kami. Situasinya mirip dengan situasi di kelas saat kami duduk bersebelahan. Mengintimidasiku tanpa perlu benar-benar melakukan satupun tindakan intimidasi. "Hmm. Aku suka," tukas Boy. Apa kata Cinta ya, kalau dia tau Boy sekarang lagi makan bareng aku di sini sambil bilang suka oseng oncom leunca?, batinku. Tiba-tiba terpikir Cinta yang menyebut makananku 'menu kampung'.Ngomong-ngomong soal Cinta, sebetulnya aku ingin menanyakan beberapa hal terkait dirinya pada Boy. Tapi aku khawatir pertanyaan-pertanyaanku itu bakal menyinggung perasaannya. Apalagi, Cinta sudah mengkhianatinya, 'kan. Aku tidak tega me
"Aku... Bener-bener nggak tau soal itu," kataku. Sebenarnya Boy punya masalah apa sih dengan papanya? Kok dia sampai emosi begitu setiap kali menyinggung orang tuanya itu? "Nah, sekarang kamu jadi tau, 'kan," cetus Boy ringan. "Ta... Tapi... Kenapa kamu ngasih tau soal itu sama aku?" tanyaku heran."'Kan kamu pacarku," tukas Boy. Wajahku memanas lagi. Itu cuma gimmick, Ris! Ngapain kamu malu-malu segala sih?, batinku. "Aku... cuma pacar bohongan, 'kan? Nggak usah terlalu menghayati. Aku... jadi tambah terbebani," kataku."Dari mana kamu tau kalau aku terlalu menghayati? Padahal muka kamu yang selalu merah tiap kali kita ketemu. Sekarang juga gitu, 'kan," ucap Boy. Telak, hingga membuatku merasa lebih malu lagi dari yang pernah aku rasakan kepadanya selama ini. "Mm... Itu..." timpalku keki. Sementara Boy berkata lagi dengan suara pelan. "Tapi aku suka kok liatnya." Demi apapun juga, rasanya aku ingin merosot ke lantai mendengar ucapan Boy itu. Seluruh tubuhku jadi lemas karenan
"Emangnya kenapa kalau Boy makan oseng oncom? Kayak kalian nggak pernah makan aja! Jangan bilang emak kalian nggak pernah masak itu, ya! Sesama anak kampung aja belagu!" semprot Nava. Suara tawa Prima dan ketiga cewek itu berhenti, walaupun masih ada sisa-sisa sedikit. Namun, perkataan Nava sepertinya telak mengenai harga diri mereka. "Enak aja! Minimal mamaku masaknya steak dong, nggak kayak emaknya kamu!" balas cewek berambut pirang berapi-api. Matanya yang memakai kontak lensa abu-abu membuatnya tampak mengerikan ketika memelototi Nava. Sedangkan Prima hanya melipir duduk di bangku yang tak begitu jauh dari mereka. Dia sepertinya menyadari bahwa pertempuran itu khusus untuk Nava dan tiga cewek beringas itu. Hanya seringai pongah saja yang masih terulas di mulutnya."Alah! Gaya lu steak! Nggak mungkin 'kan tiap hari kamu makan steak?" cecar Nava. Sementara teman-teman sekelas kami yang lain sudah banyak yang datang dan rata-rata mereka mempertanyakan apa yang terjadi di antara kami
"Dia marah ya?" tanyaku pada Nava sambil menatap punggung Boy yang menjauh. “Kayaknya sih enggak, Ris. Tapi kalau doi marah, ya wajarlah. 'Kan ada yang nolak tawarannya pulang sama-sama. Udah dibilangin dia orangnya posesif. Sama kang ojek aja cemburu," kata Nava sambil nyengir kuda. "Jangan bikin berita hoax deh, Va. Orang cemburu buatan kok," kilahku dengan rahang yang dirapatkan. "Kalau ternyata beneran, gimana?" sambar Nava meledekku dengan suara tak kalah lirih dariku. “Taulah,” dengkusku lelah. "Tadi dia kayak enek banget denger ada yang nyebut namanya Cinta, 'kan? Posisi Cinta udah kegeser dong artinya," kata Nava sambil berdiri dan menyandang tasnya. "Terus?" timpalku keki. Ku ikuti Nava berdiri, sementara dari posisi kami berdiri, kami bisa melihat sosok Boy lewat jendela kaca. Dia sedang berdiri bersandar pada pilar dan melihat lurus-lurus ke arahku. Buru-buru ku alihkan pandangan mata ini ke Nava. "Menu
"Nasi goreng kampung?" kutip Boy penuh selidik. Agaknya dia bisa merasakan ada yang berbeda dari nada ucapanku barusan."Y... Ya. Nasi goreng cuma pakai bumbu seadanya, maksudku," terangku sekaligus untuk meralat cara bicaraku. Tak ada gunanya berlama-lama melankolis. Sedih boleh. Tapi putus asa? Jangan! "Emang itu sebutannya atau gimana?""Ya...", sahutku sebelum berlalu ke dapur."Biar aku bantu." Boy muncul di ambang pintu ruangan itu ketika aku sedang mengeluarkan bawang merah dan bawang putih yang sudah dikupas, serta beberapa cabai rawit dari kulkas. "Ng... Nggak usah. Aku... Bisa sendiri kok," tolakku halus. Lagipula, membayangkan kami berdua memasak bersama di dapur yang sempit ini... Belum apa-apa sudah membuatku gugup. "Kamu cuma mau aku liatin?" canda Boy.Itu lebih-lebih lagi!"Ka... Kamu tunggu aja di depan. Nggak apa-apa kok, " jawabku. Terang-terangan mengusir mahkluk tampan pengusik ketenangan hatiku itu. "Nggak mau. Aku mau di
"Ibumu nanyain kabar Bapak dan kamu. Terus, dia juga bilang, belum waktunya Bapak ikut dia." Bapak tertawa kecil di ujung ceritanya. Seorang suster menghampiri kami. "Mbak keluarganya pasien ini, ya?" tanya suster itu kepadaku. "Iya, Sus," jawabku. "Silakan Mbak ke loket administrasi dan loket farmasi ya, Mbak. Kata dokter yang memeriksa tadi, pasien ini nggak perlu rawat inap, cuma perlu rawat jalan saja setiap bulan karena kadar gulanya rendah," kata suster."Baik, Sus. Terima kasih," timpalku. Suster di depanku hanya mengangguk singkat sambil tersenyum tipis, kemudian berlalu. Aku menoleh pada Bapak, "Ya udah, aku pergi dulu ya, Pak.""Hmm," gumam Bapak."Tenang aja, aku yang nemenin Om," kata Boy. Untuk pertama kalinya dia bersuara sejak kami kemari. Aku mengulas senyum pada Boy sebelum beranjak keluar dari ruangan itu, "Ya... Makasih ya, Boy."***Duduk di bangku besi yang sama dan mengant