Home / Romansa / My 'Bad' Boyfriend / BAB 8 - Harus Berapa Kali Lagi?

Share

BAB 8 - Harus Berapa Kali Lagi?

Author: Kanita Faraya
last update Last Updated: 2024-01-04 13:28:40

"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang.

"Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava.

"Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati..."

"Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku.

"Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli.

"Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling.

"Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku.

"Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua.

"Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku.

"Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias.

"Makasih," balasku.

"Aku juga mau dong jadi pebisnis yang sukses kayak kamu," timpal Nava.

"Ya udah, nanti pas lulus kita bisa mulai buka usaha yang nggak butuh modal besar dulu. Jujur, aku udah mulai nabung sejak semester satu buat uang modal usahaku nanti, Va," ungkapku.

"Boleh juga tuh buat aku tiru," komentar Nava seraya menghentikan laju skuter karena kami sudah sampai di halaman depan gedung Alphamart.

"Nanti kamu mau nggak nongkrong sebentar dulu di alun-alun?" cetus Nava sambil melepas helm-nya.

"Nggak ah. Rame banget," jawabku.

"Ya udah, nanti kita langsung pulang aja. Aku juga udah pengin ngajak kamu nonton film di rumah," kata Nava. Dia menggamit lenganku mengajakku bersama-sama meniti tangga teras gedung minimarket itu. Kami sangat kaget ketika hampir saja bertabrakan dengan Cinta dan Prima yang baru keluar melalui pintu kaca.

"Maaf," kataku dan Nava berbarengan.

"Minta maaf buat apa? Karena udah ngerayu Boy pakai makanan kampung, gitu ya?" celetuk Cinta sarkas. Spontan wajahku jadi memanas mendengar ucapannya yang sangat menyakitkan hati itu. Walaupun kepalaku menunduk, tetapi tidak dengan harga diriku. Bapak dan almarhum Ibu selalu mengajarkan untuk selalu jujur dan adil pada siapapun, dimulai kepada diri sendiri.

Aku tidak punya salah apapun terhadap Cinta.

Kenapa aku mesti takut kepadanya?

Toh, dia sudah bersikap kelewat batas kepadaku.

"Aku... nggak pernah ngerayu dia sama sekali. Dia yang deketin aku," tegasku.

"Risa bukan cewek genit!" dukung Nava. Dia mengencangkan cekalannya di lenganku.

"Kalau bukan cewek genit, ngapain mau aja diajak berduaan di atap kampus, hmm?" kata Cinta tajam. Dia berjalan melewatiku seraya menabrakkan pundaknya ke pundakku dengan sengaja.

Prima yang membuntut di belakang Cinta tertawa sengak, kemudian menjajari langkah cewek itu.

"Kasian kamu, Yang. Pundak kamu jadi sakit, 'kan," ujar Prima pada Cinta. Aku sempat melihatnya merangkul pundak Cinta dengan mesra.

"Dasar, cowok dan cewek ular. Mereka pacaran, 'kan?Pantesan Boy marah banget ke mereka. Orang Cinta nyelingkuhin dia gitu," geram Nava sembari menatap Cinta dan Prima dengan mata berapi-api. Pandangan matanya itu mengikuti mobil yang dinaiki Cinta dan Prima melaju meninggalkan tempat itu. Sedangkan aku berusaha menetralisir perasaanku yang masih kacau.

"Aku nggak ngerti, Va. Kenapa aku harus terlibat sama mereka sampai sejauh ini. Mendadak dihina-hina padahal nggak ngelakuin salah apapun sama mereka," kataku.

"Ya ampun, Ris. Kamu parah banget gemeternya. Ayo, kita duduk dulu di sini," ucap Nava. Dia membimbingku ke salah satu bangku yang ada di teras minimarket tersebut.

"Kayaknya kamu mesti lapor sama Boy deh, Ris. Kata kamu dia bilang kamu harus lapor ke dia kalau ada yang macem-macem sama kamu, 'kan?" lontar Nava ketika kami sudah duduk.

"Nggak deh. Aku nggak mau jadi tukang ngadu. Takutnya nanti malah jadi makin parah, Va," sahutku.

"Tapi mereka..."

"Mereka udah kelewatan, Va. Tapi, tetep aja masalah mereka semua sebenernya nggak ada hubungannya sama aku. Aku juga nggak mau terlibat terus-terusan sama Boy. Apalagi... habis ada kejadian tadi siang," sangkalku.

"'Kan yang tadi siang cuma kecelakaan, Ris. Kamu sama Boy sama-sama nggak nyangka 'kan bakal ada kejadian kayak gitu," tandas Nava.

"Iya sih," timpalku pelan. Namun, aku masih belum bisa menerima usul Nava untuk menceritakan perlakuan Cinta tadi kepada Boy.

"Sebaiknya kamu pikir-pikir lagi deh, Ris. Terserah kamu aja kamu mau ngelaporin penghinaan Cinta yang barusan itu ke Boy atau nggak. Aku dukung yang manapun keputusan kamu kok," cetus Nava penuh pengertian.

"Ya," tanggapku lirih.

***

Saat sosok Boy muncul di ambang pintu kelas, aku langsung menundukkan pandangan mata menyembunyikan rasa malu yang masih ada di hati.

"Dia duduk di tempat lain, Ris," bisik Nava.

"Baguslah, aku jadi bisa bebas. Nggak dikerjain dia terus," kataku diplomatis.

"Sekarang dia lagi ngeliatin kamu tuh. Duh, kok aku yang lumer ya liatnya ?" Nava menyikut lenganku pelan sambil mengernyitkan mukanya dengan ekspresi lucu.

"Nggak mungkin, Va. Udah ah, Pak Wayan dateng tuh," tangkisku sembari mengedikkan dagu ke arah dosen mata kuliah Komunikasi Bisnis yang tengah melangkahkan kaki memasuki ruangan itu.

"Va, dia ngeliatin kamu lagi. Coba kamu nengok sekali aja kalau kamu masih nggak percaya," beritahu Nava di sela-sela waktu kami menyimak penjelasan materi yang disampaikan Pak Wayan di depan kelas.

"Aku nggak mungkin nengok, Va. Pasti bakal kepergok. Harus berapa kali lagi sih aku malu sama dia?" kataku emosional.

"Iya sih," sahut Nava pelan.

Hari ini jadwal kuliahku hanya sampai pukul setengah satu siang. Bapak tadi mengirimiku pesan singkat, mengabariku bahwa Pak Sanusi memberi izin dirinya untuk pulang di jam yang sama dengan waktu pulangku karena sedang tidak enak badan. Aku berjanji akan pulang bersamanya. Untuk itu, aku minta tolong pada Nava untuk mengantarkanku ke bengkel begitu kelas terakhir selesai.

"Bapak kamu udah cek ke dokter belum, Ris?" tanya Nava ketika mulai menjalankan skuternya.

"Belum. Biasa, keras kepala. Katanya dia udah cek tensi pakai alat ukur yang ada di kantornya Pak Sanusi terus hasilnya normal," jawabku. Rasa kesal mencuat saat mengenang perdebatan berujung kemenangan di pihak Bapak via WazzApp tadi membuatku membuang napas berat.

"Kata siapa cuma bapak kamu yang keras kepala? Anaknya juga, kali," celetuk Nava usil.

"Ya 'kan buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Va," kilahku.

Nava tertawa, "Emangnya kamu buah apa, Ris?"

"Buah karya dong," timpalku sambil tertawa juga.

Nava menghentikan skuter matic-nya persis di depan bengkel. Kami berdua masih tertawa-tawa, bahkan di saat aku turun dari kendaraan itu. Namun, beberapa detik kemudian, air muka Nava berubah jadi serius sembari memberi kode lewat lirikan matanya ke bagian dalam tempat kerja Bapak itu.

"Ris. Ada Boy. Dia lagi duduk di arah jam 11. Motornya lagi diservis sama bapak kamu," kata Nava dengan rahang terkatup rapat.

Tawaku menghilang. Mendadak saja tengkukku merinding, menyadari ada sepasang mata elang yang mengamatiku dari dalam bengkel tanpa aku perlu memutar tubuh untuk melihat sosoknya secara langsung.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 117 - I Love You

    "Capek ya, Dek?" kataku pada Xander yang berada di gendongan Boy. Kami baru saja keluar dari wahana It's A Small World Tokyo Disneyland. "Kita makan dulu. Habis itu naik kereta keliling taman ini, mau nggak?" tanya Boy kepadaku dan Xander sekaligus. "Oke," timpalku. Ku ikuti saja langkah Boy yang panjang-panjang menuju ke sebuah restoran yang ada di taman hiburan tersebut. "Enak nggak waffle-nya?" Boy menanyai Xander yang tengah menggigit waffle berbentuk kepala Mickey Mouse dengan topping mangga kocok dan saus maple. "Enak," jawab Xander. "Lebih enak waffle itu atau kue pancong?" tanyaku iseng. Xander pernah makan kue pancong dan bilang kue itu enak sekali. Aku ingin tahu penilaiannya sekarang. Apakah kue pancong masih jadi kue favoritnya? "Kue pancong," kata Xander. Sontak aku dan Boy tertawa mendengar jawabannya yang bernada polos itu. "Emang ya, lidah lokal." Boy mengacak-acak rambut Xander dengan sayang.

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 116 - Percaya

    Boy membukakan pintu kamar kami menggunakan key card. Mataku sukses dibuat terbeliak lebar begitu berjalan memasuki ruangan yang super mewah itu, yang sepertinya merupakan kamar yang termewah dan termahal di Java Star Hotel.Aku melewati mini bar dan berbagai fasilitas eksklusif yang ada di kamar itu dengan batin yang tak kunjung berhenti mengagumi. "Mau minum sesuatu?" Boy membuka pintu kulkas yang berada di dapur. Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku udah banyak minum cocktail di ballroom tadi."Boy menenggak isi minuman kaleng di tangannya, kemudian dia bergabung duduk denganku di sofa yang ada di seberang meja TV. Kami berdua menonton film dokumenter mengenai kehidupan sekelompok gajah di Afrika dalam keheningan yang terasa aneh dan sedikit mencekam. Sampai-sampai, ketika laki-laki di sampingku mengatakan sesuatu, hampir saja badanku melonjak karena kaget. "Besok kita ke makam Bapak sama Ibu ya," kata Boy. Aku terpana men

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 115 - Bahagia

    Acara pemberkatan dan penandatanganan surat nikah sudah usai. Para tamu undangan bergiliran naik ke atas panggung untuk menyalamiku dan Boy yang berdiri diapit para orang tua. Kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang tak ku kenal sama sekali. Sepertinya mereka adalah rekan bisnis Papa dan kenalan Mama. Hanya Nava, beberapa tetangga, dan teman-teman dari Yogyakarta yang merupakan tamu dari circle-ku. Bahkan, Boy juga cuma mengundang Riga. Selebihnya, dia bilang dia tak mempunyai teman dekat lain.'Seandainya Bapak sama Ibu hadir di sini sekarang.' batinku sedih.Di urutan terakhir dari antrean tamu sepanjang rel kereta api itu, Febri cs menyapaku dengan heboh begitu mereka sampai di hadapanku. "Hai, Risaaa! Selamat ya, Ris! Btw, kamu cantik bangeettt pake gaun kayak gituuu!" Febri menjabat tanganku dan mencium kedua belah pipiku dengan kalap.Wawa, Devi, Nella, dan Marwah mengikuti apa yang dilakukan oleh Febri itu dengan gaya yang sama persis. Bahkan, Nella yang pendiam sepe

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 114 - Langkah

    "Emangnya mau dipanggil apa lagi selain 'kak'?" Seorang laki-laki muncul di belakang Kak Valerie. Badannya lebih tinggi dari Boy, tetapi lebih berisi dibandingkan badan adiknya. Soal wajah, mereka berdua mirip sekali, bahkan sampai ke tingkah-lakunya. "Dari mana aja kamu?" sentak Kak Valerie dengan ekspresi muka bak emak-emak menginterogasi anaknya yang baru pulang subuh. "Dari ruang makan. Tadi ada telpon dari pak hakim," jawab laki-laki itu dengan nada acuh tak acuh. "Oh," timpal Kak Valerie singkat. Dia kembali ke setelan anggunnya, kemudian mengalihkan pandangan kepada Xander. Badannya sedikit dia bungkukkan agar bisa sejajar dengan anak itu. "Kalau kamu namanya siapa? Aunty boleh tau nggak?" tanya Kak Valerie ramah. Namun Xander bukannya menjawabnya, malah bergegas bersembunyi di balik kaki Boy. "Dia takut tuh sama kamu. Kamu sih, nakutin." Kakaknya Boy meledek istrinya dengan bicara sok serius, padahal tanpa sepengetahuan wanita itu dia meringis lebar seraya mengulurka

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 113 - Impian

    Aku keluar dari ruang ganti dengan wajah tertunduk. Rasa malu menyerangku, padahal aku tengah memakai gaun pengantin yang ku impi-impikan sejak aku baru mengenal cinta monyet. Gaun berbahan tile berwarna putih dengan hiasan payet-payet dan renda, dengan model kerah Sabrina yang menampakkan kedua bahuku. Belum lagi ekor gaun yang panjang menjuntai di lantai, serta tak lupa kerudung dari bahan veil yang melengkapi gaun itu. Cantik, bukan? Tapi aku merasa tak nyaman memakainya karena terlalu terbuka. Kalau aku yang dulu memakainya, pasti bakalan suka. Berbeda sekali dengan aku yang sekarang. Kejadian yang sudah menjungkirbalikkan kehidupanku itu telah mengubah seleraku juga dalam hal berpakaian. "Cantik banget kamu, Ris!" cetus Mama. Otomatis kepalaku terangkat menatapnya. Dan secara tak sengaja pula, aku dan Boy jadi bersirobok mata.Boy memperhatikanku hampir tanpa berkedip. Tatapannya begitu sulit ku artikan. Yang jelas, efeknya membuatku serasa dikuliti. "Ya 'kan, Boy?" Mama menole

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 112 - Will You?

    "I... ini... maksudnya apa ya, Tan?" kataku penuh rasa terkejut luar biasa ketika Tante Merry berhenti di depan sebuah boneka manekin yang memakai gaun pengantin kepadaku. Tante Merry tersenyum menatapku. "Tanya aja sendiri sama calon mama mertua kamu. Itu orangnya."Aku menengok ke arah yang ditunjuk oleh Tante Merry lewat kerlingan matanya. "Ma..." panggilku dengan nada bingung. "Maafin Mama ya, Ris. Mama pikir, lebih baik kalian cepet-cepet nikah aja dibandingkan tunangan dulu. Kelamaan nanti. Mama udah nggak sabar pengin jadiin kamu menantu Mama, Sayang. Nggak apa-apa, 'kan? Toh, Xander juga udah akrab sama Papa dan Mama. Apa lagi yang mau kalian tunggu?" jawab Mama dengan raut wajah polos versi anggunnya. Dia menggandeng tangan Xander selagi mendekatiku, kemudian menyunggingkan senyuman terlembutnya. "Tapi kalau Risa nggak mau sama aku habis ini, berarti itu salah Mama ya." Boy tahu-tahu muncul dari balik tirai ruang ganti. Penampilannya sangat-sangat berbeda jauh dibandingka

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 111 - Hangat

    Ini jalan ke pantai yang waktu itu bukan?" celetukku saat mobil yang kami tumpangi memasuki jalan raya yang tampak familiar bagiku, berkaitan dengan ingatan masa lalu. Boy tersenyum sambil tetap fokus menatap ke depan. "Ya. Kamu belum pernah ke sini pagi-pagi, 'kan? Sunrise-nya juga bagus lho diliat di sana."Ya, memang. Saat ini masih subuh menjelang matahari terbit. Kenapa aku tidak menyadari maksud dan tujuan Boy sebelumnya ya? "Jadi nggak sabar liatnya," jawabku antusias sembari memalingkan wajah menatap pemandangan di luar kaca jendela mobil di sisi kiriku. "Papa," panggil Xander. Mendadak saja anak itu terbangun. Dia yang tadinya setengah tiduran di pangkuanku sekarang beringsut mengubah posisinya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya mengusap mata yang merah khas orang baru bangun. "Kamu kaget nggak, tau-tau ada di mobil?" tanya Boy. Dia mengulas senyum lebar pada Xander yang tampak bingung celingukan melihat-lihat keadaan di se

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 110 - Nostalgia Nasi Goreng Kampung

    "Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 109 - Hadiah Kecil Untuk Diri Sendiri

    "Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status