Share

2. Pertemuan Tak Terduga

Aku memutar keran menutup, merubah aliran deras air bening menjadi tetesan dalam tempo yang lebih lambat.

“Kencan konyol dan aku idiot!” 

Sepuluh menit yang lalu, Putra sudah berhasil membujukku berduet menyanyikan sebuah lagu dangdut koplo. Bahkan dia menggunakan momen itu untuk diam-diam menyentuh rambut dan tubuhku. Aku ingin muntah lagi jika mengingatnya. Mungkin sekarang setelah puas berusaha menggerayangikku, ia tengah menyusun rencana untuk menyeretku ke tempat tidur. Berdalih mual dan pusing, aku bisa kabur ke toilet. 

Bayanganku terpantul di cermin persegi yang tergantung. Rona pucat membayang di antara wajah oval tirusku. Rambutku yang model bob dan saat ini sudah memanjang di bawah pundak, tampak lepek. Asal-asalan kusisir rambutku dengan jari.

Tiba-tiba aku melihat pantulan sekilas bayangan yang berkelebat cepat di belakangku.

Aku berbalik. Tidak ada siapapun di belakang, persis ketika aku masuk tadi. Terdapat dua bilik toilet dan semuanya kosong. 

“Halo? Siapa di sana?” teriakku dengan bulu kuduk meremang.

Sunyi.

Oke…oke…rileks! Aku hanya kebanyakan minum soda, kurang tidur, dan punya pasangan ngedate cabul. Jadi sekarang aku pusing dan mulai berhalusinasi gila.

Tidak mau berlama-lama di ruangan seram itu, aku segera keluar dari toilet.

Aku menuju lemari pendingin, mengambil air mineral lalu membayarnya di kasir. Jam dinding bulat yang tergantung di belakang kasir menunjukkan tepat pukul sebelas malam. Aku berjalan lagi, bukan kembali ke ruang karaoke, tapi aku mau pulang meskipun besok Gina akan mengomeliku seharian. Pergi ke dokter THT menjadi pilihan yang lebih menarik dari pada menjadi korban pelecehan seksual.

Bersandar ke dinding, aku membuka tutup botol dan mulai menegak. Tiba-tiba seseorang mencolek bahuku. Satu kali…dua kali… 

Dia pikir bahuku ini sambal colek, apa? Sebelum colekan yang ketiga aku berbalik.

Berdiri di belakangku, seorang laki-laki jangkung dengan bayangan dada bidang menggiurkan. Seperti dada milik foto model dalam artikel majalah bertema sex sehat yang biasanya kubaca sembunyi-sembunyi sebelum tidur. Berotot tapi tidak terlalu gempal berlebihan. Sangat maskulin. Pria berambut gelap pendek itu menggunakan jas casual gelap dengan kemeja berwarna abu-abu yang mungkin tadinya ada dasi tapi dilepas paksa sehingga bagian depan kemejanya sedikit kusut. Aroma hutan pinus bercampur apel segar menggantung di udara seperti selimut beludru yang lembut dan mengundang, dan aku yakin bersumber dari tubuhnya. Bersedekap santai dengan gaya macho alamiahnya, laki-laki itu menatapku.

Sialnya hari ini begitu kacau. Misiku untuk menggaet pria malam ini sudah resmi kututup. Jadi, dengan terpaksa laki-laki berperawakan dewa ini harus aku lewatkan. Sebenarnya sayang sekali, semua yang ada pada dirinya memenuhi semua kriteria pria impianku, baik wajah, postur tubuh, ataupun dada bidangnya─bagian dari tubuh laki-laki yang begitu aku puja. Andai saja aku bertemu laki-laki ini jauh sebelum aku bertemu Putra, dengan hasratku yang masih menggebu-gebu, lelaki ini pasti sudah kurayu habis-habisan tanpa peduli pendidikan moral yang kumiliki. 

Tidak menghiraukan sopan santun yang sudah diajarkan orangtuaku, aku kembali menegak airku sambil menatap balik sepasang mata hitam lelaki itu dengan sikap menantang. Sepertinya aku pernah melihatnya, dia terlihat tidak asing. 

“Apa?! Kita saling kenal?”

Bibir lelaki itu berwarna sedikit kemerah-merahan alami. Bibir sehat bukan perokok, dengan bagian bawah sedikit lebih penuh dari pada bagian atas, anehnya 

membuatnya semakin seksi, meskipun aku rasa dia sedang mendengus sinis sekarang. “Kamu bercanda, ya?”

Setelah tiga detik berpikir, aku merasa malu sekaligus bodoh. Bunyi ‘ting’ berteriak di kepalaku.

Kedatanganku yang terlambat membuatku tidak mengetahui nama-nama para peserta kencan buta selain Gina, Hendrik, dan Putra. Tapi aku ingat, lelaki inilah yang tadi melotot marah padaku saat aku kepergok mencuri pandang ke arahnya. Bagus, jadi aku tadi telah membuatnya tersinggung sehingga dia mau mengomeliku sekarang? Apakah ada peraturan perundang-undangan tentang larangan memandangi orang tampan yang telah kulanggar?

Akibat terburu-buru, aku tidak sempat memakai kontak lensa dan apesnya kacamataku juga tertinggal. Aku memicingkan mata agar pandanganku bisa lebih fokus. 

Laki-laki ini sungguh menarik. Bukan golongan tampan yang manis, ramah, baik hati atau ketampanan yang dimiliki bangsawan yang selalu taat pada tata krama. Dia menarik dengan caranya sendiri, ada raut sombong, sedikit liar, dan keras kepala tergambar menonjol di tulang wajahnya yang kokoh. Rahangnya tampak kuat. Ia juga punya sepasang mata hitam tegas, yang bisa terasa menelanjangi ketika ia memutuskan untuk menatap lawan jenisnya secara intens. Sudut bibir kanannya sedikit tertarik ke atas, menampakkan cengiran sinis yang khas. Lelaki ini sangat cocok memerankan tokoh pria tampan jahat dan licik yang begitu banyak dipuja kaum wanita dalam sebuah film misteri. 

Aku berdehem, menghilangkan suara serak yang tiba-tiba memenuhi kerongkongan. “Jika kamu tersinggung karena aku memandangimu tadi, terserahlah. Aku tidak berniat minta maaf.”

Rasa sebalku yang tak beralasan kembali. Kutegak lagi airku dengan marah.

Si laki-laki asing memutar bola matanya sambil menggigit bibir bawahnya. Entah ia sadar atau tidak, gerakan provokatif itu sungguh terlarang karena ia tampak semakin enak untuk digigit. Lalu dengan pelan ia mencodongkan tubuhnya yang beraroma campuran pinus dan apel segar ke arahku. Ia benar-benar sedang menghipnotisku. 

“Kamu beneran lupa atau kamu memang jago acting?” Menggunakan punggung telunjuknya, ia mengelus pelan pipi kiriku, mengirimkan getaran elektrik di sekujur tubuhku yang menghangat. “Aku orang yang kamu tampar sembilan tahun lalu.”

Sepuluh detik pertama otakku menjadi kosong. 

Apakah efek samping dari pusing adalah amnesia?! Tidak mungkin aku mempunyai pikiran mesum pada musuhku! Tidak mungkin pula aku melupakan wajah musuhku begitu saja! 

Daniel?! Mantan sahabat Revi yang pernah kutampar karena ia mengataiku ‘si parasut menjijikkan’.

Aku tersedak. Air yang masih berada di mulutku tersembur keluar begitu saja dan menyemprot tepat di wajah Daniel, layaknya air yang menyembur deras dari selang pemadam kebakaran.

“Sial.” Daniel berdiri tegak dengan tetesan air di seluruh wajahnya yang marah. “Kamu tuh nggak bisa ya, bersikap baik padaku? Aduuhh!”

Sebelum Daniel mencekal tanganku, aku berhasil menendang tulang keringnya dengan high heel hitam yang kupakai. Daniel terhuyung kesakitan, aku pukulkan botol air mineral ke tubuhnya berulang kali. Air tumpah ke lantai licin yang baru saja dipel. Terlihat dari tanda ‘wet floor’ di ujung lorong. Kudorong Daniel dengan tenagaku yang kembali menggebu-gebu.

Daniel jatuh terpeleset. Ia terjengkang di lantai, melototiku sambil menggeram marah, “Kamu memukuliku?!”

“Sembilan tahun berlalu, tapi kamu tetap saja jadi kudanil bodoh!” teriakku dan segera melesat kabur melihat Daniel mulai bangun.

“Gadis udik, stop!” perintah Daniel. “Anaaa…!!!”

Aku beruntung melihat Daniel terpeleset jatuh lagi. Tapi itu tidak membuatku mengurangi kecepatan langkah. Dulu aku menamparnya, sekarang aku memukulinya, mencincangku pelan-pelan pasti menjadi prioritas utama hidup Daniel. 

Dengan nafas memburu, aku masuk ke dalam mobil boxku tersayang. Duduk di balik kemudi, cepat-cepat kupasang sabuk pengaman. Secara tidak sengaja, sudut mataku melihat ada sepasang kaki di kursi sebelah. Bulu kudukku serentak berdiri. Aku mendongak. Revi duduk tepat di sebelahku.

Sambil menjerit lantang, aku meringkuk di sudut pintu dan menutupi wajah dengan tangan. Tetapi saat aku mengintip, tidak ada siapapun di dalam mobil. Sial. Munculnya Daniel mendatangkan kenangan-kenangan burukku. Tidak ingin bertambah gila, aku segera tancap gas sejauh-jauhnya.

ᴥ  ᴥ  ᴥ  ᴥ  ᴥ

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status