Aku memutar keran menutup, merubah aliran deras air bening menjadi tetesan dalam tempo yang lebih lambat.
“Kencan konyol dan aku idiot!”
Sepuluh menit yang lalu, Putra sudah berhasil membujukku berduet menyanyikan sebuah lagu dangdut koplo. Bahkan dia menggunakan momen itu untuk diam-diam menyentuh rambut dan tubuhku. Aku ingin muntah lagi jika mengingatnya. Mungkin sekarang setelah puas berusaha menggerayangikku, ia tengah menyusun rencana untuk menyeretku ke tempat tidur. Berdalih mual dan pusing, aku bisa kabur ke toilet.
Bayanganku terpantul di cermin persegi yang tergantung. Rona pucat membayang di antara wajah oval tirusku. Rambutku yang model bob dan saat ini sudah memanjang di bawah pundak, tampak lepek. Asal-asalan kusisir rambutku dengan jari.
Tiba-tiba aku melihat pantulan sekilas bayangan yang berkelebat cepat di belakangku.
Aku berbalik. Tidak ada siapapun di belakang, persis ketika aku masuk tadi. Terdapat dua bilik toilet dan semuanya kosong.
“Halo? Siapa di sana?” teriakku dengan bulu kuduk meremang.
Sunyi.
Oke…oke…rileks! Aku hanya kebanyakan minum soda, kurang tidur, dan punya pasangan ngedate cabul. Jadi sekarang aku pusing dan mulai berhalusinasi gila.
Tidak mau berlama-lama di ruangan seram itu, aku segera keluar dari toilet.
Aku menuju lemari pendingin, mengambil air mineral lalu membayarnya di kasir. Jam dinding bulat yang tergantung di belakang kasir menunjukkan tepat pukul sebelas malam. Aku berjalan lagi, bukan kembali ke ruang karaoke, tapi aku mau pulang meskipun besok Gina akan mengomeliku seharian. Pergi ke dokter THT menjadi pilihan yang lebih menarik dari pada menjadi korban pelecehan seksual.
Bersandar ke dinding, aku membuka tutup botol dan mulai menegak. Tiba-tiba seseorang mencolek bahuku. Satu kali…dua kali…
Dia pikir bahuku ini sambal colek, apa? Sebelum colekan yang ketiga aku berbalik.
Berdiri di belakangku, seorang laki-laki jangkung dengan bayangan dada bidang menggiurkan. Seperti dada milik foto model dalam artikel majalah bertema sex sehat yang biasanya kubaca sembunyi-sembunyi sebelum tidur. Berotot tapi tidak terlalu gempal berlebihan. Sangat maskulin. Pria berambut gelap pendek itu menggunakan jas casual gelap dengan kemeja berwarna abu-abu yang mungkin tadinya ada dasi tapi dilepas paksa sehingga bagian depan kemejanya sedikit kusut. Aroma hutan pinus bercampur apel segar menggantung di udara seperti selimut beludru yang lembut dan mengundang, dan aku yakin bersumber dari tubuhnya. Bersedekap santai dengan gaya macho alamiahnya, laki-laki itu menatapku.
Sialnya hari ini begitu kacau. Misiku untuk menggaet pria malam ini sudah resmi kututup. Jadi, dengan terpaksa laki-laki berperawakan dewa ini harus aku lewatkan. Sebenarnya sayang sekali, semua yang ada pada dirinya memenuhi semua kriteria pria impianku, baik wajah, postur tubuh, ataupun dada bidangnya─bagian dari tubuh laki-laki yang begitu aku puja. Andai saja aku bertemu laki-laki ini jauh sebelum aku bertemu Putra, dengan hasratku yang masih menggebu-gebu, lelaki ini pasti sudah kurayu habis-habisan tanpa peduli pendidikan moral yang kumiliki.
Tidak menghiraukan sopan santun yang sudah diajarkan orangtuaku, aku kembali menegak airku sambil menatap balik sepasang mata hitam lelaki itu dengan sikap menantang. Sepertinya aku pernah melihatnya, dia terlihat tidak asing.
“Apa?! Kita saling kenal?”
Bibir lelaki itu berwarna sedikit kemerah-merahan alami. Bibir sehat bukan perokok, dengan bagian bawah sedikit lebih penuh dari pada bagian atas, anehnya
membuatnya semakin seksi, meskipun aku rasa dia sedang mendengus sinis sekarang. “Kamu bercanda, ya?”Setelah tiga detik berpikir, aku merasa malu sekaligus bodoh. Bunyi ‘ting’ berteriak di kepalaku.
Kedatanganku yang terlambat membuatku tidak mengetahui nama-nama para peserta kencan buta selain Gina, Hendrik, dan Putra. Tapi aku ingat, lelaki inilah yang tadi melotot marah padaku saat aku kepergok mencuri pandang ke arahnya. Bagus, jadi aku tadi telah membuatnya tersinggung sehingga dia mau mengomeliku sekarang? Apakah ada peraturan perundang-undangan tentang larangan memandangi orang tampan yang telah kulanggar?
Akibat terburu-buru, aku tidak sempat memakai kontak lensa dan apesnya kacamataku juga tertinggal. Aku memicingkan mata agar pandanganku bisa lebih fokus.
Laki-laki ini sungguh menarik. Bukan golongan tampan yang manis, ramah, baik hati atau ketampanan yang dimiliki bangsawan yang selalu taat pada tata krama. Dia menarik dengan caranya sendiri, ada raut sombong, sedikit liar, dan keras kepala tergambar menonjol di tulang wajahnya yang kokoh. Rahangnya tampak kuat. Ia juga punya sepasang mata hitam tegas, yang bisa terasa menelanjangi ketika ia memutuskan untuk menatap lawan jenisnya secara intens. Sudut bibir kanannya sedikit tertarik ke atas, menampakkan cengiran sinis yang khas. Lelaki ini sangat cocok memerankan tokoh pria tampan jahat dan licik yang begitu banyak dipuja kaum wanita dalam sebuah film misteri.
Aku berdehem, menghilangkan suara serak yang tiba-tiba memenuhi kerongkongan. “Jika kamu tersinggung karena aku memandangimu tadi, terserahlah. Aku tidak berniat minta maaf.”
Rasa sebalku yang tak beralasan kembali. Kutegak lagi airku dengan marah.
Si laki-laki asing memutar bola matanya sambil menggigit bibir bawahnya. Entah ia sadar atau tidak, gerakan provokatif itu sungguh terlarang karena ia tampak semakin enak untuk digigit. Lalu dengan pelan ia mencodongkan tubuhnya yang beraroma campuran pinus dan apel segar ke arahku. Ia benar-benar sedang menghipnotisku.
“Kamu beneran lupa atau kamu memang jago acting?” Menggunakan punggung telunjuknya, ia mengelus pelan pipi kiriku, mengirimkan getaran elektrik di sekujur tubuhku yang menghangat. “Aku orang yang kamu tampar sembilan tahun lalu.”
Sepuluh detik pertama otakku menjadi kosong.
Apakah efek samping dari pusing adalah amnesia?! Tidak mungkin aku mempunyai pikiran mesum pada musuhku! Tidak mungkin pula aku melupakan wajah musuhku begitu saja!
Daniel?! Mantan sahabat Revi yang pernah kutampar karena ia mengataiku ‘si parasut menjijikkan’.Aku tersedak. Air yang masih berada di mulutku tersembur keluar begitu saja dan menyemprot tepat di wajah Daniel, layaknya air yang menyembur deras dari selang pemadam kebakaran.
“Sial.” Daniel berdiri tegak dengan tetesan air di seluruh wajahnya yang marah. “Kamu tuh nggak bisa ya, bersikap baik padaku? Aduuhh!”
Sebelum Daniel mencekal tanganku, aku berhasil menendang tulang keringnya dengan high heel hitam yang kupakai. Daniel terhuyung kesakitan, aku pukulkan botol air mineral ke tubuhnya berulang kali. Air tumpah ke lantai licin yang baru saja dipel. Terlihat dari tanda ‘wet floor’ di ujung lorong. Kudorong Daniel dengan tenagaku yang kembali menggebu-gebu.
Daniel jatuh terpeleset. Ia terjengkang di lantai, melototiku sambil menggeram marah, “Kamu memukuliku?!”
“Sembilan tahun berlalu, tapi kamu tetap saja jadi kudanil bodoh!” teriakku dan segera melesat kabur melihat Daniel mulai bangun.
“Gadis udik, stop!” perintah Daniel. “Anaaa…!!!”
Aku beruntung melihat Daniel terpeleset jatuh lagi. Tapi itu tidak membuatku mengurangi kecepatan langkah. Dulu aku menamparnya, sekarang aku memukulinya, mencincangku pelan-pelan pasti menjadi prioritas utama hidup Daniel.
Dengan nafas memburu, aku masuk ke dalam mobil boxku tersayang. Duduk di balik kemudi, cepat-cepat kupasang sabuk pengaman. Secara tidak sengaja, sudut mataku melihat ada sepasang kaki di kursi sebelah. Bulu kudukku serentak berdiri. Aku mendongak. Revi duduk tepat di sebelahku.
Sambil menjerit lantang, aku meringkuk di sudut pintu dan menutupi wajah dengan tangan. Tetapi saat aku mengintip, tidak ada siapapun di dalam mobil. Sial. Munculnya Daniel mendatangkan kenangan-kenangan burukku. Tidak ingin bertambah gila, aku segera tancap gas sejauh-jauhnya.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Sembilan tahun lalu… Kedua tanganku penuh tumpukan buku dan kertas-kertas berisi catatan. Aku baru saja keluar dari perpustakaan kampus. Seperti hari-hari sebelumnya, membantu mengumpulkan bahan materi tugas akhir Revi, senior paling baik yang kukenal empat bulan lalu di acara penyambutan mahasiswa baru. Dan kali ini tugasku bertambah dengan esai sepanjang sepuluh halaman yang harus selesai kukerjakan sebelum tengah hari. Esai itu adalah hukuman yang diberikan oleh Daniel, si asisten dosen paling menyebalkan yang kemarin mendapati aku dan Gina terlarut dalam obrolan rencana akhir pekan, selama hampir setengah jam pelajaran. Ketika asisten dosen itu melontarkan pertanyaan pada kami, otakku benar-benar buntu. Gina justru senang mendapat hukuman, alasannya ia mengidolakan asisten dosen itu melebihi dokter gigi pribadinya yang katanya amat sangat tampan sekaligus mengalahkan pesona Robert Pattinson, aktor tiada tanding versi Gina. Jadi Gina rela melakukan apapun
Lagi-lagi kabut tebal berwarna hitam mengurungku. Setelah kabut itu memudar yang kulihat adalah sebuah sedan tengah meluncur turun dalam kecepatan tinggi. Kali ini aku melihat sang pengemudi terbangun dari tidurnya dan mulai panik mengendalikan laju sedan. Terlambat. Sedan itu menghantam pembatas jalan dan terpelanting jatuh ke dalam jurang.“Ana… aku mohon. Tolong aku…!” … “REVIII!!!” Aku terbangun, duduk di kasurku dengan keringat sebesar biji jagung menuruni kepala. Tenggorokanku terasa kering. Selimutku melilit kaki dan salah satu bantalku tergeletak di lantai. Nafasku masih memburu. Aku tidak berada di tengah kegelapan hutan, aku aman di kamarku dengan sinar matahari pagi menembus tirai kamar. Sudah berhari-hari mimpi buruk itu terus menghantuiku. Mengusap wajah frustasi, aku menendang selimut. Revi yang duduk di ujung kasurku nyaris terlempar oleh selimut. Eh?! Aku mengucek mata, le
Rumah mungilku terdiri dari dua lantai, berlokasi di pusat kota. Dindingnya bernuansa warna pastel, dengan beberapa kombinasi warna cokelat dan hijau yang terlihat nyaman di mata. Di lantai atas terdapat ruang santai dengan sebuah televisi flat screen ukuran 42 inch, diapit sebuah sofa panjang melengkung hasil dari salah satu desain buatanku, lalu ada kamar tidurku, dan kamar mandi. Sedangkan lantai bawah hampir sepenuhnya menjadi galeri woodcraft dengan dapur kecil dan kamar mandi ekstra di bagian belakang. Ayah menambahkan bangunan tepat di sisi timur rumah untuk dijadikan gudang dan garasi. Kedua mataku masih belum terbiasa melihat Revi menginspeksi isi rumahku dengan jurus ‘menghilang dan menembus’ tembok. Ia kembali padaku dalam sekejap setelah mengagumi isi Kelud Woodcraft─tokoku─yang beberapa sudah memiliki tujuan ekspor ke negara tetangga dengan wajah kagum. “Aku beneran nggak percaya. Look at your self, girl! Si gadis udik telah berevo
Ada dua design box bayi pesanan pemilik restoran seafood langgananku, juga design satu set kursi taman bermotif kartun Disney pesanan play group yang berada dua kilometer dari rumahku, yang seharusnya kukerjakan hari ini agar lusa bisa langsung dikerjakan oleh pekerja kakakku. Sayangnya, jadwalku berantakan, dan aku harus mulai mempersiapkan mental, untuk seterusnya jadwal kerjaku pasti tambah berantakan. Sayangnya lagi, pihak yang seharusnya dipersalahkan adalah sesosok hantu yang jelas tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. “Untung saja aku sudah jadi setan. Coba bayangin, apa yang orang bilang jika mereka sampai melihatku tadi naik mobil box? Nggak ada lagi wanita cantik yang mau dekat-dekat denganku.” Tetap merapat ke dinding, aku memberikan tatapan mencemooh pada hantu narsis di sebelah. Aku belum sampai satu hari bersamanya, tapi aku sudah mulai sebal dengan sifat buruknya itu. Sungguh aneh, sembilan ta
Sabtu malam yang cerah tiba, berlawanan dengan hatiku yang berkabut.Gina sudah meneleponku berulang kali, memastikan agar aku datang ke acaranya. Ia juga sudah memberitahuku lokasi kencan sesi dua-nya berlangsung dan berpesan aku tidak boleh terlambat lagi.Revi melayang kesana-kemari mirip kepulan asap rokok, membuatku semakin terbiasa dengan kehadirannya. Diam-diam aku masih berharap aku sedang bermimpi, tapi tiap kali aku bangun pagi, selalu kudapati sosok Revi transparan menyapaku dengan senyum ceria di sudut kamar. Dia juga selalu menguntitku kemana-mana. Meskipun aku sudah kelelahan, dia malah semakin bersemangat, apalagi malam ini aku bisa bertemu Daniel secara langsung dan segera melancarkan misinya.“Rayu Daniel! Bilang bahwa dulu kamu diam-diam menyukainya dan ternyata rasa itu masih ada sampai sekarang. Ingat, ini adalah satu-satunya cara agar kamu bisa dekat dengannya dan menjauhkan dia dari pamanku,” suruh Revi, kembali mengoar-oarkan d
Satu jam berikutnya aku ingin menghilang. “Hom-pim-pa…” “Ana kalah!!” Kerumunan itu bersorak. Sekali lagi memaki dalam hati, aku menatap hampa telapak tanganku yang satu-satunya terbuka ke atas. Aku dipaksa mengikuti gamestak bermoral kawanan-kencan-buta-bodoh-Gina, dan untuk yang ke-empat kalinya aku kalah. Hukuman bagi yang kalah adalah mendapat pertanyaam memalukan dari peserta lain dan wajib dijawab jujur. Mengubur rasa malu, aku sudah menjawab tentang dengan siapa aku first kiss─Gama, mantan pacarku yang bertahan dua setengah bulan saja di tahun ke dua kuliahku, apa yang ingin aku sentuh dari tubuh seorang pria─dadanya yang bidang, dan apa warna celana dalamku malam ini─hitam dengan beberapa renda. Bahkan aku sudah menegak habis lemon ice─pengganti martini yang aku tolak dengan tegas─berulang kali sampai rasanya berubah aneh di mulutku. “Pertanyaan lo kali ini, siapa cowok pertama yang tidur bareng l
“Putri tidur, ayo bangun. Saatnya kita menyelematkan dunia.”Hawa dingin merambati tengkuk. Aku bergidik. Melawan rasa sakit di kepala, aku paksakan mataku mengerjap dan membuka. Jam dindingku menunjukkan sudah tengah hari. Bagaikan tersambar petir, aku langsung duduk tegak di kasur.“Tokoku?!”“Tenang, Adik Kecil. Dua pegawaimu yang rajin itu sudah buka toko sejak pagi tadi. Setelah mengintipmu masih tidur nyenyak, mereka memutuskan memulai kerja tanpa dirimu. Kamu nggak usah khawatir, aku membantumu mengawasi mereka kok,” terang Revi sambil duduk di ujung kasurku, persis saat pertama kali dia menampakkan dirinya padaku.Aku mendesah lega, bersyukur karena aku punya pegawai yang tekun sekaligus dapat kupercaya untuk memegang kunci cadangan toko, berjaga-jaga untuk keadaan darurat seperti ini. Mengangkat kepala, aku mulai bingung melihat Revi, meski tidak membutuhkan tidur lagi ia begitu sumringah.“Kenapa
Hampir satu jam berikutnya, aku sudah berada di dalam movil Gina, meliuk-liuk di jalanan kota Surabaya yang panas dan gerah. Cuaca yang seperti ini menenggelamkan niatku yang tadinya ingin berjalan-jalan santai di sepanjang trotoar menikmati pemandangan kota sambil menjernihkan pikiran. “Klien gue kali ini seorang wanita cerewet dan super nyebelin. Dia pengen pesta pertunangannya sesempurna mungkin. Kakak gue sudah pusing dibuatnya, dan terpaksa kali ini gue yang harus turun tangan. Wanita ini beruntung karena calon tunangannya tajir dan sama sekali nggak peduli dengan bayaran yang kami minta. Kalau bukan karena calon tunangannya itu, WO kakak gue nggak bakalan sudi ngelayani wanita itu.” Gina masih mengomel ketika mobilnya masuk ke halaman rumah klien yang dia maksud. Sebagai imbalan karena telah mengantar balik mobil boxku, Gina menyeretku untuk mendatangi rumah kliennya. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali. Gina bekerja di dua tempat. Terkadang dia berada di ka