Kegagalan dalam cinta dan pria bukanlah kesialan semata. Ana mempercayainya sebagai: ‘kutukan’. Ketika dia mulai frustasi dengan orang-orang yang mengkhawatirkan kehidupan percintaannya, si pembawa kutukan itu datang kembali setelah sembilan tahun yang pahit berlalu. Residivis cinta yang pernah membuat Ana rela melakukan apa saja masih sama memesonanya seperti dulu, meski sosoknya sedikit berbeda. Tubuhnya tidak lagi solid. Dan membuat kelogisan yang dipercayai Ana mulai dipertanyakan. Lebih gila dari itu semua adalah permohonan Revi. Dia berkata Ana harus membantunya menyelamatkan nyawa seseorang. Oke, tidak masalah. Sekali-kali dia memang ingin tampil seperti super hero di film-film. Tapi sulit dipercaya kalau caranya dengan harus merayu orang itu. Bagaimana bisa? Daniel, orang yang mau diselamatkannya itu adalah pria yang paling dibencinya sejak bertahun-tahun lalu. Berdekatan dengan Daniel, membuatnya memikirkan seribu satu cara untuk melukai pria itu dan justru membuat Ana terlihat seperti psikopat kriminalis. Merayunya? Yang benar saja! Tapi kejadian tak wajar yang mulai muncul membuat Ana terpaksa bertindak. Ia menguatkan tekad, akan menyakinkan Daniel yang keras kepala itu sebelum semuanya terlambat. Apapun resikonya! Termasuk mulai menyukai sisi menyebalkan dari Daniel.
Узнайте большеAku benci gelap.
Berdiri di tengah antah berantah yang diselimuti kegelapan mengerikan membuat perasaanku tidak nyaman. Pohon-pohon besar mengurungku dengan bayangannya yang seram. Angin berhembus kuat, membuatku menggigil dingin di balik piyama tipis yang aku kenakan. Aku mendongak, tidak ada bintang, apalagi bulan. Langit hitam membentang luas tanpa ujung.
Mendadak, sorot cahaya muncul membeliakkan mata. Sebuah sedan berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Ada tiga siluet hitam tubuh manusia keluar dari sedan lalu berdiri di samping badan sedan yang lampu depannya dibiarkan menyala terang. Mereka sedang beradu mulut dalam nada cepat dan tidak aku mengerti.
Setelah berdebat, dua orang dari mereka pergi menggotong sesuatu dari dalam bagasi mobil, tampak sedikit keberatan saat memindahkannya ke jok pengemudi. Dua orang itu tampak sibuk berkutat dengan sesuatu di sana. Setelah pintu dibanting menutup, barulah aku tahu kalau ‘sesuatu’ itu ternyata ‘seorang lelaki’ yang sepertinya sedang tak sadarkan diri.
Oh Tuhan. Aku mengenalnya.
Dia Revi. Laki-laki yang pernah membuatku jatuh cinta dan sakit hati dalam satu waktu bersamaan.
Tawa samar mengalir dari ketiga siluet hitam. Lalu, perlahan mobil yang ditumpangi Revi mulai bergerak. Ban-ban mobil meluncur semakin cepat di jalanan yang menurun menuju laut hitam yang terhampar luas di bawah jurang. Lelaki itu akan jatuh ke dalam jurang jika ketiga orang itu tidak segera berusaha menghentikan mobil.
Panik, aku berbalik cepat. Kemudian perasaan terkejut dan takut menyelimuti tubuhku tiba-tiba. Tidak ada orang di sana. Tiga pria sebelumnya menghilang entah kemana.
Keadaan berubah menjadi sunyi dan gelap. Aku sendirian.
Menembus kabut tebal, aku refleks berlari mengejar mobil Revi tanpa peduli kerikil-kerikil tajam menusuk kakiku yang telanjang. Aku meneriaki Revi agar segera keluar dari mobil bodoh itu, tapi suaraku tak kunjung keluar. Entah berapa kali aku membuka mulut, tak satupun suara yang berhasil aku keluarkan. Sialan, ada apa ini?!
Bagaikan film 3D, aku menyaksikan saat mobil yang ditumpangi Revi menumbuk pagar pembatas. Terpelanting ke udara dengan beberapa putaran singkat sebelum akhirnya jatuh ke dasar jurang.
Bagian depan sedan itu menghantam keras batu karang terjal yang muncul dari permukaan laut dengan suara mengerikan.
Mobil itu ringsek. Tersangkut di antara tajamnya batu karang hampir dalam posisi vertikal yang sempurna. Terdengar beberapa suara ledakan, diikuti kobaran api liar mulai menjilati seluruh badan mobil dan gulungan asap hitam tebal membumbung tinggi ke langit malam.
Suara detak jantungku menggema di telinga. Kedua pipiku sudah basah oleh banjir air mata yang tidak aku sadari. Keringatku bercucuran dan seolah darahku habis diserap tanah. Aku gemetaran menatap hampa jurang panas di bawah kaki. Semilir angin kering merayapi tengkuk. Kembali perasaan tidak enak menyelimuti.
Berpaling cepat ke sisi kanan, aku mendapati Daniel berdiri santai tak jauh dari tempatku. Dia mengalihkan pandangannya dari dasar jurang untuk menatapku di antara seringai mencemoohnya. Tatapan sama seperti yang aku ingat. Kebencian, amarah, jijik, dan dendam.
Di sela-sela perasaan takut, terdengar jeritan menyayat hati dari bawah jurang.
“Ana…aku mohon, tolong aku…!! Anaaa!!!”
Satu jam berikutnya aku sudah duduk manis di dalam SUV Range Rover Daniel yang mewah mengkilat. Rombongan kerabat jauh datang menjenguk Kakek. Takut membuat canggung suasana aku pamit setelah mendoakan kesembuhan Kakek Daniel dan menyarankan agar lain kali beliau lebih berhati-hati. Sebetulnya aku berniat pulang dengan taxi, tapi Kakek berkeras agar Daniel mengantarku. Sama sekali tidak menyadari raut muka protes cucu kesayangannya. Kami pergi setelah Kakek Daniel sukses membuatku berjanji untuk segera menjenguknya kembali.“Kamu tidak merindukan orangtuamu?”Daniel bertanya sesaat setelah aku menutup telepon dari Ibuku. Seperti biasa, ibu mengecek keadaanku. Kulempar senyum sekilasku pada Daniel.“Dasar penguping! Tentu saja aku sangat merindukan mereka. Biasanya dua minggu sekali aku pulang mengunjungi mereka sekaligus mengambil stok dagangan. Tapi belakangan ini aku terlalu sibuk. Beruntung, berkat kemajuan teknologi saat ini, mereka terasa jauh lebih dekat dari kenyataannya. Aku m
Kakek Daniel benar-benar seorang pria tua yang luar biasa. Aku masih ingat keadaannya kemarin begitu mengkhawatirkan. Siang ini, melihatnya duduk bersandar di atas ranjang terbaik rumah sakit sambil tersenyum cerah menyambutku, membuat kejadian kemarin hanya seperti mimpi belaka. Kakek Daniel punya semangat hidup yang tinggi dan sama seperti cucunya, tidak mau terlihat lemah di depan orang lain.“Apa kabar, Kek? Aku berharap Kakek benar-benar sudah membaik.”Pelan-pelan aku melepas pelukan Kakek Daniel, berharap selang infusnya tidak aku senggol. Begitu melihatku datang tadi, Kakek menyuruhku mendekatinya dan sambil membentangkan kedua lengannya, ia memintaku memeluknya.Aku usap cepat sudut mataku yang berair. Belakangan ini aku menjadi cengeng.Suara tawa serak meluncur. “Setelah melihatmu aku merasa sangat sehat, Nak. Sebenarnya aku sudah menyuruh Daniel untuk membawaku secepatnya pergi dari tempat ini, tapi dia tidak mau. Aku benci rumah sakit, seolah aroma kematian menantiku di s
Aku pernah ingat Nenek mengatakan kalau manusia itu sulit lepas dari sifat munafik. Apa yang dipikir, diucap, dirasa, dan dilakukannya sering kali saling bertolak belakang. Meskipun aku mengatakan dengan lantang kalau aku membenci Daniel,faktanya hatiku menolaknya.Sejak dulu Daniel membenciku. Seharusnya aku tidak heran.Tapi sembilan tahun berlalu, waktu yang cukup lama untuk membuat perasaanku kepadanya berubah. Awalnya aku mengira juga semakin membencinya. Faktanya, aku mulai mendamaikan diri dengannya, diam-diam berharap Daniel bisa bersikap baik padaku, memandangku sebagai seorang wanita yang bisa diajaknya bercanda dan tempat keluh kesahnya.Seharian kepalaku dipenuhi bayangan Daniel dan mengingat bagaimana menyakitkannya dia memperlakukan aku kemarin di rumah sakit. Aku putus asa. Aku tidak bisa berkonsentrasi melakukan apapun. Kecewa, sedih, dan gelisah bercampur menjadi satu.“Kak, ketipung ini terbuat dari kayu apa, sih?”Dua
Roda dari brankar dan kereta peralatan medis bergesekan dengan ubin rumah sakit yang berwarna putih ketika ditarik melintasi ruangan, menimbulkan suara gaduh mengganggu telinga. Pengunjung rumah sakit berlalu-lalang layaknya iklan dalam televisi yang tak perlu terlalu disimak. Beberapa perawat bergerak dalam langkah cekatan yang terlatih, keluar masuk ke dalam ruang bertuliskan ‘ICU’ mengikuti sang dokter. Lagi, seorang dokter bergabung ke dalam ruangan itu dengan wajah cemas yang tak berhasil ia sembunyikan dengan baik di balik wajahnya yang ramah.“Sebaiknya kamu duduk, Adik Kecil. Kamu juga kelihatan pucat, dan aku yakin kakimu itu masih sakit,” saran Revi tulus.Aku menggeleng, tidak memperdulikan deretan bangku di sepanjang lorong. Aku lebih memilih bersandar pada dinding rumah sakit yang dingin, tanpa peduli dengan kaki terkilirku mulai membengkak dan berdenyut sakit. Sebelum salah seorang dokter di ICU itu keluar dan memberitahuku bahwa K
Akhirnya aku membawa koran Gina pulang. Berharap itu kelak bisa aku tunjukkan ke Daniel dan menjadi tambahan bukti. Meskipun aku tahu Daniel tidak akan percaya begitu saja. Karena malas berjalan menuju lantai dasar dan bersesakkan di eskalator yang ramai dipadati oleh orang-orang yang selesai dari acara di hallroom,kami berdua melangkah lunglai menuju lift. Rombongan orang telah terangkut di dua box lift pertama yang terbuka. Aku menunggu datangnya lift ketiga. Dari arah belakang, muncul sekelompok orang yang menyalipku tergesa-gesa untuk mendahului masuk lift ketiga yang baru datang dan pintunya terbuka. Sepertinya mereka kawanan orang penting, karena mengusir keluar dua orang yang sebelumnya sudah berada di dalam lift. Pintu lift bergerak menutup. Hanya sekilas, tapi cukup jelas untuk melihat kakek Daniel ditengah pria-pria aneh yang salah satunya kuingat sebagai…pria yang kusuruh mengangkut kursi di rumah Daniel. “Mereka se
Gina dan Hendrik akhirnya berpamitan dan pergi berkencan. Sebenarnya, Gina tadi mengajakku makan siang hanya untuk menemaninya sementara menunggu Hendrik menyelesaikan pekerjaannya.Melihat mereka berdua bergandengan tangan mesra sambil tersenyum satu sama lain, mau tak mau membuatku iri. Gina saja yang mudah bosan dengan pria tampaknya kali ini bisa serius dengan Hendrik. Sedangkan aku, tetap menjadi Si Lajang yang menyedihkan.Menghentikan aksi meratapi diri, aku beralih pada Revi yang bergerak gelisah, seakan-akan ia ingin segera menghilang dari hadapanku. “Apa semua itu tadi benar?”“Apa?” tanya Revi sok polos.“Kamu tahu apa maksudku, Rev.”Revi memasang muka cemberut, sebelum mengacak-acak sendiri rambutnya dengan frustasi. “Ya, begitulah. Daniel memang sedang membalasku. Dia cukup senang melihatku tidak bisa mendekati Cherry lagi.”“Pantas saja aku sering memergokimu memandang Cher
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Комментарии